2015-09-20

Bali Tour: Beachwalk Shopping Center




     Beachwalk. Semua orang sepertinya mengenal istilah itu. Bahkan orang mancanegara mengerti. Tapi aku hanya melihatnya dari jauh selama ini. Satu detik dua detik. Memori singkat saat aku dan rombonganku melintas. Tak ada yang penting, hanya tentang keramaian, kemacetan, bangunan kontemporer cantik, hingga sepasang lover  yang berciuman di halamannya.  Tak pernah di titik itu, di posisi itu. Aku tak pernah berada di sana, satu sudut itu. Kecuali dalam mimpi beberapa tahun lalu.
      Sore itu, hanya berbekal rasa penasaran, aku dan rekan perjalananku telah sampai di Jalan Pantai Kuta Bali. Sejak kami memasuki jalan itu, melalui pantai Kuta di sisi kiri, melewati beragam fasilitas mulai Circle-K hingga Hard Rock Hotel di kanan jalan. Semua padat. Tak ada tempat parkir motor tersisa. Hingga tujuan utama kami, Beachwalk, harus terlewati bermeter-meter.
Beachwalk. Beach adalah pantai, walk artinya berjalan, jadi Beachwalk adalah pantai berjalan? Jalan di pantai? Tempat jalan-jalan di dekat pantai? Apalah itu artinya, yang pasti kami benar-benar harus berjalan kaki menuju mall berstandar internasional tersebut.
      Tak jauh dari Sheraton Bali Kuta Resort dan Harris Resort Kuta, pusat perbelanjaan seluas 93.005 m² itu selesai dibangun pada tahun 2012, dirancang oleh tim Envirotec Indonesia dan tim Tropica Greeneries (lansdscape). Hari itu Beachwalk di padati oleh orang-orang tinggi yang biasa disebut bule dan orang-orang sipit chinesse. Pengunjung domestik sangat sedikit. Nyaris tak ada. Kalau pun ada wajah pribumi, bisa dibilang itu satpam atau pekerja mall.
      Jika kami pergi ke mall lainnya, biasanya kami akan melintasi pintu kaca yang terbuka otomatis setelah melewati tangga kecil. Namun jika di Beachwalk, hal semacam itu.. dalam ingatanku aku tak menemuinya. Yang pertama kali menyambut adalah gemericik air dan hijaunya tanaman gantung Lee Kwan Yew yang ada di mana-mana menjadi tirai alami. Suasana yang sangat nyaman. Beberapa anak-anak bule berlarian, berseru memanggil ayahnya, atau terlihat pula tawa gembira sepasang gadis  berambut pirang yang duduk di area alfresco tersebut seraya sesekali menyesap minumannya. Satu suasana yang cukup berbeda.
      Koridor terbuka, bentuk tata ruangnya yang organik, perbaduan material alami dan kaca-kaca bening, mall ini  memang dikonsep dalam bentuk kontemporer yang terinspirasi dari bentukan terasering sawah yang melenggok berlapis. Bahan penutup lantainya sebagian besar menggunakan terakota yang berkesan alami, khususnya di lantai pertama. Pada level ini akan terasa satu pemandangan dimana ada pulau yang mengelilingi sebuah area perairan yang menyimpan pulau kecil lagi di tengahnya. Pulau-pulau berkaca itu adalah jajaran outlet fashion, restoran, dan kafe.
      Bergerak memasuki level kedua, lebih banyak menampung keperluan olah raga dan barang elektronik. Dari sana koridor itu mengarahkan kami menuju sebuah titik yang membawaku kembali pada ingatan di dunia mimpi.  Jembatan dengan balustrade kaca, planter box yang kaya bunga, dan gemericik air kolam di bawah sana seakan menggema terbawa angin yang hangat. Kini aku semakin dekat dengan titik itu. 
      Atap topi- topi petani yang mengerucut tersambung berjajar di antara biru langit dan hijaunya Lee Kwan Yew yang menjurai di bawahnya terpampang sempurna. Memunculkan pertanyaan, bagaimana strukturnya? Rangka atapnya? Bambu? Kayu? Baja? Interior puncaknya? Terekspos? Berplafon? Berbagai hal kami ceritakan cukup lama di atas ‘jembatan’ tersebut, seraya sesekali melihat orang-orang ber-selfie ria di sana-sini. Dan sesekali staf visualisasi di otakku membuat gambar khayalan tentang ‘pulau’ kecil berbentuk lingkaran di tengah kolam, di bawah  jembatan. ‘Pulau’ yang berbentuk panggung, dengan pilar-pilar itu terbayangkan dihiasi bunga-bunga yang menjadi pergola, dengan lilin-lilin dan lampu-lampu kecil akan indah dengan princess dan prince yang berdansa di sana. Atau mungkin suasana berubah dengan dentuman musik R&B dan hip-hop dancer. Pikiranku sibuk dengan bermacam hal. Bahkan sampai nama-nama alay jaman awal kuliah.
      Kami melanjutkan pergerakan. Berencana mencari jawaban tentang atap, yang seperti topi dan juga seperti keong – Hm..keong.. aku jadi ingat dosenku yang suka bentukan keong di tiap slide presentasinya.  Tepat pada tikungan jembatan yang menuju kembali ke bangunan utama, aku terhenti. Satu tanda aku kembali ke dunia mimpi, satu tanda yang membuatku ingat tentang mimpi itu, satu tanda itu muncul di depan mataku.
      Langit merona jingga, air laut berkerlip menyilaukan mata, seperti kristal berlian dengan pendaran cahayanya. Sesaat termenung. Lantas bergegas berpindah tempat. Naik.
      Gemericik air masih terdengar dimana-mana. Backsound pasti yang mengiringi mimpi itu. Railing kaca balkon masih sama membatasi gedung itu. Kilauan langit senja itu.. semakin jelas, aku kembali pada mimpi berseri yang kualami selama ini. Mimpi seri ketiga. Restoran terbuka itu, table cloth putih, planter box berbunga, kini  aku sampai di satu sudut itu, satu titik itu. Mimpiku di semester ketiga masa kuliah, sebagian terulang dalam kenyataan. Aku masih tak tahu, apakah itu mimpi yang penting, apakah itu tempat yang penting, namun aku menikmati semua deja visit ini.
      Ada sebagian lagi dari mimpi itu, yaitu bagian awal sebelum aku dan tokoh misterius di mimpi itu sampai di balkon restoran itu. Detik itu aku belum tahu, akankah muncul dalam kenyataan juga, atau tidak.
      Di dalam mimpi, kami batal memesan makanan karena aku beralih mendekati perairan di bawah sana. Dalam nyatanya, aku dan temanku hanya berkunjung sesaat. 27 Juni hari itu, masih dalam masa bulan Ramadhan. Kami perlu menunggu matahari terbenam untuk makan.
      Kami beralih mencari lagi jawaban. Pertanyaanku mengenai tempat dalam mimpi terjawab. Dan kini saatnya memasuki area foodcourt berlanjut ke galeri kain dan seni rupa. Kami pun melihat bagaimana langit-langit yang kecoklatan. Oh, begini puncaknya, akhirnya kata itu terucap.
     Di dalam galeri seni ini semua ada. Dari jenis blaco, mori hingga batik tulis, dari jenis tenun mesin, dan tenun tradisional, motif sederhana hingga rumit, yang modern hingga klasik, semua ada. Produk jadinya pun sangat beragam tergantung karakter motif yang bervariasi sesuai daerah asalnya masing-masing. Kami pun menyaksikan berbagai kerajinan ukir, lukis dan.. yah, lihat sendiri sajalah, ada banyak!  
      Beachwalk pun habis kami putari. Namun matahari belum juga terbenam. Untuk menunggu waktu berbuka puasa, kami pun mampir ke pantai Kuta. Menyaksikan matahari jingga, awan merah, langit bergradasi, juga untuk menyimpan pasir, dalam tabung dan dalam kenangan.. ^-^
Setelah berbuka puasa di lantai 3 Beachwalk dan menjalankan sujud petang di groundfloor, kami pun kembali ke Denpasar.

No comments:

Post a Comment