Teratai adalah simbol keabadian. Air
adalah kehidupan, dan putih adalah kesucian. Kesucian Hidup yang Abadi. Sebuah
pemandangan yang cantik. Sesuatu yang menarik memanggil sebuah semangat untuk
berharap.
Ada kekakuan, tetapi keramahan lain meleburkan semua.
Ada harapan kecil untuk melihat mereka berinteraksi, namun sayangnya itu memang
sulit terjadi. Hanya kembali berharap suatu hari akan berubah.
Sebuah perjalanan dimulai. Mengusung sedikit kekecewaan. Namun kutetap berusaha bahagia. “Apa pun yang terjadi adalah yang terbaik dari Tuhan”. Aku lupakan lagi diriku yang terabaikan, menyambut hal baru, cerita baru. Sedikit aneh, dalam kekakuan itu. Ku tak mampu bebas, di tengah kebisuan mereka. Tapi kuharus nikmati hari ini. Lupakan hal negative. Itu tujuan utamanya, maka harus terwujud.
Jalan
yang berliku, terik menyengat, angin pengap. Di bawah langit di atas bumi
menembus angin. Sebuah percakapan kecil mencairkan suasana. Melahirkan tawa,
bertukar pikiran dan mengenang peristiwa lalu. Semua menjadi baik. Semua
baik-baik saja hingga roda terhenti di titik permulaan petualangan.
Aku
berdiri. Memandang sekeliling, mencari. Ada yang menyaksikanku. Aku tahu itu.
Namun entah dimana aku tak tahu. Ternyata
dia di atas, dia yang menganggap tak ada apa pun yang terjadi. Dan aku pun tak
peduli. Karena aku tak lagi ingin peduli. Benar-benar tak peduli.
Titik
transit telah di depan mata. Titik menapakkan kaki di masa lalu. Tempat
berbagi, dan kini menjadi kenangan. Sebuah waktu untuk berdikusi akan tema dan
nuansa ciptaan manusia. Sebuah tempat istirahat dan penantian.
Sahabat
yang lain itu datang. Perjalanan dari petualangan ini berlanjut. Panas tak lagi
terasa, tersapu oleh angina sejuk dan damai. Angin kebebasan, sinar
pembaharuan, sebuah senyuman dunia. Hingga pohon cinta menyapa. Berlatarkan biru
cerah langit, titik utama atas tujuan kini menyambut.
“Aku
tak sendirian!” bisikku pada dunia. Ada kebebasan. Ada kehangatan. Aku
memiliki seorang teman di antara banyak teman. Sebuah cinta tersirat, sebuah
persahabatan. Yang aku harap itu kan jadi abadi. Aku memang berjalan di akhir
baris. Aku memang tertinggal. Namun dengan demikian aku mampu melihat
seluruhnya. Teman-temanku, keramahan alam, dan tanah tempatku berpijak. Tanah
Pelangi, ya demikian aku menyebut, seperti pelangi yang memiliki banyak jejak warna
dan bentuk, tanah ini pun memiliki banyak jejak kehidupan insan manusia.
“Enak aja ambil foto sembarangan
gak bilang-bilang!” seru mereka saat memergoki aku yang mencuri ekspresi
alami mereka. Aku hanya tersenyum. Berpura-pura tak ada masalah. Aku tak tahu,
mereka sungguh marah atau tidak, yang aku tahu hanya aku suka mereka yang terlihat
polos tanpa beban.
Dan ketika aku jauh pun, di antara hilir mudik yang lainnya, ada yang masih
memperhatikan pergerakanku. Di tengah alam bebas ini aku hidup. Untuk pertama
kalinya aku benar-benar hidup tanpa beban. Aku merdeka!
Sebuah impian kecil, memetik sebuah fenomena, melihat
terobosan semangat, menyimpan seberkas cahaya langit di antara dedaunan. Bukan
editan Photoshop, bukaan rekaan lain, bukan milik yang lain, tetapi sebuah
karya nyata yang kugenggam. Menangkapnya dengan jariku. Menerangi hati. Menyegarkan mimpi.
Seberkas keagungan Yang Kuasa menyertai. Menjagaku, mengawasiku, memberikan semua kemurahan untuk mengukir senyum. Senyum kedamaian. Selayaknya mentari yang selalu menyusup, mencari jalan, membuatku selalu di lingkar edarnya lingkar mayanya, lingkar keanggunan yang ceria.
Terkadang aku berlari, namun juga mengendap-endap. Selalu melesatkan pandang ke segala penjuru, mencari mangsa untuk mengisi perut memori kameraku. Ah, bukan milikku, milik sahabatku lebih tepatnya. Aku hanya meminjamnya. Canon Power Shot A495 10 Mpx, ialah yang teman sejati yang membantuku sehari ini, mengingatkanku akan hari ini dan menjadikan semuanya jadi nampak lebih indah.
Dan dengan bantuan penangkap gambar lainnya, rekan seperjuangan petualangan pun tak melewatkan deru semangat gelombang air. Menjadi saksi cinta dan kasih sayang persahabatan. Menyatukan keragaman karakter insan hidup. Meleburkan kekakuan. Mengurangi jarak perbedaan kutub utara dan selatan. Menjadikan semuanya nampak cantik dan indah, secantik pelangi yang menyimpan ragam rupa warna.
Dan dengan bantuan penangkap gambar lainnya, rekan seperjuangan petualangan pun tak melewatkan deru semangat gelombang air. Menjadi saksi cinta dan kasih sayang persahabatan. Menyatukan keragaman karakter insan hidup. Meleburkan kekakuan. Mengurangi jarak perbedaan kutub utara dan selatan. Menjadikan semuanya nampak cantik dan indah, secantik pelangi yang menyimpan ragam rupa warna.
Petualangan tak terhenti. Dalam dingin ia terus melaju. Dengan sesaat mencuri waktu, merekam keindahan dalam kilat kecepatan. Pinus, edelwis, cemara dengan gembira menari. Awan berjalan tenang mengintip, mengikuti perjalanan penuh harapan.
Ingin kumelompat terbang. Melayang, melintas
cakrawala. Aku berhasil lupakan semua ketakutanku. Aku lepaskan dan buang semua
rasa kesepianku selama ini. Hanya tertawa. Setiap saat terasa cerah dan sejuk.
Hanya kegembiraan. Membuat jiwa ini serasa melayang, seringan kapas, seindah
awan, sejernih waterfall, sebersih
birunya langit.
Terjal, curam. Bertebing, berjurang. Sebuah perjalanan yang menegangkan. Akan tetapi bukan berarti itu membuat semua membisu. Aku tetap lanjutkan percakapan kecil itu. Dengan seseorang yang selalu kulihat punggungnya sepanjang jalan. Dan di tengah situasi itu juga tak berarti rasa cemas tak muncul sedikit pun. Sesekali kami menanyakan personil lainnya. Melihat sisi belakang kami. Hingga tanpa sengaja gunung itu ketahuan olehku, ia mengintip di balik semak dan pepohonan. Diikuti awan di belakangnya yang sedari tadi nampaknya terus mengikuti tiada henti.
Terasa jauh. Begitu lama. Apa mereka beristirahat? Mampir ke rumah Tuhan? Mengisi ulang amunisi? Ah, terlalu impossible untuk hal –hal itu. Aku terhenti. Sebagian terhenti menanti bagian yang lain yang tak kunjung tiba. Khawatir. Namun ku tak ingin berfikir negative. Aku tak mau kesalah lalu terulang. Kuputuskanlah alihkan pikiranku. Mencari kegembiraan lain. Menyapa rupa warna flora. Menengok serangga kecil yang berlari.
Terjal, curam. Bertebing, berjurang. Sebuah perjalanan yang menegangkan. Akan tetapi bukan berarti itu membuat semua membisu. Aku tetap lanjutkan percakapan kecil itu. Dengan seseorang yang selalu kulihat punggungnya sepanjang jalan. Dan di tengah situasi itu juga tak berarti rasa cemas tak muncul sedikit pun. Sesekali kami menanyakan personil lainnya. Melihat sisi belakang kami. Hingga tanpa sengaja gunung itu ketahuan olehku, ia mengintip di balik semak dan pepohonan. Diikuti awan di belakangnya yang sedari tadi nampaknya terus mengikuti tiada henti.
Kembali kubertemu. Kembali
merakit asa. Kembali bersama mereka aku terbang. Mendaki, melompat, berteriak,
kami di ketinggian. Hingga kesenangan itu mendadak surut. Saat mendadak terbuka
pembicaraan singkat akan roda motor yang mengantar kami. Di saat satu terlihat
begitu hebat, begitu cepat, begitu mudah menembus badai batuan dan pasir,
disisi lain, yaitu di pihakku, kami begitu lama. Mendadak pikiran akan bumi
selalu berputar, roda itu pun berputar. Sesuatu sisi pasti akan mengalaminkedudukan
di atas dan di bawah. Dan aku cemas saat terlintas yang terhebat itu akan bergulir
turun.
Semua baik-baik saja. Genangan
air luas serasa semakin lama semakin luas. Kami masih saling berbagi tawa.
Memiliki satu tujuan untuk bahagia dan sukses. Menggapai impian setinggi
langit.
Kami berbeda. Kuat dan
lemah, tinggi dan kecil, pandai bercerita dan pendiam, pemberani dan penakut semua
melekat pada kami. Namun pandangan kami sama, setidaknya hingga detik ini.
Tetap berharap semua akan abadi. Berharap semua adalah ketulusan. Tak ada
alasan untuk kami tak bersatu.
“Ayo balik, anak-anak udah pada jalan nih.”
“Bentar” sahutku
“Kamu foto
apa, Charis?”
“Langit nih..terang, bagus!” jawabku seraya memotret
awan yang mengelilingi biru cerah itu. Berlanjut kembali berjalan saat kawanku
yang berganti memandangi langit dengan hikmat.
“Eh, lihat dong foto-fotonya!”pintanya dan
kupinjamkan benda penangkap cahaya itu. Ia melihat hasil potretan itu dan
memutar gambar kembali ke awal. “Hmm..ini teratai di gazebo? Wah, bentuk love
pohonnya!”
Percakapan singkat itu pun berakhir di lapangan parkir.
“That’s why I take the picture. That’s
why I always be behind you all, because I got many love from them. The nature!”
Hingga perasaan itu kembali muncul. Sesuatu yang tak
nyaman. Sama seperti saat di awal pagi di toko swalayan itu. Saat melihat
lembaran coklat kecil berperekat itu, lembaran berdimensi sekitar 2 cm x 6 cm. Saat
botol kecil itu pun membayangi otakku. Hingga rasa itu menguat. Kala sebuah
permintaan terlontar, saat yang terdepan ingin berada di tengah. Saat perlahan
perjalanan pulang itu terasa semakin berat dan membuat kami perlahan terpecah.
“Mbak, aku nggak
difoto juga?”sapanya
“Jangan, mbak! Ntar
kameranya rusak.”seru lainnya
Namun aku hanya
tersenyum dan arahkan lensa pada mereka. Orang itu tertawa. Mereka tertawa.
Kami pun tertawa.
Ya, tertawa, tepat di
saat bagian lain dari kami jatuh. Tepat saat bagian lain itu kesakitan.
Ternyata itu tanda. Pada akhirnya aku mencarinya
lagi. Aku mencari pengganti swalayan itu. Tetap mencari benda-benda itu. Aku
tetap membutuhkannya untuk teman-temanku.
Maaf, untuk tak sadari itu. Maaf, andai ini adalah
pikiran buruk yang memanggil semua. Dan aku mohon pada dunia, buat aku
hilangkan ketakutan itu, akan hal yang serba baru itu. Dan maaf kembali, seharusnya
aku tak pernah pikirkan roda berputar itu, bumi berputar itu. Maaf pula untuk
tak mengingatkan di awal atas satu hal yang tak bisa kuceritakan hingga detik
ini atas akhir itu..
Akan tetapi sebuah kelegaan, kalian semua baik-baik
saja. Berharap semua segera kembali normal dan kita sambut lagi petualangan
yang lain. Dan aku harap pula, semua untuk hal abadi, bahwa aku tetap terlihat
dan terdengar.
Photo by: Charist Permana, Abdurrahman S.Q., Azhari Azizah R., Irfan R.
Nice pict.
ReplyDelete