Beachwalk. Semua orang sepertinya
mengenal istilah itu. Bahkan orang mancanegara mengerti. Tapi aku hanya
melihatnya dari jauh selama ini. Satu detik dua detik. Memori singkat saat aku
dan rombonganku melintas. Tak ada yang penting, hanya tentang keramaian, kemacetan,
bangunan kontemporer cantik, hingga sepasang lover yang berciuman di halamannya. Tak pernah di titik itu, di posisi itu. Aku
tak pernah berada di sana, satu sudut itu. Kecuali dalam mimpi beberapa tahun
lalu.
Sore itu, hanya
berbekal rasa penasaran, aku dan rekan perjalananku telah sampai di Jalan
Pantai Kuta Bali. Sejak kami memasuki jalan itu, melalui pantai Kuta di sisi
kiri, melewati beragam fasilitas mulai Circle-K hingga Hard Rock Hotel di kanan
jalan. Semua padat. Tak ada tempat parkir motor tersisa. Hingga tujuan utama
kami, Beachwalk, harus terlewati
bermeter-meter.
Beachwalk. Beach adalah pantai,
walk artinya berjalan, jadi Beachwalk adalah pantai berjalan? Jalan di
pantai? Tempat jalan-jalan di dekat pantai? Apalah itu artinya, yang pasti kami
benar-benar harus berjalan kaki menuju mall berstandar internasional tersebut.
Tak jauh dari Sheraton
Bali Kuta Resort dan Harris Resort Kuta, pusat perbelanjaan seluas 93.005
m² itu selesai dibangun pada tahun 2012, dirancang oleh tim Envirotec Indonesia dan tim Tropica Greeneries (lansdscape). Hari itu Beachwalk di padati oleh orang-orang
tinggi yang biasa disebut bule dan orang-orang sipit chinesse. Pengunjung domestik
sangat sedikit. Nyaris tak ada. Kalau pun ada wajah pribumi, bisa dibilang itu
satpam atau pekerja mall.
Jika kami pergi ke mall
lainnya, biasanya kami akan melintasi pintu kaca yang terbuka otomatis setelah
melewati tangga kecil. Namun jika di Beachwalk,
hal semacam itu.. dalam ingatanku aku tak menemuinya. Yang pertama kali
menyambut adalah gemericik air dan hijaunya tanaman gantung Lee Kwan Yew yang
ada di mana-mana menjadi tirai alami. Suasana yang sangat nyaman. Beberapa
anak-anak bule berlarian, berseru memanggil ayahnya, atau terlihat pula tawa
gembira sepasang gadis berambut pirang
yang duduk di area alfresco tersebut
seraya sesekali menyesap minumannya. Satu suasana yang cukup berbeda.
Koridor terbuka, bentuk tata
ruangnya yang organik, perbaduan material alami dan kaca-kaca bening, mall
ini memang dikonsep dalam bentuk kontemporer
yang terinspirasi dari bentukan terasering sawah yang melenggok berlapis. Bahan
penutup lantainya sebagian besar menggunakan terakota yang berkesan alami,
khususnya di lantai pertama. Pada level ini akan terasa satu pemandangan dimana
ada pulau yang mengelilingi sebuah area perairan yang menyimpan pulau kecil
lagi di tengahnya. Pulau-pulau berkaca itu adalah jajaran outlet fashion,
restoran, dan kafe.
Bergerak memasuki level kedua,
lebih banyak menampung keperluan olah raga dan barang elektronik. Dari sana
koridor itu mengarahkan kami menuju sebuah titik yang membawaku kembali pada ingatan
di dunia mimpi. Jembatan dengan balustrade kaca, planter box yang kaya bunga, dan gemericik air kolam di bawah sana
seakan menggema terbawa angin yang hangat. Kini aku semakin dekat dengan titik
itu.
Atap topi- topi petani yang
mengerucut tersambung berjajar di antara biru langit dan hijaunya Lee Kwan Yew
yang menjurai di bawahnya terpampang sempurna. Memunculkan pertanyaan,
bagaimana strukturnya? Rangka atapnya? Bambu? Kayu? Baja? Interior puncaknya? Terekspos?
Berplafon? Berbagai hal kami ceritakan cukup lama di atas ‘jembatan’ tersebut,
seraya sesekali melihat orang-orang ber-selfie
ria di sana-sini. Dan sesekali staf visualisasi di otakku membuat gambar
khayalan tentang ‘pulau’ kecil berbentuk lingkaran di tengah kolam, di
bawah jembatan. ‘Pulau’ yang berbentuk
panggung, dengan pilar-pilar itu terbayangkan dihiasi bunga-bunga yang menjadi pergola,
dengan lilin-lilin dan lampu-lampu kecil akan indah dengan princess dan prince
yang berdansa di sana. Atau mungkin suasana berubah dengan dentuman musik R&B dan hip-hop dancer. Pikiranku sibuk dengan bermacam hal. Bahkan sampai
nama-nama alay jaman awal kuliah.
Kami melanjutkan pergerakan.
Berencana mencari jawaban tentang atap, yang seperti topi dan juga seperti
keong – Hm..keong.. aku jadi ingat dosenku yang suka bentukan keong di tiap
slide presentasinya. Tepat pada tikungan
jembatan yang menuju kembali ke bangunan utama, aku terhenti. Satu tanda aku
kembali ke dunia mimpi, satu tanda yang membuatku ingat tentang mimpi itu, satu
tanda itu muncul di depan mataku.
Langit merona jingga, air laut
berkerlip menyilaukan mata, seperti kristal berlian dengan pendaran cahayanya. Sesaat
termenung. Lantas bergegas berpindah tempat. Naik.
Gemericik air masih terdengar
dimana-mana. Backsound pasti yang
mengiringi mimpi itu. Railing kaca
balkon masih sama membatasi gedung itu. Kilauan langit senja itu.. semakin
jelas, aku kembali pada mimpi berseri yang kualami selama ini. Mimpi seri
ketiga. Restoran terbuka itu, table cloth
putih, planter box berbunga, kini aku sampai di satu sudut itu, satu titik itu.
Mimpiku di semester ketiga masa kuliah, sebagian terulang dalam kenyataan. Aku
masih tak tahu, apakah itu mimpi yang penting, apakah itu tempat yang penting, namun aku menikmati semua deja visit ini.
Ada sebagian lagi dari mimpi
itu, yaitu bagian awal sebelum aku dan tokoh misterius di mimpi itu sampai di
balkon restoran itu. Detik itu aku belum tahu, akankah muncul dalam kenyataan
juga, atau tidak.
Di dalam mimpi, kami batal
memesan makanan karena aku beralih mendekati perairan di bawah sana. Dalam
nyatanya, aku dan temanku hanya berkunjung sesaat. 27 Juni hari itu, masih
dalam masa bulan Ramadhan. Kami perlu menunggu matahari terbenam untuk makan.
Kami beralih mencari lagi
jawaban. Pertanyaanku mengenai tempat dalam mimpi terjawab. Dan kini saatnya
memasuki area foodcourt berlanjut ke
galeri kain dan seni rupa. Kami pun melihat bagaimana langit-langit yang
kecoklatan. Oh, begini puncaknya, akhirnya kata itu terucap.
Di dalam galeri seni ini semua ada. Dari jenis
blaco, mori hingga batik tulis, dari jenis tenun mesin, dan tenun tradisional,
motif sederhana hingga rumit, yang modern hingga klasik, semua ada. Produk jadinya
pun sangat beragam tergantung karakter motif yang bervariasi sesuai daerah
asalnya masing-masing. Kami pun menyaksikan berbagai kerajinan ukir, lukis
dan.. yah, lihat sendiri sajalah, ada banyak!
Beachwalk pun habis kami putari. Namun matahari belum juga
terbenam. Untuk menunggu waktu berbuka puasa, kami pun mampir ke pantai Kuta.
Menyaksikan matahari jingga, awan merah, langit bergradasi, juga untuk
menyimpan pasir, dalam tabung dan dalam kenangan.. ^-^
Setelah berbuka puasa di lantai
3 Beachwalk dan menjalankan sujud
petang di groundfloor, kami pun
kembali ke Denpasar.
No comments:
Post a Comment