2015-11-29

Pernikahan, Keluarga dan . .


Apa yang kau pikir tentang pernikahan?
Seketika otakku nge-hang. Blank. No idea. Aku heran mengapa topik beberapa minggu ini - bulanan bahkan, adalah pernikahan. Bahkan ayahku yang ngecat tembok teras rumah saja ditanya tetangga “Badhe mantu, Pak?” Apa karena sedang musim nikahan? Mungkin.
Bukannya tak suka atau tak ingin menikah, (meski dulu memang sempat berniat tidak), tapi aku bingung, mengapa satu topik itu begitu diributkan. Temanku si A bercerita tentang permasalahan rencana pernikahannya yang disebabkan perbedaan kasta. Orangtua mereka menentang dan membuat mereka berpikir untuk nikah lari. Si B lain lagi, ia sudah menghitung banyaknya warisan pohon jati yang kira-kira akan diterima tunangannya nanti. Lalu si C yang masih jomblo memikirkan tentang tipe calon suaminya, termasuk daftar ketentuan yang akan dimasukkan ke dalam kontrak perjanjian pranikah (dia bisnis oriented banget).

2015-11-18

Tanpa Judul, Tanpa Nama 3



                 “Kriiing!!”
Ailin terperanjat bangun dari tidurnya seakan baru terbebas dari kedalaman air laut.  Dimatikannya jam meja yang menunjuk pukul 6.30.
                “Tok..tok..tok..” Belum lepas benar, keterkejutannya kini bertambah. Seketika gadis itu kembali membeku. Sirkulasi udara tertahan, sedangkan darah bergerak cepat. Gadis itu seakan hendak meledak karena ketakutannya.
“Tok..tok..tok..”
                Ailin pun nekad bergerak cepat meraih pisau dan membuka pintu. Penuh siaga pisau di genggamannya siap menyerang.

2015-11-15

Tanpa Judul, Tanpa Nama 2



 “Kenapa kau ajak aku kesini?”tanya Nana sesaat setelah Moringa memarkir motornya di tepi jalan Pantai Sindu.
“Mm..hanya ingin jalan-jalan saja. Sudah lama kita tak kesini.”jawab Moringa santai. Keduanya pun berjalan ke arah Selatan melintasi beranda deretan kafe dan restoran yang penuh dengan berbagai bentuk lampion, lentera, lilin dan sebangsanya. Sampai akhirnya bermuara pada satu ujung yang tenang, beristirahat dalam naungan sebuah gazebo kayu.  “Ah, anginnya kencang sekali disini, apa kau tak dingin?”

2015-11-14

Tanpa Judul, Tanpa Nama


Kring..kriing..” Ailin memutar balik sepedanya kemudian menyelip para pejalan kaki di pesisir Sanur. Gadis berkaos merah itu pun menikung ke arah matahari di balik bale bengong yang tengah menyimpan seseorang. Diparkirlah sepedanya di samping sebuah sepeda kayuh yang ada. Lantas gadis itu pun berlari turut duduk di samping gadis berjaket hijau.
“Hei, aku mencarimu! Ternyata kau bengong di sini.”seru Ailin pada Nana teman kuliahnya yang sekarang juga sekantor dengannya.
“Ah, sory. Aku capek. Jadi terhenti di sini.” sahut Nana.

2015-11-08

Catatan



Kaira terdiam di samping kotak ajaibnya. Mematung di antara foto-foto yang berserakan bersama buku catatan hariannya. Namun bukan berarti pandangannya kosong sepenuhnya seperti boneka mati. Bola matanya lurus ke arah sebuah potret, keadaan ketika ia tertawa bersama di samping kawan-kawannya. Baik teman perempuan maupun laki-laki.
Masih ditatapnya foto pemuda berkemeja denim itu. Seribu pertanyaan muncul jika dihitung. Seakan ia tak pernah memiliki catatan apa pun bahkan ingatan apa pun tentang orang itu. Berhari-hari, berbulan-bulan malah, ia seperti orang amnesia. Tak menyadari jika sebagian peristiwa yang hilang dari catatannya itu disebabkan perbuatannya sendiri. Ia tak murni kehilangan bagian itu, tetapi kini ia ingat jika ia memang merobeknya dan melemparnya masuk keranjang sampah.

Cermin

Terkadang kita bisa menebak - atau cenderung sok tahu, dalam meneropong karakter orang lain. Mereka baik atau tidak, cocok atau tidak dengan pasangannya. Tak jarang kita seolah mampu meramal dengan benar, masa depan hubungan suatu pasangan, hanya melalui sorot mata salah satunya. Bahkan seringkali kita masih terkejut saat tebakan-tebakan itu, yang sungguhan terjadi. Namun untuk melihat diri sendiri, mengapa tak juga menemukan cermin yang jernih dalam menciptakan bayangan. Cermin yang bisa memperlihatkan detail sorot mata diri kita sendiri. Cermin yang ada selalu berupa kaca buram, berbingkai ukiran bunga cantik dari berlian, dihiasi lampu-lampu kecil yang memancarkan pesona, yang bahkan seringkali menyilaukan..

2015-11-06

Enya - A Day Without Rain

Saksi


     Angka pada layar ponsel menunjukkan pukul dua dini hari, ketika udara terasa begitu pengap. Biasanya kipas angin itu bisa membuatnya menarik selimut tapi kini seperti tak berfungsi. Waktu telah berlalu dua jam sejak ia menulis kata goodnight pada pemegang hatinya melalui layanan pesan. Namun night itu ia jalani tanpa meninggalkan kesadaran detik-detik ke dini hari yang mendung.
     Gemuruh ringan membuatnya mematikan kipas angin. Memastikan kebenaran yang didengarnya. Ia keluar dari ruangannya, duduk di beranda yang menghadap taman, sebagai saksi turunnya hujan pertama bulan November.  Sesuatu yang dinantinya akhirnya datang jua. Meski hanya sesingkat satu putaran jarum detik jam dinding. Dikalahkan lolongan, gonggongan anjing yang terjaga di jalanan.
     Sekali lagi ia tatap ponsel, meraihnya sejenak, lantas kembali diletakkannya. Pasti ia telah pergi ke kota mimpi.  Hingga kesekian kali ia meraih ponsel membuka jendela percakapan. “Aku rin” Hanya sampai sana. Jarinya tersangkut backspace berkali-kali, selama setengah jam. Hingga memutuskan kembali masuk. Mencoba terlelap di sisi kekasihnya yang lain. Kekasih simpanannya, yang masih mengenakan dasi polkadotnya dalam tidurnya, yang ternyata kurang hebat menggambar tawa di wajahnya meski gadis itu sangat menyukainya.
     “I’m not really fine..” bisiknya pada si pemegang hati, dalam pikirnya. Sesuatu yang sulit dikatakan sungguhan. “Oh, No! I’m just too tired,  perhaps. Ini semua tak semudah menggambar.. tak sebagus bayangan anak SD”
     Gadis itu pun memeluk erat kekasih simpanannya yang tetap tenang terbaring di tempat tidurnya. Berharap menjadi setenang itu pula. Kekasih simpanan yang terlalu tenang dan suka terlelap, yang tak pernah terbangun, sejak awal. Yang tak pernah mengerti rasa sakit, sekali pun dipukul berkali-kali. Yang tak pernah berusaha membenarkan atau menyalahkan apa yang terjadi. Yang tak pernah mengerti apa pun, walaupun ia satu-satunya saksi yang melihat. Meskipun ia pendengar terakhir atas pesan terakhir.  Saksi terakhir sebelum gadis itu hilang..

2015-11-04

Alice in Wonder Town: Pelangi



Di awal, Red Queen tampak seperti seekor singa, namun beberapa minggu berlalu, perlahan aku melihat bahwa ada kemungkinan ia adalah White Queen yang sedang menyamar.  Atau White Queen yang hilang ingatan lalu mengira ia adalah Red Queen. Perlahan pula aku merasa ada sesuatu yang bisa mengembalikannya sebagai White Queen. Hari itu tepat satu bulan. Semua yang ada adalah staf sejak  tahun dan empat tahun lalu. Ada pula bu Putu sebagai petugas kebersihan disana sudah satu tahun bekerja.
“Kamu termasuk lama sih disini, biasanya dua minggu gitu staf baru udah pada ilang lagi. Nggak ada yang betah kena marah si cantik.” Kata Bu Putu. Aku pun baru tahu jika orang-orang disitu memanggil bosku dengan istilah si cantik.

Alice in Wonder Town: Di Bawah Atap Miring



Well, hari itu adalah hari pertama aku kerja di bawah “atap miring”, karena kebanyakan orang di area itu menyebutnya begitu, “Oh, kantor yang atapnya miring itu!” (dalam hatiku berkata, perasaan atap-atap rumah orang disini juga miring). Namun memang itu yang terlihat. Dibandingkan bangunan sekitarnya memang yang paling mencolok perbedaannya adalah bagian atapnya. Sederhana, namun pantas dicurigai sebagai kantor designer.

Alice in Wonder Town: Where Should I Go?


Aku sadar aku tak bisa disamakan dengan seorang Putu Mahendra (udah jelas beda gender). Meski sama-sama di Pulau Dewata, studio pertamaku ini memang tak sebesar studio Bensley. Proyek-proyeknya pun mungkin tak se-WOW keluaran Bensley.  
Well, barusan adalah opening tak terlalu penting sebab aku tak tahu dari mana harus memulai cerita ini – yang nggak penting juga.