2014-01-07

ART



Mentari senja semakin jingga menghangat menyelimuti. Lampion kereta perlahan menyala mengiringi derap kaki-kaki itu. Sepasang kuda hitam yang kuat yang langkahnya semakin lambat lalu berhenti saat langit menjadi violet. Sepasang sepatu kayu beludru biru itu menapak perlahan di kaki gadis itu. Pepohonan menyambut menyiramkan desiran angin dingin menyejukkan. Barisan wanita berpakaian adat terlihat rapi di kanan kiri jalan menunduk hormat sesaat saat sepasang tua itu menuruni kereta. Wanita dan pria tua itu berjalan dengan anggun diikuti sederetan pengawal.
Gadis itu mengikuti pula di belakangnya. Rok lebar coklat dengan sulaman bunga dibagian bawah dikenakannya dengan cantik sesekali menyapu jalan.  Berjalan di halaman pelataran bersambut alunan musik yang terasa kuat kesakralannya. Dengan penari-penari elok menyajikan gerakan penghormatan. Tanpa kata, ia hanya ikuti saja perintah sepasang tua itu, bersama seorang pemuda menuju sebuah bangsal. Ia ikuti pergerakan punggung itu. Dan tibalah gadis itu di sebuah bangunan tua, tempat kakeknya, mereka berkata samar di tengah ruang dalam kerlingan lilin-lilin kecil.
@@@
“Kringgg!!!!”
Gadis berambut panjang sepunggung itu terperanjat bangun dari tidur nyenyaknya. Ia menguap seraya mengucek matanya yang begitu berat terbuka lantas memukul kepala jam wakernya. Seketika hening. Sejenak berdiam lalu ia singkirkan selimutnya dengan malas. Beralih menyeret tripot berkanvas itu mendekat. Diambilnya kuas di samping jam kecil yang menunjukkan angka 03:00 berlanjut dengan lemah meraih tube cat diantara alat-alat lukis yang tersebar di lantai.
Terlihat kanvas itu telah bergambar di sepertiga bagian. Koncah-balah susunan kubus bertumpuk dengan variasi warna senada monokromatis. Tanpa palet ia sapukan cat crimson red dipadukan dengan titanium white dari tube-nya langsung ke muka kanvas. Sesekali jemarinya pun turut menari memulas wajah bidang gambar itu, memberikan sentuhan khusus penuh rasa.
“Tatha..”panggil seseorang tiba-tiba diluar ruang berlanjut membuka langsung pintu kamar gadis itu. “Tha..” rengek gadis yang baru muncul itu.
“Hmm..”sahut Tatha singkat. “Ada apa, Mae?” lanjutnya kemudian mendapati sahabatnya,Mae, yang berdiri di ambang pintu itu tak merespon.
“Aku capek..ngantuk..”keluh Mae lalu berjalan masuk dan duduk di bangku kerja Tatha di samping pintu.
“Apa kau tak tidur?” tanya Tatha. Teman terbaiknya di asrama itu hanya menggeleng. “Sama sekali tidak?”tanya Tatha lagi mencoba memastikan.
“Tidak sama sekali, dan hingga detik ini lukisanku belum selesai.” Sahut Mae. “Apa lukisanmu sudah selesai?” tambahnya kemudian menghapiri dan melongok lukisan yang sedang dikerjakan Tatha.
     “Baru sebagian..”
     Oh My! That’s cool! Belum jadi saja sudah sangat bagus. Tanganmu memang ajaib sepertinya.” Puji Mae sangat kagum.
     “Jangan berlebihan!”
     “Aku tak berlebihan. Itu sungguhan. Hmm.. sepertinya aku memang harus semangat. Ah, jam berapa sekarang? Hoh, jam 4, kalau begitu aku langsung kembali saja. Aku tak boleh terlalu kalah darimu!” sergah Mae lalu bergegas kembali menyelesaikan pekerjaannya yang harus dikumpulkan jam 1 siang ini.
@@@
“Hash, sial sudah jam 7.45! “gerutu Tatha saat memberi sentuhan akhir pada lukisannya. Tanpa membereskan kamarnya ia pun langsung berlari meraih handuk dan menuju kamar mandi.
Tepat pukul 8.00 gadis itu bersama Mae berlari menuju studio musik yang jaraknya kurang lebih 80 meter dari asramanya. Melewati taman asrama, halaman gedung kuliah dan koridor-koridor kelas. Dengan megap-megap mereka berhenti mendadak di ambang pintu studio. Lantas tercengang.
“Apa jam kita salah?” tanya Tatha masih terengah-engah.
“Aku rasa tidak. Sekarang jam 8.08..”
“Ini benar hari senin, kan?”
“Ya, menurut ponselku demikian.”
“Hai, Tha!Mae!” seru seseorang tiba-tiba muncul. “Kalian sedang apa?”
“Ah, Lee.. apa hari ini tak ada kelas?” sahut Mae balik bertanya.
“Mm..apa kalian tak dapatkan infonya? Kelas musik diganti besok pagi.” Tutur pemuda tampan bertubuh tinggi itu.
“Oh,. Kami benar-benar tak tahu.” Sahut Tatha.
“Aish, ya sudah kalau begitu, tahu begini aku bisa dengan tenang mengerjakan lukisanku. Ya sudah, Tha. Aku pergi dulu, daahh!” seru Mae membuat Tatha tercengang karena kaget ditinggal begitu saja.
“Bagaimana punyamu? Apa lukisanmu sudah jadi?” tanya Lee Gyn.
“Ah, ya, barusaja aku selesaikan.”jawab Tatha sedikit gugup. “Lukisanmu?”
“Belum. Kelas lukisku besok, jadi aku bisa lebih santai.”
“Ah, ya kau benar.”
“Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?”
“Mm..ntahlah, sepertinya aku akan menyusul Mae kembali ke asrama. Kau?”
“Aku berencana ke perpustakaan, mau ikut?” ajak Lee.
“Hmm..baiklah kalau begitu.”
Tatha benar-benar merasa canggung di hadapan pemuda itu. Lee Gyn, yang sudah ia kagumi selama 2 tahun ini. Akhirnya mereka berjalan beriringan melintasi koridor gedung menuju perpustakaan.
“Mm..ada perlu apa ke perpustakaan? Apa kau akan mencari sebuah buku? Ah, bukan begitu!” pikir Tatha dalam hati mencoba mencari pembuka pembicaraan selama berjalan. “Buka apa yang sedang kau cari?” tanyanya pada akhirnya.
 “Ah, hanya buku kumpulan sajak. Untuk kelas sastra siang ini.”
“Oh.. ”
“Apa kau masih tak suka mata kuliah ini?”
“Ah, ya.. tapi aku masih terus belajar menyukainya.” Terang Tatha.
“Hmm,, baguslah kalau  begitu.”
Mendadak gadis itu berhenti.
“Ada apa?” tanya Lee heran.
“Mm.. maaf, sepertinya aku tak jadi ikut, aku baru ingat aku punya janji dengan temanku dari jurusan lain.”
“Oh, begitu. Sayang sekali. Ya sudahlah kalau begitu.”
“Ya sudah, aku pergi dulu. Sampai jumpa!”
“Ok, sampai jumpa.” Balas Lee Gyn. Tatha pun segera berbalik dengan cepat meninggalkan Lle Gyn. Namun kemudian kembali terhenti dan mendesah.
“Aish, kebodohan apa lagi kali ini? Apa yang kau pikirkan, hah? Kenapa kau kau buang kesempatan untuk bersamanya? Dengan alasan yang begitu bodoh. Hanya karena terlalu gugup kau kabur? Benar-benar tolol!” celoteh Tatha dalam hati memaki dirinya sendiri selama perjalanan.
Hingga perlahan suasana berubah. Angin bertiup semakin lembut dan begitu ramah. Seakan keheningan itu terurai perlahan. Alunan musik itu sayup-sayup  tapi pasti. Menenangkan. Piano di studio musik itu berdenting anggun. Dan diam-diam gadis itu mengintip. Seorang pemuda membuatnya terpesona. Bukan karena penampilannya, melainkan karena nada yang diciptakan jari-jari lincahnya.
First Love, I love this song..” bisiknya begitu menikmati melodi lagu Hikaru Utada.
Benar-benar seakan dunia ini bergerak lambat. Hening. Hanya ada melodi itu. Kala mata terpejam semua seolah masih terlhat. Sejuk dan indah. Sangat tenang. Ketenangan yang unik. Yang mampu menenggelamkan seluruh jiwa kesadaran.
Mendadak lagu itu terhenti. Tatha tercekat, ia sangat terkejut melihat pemuda itu menyadari keberadaannya.
“Maaf.” Ucap Tatha. Namun itu hanya di khayalannya. Kenyataannya ia hanya berlari dan pergi.
“Tunggu!” seru pemuda itu mengejar Tatha. Tatha pun terhenti dan berbalik dengan ragu.
“Ya?” sahutnya lemah. Tatha tertegun. Ia kembali berkhayalan. Tak ada seorang pun yang muncul di sekelilingnya.
@@@

Dimensi keempat,waktu, terus berputar mengiringi tiap gerak edar matahari. Suhu terus meningkat dan langit tengah hari semakin terang. Kesibukan tiada henti, tiap aktivitas manusia terus berlangsung . Jam dinding kelas menunjukkan pukul 13.00 saat Tatha dan Mae bergegas duduk di bangku terdepan dan paling dekat dengan pintu.
“Kalian terlambat lagi.. Ayo cepat maju! Ariestha, karena kau telah terlambat kau yang presentasi pertama hari ini.” suruh Prof. En.
“Mm..bukankah Mae juga terlambat?” protes Tatha.
“Setidaknya ia masuk ke kelas ini lebih dulu di depanmu.” Tegas Prof.En. Tatha menyeringai.
“Baiklah..”sahut gadis itu dengan berat.
Tatha pun beranjak dari duduk dan berdiri di hadapan para peserta kuliah siang itu seraya memasang lukisannya pada tripot kosong di sampingnya. Mendadak ia tercengang. Melihat ke sudut belakang dimana Prof. En berdiri. Bukan karena pria itu, akan tetapi pada pemuda yang duduk di samping Prof.En.
@@@
Setelah mendapat komentar dan beberapa saran dari Prof.En Tatha kembali ke tempat duduknya.
“Tumben, presentasimu sedikit kacau? Sayang sekali padahal seperti yang telah di katakan Prof.En, karyamu itu bagus sekali.” Ujar Mae.
“Mm..siapa yang di belakang itu?”
“Ha?”sahut Mae kaget dan melihat ke arah yang dituju Tatha.
“Asha maksudmu?”
“Asha?”
“Ya, dia anak baru, namanya Agaesha Ardli, panggilannya Asha. Mm..jangan katakan kau tak fokus seperti tadi karena dia? Karena penampilannya yang benar-benar keren. Kuakui dia memang sangat tampan dan terlihat genius.”
“Aish, jangan asal bicara!”
“Hmm..kudengar dia memang sangat genius, dan karyanya selalu terlihat profesional. Ah, mungkinkan kau sudah tahu jika ia genius dan kau berpikir kau sedang terancam mendapatkan pesaing?”
“Hei, pikiranku tak sesempit itu!”elak Tatha.
@@@
      Malam menjelang larut. Suhu udara musim kemarau menjelma seperti es di tengah malam. Decit suara burung malam semakin lama seperti tercekat membawa aura tak menyenangkan. Sayup angin sesekali membentur daun jendela yang mulai rapuh sendi-sendinya, menimbulkan benturan lemah tetapi jelas terasa di tengah keheningan. Menegur jarum detik jam yang tiada henti berdecak, bahkan kala waktu menunjukkan 11 malam, jam itu tak pernah tidur. Ariestha masih terjaga.   
     Perlahan gadis itu bangun meninggalkan kamarnya, memandang ke arah pintu kamar Mae yang terlihat sangat tenang. Berharap akan terbuka. Namun itu tak mungkin. Diputuskannya beranjak pergi lebih jauh. Berjalan lebih jauh lagi keluar asrama, menuju taman tengah, area bersama yang menjadi batas antara gedung Utara dan Selatan, asrama putri dan putra.   Berencana duduk sejenak di bangku taman yang dikelilingi flamboyan jingga untuk menenangkan pikiran.
     Seketika itu ia berniat detik itu pula ia urungkan. Mendapati sosok Lee Gyn di area itu. Pemuda itu tengah berdiri di tepi kolam. Dengan gugup Tatha segera berbalik.
     “Tatha, apa itu kau?” tegur Lee dalam pikiran Tatha dan sejurus kemudian terjadi.
     “Tatha, apa itu kau?” sapa Lee dalam nyata membuat gadis itu terhenti langkahnya.
     “Ah, ya. Oh, hai Lee!” sahut Tatha canggung.
     “Sedang apa kau? Apa kau terkena insomnia lagi?”
     “Ah, ya.. Ntah kenapa aku susah tidur. Mm.. lagi? Dari mana kau tahu aku sering insomnia?”
     “Aku sering melihatmu disini..”
     “Ohh..”
     “Biasanya aku melihat kau pergi saat aku datang.”
     “Ah, jadi begitu..”
     “Apa kau tak merasa dingin?”
     “Mm..dingin, tapi dengan pikiranku yang sedang kacau, aku menjadi kebal dengan semua yang ada di sekitarku.” Terang Tatha, lee hanya mengangguk mengerti.
“Kau sendiri apa juga sedang tak bisa tidur?”
     “Ah, aku hanya bosan saja. Ingin cari udara segar sejenak. Setelah itu melanjutkan kembali pekerjaanku. Oh ya, bagaimana kalau kita ngobrol sambil jalan?”
     “Oh, okay.” Sahut Tatha setuju, mereka pun mulai berjalan menyusuri pedestrian taman.
     “ Apa kau ada masalah?” tanya Lee Gyn.
     “Mm..ntahlah, ini masalah atau bukan. Bukan hal yang penting juga.”
     “Jika itu membuatmu tak nyaman ceritakan saja padaku, mungkin aku hanya bisa mendengarkan, tapi mungkin itu akan sedikit mengurangi beban pikiranmu.”
     “Mm..terimakasih, tapi sepertinya lebih baik aku simpan sendiri dulu. Mungkin lain kali akan kuceritakan padamu. “ jawab Tatha menolak saran Lee. “Bagaimana bisa aku ceritakan, benar-benar memalukan jika kau tahu yang sesungguhnya, bahwa kau yang sedang kupikirkan.”
     “That’s okay. Tak masalah. Aku akan membantumu sebisaku.”
     “Terimakasih sebelumnya.”  .”
     “Mm..ngomong-ngomong sepertinya angin mulai tak santai.” Kata Lee Gyn. Ariestha tak merespon. Ia mulai sibuk dengan pikirannya sendiri.
     Lampu taman itu, angin ini, dan gerakan awan itu..”bisiknya dalam hati seraya menatap langit.
     “Sepertinya lebih baik jika kau segera kembali.”tutur Lee Gyn.
     “Ya, kau benar. Mm.. kalau begitu aku pergi dulu, sampai jumpa besok.”
     “Ok, sampai jumpa.”balas Lee kemudian segera kembali ke asrama setelah sosok Tatha perlahan menghilang.
     Di sisi lain, Tatha justru tak kembali ke asrama. Ia dengan tergesa-gesa menuju gedung perkuiahan. Di tengah angin kencang yang mengombang-ambingkan pepohonan ia tetap bertahan menembus semburan pasir yang sesekali menyerbu.
     Semua seperti itu. Sama seperti mimpi itu.Aku yakin.”
@@@
     Gadis itu berdiri terpaku. Bibirnya terbungkam. Ada seberkas ingatan yang keliru. Di ambang pintu studio lukis ia menjadi gadis linglung.
     “Ariestha? Kau kenapa? Apa kau baik-baik saja? Kenapa malam-malam seperti ini kau kemari?” tegur Prof.En di tengah kesibukannya menata barang-barang di ruang tersebut beralih menarik Tatha masuk ke dalam ruang. Ariestha masih membisu. Mengamati sekeliling ruang dan ia terkejut melihat sosok Asha disana.
“Ah, ini, aku barusaja menata ulang beberapa hal di sini untuk mengubah suasana. Kebetulan Agaesha datang jadi sekalian saja kuminta bantuannya. Dan beruntung ia ada disini. Mungkin tanganku takkan bisa bekerja lagi tanpa bantuannya. Badai barusan benar-benar membuat semuanya jadi kacau.”jelas Prof.En
     “Jadi kayu itu tak jadi menimpa Prof.En! Baguslah kalau begitu.”pikir Tatha.
     Ariestha, kau tak apa kan?”
“Ah, ya, aku baik-baik saja.”
“Lalu kenapa di tengah badai seperti ini kau datang kemari?”
     “Mm..tak ada, kebetulan tadi aku tak bisa tidur, jadi aku bermaksud jalan-jalan, hanya saja mendadak angin kencang datang aku bergegas kembali dan kulihat lampu disini terang, jadi aku segera kemari.”
     “Tapi kau benar baik-baik saja kan?”
     “Ya, aku baik-baik saja.  Anda sendiri baik-baik saja kan?”
     “Ya, kau tak perlu khawatir, seperti yang tadi kukatakan, Agaesha telah menolongku. Tadi hampir saja aku tertimpa tripot kayu di atas lemari.”
     “Baguslah kalau Asha berhasil menyelamatkan Anda. Ngomong-ngomong, untuk apa Asha kemari?”
     “Oh, sama sepertimu, insomnia. “
@@@
     “Kudengar ada mahasiswa baru disini, apakah ia hadir hari ini?” tanya Ny.Ramona saat kelas musik barusaja hendak dimulai. Sejenak kemudian Agaesha pun langsung menampakkan dirinya.
“Siapa namamu?”
     “Agaesha Ardli. Panggil saja Asha.”
     “Hmm..nama yang bagus. Kau juga dari jurusan seni dulu?”
     “Ya,.”
     “Ngomong-ngomong, bisakah kau kemari, mainkan beberapa nada, hitung-hitung untuk merefresh suasana kelas hari ini?”
     “Ah, tak masalah.”sahut Asha setuju dan mulai berjalan ke depan lantas duduk di depan piano kelas. “Ngomong-ngomong, lagu apa yang perlu kumainkan?”
     “Hmm.. apa kau bisa Canon in D? Itu lagu favoritku.”
     “Baiklah. Tapi bolehkah aku minta dukungan violin?”
     “Oh, tentu saja. Ah, sepertinyaini  akan benar-benar menarik. Mm.. kalau begitu, Ariestha! Kemarilah dan bawa violinmu.”
     “Aish sial!” batin Tatha. “Baik.”
     Dimulailah pertunjukan kecil. Jari lincah pemuda itu mulai menari di atas bar hitam putih itu. Dilanjutkan nada-nada yang diiringi kecantikan melodi violin. Perlahan keriuhan seruan manusia melenyam, dikuasai nada-nada ajaib kedua instrumen tersebut. Begitu selaras. Iramanya begitu teratur dan benar-benar tepat.
     “Apa ini sebenarnya? Apa yang sedang terjadi? Kenapa rasanya menjadi aneh. Namun ini benar-beanr menarik.” Kata Tatha dalam hati di sela-sela permainannya.
     Semua orang terpesona. Ini buka lagu yang asing, bahkan terlalu sering didengar dan tak jarang lagi dimainkan. Namun seluruh ekspresi itu seakan mereka baru mendengarnya pertama kali. Terkesima, ternganga, terkagum-kagum. Dan sangat bersemangat saat memberi applause di akhir permainan.
     “Wah, menarik sekali. Pemanasan yang keren untuk hari ini. Terimakasih Asha, Tatha. Aku semakin semangat hari ini setelah mendengar permainan kalian.”
     “Terimakasih.” Sahut Asha dan Tatha hampir bersamaan. Mereka berdua pun kembali ke tempat duduk masin-masing.
     “Ah, aku sungguh terpesona, bahkan aku merinding melihat kalian.”komentar Mae pada Tatha.
     “Jangan berlebihan. Ini bukan konser untuk membuatmu merinding.”
“After Mozart, Beethoven, Chopin, Maksim, sepertinya dia yang akan jadi idolaku. Kuakui permainannya sungguh profesional.” gumam Tatha.
@@@
       Jam perkuliahan telah berakhir. Seluruhnya mulai berhambur meninggalkan studio. Terlihatlah pula Agaesha yang tengah berjalan meninggalkan tempat duduknya yang sederet dengan tempat Ariestha duduk.
     “Permainanmu tadi sangat menarik.” Sapa Asha pada gadis yang tengah membereskan modulnya ke dalam tas.
     “Ah, terimakasih,. Tapi itu bukan apa-apa dibandingkan permainanmu.”sanggah Ariestha. Pemuda itu tersenyum.
     “Aku pun tak sehebat itu.” Ujarnya kemudian pergi.
Mata Ariestha menyipit memandang ke arah Asha yang mulai menghilang.
     “Wah, pesonanya sungguh luar biasa. Selamat untukmu, Tha!” celoteh Mae.
     “Selamat? Untuk apa?”
     “Pemuda tampan itu berbicara padamu.”
     So?
     “ Dia tak bicara pada siapa pun disini kecuali pada dosen, dan kau orang pertama yang ia sapa selain dosen, jadi itu semacam reward.”
     “Lalu apa untungnya untukku? Ia bahkan bukan malaikat, presiden, atau raja yang bisa membuatku bangga untuk disapa olehnya.”
     “Hmm..terserah kau sajalah. Kau memang orang paling aneh. Semua gadis disini heboh karena Asha, kau malah tenang-tenangan berhasil bicara dengannya.”
     “Masalahnya, untuk detik ini hanya ada Lee Gyn di mataku. Oh ya, kau tahu, ternyata diam-diam dia juga memperhatikanku selama ini!”
     “Aish..Lee Gyn lagi yang kau bicarakan. Sebesar apa perhatiannya, hah? Ia bahkan seperti tak peduli padamu. Saranku, lupakan saja dia.  Apa kau tak lelah menyukainya selama ini. Jika ia memang peduli padamu, semestinya ia tak langsung keluar kelas seperti tadi. Setidaknya ia basa-basi  memujimu seperti yang Asha lakukan.” Omel Mae
     “Mae!“ pekik Tatha kesal.
@@@
     Hiruk pikuk. Ramai dan gaduh. Semua orang yang memasuki ruang itu, panik. Tripot lukis berjungkir berserakan. Lukisan-lukisan tak karuan tersebar dan terbalik dimana-mana. Studio kembali kacau. Tiga anak laki-laki itu kembali mengacau. Berlari, mengejar satu sama lain, berebut. Sebuah lukisan itu dibawanya kabur. Mereka yang berusia 6 tahun itu berlari keluar. Memutari halaman. Meluncur menuju perpustakaan. Bermain petak umpet. Berujung pada sebuah gudang. Gadis itu mengejarnya.
@@@
     Siang itu Mae dan Tatha tengah menikmati cochoberry muffin bersama di kantin. Memperbincangkan berbagai hal. Mengamati tingkah para junior yang sedang mengagumi keberadaan Asha. Pemuda itu tengah serius membaca di bangku sudut kantin, ditemani segelas jus lemon. Namun perlaha Ariestha lagi berfokus pada hal itu. Ia terdiam. Wajahnya memucat.
     “Tha, kau kenapa? Apa kau akit?”
     “Aku baik-baik saja. Tapi ada hal yang mendadak aku cemaskan.”
     “Apa memangnya?”
     “Mm..plafon disana takkan jatuh, kan?” tanya Tatha seraya memandang ke arah plafon gypsum di sudut belakang foyer kantin yang  terlihat usang dan tak layak terpasang.
     “Mm..sepertinya tidak. Lagipula mereka akan segera merenovasinya.” Sahut Mae.
     “Ya, kuharap begitu.” Kata Tatha kemudian. “Benar-benar berharap demikian. Semoga ini benar hanya khayalanku. Dan semoga wanita itu baik-baik saja.” Bisik hati Tatha sambil terus menatap waspada pada dua orang wanita yang tengah berdiri disana sedang mencari tempat untuk duduk. Hingga  kemudian salah seorang dari mereka berdua mulai berjalan ke area duduk, bersamaan dengan Asha yang tengah berjalan meninggalkan tempatnya.
     “Krakk..Glyarr..Brakkk!!”
     “Aghhh!!” jerit orang disana sini benar-benar shok. Plafon itu benar-benar roboh.
Seketika Mae memandang ke arah Tatha dengan curiga. Sedangkan Ariestha tak peduli dan hanya segera berlari ke depan dimana runtuhnya plafon. Ia pun cukup lega tak ada yang terluka. Sebab seseorang berhasil menyematkan wanita itu. Asha telah menarik wanita yang masih berdiri disana, menghindari kecelakaan itu.
     “Kau baik-baik saja?” tanya Tatha kemudian pada Asha.
     “Ya, untunglah aku melihatnya dan dapat bergerak cepat. “ sahut Asha. Tatha pun menghela napasnya.
“Kenapa wajahmu pucat seperti itu? Apa kau sedang sakit?” tanya Asha kemudian.
     “Ah, tidak. Aku hanya cemas saja padamu dan wanita itu.”  
     “Jangan terlalu dipikirkan. Semua telah teratasi.” Tutur Asha dingin lalu meninggalkan Tatha yang masih terpaku.
@@@
     “Sepertinya ia semakin terkenal saja.”
     “Siapa?” tanya Tatha pada Mae yang berjalan di sampingnya.
     “Agaesha. Siapa lagi? Hmm.. dia terlihat keren tadi. Ah, ya, kau sudah mengetahuinya, kan? Karena itukau bertanya padaku seperti tadi.”
     “Aku tak mengerti maksudmu.”
     “Jangan pura-pura tak mengerti. Kau dapatkan lagi firasat itu, kan? Jika tidak, kau pasti takkan secemas dan sepucat itu. Sudahlah jujur saja!” Desak Mae. Tatha hanya terdiam.
 “Tapi ya sudahlah, semua sudah baik-baik saja sekarang. Apa ada hal lain yang kau pikirkan? Kenapa wajahmu masih seperti itu?”
     “Ah, tak ada.”jawab Tatha. “Kenapa aku merasa tak nyaman ia seperti itu padaku? Terlihat dingin dan datar..  Aish, dia juga kan tak harus selalu tersenyum padaku, kan!”
@@@
     Ariestha tengah sibuk mempelajari buku musiknya di taman sore itu. Di bawah Lagerstroemia loudonii, yang biasa disebut bungur,Ariestha seorang diri, mencoba memainkan violinnya sesuai nada-nada  yang tersusun dalam bukunya tersebut. Secara mendadak ia terhenti kala sebuah peristiwa melintas di depan mata hatinya. Sepasang muda-mudi sedang bersepeda melintasi jogging track di dekatnya. Sejurus kemudian ia kembali memainkan violinnya namun terhenti lagi. Kali ini ia menyeringai.
     “Tak ada yang berbeda, hal semacam ini masih terjadi. Aku masih seorang receiver yang baik kurasa.” Gumam Ariestha lalu melupakan segalanya dan kembali fokus pada apa yang ia lakukan.
     “Sepertinya kau menghilangkan interval disana, dan seharusnya kau beri tarikan-tarikan nada lebih panjang  ketika  E minor.” Komentar seseorang di sela-sela permainan Ariestha. Tatha pun kaget dan segera berbalik mencari tahu siapa yang baru menyapanya itu.
     “Ah, Lee..”
     “Maaf mengganggu.”ucap Lee Gyn seraya duduk di bangku taman dimana Tatha meletakkan barang-barangnya.
     “Oh, sama sekali tidak. Terimakasih untuk koreksinya.”sahut Tatha masih sedikit gugup, seperti biasanya, kala pemuda yang diidolakannya ada di hadapnya.
     “Apa kau sudah dari tadi disini?”tanya Lee. Namun untuk kali ini Tatha tak langsung merespon. “Tatha?” tegur Lee.
     “Ah, ya? Maaf, kau tanya apa?” sahut Tatha setelah sekilas melihat seseorang di kejauhan.
     “Apa kau sudah lama disini?”
     “Oh, tidak, Mm.. baru setengah jam. Kau sendiri, apa yang sedang kau lakukan? Apa kau sedang refreshing?”
     “Tidak, aku barusaja ada perlu dengan beberapa senior, dan baru saja akan kembali ke asrama, lalu kulihat kau sedang serius disini.”
     “Oh, begitu..” sahut Tatha singkat seraya sesekali kembali melihat seseorang disana, yang tak lain adalah Asha yang sedang duduk dengan tenang membaca bukunya, ntah buku apa, namun pemuda itu selalu membawanya kemana pun ia pergi.
     “Apa masalahmu sudah terselesaikan?”  
     “Masalah apa?”
     “Yang membuatmu sulit tidur.”
     “Ah, itu. Bagiku itu bukan masalah lagi. Aku sudah mendapatkan sedikit pencerahan.”
     “Baguslah kalau begitu.”
@@@
     Ariestha barusaja memasuki kamarnya saat Mae datang.  Mae tercengang mendapati kawannya senyum-senyum tak jelas dan terlihat begitu gembira.
     “Apa kau barusaja menang undian?”
     “Lebih istimewa dari menang undian! Aku barusaja bertemu Lee Gyn!”seru Tatha ceria.
     “Mm.. jadi ia benar-benar memperhatikanmu? S epertinya ia sering menemuimu akhir-akhir ini, syukurlah kalau akhirnya ia melihatmu.”
     “Ya, semoga saja ia benar melihatku kali ini.  Karena jika ia tak melihatku sekarang aku tak tahu lagi harus bagaimana, sedangkan aku hanya bisa melihatnya di kelas musik.”
     “Aish, apa ini?!”seru Mae menyentak Tatha.
     “Hah? Itu lukisanku. Apa ada yang salah?”
     “Bukan begitu, tak ada yang salah, hanya saja.. bagiku menyeramkan. Misterius. Bukankah kau sedang gembira akhir-akhir ini, kenapa buat yang seperti ini.”
     “Menurutku itu biasa saja..” sanggah Tatha seraya turut mengamati lukisannya. Sebuah lukisan yang memadukan warna hitam, putih dan merah, sebuah susunan menyerupai tunel, terowongan yang semakin gelap di tengahnya. Seperti di karya lainnya, ia membuat lukisan dengan efek koncah-balah, dengan beberapa bagian disapukan tipis transparan. Unsur garis spiral yang membentuk pusaran itu memberinya kesan cekungan yang dalam namun juga seakan timbul di pusatnya. Nampak sedikit menyeramkan bagi Mae dengan goresan tipis siluet wanita di tengahnya yang seakan tengah berjalan di undakan tak beraturan itu.
     “Hash,, selalu saja, bagiu biasa saja bagi orang lain itu tak biasa.” Tukas Mae.
@@@
     Sembilan hari telah berlalu. Ketenaran Asha mulai surut secara perlahan. Masih banyak sebenarnya yang tetap menggosipkan pemuda itu, akan tetapi volumenya lebih dikurangi untuk akhir-akhir ini. Namun hal itu sama sekali bukan hal penting bagi Ariestha. Seperti biasa, matanya hanya terpusat pada Lee Gyn.
     “Bagaimana ini, apa aku perlu escape dari kelas?” celoteh  Tatha saat meninggalkan asramanya siang itu dan berjalan menyusuri koridor kelas.
     “Hei, haruskah kau seperti itu, hanya karena Lee sedang tak ada kelas lalu kau akan mengikutinya. Lalu apa yang akan kau lakukan ,hah? Bahkan jika ia mau menemuimu pasti ia akan heran, kenapa kau kabur dari kelas lukis.” Omel Mae masih berpikir dengan sehat. Tatha mendesah.
     “Ck.. ya, kau benar juga.” Kata Tatha akhirnya menyerah.
     “Hei, ada apa itu? Kenapa wajah mereka seperti itu? Apa studio kita kerampokan?” seru Mae heran. Mereka berdua pun bergegas menghampiri studio.
     Mereka benar-benar terkejut. Seperti baru saja terkena gempa studio lukis berubah kacau balau. Seketika Ariestha merasa dunia di sekitarnya terhenti, lalu semua bergerak kembali dengan lambat. Perlahan samar.  
     “Posisi tripot itu. Meja dan kursi dan keriuhan ini.”
Mendadak tubuh gadis itu melemah, ia tersandar pada dinding dengan seluruh tubuh yang  serasa lumpuh, tatkala angin hangat barusaja menembusnya. Ia teringat akan mimpinya, dimana itu adalah bagian dimana anak-anak itu melintas di hadapnya, berlarian keluar ruang.
     “Tha? Kau baik-baik saja?” tanya Mae cemas. Namun Ariestha tak merespon, matanya tertuju pada Asha yang mendadak berlari keluar.
“Tatha!” seru Mae. Ariestha pun tersadar. Tetapi ia kembali bingung.
     “Mm.. apakah Asha disana dari tadi?”
     “Hah? Asha? Apa kau tak melihatnya? Dari tadi ia disitu membenahi tripot-tripot itu. Tha, kau baik-baik saja kan?” sahut Mae benar-benar tak mengerti kondisi temannya yang mendadak aneh.
     “Hei, kalian! Apa kalian hanya berniat menonton? Ah, sepertinya lukisanmu tak ada, cobalah kau..” tegur Asha pada Mae dan Tatha kemudian beralih pada Tatha, akan tetapi kalimatnya terputus oleh kepergian Tatha tanpa pamit.
@@@
     “Ah, kau sudah temukan lukisannya?”tanya Asha saat Ariestha kembali dengan lukisan berdimensi 60x40 cm2 itu.
     “Ya, aku lupa meninggalkannya di perpustakaan.”jawab Tatha tak terlalu fokus. Mae mengrenyitkan dahi penuh heran.
     “Memangnya kapan kau membawanya kesana?”
     “Kemarin aku sedikit memperbaikinya, dan saat akan membawanya kembali kesini aku mampir ke perpus, kemudian aku lupa tujuanku datang ke kampus.”jawab Ariestha pada Mae seraya menyerahkan lukisan pada Asha yang sedang menata lukisan milik para mahasiswa di kelas itu. Belum jelas kebingungan Mae dan Asha, Ariestha hanya pergi begitu saja.
     Hari sedikit medung dan angin mulai bertiup lebih kencang. Gadis itu menyendiri di bangku taman favoritnya. Memainkan daun-daun kering di atas tanah dengan kakinya.
     “Apa kau sedang kabur dari kelas?”tegur seseorang yang tiba-tiba muncul dan duduk di samping kanan Ariestha.
     “Ah, Lee?” Tatha benar-benar terkejut dengan sosok yang hadir itu.
     “Sepertinya kau ada masalah lagi?” tebak Lee Gyn.
     “Ah,. bukan masalah besar. Hanya sedang bosan saja.”sahut Tatha cepat dan menampakkan kegugupan seperti biasa. Lee Gyn hanya diam memandang gadis itu dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. “Kenapa kau melihatku seperti itu?” tanya Tatha penuh heran.
     “Tak bisakah kau jujur?”
     “Hah? Mm.. apa aku sedang berbohong?”tanya Tatha pura-pura tak mengerti.
     “Apa kau pikir kau bisa bohongi aku?”
     “Apa maksudmu?”
     “Berhentilah berpura-pura, dengan menganggap semua baik-baik saja.”
     “Kau pun berhentilah untuk sok peduli padaku.”
     “Jadi kau pikir aku sedang bercanda?”
     “Lee? Kenapa kau jadi seperti? Sudahlah.. kalau pun apa yang kau katakan itu benar, abaikan saja aku.”
     “Haruskah seperti itu?” sergah Lee Gyn seraya mencengkeram pundak kanan Tatha, menghadapkan gadis itu ke arahnya. “Kenapa aku harus mengabaikanmu? Sedang kau sering muncul di depanku.” Desak Lee lagi membuat Tatha semakin gugup.
     “Mm..aku..”ucap Tatha terhenti.
      “Tatha, jika kau memang sedang takut, katakan kau takut,. jika kau sedang gugup tak perlu kau tutupi itu. Dan jika kau sedih, kecewa akan suatu hal, maka menangislah. Dengan begitu takkan ada beban dalam dirimu..”potong Lee Gyn seraya meraih sisi lain pundak Tatha. Kini mereka berdua benar berhadapan.
     Angin semilir berhembus dalam hati Tatha. Ia tak sanggup berkata-kata lagi mendapatkan tutur lembut Lee Gyn detik itu. Mata indah pemuda itu seakan membius raga Ariestha.
     “..dan ketika kau membutuhkan seorang teman, jangan hanya diam. Panggilah seseorang untuk menemanimu.” Tambah Lee Gyn dengan tatapan sayu yang mampu menenggelamkan pikiran Tatha. Bunga-bunga indah pun bermekaran dalam benak gadis itu.
     “Lee?”
     “Aku tak mau melihatmu dalam kesulitan seorang diri..” kata pemuda itu kemudian hening.
     “..Lalu.. apa kau..mau? menemaniku?”tanya Tatha dengan begitu lirih dan sangat hati-hati. Lee tak menjawab, ia hanya terus menatap lembut wajah Tatha dan mendekatkan diri. Dan perlahan wajah keduanya semakin dekat. Sangat dekat ketika Lee mulai mendekat lagi untuk mencium gais itu. Wajah Ariestha memerah, jantungnya berdegup begitu kencang dan seakan ia takkan bisa bernapas dalam jarak yang sangat dekat itu.
     “Ehm!” mendadak seseorang berdehem di belakang mereka berdua. Membuat Tatha dan Lee tersentak dan menjauh otomatis. ”Maaf jika aku mengganggu.”ucapnya, “Prof.En mencarimu karena kau menghilang dari kelas.”ujar pemuda itu menambahkan dengan tatapan tajam. Seketika Ariestha merasa telah kehilangan harga dirinya di depan Asha yang menjemputnya itu.
@@@
     “Apakah disini memang sudah biasa seperti itu?”
     “Seperti itu bagaimana?”
     “Apakah semua orang bebas berkencan di kampus ini?”tanya Asha membuat Tatha tak nyaman untuk berjalan di samping pemuda jangkung itu.
     “Apa maksudmu?”sahut Ariestha sedikit ketus. “Kurasa kau telah salah paham.”
     “Apakah Lee Gyn itu kekasihmu?”tanya Asha lagi dengan santai.
     “Asha, kenapa kau bertanya seperti itu, ha?”
     “Ah, maaf. Tak seharusnya aku ikut campur urusan pribadi seseorang, kan?”sahut Asha tetap santai lantas meninggalkan Ariestha yang mulai mendengus kesal memasuki kelas.
     “Dimana prof.En?” tanya Ariestha kemudian pada Mae.
     “Ha? Prof.En? Ia belum datang lagi setelah meminta kita beres-beres tadi. Kau sendiri dari mana?” jawab Mae lalu balik bertanya.
“Sama sekali Prof.En tak datang? Dan mencariku?”
     “Mm.. dari tadi aku disini, dia tidak muncul lagi selain tadi saat kita baru masuk. Memang siapa yang bilang ia mencarimu?”
Ariestha tak menjawab, ia hanya mengalihkan pandangan pada Asha dengan wajah kesal dan heran. Gadis itu menyeringai saat mendapati Asha dengan enaknya tidur di bangku belakang. Sedang Mae hanya garuk-garuk kepala mencoba menerka sendiri apa yang sedang terjadi dengan Ariestha.
@@@

     Tatha membanting diri di atas tempat tidur Mae. Ia mendesah. Wajahnya kusut. Sedang Mae barusaja duduk dan meletakkan tasnya di atas meja kerja dibelakangnya.
     “Apa kau ada  masalah dengan Asha?”tanya Mae ragu-ragu.
     “ Ya, dia orang yang aneh.” Jawab Tatha asal seraya membenamkan wajahnya di balik bantal.
     “Memangnya apa yang dia lakukan?”
     “Dia kacaukan momen pentingku.”keluh Tatha lalu hening.
     “Bisakah kau bicara dengan jelas? Jangan beri aku potongan cerita yang susah untuk dimengerti.” Protes Mae bangun dari duduknya lalu menarik bantal yang Tatha pakai. Tatha pun bangun dan kembali mendesah. Terdiam, lalu menggigit jari. Lantas menatap Mae dengan ragu.
“Ada apa? Sudah ceritakan saja!” suruh Mae.
     “Mm..tadi, tadi aku bertemu Lee. Kemudian..kemudian kami berbicara seperti biasa..”kata-kata Tatha terhenti. “lalu..ntah perlahan pembicaraan kami menjadi cukup serius,. Atmosfir serasa berubah,  hingga..”Tatha kembali terhenti.
     “Hingga?”
     “Lee Gyn hampir menciumku.” Aku Tatha cepat. Sontak Mae tercengang.
     “A..apa kau serius?”tanya Mae kemudian. Tatha mengangguk.
     “Lalu Asha muncul saat itu?”tebak Mae
     “Ya, dia menegurku, dan berkata Prof.En mencariku.” Mae pun ternganga mendengarnya. Kali ini ia lebih tercengang lagi, mendengar tentang tingkah Asha yang sebegitu berani membuatnya tak percaya. Lantas Mae pun menyeringai, tertawa geli.
     “Jangan-jangan dia cemburu!”
     “Mae, seriuslah, kita saja bahkan tak terlalu saling kenal!”
     “Ya, mungkin saja, kan, diam-diam dia jatuh cinta pada pandangan pertama padamu.” Goda Mae.   
     “Jangan berpikir macam-macam!” tegas Tatha lalu terdiam. Meraih boneka dolphin dan memeluknya dengan erat, lantas merenung dalam lamunannya. Menikmati kesunyian sesaat, mendengarkan rintik hujan yang mulai turun membasahi tanah.
     “Tatha!”mendadak terdengar sayup seseorang memanggil. Mae pun melongok keluar kamar.
     “Tatha disini!” serunya. Gadis yang berdiri di depan kamar Ariestha pun segera beralih menghampiri Mae.
     “Tatha, dipanggil ibu asrama.” Kata Nimo memberitahu saat Tatha turut keluar dari kamar Mae.
     “Ada apa?”
     “Ntahlah. Ada Tn. Ju juga disana.”
     “Tn.Ju kepala librarian?”tanya Mae heran.
     “Ya.” Jawab Nimo singkat. Ariestha pun dengan cemas berjalan keluar gedung asrama, melewati koridor penghubung menuju kantor pengurus asrama.
@@@
     “Benar kau tidak tahu? Lalu bagaimana bisa kau masuk ke dalam gudang?”tanya Tn. Ju.
     “Bukankah tadi sudah saya katakan, saat saya kesana gudang sudah terbuka jadi saya langsung saja mengambil lukisan yang tertinggal di perpustakaan. Saya langsung saja kesana karena saya ingat biasanya Tn. Mori akan meletakkannya barang yang tertinggal disana. Tapi sungguh saya sama sekali tak pernah melihat apalagi menyentuh kunci gudang.” Terang Ariestha pada Tn. Ju dan Ny. Arie, ibu asramanya. Ia tak tahu bagaimana harusnya ia bercerita.
     “Masalahnya satu-satunya yang berhak menggunakan kunci gudang adalah Tn.Ju dan Tn.Mori sedang Tn. Mori pun tak tahu dimana kunci gudang berada, kesalahanmu juga kenapa kau tak ijin pada siapa pun disana? Apa kau tak pernah belajar etika?” omel Ny.Ema.
     “Mm.. maaf, untuk itu saya akui saya telah keliru, tapi sungguh saya tak tahu soal kunci itu. Mm, apa kunci itu  tak ada duplikatnya?”
     “Meski ada tetap saja yang hilang perlu ditemukan, jika tidak bisa saja seseorang akan menyalahgunakannya.”
     “Tok..tok!” mendadak terdengar ketukan pintu dari luar.
     “Masuklah!” seru Ny.Ema. Muncullah seorang pemuda yang jelas membuat Tatha kaget.
     “Maaf mengganggu,,”
     “Ada perlu apa kau kemari?”
     “Maaf, sebenarnya saya mencari Tn.Ju untuk mengembalikan kunci gudang perpustakaan.”jelas Agaesha. Tatha pun semakin heran.
     “Bagaimana bisa kuncinya ada padamu?”tanya Tn.Ju seraya meminta kunci yang dibawa Asha.
     “Mm..kebetulan saya mengenal Tn.Mori dan tadi kami bertemu di rumah sakit. Ia pun meminta saya untuk menyerahkannya pada Tn.Ju. Istri Tn.Mori sedang kritis, jadi Tn.Mori pergi dengan tergesa-gesa dan lupa mengunci gudang. Baru sesaat setelah Tn. Ju menelpon, Tn.Mori akhirnya kembali mengecek, tersadar ingatannya yang mengatakan kunci masih tergantung di pintu itu ternyata salah, kunci gudang  telah terbawa dalam saku jaketnya.” Terang Asha membuat Tatha merasa begitu lega. Ia terbebaskan.
     “Ah, jadi begitu.” Sahut Tn.Ju dan Ny.Ema.
     “Tadi saya ke perpustakaan namun Tn.Rei bilang anda sedang menuju kantor asrama, jadi saya langsung kemari.” Tambah Asha.
     “Baiklah, terimakasih Asha! Karena masalah sudah terpecahkan, kau boleh pergi Ariestha. Maaf sudah membuatmu tak nyaman.”
@@@
     “Asha!”seru Ariestha mengejar Agaesha yang tengah meninggalkan area kantor asrama. Asha pun terhenti dan beralih melihat ke arah gadis itu. “Terimakasih, kau sudah datang di saat yang tepat.” Ucap Tatha kemudian.
     “Aku tak merasa telah menyelamatkanmu, jadi kau tak perlu berterimakasih padaku. Kau hanya sedang beruntung jika aku telah datang di saat yang tepat.”
     “Ah, begitu..Mm.. masalahnya, jika kau tak datang, aku tak tahu lagi harus berkata apa, dan bagaimana menjelaskannya.”
     “Tapi kau sudah katakan yang sebenarnya, kan?”
     “Aku sudah memberi penjelasan, tapi ntahlah, tetap saja jika aku sampai katakan yang sebenarnya  mereka pasti akan sulit untuk percaya.”
     “Sulit percaya?”
Ariestha langsung terbungkam, tersadar, ia sudah terlalu banyak bicara.
     “Ah, lupakan saja! Mm..ya sudah kalau begitu. Aku pergi dulu! Sekali lagi terimakasih.” kata Ariestha tak mengerti harus berkata apalagi jadi ia putuskan untuk pergi.
     “Tunggu!” seru Asha tiba-tiba. Gadis itu berbalik.
     “Ada apa?”
     “Maafkan aku.” Ucap Asha membuat mata Tatha menyipit karena heran.
     “Untuk apa?”tanya Tatha tak mengerti, untuk sejenak Asha masih terdiam.
     “Untuk kejadian siang tadi, aku minta maaf..”ujar Asha kemudian saat ia tepat berdiri di depan Ariestha.
     “Oh..itu.. Sudahlah, lupakan saja.” Sahut Tatha mulai kembali berjalan.
     “Kau tak marah padaku?”tanya Asha yang kini bersanding berjalan bersama Tatha.
     “Aku kesal padamu, tapi itu tadi. Mm.. sejujurnya aku tak kesal dengan apa yang kau lakukan, aku hanya tak mengerti, kenapa kau bohong padaku. Dengan mengatakan Tn.En memanggilku.”
     “ Ah..mm, mungkin aku hanya merasa tak nyaman, sejujurnya aku belum biasa dengan situasi disini. Jadi maafkan aku. Di tempatku, laki-laki dan perempuan sangat menjaga jarak, kami hanya bicara seperlunya, begitulah aturan disana.”
     “Ya..tapi dengan kau yang seperti itu, aku merasa itu lebih baik. Dengan begitu takkan ada dari kami yang mengambil kesempatan dan keuntungan dari orang lain yang bukan apa-apanya.”
     “Kupikir Lee Gyn adalah kekasihmu.”
     “Ia hanya teman dekat..tapi jug atak terlalu dekat. Mm.. ngomong-ngomong, aku belum tahu asalmu.” Sahut Tatha kemudian mengalihkan topik.
     “Aku dari Seu.”
     “Ah.. pantas.”
     “Pantas kenapa?”
     “Ya..pantas saja. Bukankah masyarakat Seu masih sangat menghormati kerajaan. Semua orang juga tahu Seu adalah pulau istimewa negara ini yang masih sangat kuat mempertahankan budayanya dan benar-benar melestarikan keberadaan istana.”
     “Ya, kau benar soal itu..”
     “Wah, bulannya bagus!” seru Ariestha mengalihkan perhatian, ia sudah bingung harus bicara apa dan berbuat apa. Ia bahkan juga bingung mengapa ia tak pergi saja. Jadi menunjuk pada purnamalah yang akhirnya ia lakukan.
     “Masih lebih bagus ketika purnama jingga.” Kata Asha.
     “Mm..kurasa warna bulan hanya seperti itu,,”
     “Ada saat ia akan berwarna jingga.”
     “Ah.. aku suka bulan, tapi sepertinya aku tak tahu apa-apa.”
     “Kau sendiri, apa kau lahir disini?” mendadak Asha membalikkan topik.
     “Mm..ya aku lahir di kota ini.”
     “Dan Lee Gyn itu benar bukan kekasihmu?”
      Seketika Ariestha kembali shock. Angin apa yang menyerang Asha dengan tiba-tiba berkata seperti itu. Melompatkan topik semaunya.
     “Maafkan aku, aku hanya sekedar ingin tahu, tak ada maksud apa-apa.”
     “Aku sudah katakan padamu, kami hanya berteman dekat.”jawab Tatha dengan nada tak suka.
     “Tapi kau menyukainya, kan?”
     “Ah, sepertinya aku harus segera kembali ke asrama. Mae sudah menungguku.”kata Tatha enggan merespon pertanyaan Asha.
     “Berhentilah bohongi dirimu sendiri! Aku tahu kau sedang marah. Benar, kan? Haruskah kau selalu terlihat baik?”
Ariestha terhenti. Mendadak ia merasa seseorang telah menikamnya.
     “Apa maksudmu?”
     “Lain kali, jika kau ingin marah maka kau harus marah, berhentilah sakiti dirimu sendiri. Dan jika kau tahu tentang sesuatu tak baik jika kau menyimpannya sendiri. Kau tak bisa hidup sendirian, kau butuh orang lain, karena semakin kau merasa kau mampu lakukan semuanya sendiri maka akan semakin banyak orang yang justru susah karenamu.”
     “Asha, aku benar-benar tak mengerti maksudmu!”
     “Mengendalikan diri bukan hanya mengendalikan kemarahan, tapi juga mengendalikan seluruh bagian dalam dirimu.” Lanjut Asha lantas pergi begitu saja.
     “Hei, tunggu! Asha! Apa kau tak bisa bicara dengan lebih jelas?”kejar Ariestha begitu tak mengerti. Namun Asha tetap tak merespon dan tetap pergi tanpa penjelasan.
     “Masih lebih bagus ketika purnama jingga.” Mendadak terdengar lagi suara Asha yang membuat Ariestha tersentak. Pemuda itu masih di sampingnya. Asha berdiri disampingnya lalu menghentikan langkahnya.
     “Mm..kurasa, warna bulan hanya seperti itu,,”sahut Tatha ragu
     “Ada saat ia akan berwarna jingga. ”
     “Ah.. aku suka bulan, tapi sepertinya aku tak tahu apa-apa. Memangnya benar ada bulan seperti itu?”
     “Ya, apa kau pikir aku berbohong?”
     “Ah, aku tahu, bulan saat gerhana?”
     “Bukan, itu purnama sungguhan. Hanya saja warnanya bukan putih seperti ini, melainkan jingga.”
     “Hmm..ngomong-ngomong apakah ada bulan saat hujan? Dan bulan itu tetap terang?”
     “Akan ada pelangi saat itu..”
     “Jadi bulan seperti itu ada?”
     “Aku pernah melihatnya.”
     “Wah.. Andai aku bisa melihatnya juga.”
     “Apa kau pernah bermimpi tentang bulan?”
     “Hmm.. pernah. Kenapa?”
     “Apakah bulan itu terlihat unik?”
     “Mm..biasa saja. Ada apa memangnya?”
     “Tak ada. Hal bagus saja jika kau memimpikannya.”
     “Ngomong-ngomong, kau ini pengamat bulan, penggemar bulan atau..”
     “Ah, aku bukan apa-apa.”
     Mendadak Ariestha termenung saat menatap langit itu.
     “Ariestha, apa ada masalah?”
     “Ah, tak ada. Jangan terlalu pikirkan aku. Sejujurnya aku memang sering kacau. Bahkan kadang tak bisa kendalikan diriku sendiri.”
     “Hmm..kalu begitu belajarlah!” kata Asha keudian mulai berjalan untuk pergi.
     “Belajar?”tanya Tatha dan mengejar langkah Asha.
     “Ya, belajarlah, untuk mengendalikan dirimu. Kenali dirimu, apa kekuatanmu, dan apa kelemahanmu. Ketahuilah pula kapan saatnya kelemahanmu itu biasa muncul maka kuatkanlah dirimu saat kau merasa situasi yang serupa muncul. Dan jujurlah.”
     “Ck..kenapa hari ini aku mendengar nasihat yang sama untuk dua kali..”
     “Benarkah?”
     “Ya, Lee Gyn juga bicara seperti itu padaku, apakah aku terlihat seperti pembohong?”
     “Maksudku adalah jujur pada dirimu sendiri. Kau tak perlu selalu terlihat baik, yang perlu kau lakukan adalah menjadi dirimu sendiri, lakukan sesuatu yang bisa kau lakukan, dan ketika kau tak mampu melakukannya sendiri kau harus mencari bantuan, karena semakin kau merasa kau mampu lakukan semuanya sendiri maka akan semakin banyak orang yang justru susah. Ketika kau marah pada orang lain maka ungkapkanlah, buat mereka mendengarmu, jika kau merasa benar tak baik jika kau hanya diam. Jika kau yakin kau memang benar, kau tak perlu takut, dan jika kau tahu sesuatu katakan pada orang lain, setidaknya satu orang, kau perlu percaya pada satu orang. Dan satu lagi, jika ada masalah yang menurutmu itu aneh maka jangan pernah menganggap itu tak ada.”
     “Aish, bahkan kata-katamu itu mirip dengan kata-kata Lee.”
     “Benarkah? Memangnya apa yang ia katakan?"
     “Ya, sedikit berbeda tapi.  Sedikit beda sudut pandang. Ia bilang padaku jika aku memang sedang takut, katakan takut,. jika aku sedang gugup tak perlu aku tutupi itu. Dan jika aku sedang sedih, kecewa akan suatu hal, maka menangislah. Lalu ia juga bilang bahwa aku harus memanggil seseorang saat aku sedang membutuhkan bantuan.”
     “Hmm..kalu begitu anggap saja kata-kata sebagai pelengkapnya.” Ujar Asha setelah itu. Ariestha pun tersenyum.
     “Terimakasih banyak atas nasihatmu. Sepertinya kau cepat mengenal sifat seseorang. Kau bahkan telah paham benar kelemahan utamaku.”
     “Kelemahan utamamu? Aku tak tahu itu.”
     “Ya semua yang katakan tadi, semuanya mengena pada masalahku selama ini. Bahwa sebenarnya aku adalah penakut, selalu memendam kemarahanku sendiri, sering tak mengenali baik diriku sendiri.  Jadi sekali lagi terimakasih. Ah, aku bahkan tak tahu apa-apa tentang dirimu.” Aku Ariestha membuat Asha tersenyum.
     “Kita kan memang belum berkenalan.” Sahut pemuda itu lantas menghentikan lagi langkahnya.
     “Ha? Ah, ya kau benar.” Kata Tatha tersadar, mereka saling mengetahui nama satu sama lain hanya dari orang lain.
     “Kalau begitu kenalkan, aku Agaesha Ardly..” ujar Asha seraya mengulurkan tangannya. Ariestha pun membalasnya.
     “Ariestha Early, dari jurusan Seni Universitas Osairi.” Balas Ariestha semangat. 
“..Aku juga dari jurusan Seni di Seu..memiliki hobi melukis dan mendengarkan musik instrumental, cukup bagus di bidang makan..Lahir di bulan Mei 1991, memiliki 2 saudara perempuan dan 2 saudara laki-laki.” Ariestha pun otomatis tertawa mendengar cara Asha memperkenalkan diri,  “dan.. kelemahanku.. “ lanjut Asha berubah serius, ”kelemahanku adalah, aku sulit berterus terang pada orang lain.”
     “Sulit berterus terang?”
     “Aku tak jauh beda denganmu..”aku Asha. Ariestha pun tersenyum.
     “Kalau begitu selamat untuk malam ini!”
     “Selamat? Untuk apa?”
     “Kau barusaja berhasil berterus terang padaku. Mengakui kau sulit jujur.” Goda Tatha. Pemuda itu pun tertawa kemudian saat menyadarinya. 
     “ Ah, astaga, bagaimana bisa aku sampai disini? Aku bahkan tak sadar aku hanya mengikutimu berjalan.” Seru Ariestha tersadar kini ia di halaman asrama putra. “ Hash, memalukan sekali.”desis gadis itu. Asha hanya tersenyum. “Ya, sudah. Aku pergi dulu. Sampai jumpa besok!” kata Tatha cepat lalu berlari pergi.
     See You!”
@@@
     Suasana kelas cukup panas pagi itu. Beberapa bergerombol menyaksikan sebuah momen yang mungkin takkan terlupakan oleh  beberapa peserta kelas sastra hari itu. Detik itu Asha baru saja tiba di kelas dan seketika Ariestha langsung menghadangnya tepat di muka kelas.
     “Kau bilang jika aku ingin marah aku harus marah, kan? Aku harus mengungkapkan kemarahanku, kan?”
     “Ya..”
     “Bahkan saat aku harus marah padamu?” Asha hanya mengangguk. “Apa sebenarnya maksudmu seperti ini? Kau ini siapa ha? Berkata tak jelas, pergi begitu saja. Apa kau sudah merasa hebat untuk menceramahi seseorang?! Beraninya kau sok tahu, kau bahkan tak tahu siapa aku, kita bahkan tak saling kenal!”
@@@
     Kini pemuda itu tengah berdiri di muka kelas saat kemudian Ariestha berdiri di depannya. Pemuda itu baru saja tiba untuk mengahadiri kelas sastra pagi itu. Mereka hanya diam. Dan tetap diam. Terutama Agaesha yang nampak tengah sibuk dalam pikirannya sendiri. Ntah apa yang ia pikirkan. Begitu pula Ariestha.
     “Aku tak tahu benar siapa dirimu , tapi terimakasih, sudah menasihatiku.” Kata Ariestha dalam pikirannya singkat lalu pergi tanpa menanti respon dari Asha. Gadis itu hanya keluar kelas meninggalkan beberapa pandangan teman-temannya yang begitu penasaran atas apa yang membuat Ariestha menjadi aneh seperti itu.
     Sejenak kemudian tanpa disangka Asha pun bergegas kembali keluar mengejar Ariestha.
     “Ariestha!” serunya seraya meraih lengan Tatha. “Apa hanya itu yang ingin kau katakan?”
     “Ariestha! Ada apa antara kau dan Asha? Kenapa kalian terlihat aneh?”
     Ariestha tersadar oleh suara Mae.  Asha sama sekali tak mengejarnya.  Tentang peristiwa dimana ia memarahi Asha hanya ada dalam pikirannya. Sedang keadaan dimana Asha mengejarnya keluar hanya ada dalam khayalannya.  Yang benar terjadi hanyalah ketika ia berterimakasih pada Asha dalam bentuk diam di hadapan  pemuda itu.
@@@
     Malam itu Ariestha tengah sibuk dengan tugas Managemen Interiornya. Memikirkan konsep dan banyak hal tentang mata kuliahnya satu itu. Hingga kemudian di tengah keseriusannya ia tersentak oleh dering melodi Pour Elis, tanda pesan masuk dari ponselnya. Gadis itu memicingkan mata melihat jajaran angka tanda nomor seluler tak dikenalnya.
     “Lihatlah keluar!”
     “Nomor siapa ini? Dan ada memangnya di luar?” gumam Ariestha tak mengerti.
Lantas gadis itu pun berjalan mendekat ke jendela. Dan melongok keluar melihat apa yang terjadi di luar sana. Yang ada hanya keheningan. Bisa dipastikan, sebagian besar orang telah tidur, jam sudah memberi tanda di angka 9.30. Ariestha masih mencoba mencari, melihat ke sekeliling apa kiranya yang bisa menarik perhatiannya.
     Akhirnya ia pun menyerah. Diposisi yang masih sama, di depan jendela dilihatnya lagi ponselnya, namun belum benar melihat, pandangannya segera tertarik kembali keluar, melihat ke atas.
     “Asha..”bisiknya seraya tersenyum.
     “Thanks. That’s so cool!” balas Tatha pada pesan singkat bernomor tak dikenal itu. Yang kini diketahuinya, itu milik Asha.  Gadis itu pun dengan gembira ia tersenyum memandangi bintang-bintang terang yang begitu ramah mengelilingi sinar yang lingkar sempurna itu. Sebuah purnama jingga.
@@@
     Seperti biasanya Ariestha kembali memainkan otak kanan dan kirinya, melatih kelincahan jarinya memainkan string violinnya. Menikmati musiknya sendiri ruang terbuka. Mencoba mencari arrangement baru dalam memainkan Queen of My Heart milik Westlife yang selalu jadi lagu favoritnya dari kecil. Akan tetapi di tengah permainannya ia terhenti. Merasakan seseorang tengah mengawasinya.
Ia berbalik dan benar rupanya.
     “Ah, sepertinya aku membuatmu terganggu.” Sapa seorang pemuda yang tengah bersandar pada pohon. Sesaat Ariestha terkesima melihat aura aneh di sekitar pemuda itu, yang tengah menyilangkan tangan ke depan, dengan salah satu tangan itu memegang sebuah buku khas yang sering dibawanya.
     “Sama sekali tak mengganggu. Mm..kau sendiri, kenapa ada disitu?”
     “Hanya ingin mendengar lebih dekat saja.” Jawab Asha santai. Ariestha hanya diam dalam ekspresi heran. “Setiap sore kau selalu disini. Tempat favorit?” lanjut pemuda itu. Ariestha mengangguk.
     “Disini relatif tenang, jarang orang yang datang kesini, tapi meski sepi aku pun masih bisa melihat orang-orang disana. Banyak pohon juga, jadi aku senang berlatih disini. “terang Tatha.
     “Ah, jadi begitu.”
     “Kau sendiri, buku apa yang kau baca? Sepertinya tiap hari kau membawanya.”
     “Ah ini, hanya buku lama dari perpustakaan ayahku. Aku sudah berkali-kali membaca tetapi ntahlah aku belum  bosan hingga detik ini,  pemahaman tentang isinya tak statis sampai disitu, semakin sering kubaca, ada pemahaman baru dari sini.”
     “Oh, begitu..”
     “Mm..sepertinya lebih baik aku kembali, jadi kau bisa melanjutkan latihanmu.” Ujar Asha kemudian.
     “Ah, tunggu, “
     “Ya?”
     “Mm.. Boleh aku lihat buku itu?”tanya Ariestha penuh hati-hati seraya meletakkan violinnya di atas bangku taman.
     “Oh, tentu..Jika kau ingin membacanya bawa saja.” Sahut Asha sangat terbuka sambil menyodorkan bukunya.
     Ariestha pun menerimanya dan langsung mengamati buku setebal 4cm itu. Benar rupanya jika itu buku lama, buku bercover warna coklat itu kertasnya sudah menguning. Dilihat dari tulisannya jelas sekali itu font asli khas mesin ketik jaman dulu.
     “Matrix of ART” eja Ariestha membaca judul yang tertulis di atas cover itu.
     “ART disitu yang dimaksud adalah Acoustic Ratio of The Tube.” Jelas Asha memberi gambaran awal tentang isi buku itu.
     “Acoustic Ratio of The Tube? Matrix?”
     Ya seperti yang kau ketahui, matriks adalah suatu hal yang rumit dan detail, jadi buku itu mengulas kehidupan secara detail dari banyak sudut. Untuk tube disitu merupakan penggambaran kehidupan itu sendiri, yaitu sebuah ruang, tempat dimana makhluk di alam semesta ini berada. Yang memiliki sistem ‘akustik’ yang berbeda antara di dalam dan di luar tube tersebut. Bagaimana dunia luar dan dalam itu bisa terhubung. Dimana tube itu sendiri memiliki banyak arti bisa berupa paint tube, air jet tube, building tube, dan banyak lagi.” Lanjut Agaesha memberi penjelasan yang membuat Ariestha semakin tertarik untuk membaca.
     “Mm.. ngomong-ngomong kenapa kenapa ada lambang kerajaan disini?” tanya Ariestha kemudian saat melihat bagian dalam cover belakangnya. Disitu terdapat gambar kecil yang menjadi khas dari simbol kerajaan Seu. Sebuah lingkaran bersayap dengan sebuah kaligrafi yang membentuk ilustrasi bulan bintang matahari di dalamnya.
     “Ah, ya, itu memang penulis kerajaan yang menerbitkan. Saat itu mereka hanya menerbitkan dalam jumlah terbatas jadi oleh karena itu kami benar-benar menyimpannya dengan sangat hati-hati.”
     “Jadi begitu.. Lalu kau meminjamkannya padaku..”
     “Ya tak masalah, aku yakin kau juga pasti bisa menjaganya dengan baik.”     
     “Begitukah?”
     “Heem,, Hei, kenapa kau bereskan barangmu? Kenapa kau tak lanjutkan latihanmu? ”tegur Asha melihat Ariestha mengemasi violinnya dan merapikan barang-barangnya ke dalam tas.
     “Tak apa, sebenarnya aku memang sudah berniat akhiri latihanku tadi.”
     “Hmm.. ya sudah kalau begitu. Oh ya, apa kau sudah ada gambaran bagaimana lagumu nanti?”
     “Laguku? Lagu apa?”sahut Tatha balik  tanya saat mereka beranjak pergi.
     “Tugas dari Ny.Ramona.”
     “Oh, itu, aku sendiri masih bingung bagaimana, apakah aku bisa membuat lagu. Menulis saja aku sama sekali tak berbakat.“
     “Sebegitu parahkah?”
     “Ya, di mata kuliah sastra saja, aku sering sekali mendapat nilai yang kurang memuaskan.”
     “Tetaplah semangat! Aku yakin lama-lama kau pasti berhasil dapatkan keinginanmu.”
     “Ya semoga saja.”
     “Jadi kau sama sekali belum mulai menulis?”
     “Belum. Aku masih menunggu inspirasi.”
     “Mm..bagaimana kalau malam ini kita coba membuatnya bersama? Apa kau ada acara?”
     “Hmm..kebetulan aku sedang nganggur.  Jadi kupikir itu ide bagus. Aku bisa minta bantuanmu.”
     “Ah, paling juga nanti aku yang meminta bantuanmu.”
     “Bisakah kali ini kau berterus terang padaku bahwa sebenarnya kau sudah mahir?”protes Tatha.
     “Hei, aku sungguh tak pandai untuk hal ini. Kan aku sudah katakan padamu, aku suka instrumental, jadi aku pun buta soal menulis lagu dengan lirik.” Sanggah Asha.
     Fine, terserah kau sajalah. Oh ya, terimakasih untuk semalam.”
     “Semalam?”
     “Bulan.”jawab Tatha singkat.
     “Oh itu.. kau suka?”
     So much.
     “Hmm.. baguslah kalau begitu.”
     “Ah, ngomong-ngomong, apa aku mengikutimu lagi kali ini? Kenapa aku selalu saja tak sadar kemana aku berjalan!” seru Tatha lalu menghentikan langkahnya, menyadari ia berada di jalan menuju gerbang keluar bukan jalan yang menuju ke asrama.
     “Bagaimana jika aku sadar?”
     “Aish, Kenapa sepertinya aku semakin terlihat bodoh saat bersamamu?”
     “Apa kau sudah makan?”
     “Hah? Aku..”Jawaban Tatha terhenti sejenak, hendak mengatakan ‘sudah’ tetapi ia sadar saat ini masih pukul 17.05 dan pasti ia belum makan. “..belum.”jawab Ariestha kemudian dengan singkat.
     “Kalau begitu ayo keluar, aku akan menraktirmu makan!”ajak Asha membuat Tatha mengrenyit.
“Apa kau tahu tempat makan yang enak tapi murah di sekitar sini? Aku belum terlalu mengenal daerah ini.” tambah Asha seraya kembali berjalan.
     “Mm..kau serius menraktirku?”tanya Ariestha masih heran
     “Mm..apa kali ini aku terlihat sedang berbohong?”
     “Hmm..kau terlihat serius, mm..hanya saja aku merasa aneh, dalam rangka apa kau menraktirku?”
     “Haruskah ada event khusus  untuk menraktir seseorang?”
      “Ah, bukan begitu, baru kali ini saja  ada seseorang, teman baru lebih tepatnya, menawariku sebuah traktiran makan. Teman lama saja pasti akan berikan traktiran di saat tertentu saja, atau kalau tidak kami pasti sudah bercanda soal traktiran sebelumnya.”
     “Ya, kalau begitu anggap saja ini traktiran perkenalan.”
     Thanks then.”
     “It’s ok. Don’t mention it again. Mm.. Tapi kau juga pasti sering kan mendapat traktiran dari teman-temanmu? Apalagi jika kau pernah punya kekasih.” Tanya Asha membuat Tatha menatap Asha dengan pandangan tak suka.
     “Sepertinya kau terlalu tertutup pada mereka yang akan mengatakan cinta.”
     “Masalahnya saat aku sedang menyukai seseorang aku memang ta terlalu memperhatikan orang lain.”
     “Dan kau suka pada Lee Gyn?”
     “Ha?” untuk kesekian kalinya Tatha tersentak dengan pertanyaan Asha.
     “Mm..lupakan saja pertanyaanku!” susul Asha cepat. “Oh ya, jadi kita akan makan dimana?”lanjutnya mengalihkan topik.
@@@
      Mereka berdua pun berhenti untuk makan di sebuah kedai mie. Sore ini sedang ramai pengunjung rupanya hingga para pelayan nampak semakin sibuk. Ariestha yang sedang bersama Asha tengah menunggu pesanan mereka datang dengan saling berdiam diri. Gadis itu sedang sibuk sendiri dengan penglihatan samarnya, yang mendapati salah satu pelayan bertabrakan dengan seseorang dan  berakibat nampan yang dibawanya terjatuh.
     “Apa kau sering datang kemari?” tanya Asha menyadarkan Tatha.
     “Ah, dulu hampir setiap hari, tapi akhir-akhir ini jarang.”
     “PRAKK!!KLYARR!!”
Mereka pun dikejutkan oleh suara nampan yang terbanting dengan gelasnya yang kemudian pecah.
     “Ariestha.. Ariestha?!”panggil Asha melihat Tatha yang mendadak tertegun.
     “Ah, ya?”
     “Ada apa?”
     “Ah, tak ada, aku hanya..”
     “Aku harap kau katakan padaku yang sebenarnya.” Potong Asha menyadari ekspresi Ariestha yang hendak berpura-pura tak ada masalah. Gadis itu pun memalingkan wajahnya menghindari tatapan curiga Asha.
     “Ariestha!”tegur pemuda itu lagi. Tatha pun mendesah.
     “Mm..aku, aku sudah melihatnya, sebelum itu terjadi..”
     “Melihat?”
     “Sebelum ia menjatuhkan nampan itu, sebelum ia bertabrakan dengan wanita itu, aku,,di otakku sudah terlintas kejadian itu, saat ia baru keluar dari tirai itu aku sudah melihat mereka bertabrakan. Dan aku terkejut jika itu benar terjadi.”aku Ariestha
     “Mm..kau bisa meramalkan keadaan?”
     “Ntahlah, aku sendiri tak tahu,tapi hal semacam ini kadang terjadi dan selalu datang tiba-tiba, mm..bukan kadang, tapi sering. Hanya saja akhir-akhir ini aku sering salah dan aku menjadi bingung, antara mendapatkan tanda itu atau sedang berkhayal.”
     “Hmm..sepertinya seru punya kemampuan seperti itu..”
     “Bagaimana bisa kau berkata itu seru? Itu justru sering membuatku tak nyaman.”
     “Bukankan itu seru, dengan begitu kau sudah tahu tentang apa yang akan terjadi, dengan begitu kau bisa mencegah hal yang buruk terjadi.”
     “Masalahnya bagiku masalah ini tak semudah itu, aku belum benar-benar bisa memahami hal itu.”
     “Ya, seperti yang kukatakan, mulai sekarang belajarlah lebih peka lagi. Kalau perlu kau sampaikan apa yang kau rasakan pada orang lain, mungkin orang lain tersebut bisa membantu memberi solusi untukmu.”
     “Ck..sepertinya kau benar-benar didatangkan dari Seu untuk menenangkan dan menyegarkan otakku ya..”
     “Apa maksudmu? Bagaimana bisa?”
     “Ntahlah, aku merasa bicara denganmu beberapa menit saja  aku telah sadar akan banyak hal.”
     “Begitukah? Sehebat itukah aku?” tanya Asha tak terjawab, pembicaraan  terputus oleh kedatangan 2 mangkok mie udang yang mereka pesan.
     “Asha, ngomong-ngomong kau dari universitas apa di Seu? Kita sudah banyak berbincang tapi aku belum tahu asalmu..”tanya Ariestha penuh hati-hati. “..Bagaimana keseharian disana? Mm..apa tempat tinggalmu di Seu dekat dengan kawasan istana kerajaan?”tambahnya seraya mengaduk isi mangkoknya.
     “Kenapa tiba-tiba kau tanya soal istana?”
     “Hanya ingin tahu saja. Mm..terus terang saja sejak kecil aku suka cerita tentang istana. Aku ingin tahu bagaimana sebenarnya suasana di dalamnya. Ya, mungkin saja rumahmu dekat, jadi saat aku mampir aku juga bisa sekalian melihat istana, walaupun hanya dari luarnya.”
     “Hmm..jadi kau berniat datang ke rumahku suatu hari?”goda Asha
     “Yaa.. mungkin suatu hari aku berlibur ke Seu.. Hei, kau belum jawab pertanyaanku!”
     “Oh ya, Mm.. kau tanya apa tadi? Universitas ya?”
     “Ya, universitas mana dan bagaimana keseharian disana.”
     “Hmm..aku dari universitas Negara. Suasana disana bisa dipastikan tak sebebas disini.” Jawab Asha sangat santai sambil melahap makanannya.
     “A..apa? Univ..universitas Negara? Ah, kau pasti bercanda, kan? Bukankan itu lembaga pendidikan khusus untuk keluarga istana Seu. Dimana semua pengajarnya bukan orang sembarangan.”
Asha hanya tersenyum. “Hei, kau seriuslah!”
     “Kau bertanya dan aku hanya menjawab, kenapa malah menyalahkan jawabanku, ini bahkan bukan pertanyaan di soal UAS.”
     “Mm..jadi kau serius? Kau..kau masih keturunan darah birukah?”
     “Ayahku bekerja di sana, itu saja. Untuk keluarga pegawai pemerintah kerajaan semuanya punya kesempatan masuk UN. Berhubung aku tak merasa nyaman disana, jadi aku memilih pindah. Then, aku mendarat disini, di tanah Osai, di kampus Osairi, tepat di depanmu.” Terang Asha beanr-benar sangat santai.
     “Jadi..kau sudah pernah melihat keadaan di dalam kompleks istana?”
     “Tentu saja pernah. Jika kau mau melihat juga, aku bisa mengantarmu.”
     “Hah? Serius?”
     “Kau telah sampaikan keinginanmu pada orang yang tepat!”goda Asha lagi.
     “Wah! Ini serasa mimpi, aku belum kesana tapi mendengar tawaranmu saja sudah sangat senang. Aku pasti takkan lupa untuk menagih janjimu.”
     “Mm.. ok, aku takkan ingkar janji.. tapi..aku jadi penasaran, kenapa kau sangat ingin dan sangat menyukainya? Padahal kenyataannya belum tentu kau akan menyukainya.”
     “Haha,, sebenarnya itu hanya karena dongeng-dongeng manis. Yah, mungkin saja aku beruntung mendapatkan pangeran disana.”
     “Jika yang kau harapkan hanya bertemu pangeran di sana, maka mimpilah saja kau. Jik Ku berhasil masuk dan tinggal di sana pun pasti hanya beberapa kali saja kau melihatnya dalam setahun. Mereka adalah orang-orang punya banyak tanggungan di luar istana.”
     “Iya,,aku tahu itu..”
@@@
     Seusai makan, mereka berdua kembali berjalan menuju asrama. Hingga tiba-tiba di tengah jalan Agaesha melihat sebuah toko waffel di seberang jalan.
     “Hmm..melihatnya aku jadi ingin wafel.”
     “Ya, kalau begitu belilah.”
     “Kau mau beli juga?”
     “Ah, tidak. Aku sudah kenyang.”
     “Mm..kau kan  bisa beli untuk nanti malam.”
     “Makananku masih banyak di kamar, kemarin ayahku datang membawa banyak makanan.”
     “Hmm..kalau begitu tunggulah disini, aku kesana sebentar. Atau kau mau ikut sekalian?”
     “Aku tunggu di halte situ saja ya, aku sedang malas menyeberang jalan.”
     “Oh, baiklah kalau begitu.” Kata Asha kemudian berjalan menuju ujung pedestrian, dimana tempat penyeberangan berada di  pertigaan jalan itu.
     Ariestha yang tengah duduk di bangku halte itu pun tak mengalihkan pandangannya sedikit pun dari sosok Asha. Ia tetap mengamati dan mencoba mengenal tiap detail sosok pemuda yang mulai berjalan ke arah seberang disana.
     “Ciittt..!!Brakk!!”
Seketika gadis itu shok dengan peristiwa yang terjadi tiba-tiba itu. Hal mengerikan terjadi di hadapnya.
“Asshaaa!!!” teriaknya histeris dan berlari menghampiri. Sebuah sepeda motor baru saja menghantam sebuah mobil dari arah berlawanan. Dimana setelah itu kendaraan roda dua itu terpental, meluncur menyapu aspal, menyeret tubuh Asha bersamanya.

To Be Continue

No comments:

Post a Comment