2014-10-30

Namanya ''Mesin Mbak Saras''



Sore itu aku baru saja tiba di rumah. Perasaan lega kini aku telah bersembunyi dari terik surya pukul 3. Begitu aku datang kakak perempuanku langsung memelototi kardus besar di tanganku. Bola matanya megikuti segala perpindahan kardus itu. Sampai kemudian isi kardus itu keluar,  kakakku yang autis itu pun akhirnya menyaksikan isinya yang bukan merupakan barang istimewa. Hanya sesuatu yang berwarna putih dengan empat botol warna di sisi kirinya. Peliharaan baruku. Teman baruku.
Kuletakkan peliharaan baruku itu di atas meja. Ia duduk di samping monitor PC tua milikku. Kakakku berjalan mendekat ke kamar dan berdiri di samping meja komputer saat aku sedang sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk peliharaan baruku. Masih menatap sesuatu yang asing baginya. Tak lama kemudian kuberi benda itu makanan berupa kertas berukuran A4. Temanku yang sangat putih  itu pun memuntahkan lagi makanannya dengan darah berwarna-warni melumuri permukaan kertas yang kuberikan.
Aku menyodorkan kertas yang sudah bergambar itu ke kakakku. Gadis berusia 27 tahun itu meraihnya lalu mengamati apa yang terbentuk di sana. Lantas ia pun tersenyum.
              "Mbak Saras.."ujarnya senang
             "Iya, itu fotonya mbak Saras." Kataku. Kakakku berbalik berjalan dengan kaki X nya dengan semangat menghampiri ibuku yang sedang menjahit di dekat jendela.
            "Ibu..ibu..!"serunya lembut memanggil ibuku sembari mengayun-ayunkan foto di tangannya. "Mbak Saras..!"serunya lagi memamerkan fotonya ke ibuku.
              "Lho iya, ini fotonya mbak Saras!"respon ibuku penuh antusias membuat kakakku terkekeh.
Jarum panjang jam dinding telah berputar 360 derajat sebanyak 4 kali. Saat makan malam kulihat kakakku pergi meninggalkan kami lebih dulu. Ia berjalan memasuki kamarku seperti biasa. Untuk melanjutkan film K-drama yang sedang ditontonnya pikirku. Tak lama kemudian aku menyusul. Aku pun melihat bagaimana laptop yang memutar drama itu kini tengah menonton kakakku yang tengah mengintip mulut teman baruku itu. Ia mengelus kepala teman baruku itu sambil tersenyum senang.
"Mbak Saras?"ujarnya dengan nada bertanya.
"Kenapa mbak?" kataku balik bertanya.
"Mbak Saras.."serunya sambil menyodorkan kertas kosong padaku.
"Buat apa?"
"Mbak Saras.."katanya lagi sambil menunjukkan fotonya.
"Oh, mau ngeprint fotonya mbak Saras lagi?"sahutku mulai paham. Ia tersenyum lebar dan mengangguk kegirangan. Mau tak mau aku jadi tertawa.  Lantas kucetak kembali beberapa foto untuknya.
"Oh, mbak Saras.."serunya sambil melambaikan tangan kanannya dengan semangat ke arahku sambil kemudian berlanjut menyanyikan lagu Pok Ame-Ame. Ia menyanyi dengan matanya tampak fokus ke mulut printer menyaksikan kertas yang keluar secara perlahan.
"Nih, Mbak!"seruku seraya menyerahkan empat buah foto yang baru selesai kucetak. Ia pun tersenyum senang.
Matahari yang sempat tertidur kini telah bangun. Aku pun menyapa peliharaan baruku untuk makan. Beberapa lembar laporan skripsi hendak kucetak saat itu. Tepat di tengah-tengah aku mengeprint laporan, kakakku datang, sambil mendendangkan lagu Pok Ame-Ame kegemarannya. Tiba-tiba saja lagunya terhenti dan kini ia bengong menyaksikan laporan-laporan skripsiku yang keluar di muntahkan peliharaanku itu.
"Oh, mbak saras..?"ujarnya dengan nada khasnya, nada tanya dengan sedikit dilagukan.
"Bukan, ini skripsinya adek, Mbak. Bukan foto."
"Oh, mbak saras.. oh mbak saras.."dendangnya lalu berjalan keluar.
Setiap kali aku bermain dengan peliharaan baruku itu ia akan menyebut kata "Mbak Saras''. Atau bahkan ketika aku tak memakainya pun ia akan membelai lembut atau menepuk-nepuk pelan kepala peliharaanku tersebut dengan menyebut namanya sendiri. Kini pun tiap kali ia temukan kertas kosong, ia pun akan menyodorkannya padaku sambil berkata ''Mbak Saras''. Well, rupanya ia menamai teman baruku tersebut dengan nama 'Mbak Saras' sebab di awal ia mengenal, yang tercetak disana adalah fotonya. Jadi kami pun memberi nama peliharaan baruku itu dengan nama "Mesin Mbak Saras".

2014-10-20

Eye Shelter to Now You See Me


Eye Shelter
Saat yang kau lihat adalah sebuah mata, disitulah kita kan bertemu..
Ketika kau melihat sebuah shelter di tengah hutan, maka kau pun akan melihat seorang gadis kecil bernaung di bawahnya.
Jika kau mampu melihat semua itu, maka ingatlah satu sosok itu, satu aku yang menunggumu..

Now You See Me
Jika pada suatu hari lukisan yang terbalik itu tak bisa lagi berputar 1800, janganlah menangis.. kan kugantikan dengan satu yang baru di Karpendonkse Plas Eindhoven Winter..
 
Saat kau menapak di tanah Mauritsstraat, berjalan ke timur laut, 5 Km, mendekatlah di sana,  kini kau dapat melihatku..


Masih Tentang Ari: Seharusnya…


Kenapa perasaan itu masih tertinggal? Rasanya masih sulit bernapas. Saat membuka matanya ia masih belum mampu terbangun. Ingin rasanya ia kembali tidur sampai ia terbangun dari mimpi itu. Tapi semua sia-sia. Itu bukan mimpi. Itu adalah kenyataan yang masih sulit diterima. Peristiwa beberapa hari lalu adalah kejadian nyata yang perih.
“Dik, mas Ari meninggal.”
Di matanya masih membekas 4 kata itu. Belum mampu tersingkirkan. Pesan singkat dari Firman itu sudah membantainya.. tiap waktu sampai detik ini.
 “Ini mimpi. Ini tak mungkin. Pasti ini juga mimpi!” Kata-kata itu terus digumamkannya.
***

2014-10-17

Selamat Jalan



Baru beberapa jam aku menitip pesan lewat Tuhan untukmu.. namun itu pun sepertinya sudah tak berguna sekarang. Mas Ari, selamat jalan untukmu.. kini Allah yang mungkin lebih menyayangimu daripada aku telah memutuskan untuk membawamu pergi menetap di sisi-Nya.  Mungkin itu adalah cara Allah menghentikan semua penderitaanmu.. karena Dia terlalu mencintaimu dan tak ingin melihatmu susah di dunia ini. Aku harap kau tenang dan bahagia di rumah barumu.

Sampai saat ini aku masih belum paham benar, seberapa berartinya kau untukku sesungguhnya, tapi mendengar kau pergi, ini adalah satu hal paling buruk yang pernah kuhadapi. Namun aku sangat berterimakasih, kau sudah bersedia pulang ke kota ini dan datang hari itu untuk melihat penampilan tariku. Terimakasih untuk selalu tersenyum padaku dan memberi semangat juga kenangan indah untuk adikmu ini. Maaf, jika selama ini aku adalah adik yang nakal..

Seperti yang kukatakan sebelumnya, sesungguhnya aku sangat ingin bertemu denganmu lagi, bahkan baru kemarin aku bermimpi kau telah pulang. Selama ini juga aku selalu menunggu saat untukmu kembali, dan kita menjadi partner kerja yang baik.. dan aku juga bisa menraktirmu minum dengan gaji pertamaku nanti, seperti janjiku. Tapi ternyata,, kini aku tak bisa bertemu mas Ari lagi. Kau sudah pergi bahkan sebelum aku menyelesaikan kuliahku.. padahal aku sangat ingin kau bisa melihat muridmu ini adalah murid yang cukup baik dan pantas bekerja denganmu di satu studio, satu studio yang kita impikan, satu studio yang kita bangun bersama.. Tapi rupanya kau sudah terlalu lelah untuk menantiku lulus, dan kini aku harus sampaikan salam perpisahan untukmu..

Kini aku mengerti maksudmu, saat kau berkata kau sudah tua, mungkin saat itu kau sudah merasa usiamu tak bisa lebih panjang lagi. Tapi aku juga bukan anak SMP seperti katamu, setelah ini aku harap mas bisa lihat itu. Aku harap juga suatu saat kita bisa bertemu lagi di sana.. Mas Ari, kita semua sayang mas Ari. Selamat jalan..

Allah, Tolong Sampaikan Padanya..




17 Oktober 2014, 04:45 PM, itulah yang tertera pada sudut notebook-ku saat aku mulai menuliskan ini.


Hari ini kubuka pintu dunia maya, lantas kulihat sibuknya pengantar pesan dan penyebar berita pikiran, juga mungkin perasaan. Kalau dibahasa Indonesiakan, namanya jadi Buku Wajah. Sesaat kembang api warna-warni menyala-nyala, membentuk satu siluet senyum, selayaknya anak kecil mendapat sekantong coklat. Dalam arti semua baik-baik saja.
Sampai tak lama, aku juga lelah mengatakannya, ingin tetap melihat kembang api yang cantik itu. Namun yang ada justu ledakan besar dengan virus pelumpuh.  Seseorang telah memasang bom kata-kata yang dapat melumpuhkan semua yang melintas diareanya. Ia tak kukenal, tapi  aku tahu rumah siapa yang di pasangi bom olehnya, hingga jelaga kata itu membekas di Dinding rumah orang itu, membuat semua orang yang melintas di halaman rumah itu bersedih.. Ini tak mungkin, ini tak mungkin pikirku..
Akan tetapi kebenaran memang demikian,  kini pemilik dinding itu tengah tak sadar sepenuhnya. Ia terbaring lemah diruang rawat intensif di RSPP Jakarta Selatan. Karena bom? Tentu saja bukan. Bagiku jauh lebih menyeramkan daripada bom. Membaca tulisan di dinding rumahnya membuatku menangis. Mengapa? Apakah aku sedemikian dekat padanya hingga menangis? Aku telah lelah menangis, pun orang lain pasti telah jengah melihatku meratap. Tapi aku masih saja bersedih?
Hanya beberapa kali mata ini bertemu dengan sepasang mata yang dimilikinya. Bahkan bisa dikatakan hanya dua atau tiga kali. Dalam waktu yang begitu singkat. Seseorang yang kukenal ini suka menggunakan nama Piano, katanya lebih keren dari Piono.. tapi aku hanya tahu nama awalnya, Ari, mas Ari, hanya begitu aku selalu memanggilnya.  Kami pun selama ini hanya bertukar kalimat atau  paragraf yang kami tulis secara bergantian dalam buku wajah itu. Apa yang kulihat hanya kata-kata dan foto yang diganti berkala olehnya, begitu pula dengannya. Selebihnya, kami lalui percakapan lewat seluler.
Allah, aku tahu jika detik ini Kau berada dekat dengannya, jika Kau membaca tulisan ini, aku mohon, sampaikan padanya, bahwa aku ingin ia segera bangun dengan sehat. Katakan padanya, jika ia harus kuat, dan Allah, bantulah agar kembali normal seluruh oragan dalam tubuhnya, semua yang menyebabkan ia kesakitan, hanya Kau yang sanggup berikan kesembuhan padanya, Allah. Sebab ia terlalu muda untuk menderita. Keluarga kami sudah cukup lama menderita.
Walaupun kami tak ada hubungan darah, bagiku ia adalah sosok kakak untukku, Allah, bahkan kalau pun ia tak pernah menganggap seorang adik. Namun ia yang mengajarkanku  bagaimana cara bertahan di dunia yang kutempati sekarang. Ia yang membantuku belajar menjadi manusia malam, memahami arti kata matra, membimbingku menari di atas meja kaca, dan menuntunku mengayunkan pena, serta ialah yang mengenalkanku pertama kali pada liku-liku bangunan dunia pendidikan ini. Kami telah berjuang bersama untuk sampai pada titik ini. Namun kini aku sadar, jika aku tak pantas menjadi seorang adik baginya, aku bahkan tak tahu jika ia telah menahan penderitaannya sendiri selama ini di perantauannya.
Tapi Allah, bisakah aku tetap meminta pertolongan pada-Mu? Bantu aku ingatkan padanya, Allah, jika ia masih punya janji padaku, dan juga pada adik-adiknya yang lain untuk kembali ke kota ini. Katakan jika kami punya janji makan bersama lagi.. dan juga tolong sampaikan pula kalimat ini,
“Mas Ari, ini Tya, kali ini aku telah menyebut namaku, jadi kau tak bisa lagi berpura-pura untuk melupakan namaku hanya untuk membuatku kesal.. Kali ini aku tak lagi mengganti nomorku, jadi jangan lupa beri aku kabar, bahwa kau baik-baik saja. Disini, kita, bersama saudara lainnya, masih harus membangun studio konsultan impian kita sendiri. Disini, kami, terutama aku, menunggumu..”

2014-10-13

Sebuah Percakapan Pengantar Tidur


Seperti tiap kali senja,  Naera akan keluar menyapa taman bunganya yang ada di halaman belakang rumah. Memandikan flora-flora yang sudah dianggapnya sebagai sahabat setia yang sangat dicintainya. Meski taman itu tak terlalu luas, berkisar 75 m2, namun aneka warna bunga selalu menghiasi hari-harinya dengan lengkap, baik mawar, seruni, tapak dara, pacar air, lily merah jambu, kana kuning dan merah, serta sedap malam .
Di sana terdapat serambi kecil simetris dengan pintu rumah yang tepat di tengahnya. Di situlah Naera akan beristirahat  menikmati tarian indah sahabat-sahabatnya bersama angin, diiringi dengan dengan klenengan bambu yang tergantung di depan pintu. Tepat di kanan kiri teras belakang itu melambailah sedap malam dengan warna khasnya yang putih. Bunga itu sengaja ditanamnya disana, dengan begitu semerbak harumnya lebih terasa membelainya tiap kali ia memerlukan penyegaran di sana.
Setelah merampungkan beberapa kesibukan, tepat pada pukul 8.15 Naera kembali ke tempat favoritnya. Di antara sahabatnya. Malam ini ia sendirian di rumah. Ayah ibunya sedang pergi kerumah saudaranya di luar kota. Ia pun memutuskan untuk membagi beberapa topik pembicaraan dengan penghuni tamannya. Melewati sebuah percakapan pengantar tidur.
“Naera, kamu besok ulang tahun, kan?”sapa Ratkirani si Sedap malam.
“Kamu tahu dari mana?”
“Yang pasti ada narasumber.. Hm..kalau begitu kudoakan semoga kamu tambah baik lagi dalam mengekspresikan diri dan perasaan.... biar bisa menghasilkan karya-karya yang lebih menakjubkan, bebas tapi tetep indah sebagai seorang pelukis..”
“Ya, benar! Semoga di usia yang semakin berkurang semakin banyak keberkahan untukmu dan selalu dalam lindungan Tuhan!” seru Kana
“Amiiin!!”seru bunga-bunga lainnya dan tentu saja Naera.
“Wah, terimakasih teman-teman.. ! Hm.. Tapi aku tak paham denganmu Ratkirani, apakah selama ini aku berwajah datar? Kurang ekspresi?”
“Hm..menurutku begitu, kamu harus keluarkan semua imajinasimu, dan tunjukan perasaanmu, lalu buatlah sebuah lukisan yang tak pernah dilihat oleh orang lain sebelumnya.. yang bisa menyentuh perasaan penikmatnya, ya seperti selayaknya kau merawat kami.”
“Hm.. begitu maksudmu?” sahut Naera seraya menoleh ke belakang, ke arah dalam ruangan di belakangnya, sebuah foyer kecil dengan beberapa lukisan karyanya. “Kau benar juga, mereka terlalu realis naturalis.. Ah, tapi kan karena aku bukanlah pelukis, hanya tukang gambar, ini pun hanya pekerjaan sambilanku untuk membuat lukisan potret sesuai orderan..hitung-hitung menambah uang saku kuliahku..”

2014-10-07

"Tunggu Aku, Bersamaku..."

Kemarin nggak sengaja nemu naskah drama jadul ini waktu beres-beres lemari buku. Naskah ini dibuat pas SMA. Selain untuk tugas juga untuk refreshing pas pelajaran Bahasa Indonesia. Genrenya sih maunya romance-comedy, tapi nggak tahulah, jadinya gini ini. Ini memori yang cukup berkesan, dalam sehari main akting, terus nonton aktingnya temen-temen Eclipse yang dari kelompok lain di kelas..  Sumpah dah, di SMAku, kayaknya cuma kelas Eclipse doang yang nyantai banget gini.

"Tunggu Aku, Bersamaku..."

Remaja... Ya itulah masa kita saat ini, dan percintaanlah yang menjadi masalah sehari-hari. Di sebuah SMA Negeri di kota Cinta, ada seorang  siswa bernama Sheivan. Dia seorang pemain basket terkenal di sekolah itu. Wajahnya yang tampan membuat semua wanita jatuh cinta padanya. Namun, ada apa dibalik ketampanannya???
Siang ini, langit tampak cerah dan bersahabat. Tak seperti suasana kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi. Matahari pun seakan berbagi kehangatannya. Suasana siang ini, seakan melengkapi suasana hati Karin yang sedang berbunga-bunga saat menemui kekasihnya di lapangan basket, Sheivan.