2014-01-21

Ordinary Moment



            Menuliskan ini bukan berarti aku memang menyukai tokoh yang diceritakan, bukan berarti jatuh cinta. Hanya mencoba melukiskan sebuah peristiwa menjadi sebuah cerita dengan tema tertentu dengan akhir cerita tertentu. Mengubah hal yang sebenarnya biasa menjadi terlihat sedikit lebih “berkesan” seperti orang-orang bayangkan. Ini hanya rangkaian kata kolaborasi imajinasi dan fakta. Bukan sepenuhnya kejadian nyata, bukan sepenuhnya kebohongan. Tinggal bagaimana pembaca menanggapi apa yang terbaca. Bagaimana pembaca memandangnya, positif mau pun negatif.
@@@
            Aku hanya seorang manusia yang hidup dengan usia hampir 20 tahun. Ntahlah apa yang spesial dari diriku, hanya gender perempuan bergolongan darah O yang tertulis di KTP. Itu yang pasti. Aku tak tahu bagaimana sebenarnya identitas diriku sendiri. Bahkan terkadang aku merasa aku hanya sekedar “Himono onna” yang bosan hidup, padahal usia itu belum mendekati 30.
            Menghabiskan waktu di dalam rumah. Makan, tidur, sibuk dengan dunia aneh dalam pikiran. Tak punya teman-teman untuk hang out bersama seperti shopping, nongkrong di kafe, atau sekedar windowshopping. Tak ada pemuda tanpan (bahkan pemuda buruk rupa) yang datang mengajak kencan. Semua orang mungkin menyebutku drakula atau vampir dan semacamnya yang takut pada sinar matahari.
            Bahkan keluarga sendiri menyebutku orang aneh yang tak bisa merawat diri. Aku bukan gadis katanya, karena seorang gadis yang baik takkan membiarkan kamarnya berantakan dan gelap. Aku memang tak suka lampu yang terlalu terang, ntah kenapa itu membuatku jadi pusing. Kecuali saat mengerjakan tugas yang butuh lampu pastinya. Gadis normal akan menjaga benar tubuhnya, tak seperti aku yang mandi sehari sekali atau bahkan kadang hanya 2 hari sekali. Semua itu selalu kulakukan tiap menjelang deadline tugas.
            Jika, memang himono onna sepertinya akan lebih baik daripada aku dalam kenyataan. Himono onna tinggal sendirian tak perlu tanggung jawab pada orang lain dalam rumahnya, ia memang benar-benar menikmati kebiasaan itu, dan benar-benar ingin memikirkan diri sendiri, but I’m different.
            Teman-teman SMA dan kuliahku menganggapku sebagai AB. AB yang terparah dari orang-orang yang bergolongan darah AB sungguhan. Mereka melihatku terlalu aneh, terlalu sering menyendiri dan jika mencoba bergabung dengan seseorang akan cenderung diam, apabila mencoba bercanda akan “garing” jadinya. Sialnya, saat SMA pun, ketika pelajaran Biologi Bab Darah, tiap siswa wajib praktek tes darah temannya di laboratorium.  Semua orang langsung mendapatkan hasil sesuai hasil tes yang pernah mereka lakukan di Rumah Sakit, tapi aku? Aku dan temanku harus mengulang percobaan hingga 3 kali karena 2 percobaan menghasilkan AB, baru yang ke-3 hasilnya benar O.
            Sedang jomblo? Beberapa orang yang melihat keadaanku terakhir ini mungkin akan berpikir demikian. Aku pun menjadi berpikir, “Sedang”jomblo  itu berarti ada kata “pernah tidak”jomblo. Namun aku tak pernah sekali pun tahu bagaimana perasaan seorang gadis yang punya kekasih. Orang-orang dewasa “bijak” pasti berkata “Wah,  anak yang baik, taat agama, gak pacar-pacaran.” atau ”Wah, bagus, gak usah pacaran dulu, yang serius sekolahnya.” Tapi kalau bertemunya ibu-ibu yang suka ngrumpi pasti berkata “Dia anak kurang pergaulan kayaknya, gak pernah kelihatan ada cowok mampir. Gak kayak anakku temen cowoknya banyak, pacarnya juga sering dateng bawa ini itu..” Atau kadang-kadang tanya langsung ke ibuku saat mereka bertemu di kedai sayuran.
            “Lho, Bu, mbak Naeris libur sekolah kok dirumah aja? Gak main ma temennya?”
            “Oh, dia memang suka di rumah.”
            “Wah, kalo Yusin anaknya bu Lisa, juga suka di rumah aja, tapi temennya banyak mampir. Kok aku nggak pernah lihat temannya mbak Naeris.”
            “Nggak tahu, katanya kalau libur, dia memang gak suka diganggu.”
            “Oh, gitu, beda ya, berarti, ma anakku, kalau Yusin tu anaknya kayaknya ramah, gak pilih-pilih temen, gak sombong. Jadi banyak yang suka main kerumah.”sahut bu Lisa.
            “Masalahnya kalau Naeris, dia sibuk garap dagangannya, tugasnya juga ada yang harus dikumpul pas masuk sekolah lagi.”
            “Oh iya, anak sekolah sekarang libur tetep dapat tugas, Sasa, anak saya, juga gitu, tapi kalau Sasa biasanya kerja bareng sama temen-temennya, mereka pada dateng ke rumah bantuin Sasa.”
            “Nggak tahu dah kalau Naeris itu memang aneh anaknya.”jawab ibuku pada akhirnya menyerah.
Lantas sesampai di rumah pasti ibuku akan mengomel,
            “Kamu jadi anak jangan sombong-sombonglah, ajak temenmu kesini. Sekali-sekali main bareng temen-temenmu! Jangan di rumah terus. Dari dulu main bareng anak tetangga aja juga gak mau, gak bosen apa ngliatin laptop, nonton film, baca novel aja, ngurung diri di kamar! Cobalah lihat Yusin, Sasa, Sherly, tirulah mereka, nggak kayak kamu yang selalu sendirian kemana-mana.”
            Yah, kalau aku mau seperti mereka, yang teman-temannya adalah  tipe cowok-cowok pervert, gampang aja. Kalau aku main obral seperti orang-orang yang ibu sebutkan, ya gampang aja.” Pikirku dalam diam menyerah.
            Oleh karena itu, daripada aku lelah mendengar bisik-bisik tetangga, lebih baik memilih tempat kuliah yang jauh dan tinggal di rumah kos. Dengan begitu ibuku pun tak perlu bingung menjawab pertanyaan para penggosip kampung itu. Mengingat peristiwa yang ribuan kali terulang itu benar-benar menyebalkan.
            Sesungguhnya bukan karena keinginanku jadi sombong atau semacamnya. Berteman benar-benar membuatku lelah. Bagiku TEMAN ITU MAHAL. TEMAN ITU BASA-BASI. Berteman paling murah adalah duduk bergerombol  menggosipkan keburukan orang lain. Selebihnya adalah Shopping yang menghabiskan uang. Jalan-jalan sekedar windowshopping itu ujung-ujungnya makan, itu juga menghabiskan uang. Berteman itu bikin pesta ulang tahun, pasti butuh iuran buat kado, itu keluar uang juga. Berteman itu organisasi, organisasi itu kas mingguan atau bulanan, bayar kas pakai uang pastinya. Mau cari teman setia, kelompok belajar, tanpa uang? Jaman sekarang, kok, aku tak berhasil menemukannya.
            Why do I hate everythings related to money? Because I don’t have any.  Ayahku hanya seorang buruh montir pabrik benang. Ibuku sendiri seorang ibu rumah tangga biasa yang mengidap kanker, yang butuh banyak biaya untuk obat . Adikku, ia juga seorang penyandang autis. Gaji 1,25 juta milik ayahku yang kemudian terpotong hutang disana-sini takkan cukup untuk menghidupkan kami berempat. Melihat kondisi seperti itu, apa mungkin aku bisa pergi bersenang-senang ke berbagai tempat menarik tanpa orang mengajak secara gratis? It’s impossible. Mungkin akan ada beberapa teman meinjamkan uang, itu tetap saja aku harus membayarnya di lain hari, jadi intinya sama saja menghabiskan uang. Jadi aku akan memilih menyibukkan diriku dengan bisnisku sendiri – menjual aksesoris, menerima pesanan pernak-pernik flannel atau membuat lukisan pesanan, dimana studioku adalah kamarku, jadi bagaimana bisa aku tidak dikamar. Itu lebih baik dibanding keluar untuk “berteman”. I have my way untuk berteman dengan uang.
            Then, satu orang saja untuk berteman, menjadi kekasih. Aku juga heran sampai sekarang, kenapa tiap kali aku menyukai seseorang, ia hanya mengabaikanku. Tiap kali aku disukai seseorang, mereka adalah orang asing yang pastinya aku tak bisa menerimanya karena aku tak benar mengenalnya. Jika tak asing, pastilah dia orang yang tak menyenangkan, bukan tipe orang yang serius di akademik dan lebih suka bersenang-senang dalam dunia hedonisme.
            Membicarakan banyak hal dengan orang lain sepertinya akan sulit. Yang aku tahu hanya sebagian kecil hal dalam radio, hal yang mereka tak pernah tahu, hal yang mungkin penting tapi dianggap membosankan. Saat mereka membicarakan tempat hiburan fantastis dan menyegarkan, atau tentang festival yang sangat seruI just can imagine it. Hanya mampu bermimpi bahwa aku akan menemukan seorang pangeran yang membawaku terbang bebas ke tempat yang begitu tinggi, merasakan indahnya alam, membaui segarnya aroma bunga yang aneka warna. Berkhayal pangeran itu akan menarikku ke dalam sebuah festival malam penuh kerlipan lampu, menikmati makanan yang manis di bawah terangnya bulan.
@@@
            Meninggalkan tempat kelahiranku Yogyakarta yang menjadi Kota Pendidikan menuju Kota Pendidikan lainnya di Malang. Kuliah di sebuah universitas yang cukup baik di jurusan Arsitektur. Hidup dalam rumah kos dengan imensi kamar 3m x 3m. Makan dengan biaya hasil menghimpun uang dari sana-sini. Kiriman orang tua, income dagangan dan beasiswa dari universitas.
            Sudah cukup lama tinggal di kota ini. Namun aku tak pernah  bisa mengenali semua tempat. Selain tak ada dana untuk berkeliling, juga tak ada waktu untuk itu. Habis sudah untuk tugas yang memakan 24 jam untuk selesai. Hanya sempat mencari udara segar di loteng area jemur kos. Mungkin menulis diary di blog atau di pesawat kertas lalu membuangnya ke udara. Berharap angin menyampaikannya pada singgasana Tuhan untuk mendapatkan balasan langsung. Masih berharap aku dapat melihat dunia ini dengan perasaan bebas.
@@@
       " Dear my wind,. I never believe in valentine days. Never celebrate it. Never though that February as  The Month of Love. Thus, I always get my happiness in that month. And really happy. I hope it’s for always and forever.
       Today, 18th  February 2012, I went to Selecta. A beautiful park in Batu City. It
has a good view. Really good. The surrounding is so pretty.   Mountain, hills, forest, ricefield, river, fishes they are very interesting and attractive. This’s a good day forever. Finally I can see the nature open space. That’s all I want along this time. Feel the air, walking around flowers, hear the song of water. That’s really really really Fantastic. The world’s perfect.
       In this place, I took some pictures of view. Took photos of me. On some spots like aquarium, big rock, flowers garden, on stairs, pergola, “Lion’s mouth”, and others spot. That’s cute,.   :D
The main idea of today just about the view of world. I won’t think more about the others.   Just have fun among the nature  and friend.  Because  I’ll always  beside them..
But also today everything must be over. All thing that was enjoyed by me must be end. I’ll never win. They know how to make it happen, but I can’t. I also know I won’t found a good ending. So, I must stop it now. Destiny won’t come like my dream. I’ve see it. Don’t fall in love again for this time. That’s enough for the beginning of month. May be another time, in another event and another place we can meet again and have fun again."

            Itulah  yang  tertulis  malam  itu dalam  pesawat  anginku,  seperti  malam-malam sebelumnya, kuungkap semua isi hatiku padanya. Hari itu aku kembali ke kos setelah pulang dari rumah di kampung halamanku. Aku harus pulang ke kos pagi itu karena aku harus segera mengembalikan  helm yang aku pinjam dari Aru beberapa minggu lalu saat kami dan beberapa teman sibuk mengurus pameran tugas studio,  selain itu Aru sudah berulang kali mengirim sort message ke ponselku menanyakan kepulanganku ke kos dan memintaku mengirim pesan teks jika aku sudah tiba di kos.
            "Bli,aku udah di kos nih."kataku lewat SMS kepada Aru yang berasal dari Bali.
            Oke-oke..sip2..abis  ini aku ke sana.  Aku lagi makan  nih di deket kosmu,  di depot 99."balasnya.
@@@
            Sekitar  pukul  10.30  ia  pun  telah  tiba  di  depan  kosku.  Dan  aku  langsung menemuinya.
            "Ini  helmnya,  Bli.  Maaf  ya,  baru  balikin  sekarang.  Waktu  kemarin  pas  ke kampus lupa terus." ucapku menyesal.
"Iya gpp, kok. Santai aja Naeris.."
"Temenmu udah pulang kah? Dia marah nggak?"
            "Udah pulang tadi pagi. Dia biasa aja kok. Ngapain juga marah."
            "Oh, ya udah kalo gitu. Sampein makasih juga ke dia, ya."
"Ok. Btw kamu lagi ngapain, Naeris?"
"Nggak ngapa-ngapain. Ini aja baru nyampe terus beres-beres kamar dikit."
"Oh..lha abis ini mau ngapain?"
            "Ngaplo  kayaknya..lha  nggak  ada kerjaan.  Mungkin  nonton  film ato apa deh ntar. Lha kamu mau kemana lagi abis ini?" balasku balik bertanya.
"Aku pinginnya jalan-jalan sih abis ini. Ikut.a?" ajaknya.
"Jalan-jalan kemana?"sahutku.
"Belum  tahu,  pokoknya  jalan-jalan  aja. Ayo  ikut.  Dari pada  kamu  ngaplo  di kos!"
"Hmm.. Pingin sih.."
"Ya udah ayo.”
“Lha tapi kemana, Bli?”
            “Ya, jalan aja dulu ntar baru nentuin kemana. Ayo deh! Pake helm ini aja lagi dulu.”
            "Mang gpp? Barusan dibalikin masa' dipinjem lagi?"
            "Gpp lah. Ayo deh. Biar aku nggak sendirian juga."
            "Ya udah deh.. aku ganti baju dulu ya..Tunggu bentar ya!"
            "Ok sip!" sahutnya dan tersenyum ceria padaku.
            Ini pertama kalinya aku ingin ikut seseorang. Saat ada orang yang punya rencana pergi  dan  kebetulan  bertemu  denganku  lalu  mengajak  ikut,  aku  selalu  benar-benar menolak. Lantas saat ada orang lain mengajakku pergi berdua, seperti Arsa, Risky, Didi, atau cowok lainnya aku pun selalu menolak.  Ya, mungkin  Sam yang pertama  pada malam itu (yang kemudian membuatku tak menyukainya sama sekali), tapi itu karena aku memang sudah sering pergi dengannya bersama Trya, Maria atau Vem dan itu pula tujuan awalnya hanya urusan tugas dan tak ada tujuan pergi ke tempat hiburan khusus.
            Beberapa saat kemudian aku dan Aru sudah meluncur ke arah Batu setelah sejenak  mengisi  ulang  bensin  motornya  di  pom  bensin  Dinoyo.  Sempat  pula  kami mampir ke ATM BRI di Batu karena aku harus mengambil  uang.  Aru pun mengajak ngobrol sambil mengemudi. Untukku, ini pertama kalinya aku seperti ini, dengan seseorang seusianya, bukan ayah, bukan paman, sangat hina sekali hidupku, hal biasa saja menjadi spesial.
            "Kemana nih enaknya?"
            "Terserah..aku ngikut aja. Aku juga nggak tahu soal tempat2 di Batu."
            "Kemana ya..ya udah seketemunya ntar deh ya.."
            "Iya udah terserah.. Btw kamu nggak pulang kampung Bli?"
            "Nggak, lha ngurus Open Talk kemarin, lagian juga nanggung mau pulang."
            "Terus nggak main kemana gitu kemarin2?"
            "Nggak. Sebenernya sih kemarin anak-anak kayak Topan, Ilma, Yuhdi mau ngajakin main ke Banyuwangi tapi aku nggak ikut deh.."
            "Emang kapan mereka rencananya ke Banyuwangi?"
            "Hari ini, mereka main. Tapi nggak jadi ke Banyuwangi, jadinya ke Jombang."    
            "Oalah..Kamu kenapa nggak ikut?"
            "Ya Gpp..yang penting masih bisa jalan-jalan sendiri kan.."
            "Iya sih.."
@@@
            Aku  sangat  menikmati  saat-saat  itu.  Perjalananku   menembus  angin  segar. Melihat bentang alam, persawahan, perkebunan, perkampungan tradisional. Aru pasti tak tahu jika aku yang di belakangnya tersenyum lebar di jalan yang menanjak ini. Dengan posisinya  yang  sedang  sibuk  mengemudikan  sepeda  motornya  aku  bisa  benar-benar bebas. Terutama dengan jalanan yang tak terlalu ramai.
            Kurentangkan  tanganku,  tak lebar memang,  hanya sangat sedikit namun yang pasti aku bisa merasakan  angin itu menerjang  telapak tanganku,  menerobos  sela-sela jariku.  Kaca  helm  yang  kubuka  membuat  sang  bayu  itu  benar-benar  terasa  aroma segarnya, menyapu wajahku. I'm Free!          
Kemudian ketika mobil itu tiba-tiba menyerempet, yang kemudian spontan tanganku berpegangan  di pinggangnya  saat moncong mobil itu menabrak  kakiku, itu pun pertama kalinya aku memeluk seseorang selain orangtuaku sendiri, kakak sepupu saja  tak  pernah, pada tukang ojeg juga tak pernah mau.  Mungkin  untuk  orang  lain  ini  bukan  hal  aneh  bahkan  sangat  tak penting, tapi tetap saja aku tak bisa lupa akan hal itu.
            Setengah  jam  setelah  itu  tibalah  kami  di gerbang  Taman  Selecta.  Perjalanan tanpa tujuan akhirnya terhenti di sini. Karena aku harus memecah uang Rp 100.000 ku maka aku yang membayar tiket masuk dan Aru akan mengganti uang itu setelah itu.
@@@
            Kini  kami  ada  di  taman  hiburan  berdua  tanpa  sengaja.  Situasi  dimana  kami sama-sama sedang bosan dan butuh teman akhirnya mengantarkan kami berdua disini. Kami  hampir  tak  berhenti  tertawa  dan  tersenyum.  Aku  sangat  bahagia  hari  itu. Menikmati  alam, berjalan  mengelilingi  perkebunan  bunga,  dan yang paling menyenangkan adalah ketika kami duduk di tepi sebuah tebing, memandang panorama alam yang begitu luas, bertukar cerita serta melepas lelah dan kepenatan. Finally, I got my dream!
            "Ayo,  Naeris,  duduk  dulu  disini."  ajak  Aru  dan  kami  pun  duduk  dengan obrolan ringan disana, diatas sebuah bangku beton berbentuk batang pohon, menghadap pedesaan dan lahan persawahan dibawah sana. Di sebuah titik yang serasa tanpa batas.
            Merasakan hembusan angin. Begitu nyaman dan menghapus semua kepenatan. Melihat keramaian dunia. Mendengar seruan alam. Melihat percikan air di antara pepohonan dibawah sana, begitu menenangkan.  di saat kurang baik pun aku merasa hangat. Serasa begitu dekat dengan angkasa. Di tepi tebing ini aku tahu, dan aku ingat ini, perasaan yang sama dengan mimpiku.  kini aku akhirnya melihat itu, wajah itu, yang samar dalam mimpiku  saat SMA,  itu wajah Aru,  dengan  segala  keindahan  alam di sekeliling kami, semua sama!
            "Eh, Naeris, kamu udah pernah masuk situ?" tunjuknya pada semacam pintu gua di bawah tempat kami duduk.
            "Nggak, emang itu apa?"
            "Ya itu badannya singa, ntar keluarnya disana itu, di mulut singa itu."
            "Oh, itu nyambung?"
            "Iya, mau kesana tah? tapi gelap di dalam."
            "Emang gelap banget?"
            "Nggak tahu sih, kayaknya ada lampu tapi ya remang-remang gitu."
            "Ayo kesana! Aku pingin lihat."seruku sangat penasaran.
            "Ayo deh kalau kamu nggak takut." Sahutnya. Kami pun meninggalkan tepi jurang itu setelah cukup lama disana.
@@@
            "Nggak pingin foto disini?" tanyanya saat kami sudah sampai di mulut singa, setelah melewati terowongan kecil yang sangat lembab dan sedikit licin itu.
            "Ha?"
            "Kalau  mau foto sini aku ambilin."
            "Iya deh..hehe.."  sahutku girang dan Bli keluar untuk mengambil gambar dari depan.          "Hati-hati Bli, jangan mundur-mundur!" seruku mengetahui adanya cekungan di belakang Aru.
            "Iya,"
            Aku tahu ini tak boleh. Tapi ia pun membuatku nyaman. Dari yang sebelumnya, tak pernah aku merasa aman meskipun aku merasa nyaman. Itulah yang membuatku tak bisa melupakan peristiwa ini begitu saja. Dia cerdas dan lebih rajin juga lebih pintar dariku. Ia bisa memimpinku. Apakah salah jika aku hanya menikmati itu. Setidaknya untuk sesaat aku masih ingin menyimpannya. Menyimpan sebuah awal kebebasanku.
            Kata. Itulah yang mengawali semua ketertarikan. Awal aku bicara dan mengenalnya,  aku  sudah  tahu  ia  adalah  orang  baik  walaupun  aku  baru  bertemu dengannya beberapa menit. Hingga setelah itu aku berjalan di sampingnya, semua sudah terasa berbeda. Saat duduk di sampingnya, dan untuk duduk berikutnya aku jadi tahu, mengapa  mereka  suka  untuk  berada  di  sisinya.  Aku  mengerti  kenapa  mereka  bisa dengan   mudah   meletakkan   dan   menyandarkan   kepala   di   pundaknya.   Aku   juga merasakan  alasan  mereka  yang  suka  untuk  meraih  lengannya.   Ada  kenyamanan tersendiri. Kenyamanan itu berbeda.
            Ini hanya untuk sesaat. Hanya saat ini saja. Ia juga melakukannya untuk sejenak saja. Prinsip kami tak mungkin terabaikan. Dengan pemikiran yang sama, tujuan yang sama, keinginan yang sama, dan cita-cita yang sama, kami takkan menghancurkannya dengan terus membiarkan rasa ini. Kuliah adalah yang terpenting. Tak mengecewakan orang  tua  jelas  itu  yang  terpenting.  Apalagi  dengan  bebanku  yang  mendapatkan beasiswa itu, aku sangat takut jika aku tak bisa mempertanggungjawabkan  semua uang yang sudah kuterima sejak SD!!!
Ini hanya untuk kebahagian sesaat. Sebuah pengalaman berbeda. Selama kurang 2,5 jam. Dari sekian kali pertemuan. Hanya sebentar. Cukup di lokasi-lokasi  itu. Hal lebih serius lebih penting akan datang esok. Untuk kali ini aku merasa khayalan itu sedikit menemuiku, seakan bertemu seorang pangeran yang menyelamatkan Rapunzel yang selama ini terkurung dan mengajaknya melihat dunia yang luas dengan kudanya.
            Dia begitu  cekatan  dan tahu apa yang  harus  dilakukan.  Dapat  menyesuaikan keinginanku  namun dapat memimpinku  dan tak hanya menyerah mengikutiku.  Tidak mengagungkan  kesibukannya  dan  selalu  semangat.  Ia pun  begitu  humoris.  Itu  yang kusuka.  Menyukai  tantangan  dan  hal  baru.  Itu  membuatku  sadar  bahwa  aku  harus meniru itu. Bahwa aku tak boleh takut dan pesimis. Harus selalu optimis dan berpikir positif. Aku melihat segala sisi terbaiknya hari itu, yang benar jauh berbeda dari apa yang selama ini orang katakan tentangnya.
            Berjalan di area menanjak itu sangat seru. Aku juga suka saat ia mengajakku  memasuki  terowongan  lion itu, cukup menguji  nyali. Ketika  duduk dan berjalan di tepi sebuah tebing dengan jurang yang dalam sangat menyenangkan.
            "Kemana lagi ini?"
            "Kesana kah?"
            "Iya dah ayo. Eh, aku mau dong foto disitu."katanya  seraya menunjuk sebuah kolam berbatu dengan tulisan 'Selecta'.
            "Ya udah, mana aku fotoin."sahutku.  Ia pun menyerahkan  ponselnya  padaku. "Ni tombolnya yang tengah ini?" tanyaku.
            "Ini aja, Naeris, pakai yang pinggir,  tapi jangan langsung ditekan,  pelan-pelan sampai tanda hijau keluar, buat fokusnya."
            "Nggak mudeng!" sahutku benar-benar belum mengenal ponselnya.
            "Jadi gini lho!" terangnya  seraya  mengajariku  secara langsung.  Mengepaskan jariku  di  tombol  kameranya.  Aku  sadar  ini  hal  biasa,  tapi  ketika  ia  sangat  dekat denganku, ketika telapaknya menggenggam tanganku saat mengajariku, sengatan aneh telah mengalir dalam diriku. Apakah ini perasaan lonelyness? Hash, aku memang menyedihkan.
            Aru  begitu  perhatian hari itu dan  selalu  membantu  dengan  sepenuh  hati.  Saat ia berkata,
            "Nikmatilah apa pun yang kita lakukan, meski sendiri maupun bersama orang lain!"
Mendadak aku ingin sepertinya, mencoba hidup sepertinya, hidup dengan pedoman yang membuatku bisa tetap hidup. Yang membuatku masih semangat untuk belajar, tumbuh, dan berkembang. Merasa itulah yang harus kulakukan, tetap menikmati keadaanku tanpa harus selalu merasa menyedihkan.
            "Eh, Naeris, itu ada air terjun ya tuh! Ayo kesana!" serunya seraya menunjuk air terjun di ketinggian, di area semacam perbukitan di seberang sana.
            "Naik kesana?"
            "Iya. Kamu nggak pernah kesana?"
            "Nggak, kalaupun aku pernah kemari pasti nggak boleh ma ibuku.."
            "Oalah.. makanya ayo kesana, aku juga pingin lihat soalnya."
            "Ayo dah.."
            "Lewat mana nih tapi?"
            "Ya turun dulu, Bli lewat situ terus naik di sana."
Kami pun melewati perkebunan bunga.
            "Bli, fotoin!" seruku.
            "Oke dah dimana?"
            "Di sini!" seruku di dekat bunga-bunga yang berwarna merah. Bli pun menuruti permintaanku.
            "Bagus nih!" katanya seraya menunjukan  hasil potretannya.  "Aku jadi pingin hehe.."katanya.
            "Ya udah sini gantian."
            "Tapi masa' aku foto di bunga-bunga."
            "Ya nggak papa lah!"
            "Jadi kelihatan kayak cowok romantis dong aku?"
            "Udahlah, gpp, kan bagus tuh!"
            "Iya dah, dimana ya enaknya, apa disini? Di sini aja deh. Eh, tapi kok bunganya kuning haha.."
            "Haha..udah bagus disitu, lucu!"seruku.
            "Tapi masa' kuning sih!"
            "Ya nggak papa lah kuning, ceria!"
            "Hehe..  iya deh." sahutnya  sambil duduk di atas batu besar di antara bunga- bunga  itu. Ia tersenyum  lebar.  Dan saat melihat  fotonya  itu, aku pasti bisa tertawa. Karena melihat senyum dan tawanya selalu membuatku ingin ikut tersenyum.
Perjalanan ini berlajut, kami sudah di "kaki gnung" itu. "Heh, masa' lewat sini, tuh disana ada jalan!" protesku
            "Udah lewat sini aja, kalau kesana kejauhan, kelamaan juga." "Serem, Bli! Ntar kalau kepleset gimana?"
            "Nggak, nggak licin kok, aku bantuin! Ayo deh." paksanya dan ia langsung naik begitu saja. "Ayo sini, aku pegangin!" serunya seraya mengulurkan tangannya padaku. Akhirnya aku pun setuju dan membalas uluran itu. Ia pun menggenggam erat tanganku dan menarikku.
            "Makasih"
            "Tuh kan nggak  kenapa-kenapa.  Ayo naik, pelan-pelan  aja, biar kamu nggak jatuh ntar."
            "Iya!"sahutku menyerah saja.
Aku tak peduli siapa saja yang pernah ditolongnya,  berapa jumlah gadis yang pernah ia genggam tangannya. Namun aku bahagia mendapatkan pengalaman itu dengannya.
            Pukul  13.15  kami  beranjak  pulang  karena  langit  tampak  mulai  mendung.  Di jalan pun kami tetap berbagi cerita seperti awal kami berangkat.
            "Kamu mau makan dimana, Naeris?"
            "Di kos mungkin. Tadi aku sudah masak nasi sama bawa lauk dari rumah."
            "Oh, kamu masak nasi sendiri tiap hari?"
            "Iya. Buat penghematan, Bli. Jadi cukup beli lauknya aja."
            "Oh..gitu. Tadinya kamu mau aku ajak makan bakso. Sekalian ganti uang tiket tadi."
            "Gampanglah itu, Bli. Besok juga gpp. Ato sekalian buat jajanku besok."
            "Gitu? Ok deh kalo gitu. Berarti ini langsung pulang ya."
            "Ya.."
            "Btw abis ini kamu ngapain?"
            "Gtw.. tidur mungkin. Lha kamu, Naeris?" "Sama deh kayaknya. Pingin tidur juga aku.."
@@@
            Seusai hari itu antara aku dan Aru kembali seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Mungkin hanya beberapa kali kerja kelompok dalam mata kuliah yang sekelas. Mungkin ia sudah melupakan semuanya. Sedangkan aku pasti takkan bisa, karena itu adalah hari kebebasanku melihat dunia luar. Namun perlahan aku mencoba kembali bangkit, mengejar nilaiku yang sempat tertinggal. Seakan aku benar-benar mendapatkan pencerahan dari pemuda itu. Ia membuatku merasa normal.
            That’s ordinary moment but special, karena itu hanya sekali dalam hidupku. Meski mungkin setelah itu aku tak dapat lagi melihat, bertemu, berbicara dan tertawa dengan Aru, akan tetapi saat ingat kata-katanya itu, saat mengingat ekspresi itu, aku selalu memiliki alasan untuk bangkit tiap kali aku mendapatkan bad day. Cukup sekali untuk terbebas, meski sekali itu sangat berarti untuk membuatku mampu berjalan sendiri. Bahkan ketika aku pada akhirnya bertemu lagi dengannya di Festival Malang Tempo Doeloe, dan kemudian berpencar lagi, itu adalah sebuah hadiah, setidaknya mimpiku dan khayalanku telah kudapatkan, setidaknya aku tahu mimpi itu bisa menjadi nyata, dan aku tahu aku masih memiliki Tuhan yang dapat membawaku bertemu seorang teman yang tak mahal. Satu teman yang benar membuatku melihat hal yang berbeda, dalam ordinary moment..
@@@