Menuliskan ini bukan berarti aku
memang menyukai tokoh yang diceritakan, bukan berarti jatuh cinta. Hanya
mencoba melukiskan sebuah peristiwa menjadi sebuah cerita dengan tema tertentu
dengan akhir cerita tertentu. Mengubah hal yang sebenarnya biasa menjadi
terlihat sedikit lebih “berkesan” seperti orang-orang bayangkan. Ini hanya
rangkaian kata kolaborasi imajinasi dan fakta. Bukan sepenuhnya kejadian nyata,
bukan sepenuhnya kebohongan. Tinggal bagaimana pembaca menanggapi apa yang
terbaca. Bagaimana pembaca memandangnya, positif mau pun negatif.
@@@
Aku hanya seorang manusia yang hidup
dengan usia hampir 20 tahun. Ntahlah apa yang spesial dari diriku, hanya gender perempuan bergolongan darah O
yang tertulis di KTP. Itu yang pasti. Aku tak tahu bagaimana sebenarnya
identitas diriku sendiri. Bahkan terkadang aku merasa aku hanya sekedar “Himono onna” yang bosan hidup, padahal usia
itu belum mendekati 30.
Menghabiskan waktu di dalam rumah.
Makan, tidur, sibuk dengan dunia aneh dalam pikiran. Tak punya teman-teman
untuk hang out bersama seperti shopping, nongkrong di kafe, atau
sekedar windowshopping. Tak ada
pemuda tanpan (bahkan pemuda buruk rupa) yang datang mengajak kencan. Semua
orang mungkin menyebutku drakula atau vampir dan semacamnya yang takut pada
sinar matahari.
Bahkan keluarga sendiri menyebutku
orang aneh yang tak bisa merawat diri. Aku bukan gadis katanya, karena seorang
gadis yang baik takkan membiarkan kamarnya berantakan dan gelap. Aku memang tak
suka lampu yang terlalu terang, ntah kenapa itu membuatku jadi pusing. Kecuali
saat mengerjakan tugas yang butuh lampu pastinya. Gadis normal akan menjaga
benar tubuhnya, tak seperti aku yang mandi sehari sekali atau bahkan kadang
hanya 2 hari sekali. Semua itu selalu kulakukan tiap menjelang deadline tugas.
Jika, memang himono onna sepertinya akan lebih baik daripada aku dalam kenyataan.
Himono onna tinggal sendirian tak
perlu tanggung jawab pada orang lain dalam rumahnya, ia memang benar-benar
menikmati kebiasaan itu, dan benar-benar ingin memikirkan diri sendiri, but I’m different.
Teman-teman SMA dan kuliahku
menganggapku sebagai AB. AB yang terparah dari orang-orang yang bergolongan
darah AB sungguhan. Mereka melihatku terlalu aneh, terlalu sering menyendiri
dan jika mencoba bergabung dengan seseorang akan cenderung diam, apabila
mencoba bercanda akan “garing”
jadinya. Sialnya, saat SMA pun, ketika pelajaran Biologi Bab Darah, tiap siswa
wajib praktek tes darah temannya di laboratorium. Semua orang langsung mendapatkan hasil sesuai
hasil tes yang pernah mereka lakukan di Rumah Sakit, tapi aku? Aku dan temanku
harus mengulang percobaan hingga 3 kali karena 2 percobaan menghasilkan AB,
baru yang ke-3 hasilnya benar O.
Sedang jomblo? Beberapa orang yang
melihat keadaanku terakhir ini mungkin akan berpikir demikian. Aku pun menjadi
berpikir, “Sedang”jomblo itu berarti ada
kata “pernah tidak”jomblo. Namun aku tak pernah sekali pun tahu bagaimana
perasaan seorang gadis yang punya kekasih. Orang-orang dewasa “bijak” pasti
berkata “Wah, anak yang baik, taat agama,
gak pacar-pacaran.” atau ”Wah, bagus, gak usah pacaran dulu, yang serius
sekolahnya.” Tapi kalau bertemunya ibu-ibu yang suka ngrumpi pasti berkata “Dia
anak kurang pergaulan kayaknya, gak pernah kelihatan ada cowok mampir. Gak
kayak anakku temen cowoknya banyak, pacarnya juga sering dateng bawa ini itu..”
Atau kadang-kadang tanya langsung ke ibuku saat mereka bertemu di kedai
sayuran.
“Lho, Bu, mbak Naeris libur sekolah
kok dirumah aja? Gak main ma temennya?”
“Oh, dia memang suka di rumah.”
“Wah, kalo Yusin anaknya bu Lisa,
juga suka di rumah aja, tapi temennya banyak mampir. Kok aku nggak pernah lihat
temannya mbak Naeris.”
“Nggak tahu, katanya kalau libur,
dia memang gak suka diganggu.”
“Oh, gitu, beda ya, berarti, ma anakku,
kalau Yusin tu anaknya kayaknya ramah, gak pilih-pilih temen, gak sombong. Jadi
banyak yang suka main kerumah.”sahut bu Lisa.
“Masalahnya kalau Naeris, dia sibuk
garap dagangannya, tugasnya juga ada yang harus dikumpul pas masuk sekolah
lagi.”
“Oh iya, anak sekolah sekarang libur
tetep dapat tugas, Sasa, anak saya, juga gitu, tapi kalau Sasa biasanya kerja
bareng sama temen-temennya, mereka pada dateng ke rumah bantuin Sasa.”
“Nggak tahu dah kalau Naeris itu
memang aneh anaknya.”jawab ibuku pada akhirnya menyerah.
Lantas sesampai
di rumah pasti ibuku akan mengomel,
“Kamu jadi anak jangan
sombong-sombonglah, ajak temenmu kesini. Sekali-sekali main bareng
temen-temenmu! Jangan di rumah terus. Dari dulu main bareng anak tetangga aja
juga gak mau, gak bosen apa ngliatin laptop, nonton film, baca novel aja,
ngurung diri di kamar! Cobalah lihat Yusin, Sasa, Sherly, tirulah mereka, nggak
kayak kamu yang selalu sendirian kemana-mana.”
“Yah,
kalau aku mau seperti mereka, yang teman-temannya adalah tipe cowok-cowok pervert, gampang aja. Kalau
aku main obral seperti orang-orang yang ibu sebutkan, ya gampang aja.” Pikirku
dalam diam menyerah.
Oleh karena itu, daripada aku lelah
mendengar bisik-bisik tetangga, lebih baik memilih tempat kuliah yang jauh dan
tinggal di rumah kos. Dengan begitu ibuku pun tak perlu bingung menjawab
pertanyaan para penggosip kampung itu. Mengingat peristiwa yang ribuan kali
terulang itu benar-benar menyebalkan.
Sesungguhnya bukan karena keinginanku
jadi sombong atau semacamnya. Berteman benar-benar membuatku lelah. Bagiku TEMAN
ITU MAHAL. TEMAN ITU BASA-BASI. Berteman paling murah adalah duduk bergerombol menggosipkan keburukan orang lain. Selebihnya adalah
Shopping yang menghabiskan uang.
Jalan-jalan sekedar windowshopping itu
ujung-ujungnya makan, itu juga menghabiskan uang. Berteman itu bikin pesta
ulang tahun, pasti butuh iuran buat kado, itu keluar uang juga. Berteman itu
organisasi, organisasi itu kas mingguan atau bulanan, bayar kas pakai uang
pastinya. Mau cari teman setia, kelompok belajar, tanpa uang? Jaman sekarang,
kok, aku tak berhasil menemukannya.
Why
do I hate everythings related to money? Because I don’t have any. Ayahku hanya seorang buruh montir pabrik
benang. Ibuku sendiri seorang ibu rumah tangga biasa yang mengidap kanker, yang
butuh banyak biaya untuk obat . Adikku, ia juga seorang penyandang autis. Gaji
1,25 juta milik ayahku yang kemudian terpotong hutang disana-sini takkan cukup untuk
menghidupkan kami berempat. Melihat kondisi seperti itu, apa mungkin aku bisa
pergi bersenang-senang ke berbagai tempat menarik tanpa orang mengajak secara
gratis? It’s impossible. Mungkin akan
ada beberapa teman meinjamkan uang, itu tetap saja aku harus membayarnya di
lain hari, jadi intinya sama saja menghabiskan uang. Jadi aku akan memilih menyibukkan
diriku dengan bisnisku sendiri – menjual aksesoris, menerima pesanan pernak-pernik
flannel atau membuat lukisan pesanan, dimana studioku adalah kamarku, jadi
bagaimana bisa aku tidak dikamar. Itu lebih baik dibanding keluar untuk “berteman”.
I have my way untuk berteman dengan
uang.
Then,
satu orang saja untuk berteman, menjadi kekasih. Aku juga heran sampai
sekarang, kenapa tiap kali aku menyukai seseorang,
ia hanya mengabaikanku. Tiap kali aku disukai seseorang, mereka adalah orang asing
yang pastinya aku tak bisa menerimanya karena aku tak benar mengenalnya. Jika
tak asing, pastilah dia orang yang tak menyenangkan, bukan tipe orang yang
serius di akademik dan lebih suka bersenang-senang dalam dunia hedonisme.
Membicarakan banyak hal dengan orang
lain sepertinya akan sulit. Yang aku tahu hanya sebagian kecil hal dalam radio,
hal yang mereka tak pernah tahu, hal yang mungkin penting tapi dianggap
membosankan. Saat mereka membicarakan tempat hiburan fantastis dan menyegarkan,
atau tentang festival yang sangat seruI
just can imagine it. Hanya mampu bermimpi bahwa aku akan menemukan seorang
pangeran yang membawaku terbang bebas ke tempat yang begitu tinggi, merasakan
indahnya alam, membaui segarnya aroma bunga yang aneka warna. Berkhayal
pangeran itu akan menarikku ke dalam sebuah festival malam penuh kerlipan
lampu, menikmati makanan yang manis di bawah terangnya bulan.
@@@
Meninggalkan tempat kelahiranku Yogyakarta
yang menjadi Kota Pendidikan menuju Kota Pendidikan lainnya di Malang. Kuliah
di sebuah universitas yang cukup baik di jurusan Arsitektur. Hidup dalam rumah
kos dengan imensi kamar 3m x 3m. Makan dengan biaya hasil menghimpun uang dari sana-sini.
Kiriman orang tua, income dagangan
dan beasiswa dari universitas.
Sudah cukup lama tinggal di kota
ini. Namun aku tak pernah bisa mengenali
semua tempat. Selain tak ada dana untuk berkeliling, juga tak ada waktu untuk
itu. Habis sudah untuk tugas yang memakan 24 jam untuk selesai. Hanya sempat
mencari udara segar di loteng area jemur kos. Mungkin menulis diary di blog
atau di pesawat kertas lalu membuangnya ke udara. Berharap angin
menyampaikannya pada singgasana Tuhan untuk mendapatkan balasan langsung. Masih
berharap aku dapat melihat dunia ini dengan perasaan bebas.
@@@
"
Dear my wind,. I never believe in valentine days. Never celebrate it. Never
though that February as The Month of
Love. Thus, I always get my happiness in that month. And really happy. I hope
it’s for always and forever.
Today,
18th February 2012, I went to Selecta. A
beautiful park in Batu City. It
has a good view. Really good. The surrounding is so
pretty. Mountain, hills, forest,
ricefield, river, fishes they are very interesting and attractive. This’s a
good day forever. Finally I can see the nature open space. That’s all I want
along this time. Feel the air, walking around flowers, hear the song of water.
That’s really really really Fantastic. The world’s perfect.
In this
place, I took some pictures of view. Took photos of me. On some spots like
aquarium, big rock, flowers garden, on stairs, pergola, “Lion’s mouth”, and
others spot. That’s cute,. :D
The main idea of today just about the view of world.
I won’t think more about the others.
Just have fun among the nature
and friend. Because I’ll always
beside them..
But also today everything must be over. All thing
that was enjoyed by me must be end. I’ll never win. They know how to make it
happen, but I can’t. I also know I won’t found a good ending. So, I must stop
it now. Destiny won’t come like my dream. I’ve see it. Don’t fall in love again
for this time. That’s enough for the beginning of month. May be another time,
in another event and another place we can meet again and have fun again."
Itulah yang
tertulis malam itu dalam
pesawat anginku, seperti
malam-malam sebelumnya, kuungkap semua isi hatiku padanya. Hari itu aku
kembali ke kos setelah pulang dari rumah di kampung halamanku. Aku harus pulang
ke kos pagi itu karena aku harus segera mengembalikan helm yang aku pinjam dari Aru beberapa minggu
lalu saat kami dan beberapa teman sibuk mengurus pameran tugas studio, selain itu Aru sudah berulang kali mengirim sort message ke ponselku menanyakan
kepulanganku ke kos dan memintaku mengirim pesan teks jika aku sudah tiba di
kos.
"Bli,aku udah di kos nih."kataku lewat SMS kepada Aru yang
berasal dari Bali.
“Oke-oke..sip2..abis ini aku ke sana. Aku lagi makan nih di deket kosmu, di depot 99."balasnya.
@@@
Sekitar pukul
10.30 ia pun
telah tiba di
depan kosku. Dan
aku langsung menemuinya.
"Ini helmnya,
Bli. Maaf ya,
baru balikin sekarang.
Waktu kemarin pas ke
kampus lupa terus." ucapku menyesal.
"Iya gpp, kok. Santai aja Naeris.."
"Temenmu udah pulang kah? Dia marah
nggak?"
"Udah pulang tadi pagi. Dia
biasa aja kok. Ngapain juga marah."
"Oh, ya udah kalo gitu. Sampein
makasih juga ke dia, ya."
"Ok. Btw kamu lagi ngapain, Naeris?"
"Nggak ngapa-ngapain. Ini aja baru nyampe
terus beres-beres kamar dikit."
"Oh..lha abis ini mau ngapain?"
"Ngaplo kayaknya..lha
nggak ada kerjaan. Mungkin
nonton film ato apa deh ntar. Lha
kamu mau kemana lagi abis ini?" balasku balik bertanya.
"Aku pinginnya jalan-jalan sih abis ini.
Ikut.a?" ajaknya.
"Jalan-jalan kemana?"sahutku.
"Belum
tahu, pokoknya jalan-jalan
aja. Ayo ikut. Dari pada
kamu ngaplo di kos!"
"Hmm.. Pingin sih.."
"Ya udah ayo.”
“Lha tapi kemana, Bli?”
“Ya, jalan aja dulu ntar baru
nentuin kemana. Ayo deh! Pake helm ini aja lagi dulu.”
"Mang gpp? Barusan dibalikin
masa' dipinjem lagi?"
"Gpp lah. Ayo deh. Biar aku
nggak sendirian juga."
"Ya udah deh.. aku ganti baju
dulu ya..Tunggu bentar ya!"
"Ok sip!" sahutnya dan
tersenyum ceria padaku.
Ini pertama kalinya aku ingin ikut
seseorang. Saat ada orang yang punya rencana pergi dan
kebetulan bertemu denganku
lalu mengajak ikut,
aku selalu benar-benar menolak. Lantas saat ada orang
lain mengajakku pergi berdua, seperti Arsa, Risky, Didi, atau cowok lainnya aku
pun selalu menolak. Ya, mungkin Sam yang pertama pada malam itu (yang kemudian membuatku tak
menyukainya sama sekali), tapi itu karena aku memang sudah sering pergi
dengannya bersama Trya, Maria atau Vem dan itu pula tujuan awalnya hanya urusan
tugas dan tak ada tujuan pergi ke tempat hiburan khusus.
Beberapa saat kemudian aku dan Aru
sudah meluncur ke arah Batu setelah sejenak
mengisi ulang bensin
motornya di pom
bensin Dinoyo. Sempat
pula kami mampir ke ATM BRI di
Batu karena aku harus mengambil
uang. Aru pun mengajak ngobrol
sambil mengemudi. Untukku, ini pertama kalinya aku seperti ini, dengan
seseorang seusianya, bukan ayah, bukan paman, sangat hina sekali hidupku, hal
biasa saja menjadi spesial.
"Kemana nih enaknya?"
"Terserah..aku ngikut aja. Aku
juga nggak tahu soal tempat2 di Batu."
"Kemana ya..ya udah seketemunya
ntar deh ya.."
"Iya udah terserah.. Btw kamu
nggak pulang kampung Bli?"
"Nggak, lha ngurus Open Talk
kemarin, lagian juga nanggung mau pulang."
"Terus nggak main kemana gitu
kemarin2?"
"Nggak. Sebenernya sih kemarin
anak-anak kayak Topan, Ilma, Yuhdi mau ngajakin main ke Banyuwangi tapi aku
nggak ikut deh.."
"Emang kapan mereka rencananya
ke Banyuwangi?"
"Hari ini, mereka main. Tapi
nggak jadi ke Banyuwangi, jadinya ke Jombang."
"Oalah..Kamu kenapa nggak
ikut?"
"Ya Gpp..yang penting masih
bisa jalan-jalan sendiri kan.."
"Iya sih.."
@@@
Aku
sangat menikmati saat-saat
itu. Perjalananku menembus
angin segar. Melihat bentang
alam, persawahan, perkebunan, perkampungan tradisional. Aru pasti tak tahu jika
aku yang di belakangnya tersenyum lebar di jalan yang menanjak ini. Dengan
posisinya yang sedang
sibuk mengemudikan sepeda
motornya aku bisa
benar-benar bebas. Terutama dengan jalanan yang tak terlalu ramai.
Kurentangkan tanganku,
tak lebar memang, hanya sangat
sedikit namun yang pasti aku bisa merasakan
angin itu menerjang telapak
tanganku, menerobos sela-sela jariku. Kaca
helm yang kubuka
membuat sang bayu
itu benar-benar terasa
aroma segarnya, menyapu wajahku. I'm
Free!
Kemudian ketika
mobil itu tiba-tiba menyerempet, yang kemudian spontan tanganku
berpegangan di pinggangnya saat moncong mobil itu menabrak kakiku, itu pun pertama kalinya aku memeluk
seseorang selain orangtuaku sendiri, kakak sepupu saja tak
pernah, pada tukang ojeg juga tak pernah mau. Mungkin
untuk orang lain
ini bukan hal
aneh bahkan sangat
tak penting, tapi tetap saja aku tak bisa lupa akan hal itu.
Setengah jam
setelah itu tibalah
kami di gerbang Taman
Selecta. Perjalanan tanpa tujuan
akhirnya terhenti di sini. Karena aku harus memecah uang Rp 100.000 ku maka aku
yang membayar tiket masuk dan Aru akan mengganti uang itu setelah itu.
@@@
Kini
kami ada di
taman hiburan berdua
tanpa sengaja. Situasi
dimana kami sama-sama sedang
bosan dan butuh teman akhirnya mengantarkan kami berdua disini. Kami hampir
tak berhenti tertawa
dan tersenyum. Aku
sangat bahagia hari
itu. Menikmati alam,
berjalan mengelilingi perkebunan
bunga, dan yang paling
menyenangkan adalah ketika kami duduk di tepi sebuah tebing, memandang panorama
alam yang begitu luas, bertukar cerita serta melepas lelah dan kepenatan.
Finally, I got my dream!
"Ayo, Naeris,
duduk dulu disini."
ajak Aru dan
kami pun duduk
dengan obrolan ringan disana, diatas sebuah bangku beton berbentuk batang
pohon, menghadap pedesaan dan lahan persawahan dibawah sana. Di sebuah titik
yang serasa tanpa batas.
Merasakan hembusan angin. Begitu
nyaman dan menghapus semua kepenatan. Melihat keramaian dunia. Mendengar seruan
alam. Melihat percikan air di antara pepohonan dibawah sana, begitu
menenangkan. di saat kurang baik pun aku
merasa hangat. Serasa begitu dekat dengan angkasa. Di tepi tebing ini aku tahu,
dan aku ingat ini, perasaan yang sama dengan mimpiku. kini aku akhirnya melihat itu, wajah itu,
yang samar dalam mimpiku saat SMA, itu wajah Aru, dengan
segala keindahan alam di sekeliling kami, semua sama!
"Eh,
Naeris, kamu udah pernah masuk situ?" tunjuknya pada semacam pintu gua di
bawah tempat kami duduk.
"Nggak, emang itu apa?"
"Ya itu badannya singa, ntar
keluarnya disana itu, di mulut singa itu."
"Oh, itu nyambung?"
"Iya, mau kesana tah? tapi
gelap di dalam."
"Emang gelap banget?"
"Nggak tahu sih, kayaknya ada
lampu tapi ya remang-remang gitu."
"Ayo kesana! Aku pingin
lihat."seruku sangat penasaran.
"Ayo deh kalau kamu nggak
takut." Sahutnya. Kami pun meninggalkan tepi jurang itu setelah cukup lama
disana.
@@@
"Nggak pingin foto
disini?" tanyanya saat kami sudah sampai di mulut singa, setelah melewati
terowongan kecil yang sangat lembab dan sedikit licin itu.
"Ha?"
"Kalau mau foto sini aku ambilin."
"Iya deh..hehe.." sahutku girang dan Bli keluar untuk mengambil
gambar dari depan. "Hati-hati
Bli, jangan mundur-mundur!" seruku mengetahui adanya cekungan di belakang Aru.
"Iya,"
Aku tahu ini tak boleh. Tapi ia pun
membuatku nyaman. Dari yang sebelumnya, tak pernah aku merasa aman meskipun aku
merasa nyaman. Itulah yang membuatku tak bisa melupakan peristiwa ini begitu
saja. Dia cerdas dan lebih rajin juga lebih pintar dariku. Ia bisa memimpinku.
Apakah salah jika aku hanya menikmati itu. Setidaknya untuk sesaat aku masih
ingin menyimpannya. Menyimpan sebuah awal kebebasanku.
Kata. Itulah yang mengawali semua
ketertarikan. Awal aku bicara dan mengenalnya,
aku sudah tahu
ia adalah orang
baik walaupun aku
baru bertemu dengannya beberapa
menit. Hingga setelah itu aku berjalan di sampingnya, semua sudah terasa
berbeda. Saat duduk di sampingnya, dan untuk duduk berikutnya aku jadi tahu,
mengapa mereka suka
untuk berada di
sisinya. Aku mengerti
kenapa mereka bisa dengan
mudah meletakkan dan
menyandarkan kepala di
pundaknya. Aku juga merasakan alasan
mereka yang suka
untuk meraih lengannya.
Ada kenyamanan tersendiri.
Kenyamanan itu berbeda.
Ini hanya untuk sesaat. Hanya saat
ini saja. Ia juga melakukannya untuk sejenak saja. Prinsip kami tak mungkin
terabaikan. Dengan pemikiran yang sama, tujuan yang sama, keinginan yang sama,
dan cita-cita yang sama, kami takkan menghancurkannya dengan terus membiarkan
rasa ini. Kuliah adalah yang terpenting. Tak mengecewakan orang tua
jelas itu yang
terpenting. Apalagi dengan
bebanku yang mendapatkan beasiswa itu, aku sangat takut
jika aku tak bisa mempertanggungjawabkan
semua uang yang sudah kuterima sejak SD!!!
Ini hanya untuk
kebahagian sesaat. Sebuah pengalaman berbeda. Selama kurang 2,5 jam. Dari
sekian kali pertemuan. Hanya sebentar.
Cukup di lokasi-lokasi itu. Hal lebih
serius lebih penting akan datang esok. Untuk kali ini aku merasa khayalan itu
sedikit menemuiku, seakan bertemu seorang pangeran yang menyelamatkan Rapunzel
yang selama ini terkurung dan mengajaknya melihat dunia yang luas dengan
kudanya.
Dia begitu cekatan
dan tahu apa yang harus dilakukan.
Dapat menyesuaikan
keinginanku namun dapat memimpinku dan tak hanya menyerah mengikutiku. Tidak mengagungkan kesibukannya
dan selalu semangat.
Ia pun begitu humoris.
Itu yang kusuka. Menyukai
tantangan dan hal
baru. Itu membuatku
sadar bahwa aku
harus meniru itu. Bahwa aku tak boleh takut dan pesimis. Harus selalu
optimis dan berpikir positif. Aku melihat segala sisi terbaiknya hari itu, yang
benar jauh berbeda dari apa yang selama ini orang katakan tentangnya.
Berjalan di area menanjak itu sangat
seru. Aku juga suka saat ia mengajakku
memasuki terowongan lion itu, cukup menguji nyali. Ketika
duduk dan berjalan di tepi sebuah tebing dengan jurang yang dalam sangat
menyenangkan.
"Kemana lagi ini?"
"Kesana kah?"
"Iya dah ayo. Eh, aku mau dong
foto disitu."katanya seraya
menunjuk sebuah kolam berbatu dengan tulisan 'Selecta'.
"Ya udah, mana aku
fotoin."sahutku. Ia pun
menyerahkan ponselnya padaku. "Ni tombolnya yang tengah
ini?" tanyaku.
"Ini aja, Naeris, pakai yang
pinggir, tapi jangan langsung
ditekan, pelan-pelan sampai tanda hijau
keluar, buat fokusnya."
"Nggak mudeng!" sahutku
benar-benar belum mengenal ponselnya.
"Jadi gini lho!"
terangnya seraya mengajariku
secara langsung. Mengepaskan
jariku di tombol
kameranya. Aku sadar
ini hal biasa,
tapi ketika ia
sangat dekat denganku, ketika
telapaknya menggenggam tanganku saat mengajariku, sengatan aneh telah mengalir
dalam diriku. Apakah ini perasaan lonelyness?
Hash, aku memang menyedihkan.
Aru
begitu perhatian hari itu
dan selalu membantu
dengan sepenuh hati. Saat
ia berkata,
"Nikmatilah apa pun yang kita lakukan, meski sendiri maupun bersama
orang lain!"
Mendadak aku
ingin sepertinya, mencoba hidup sepertinya, hidup dengan pedoman yang membuatku
bisa tetap hidup. Yang membuatku masih semangat untuk belajar, tumbuh, dan
berkembang. Merasa itulah yang harus kulakukan, tetap menikmati keadaanku tanpa
harus selalu merasa menyedihkan.
"Eh, Naeris, itu ada air terjun
ya tuh! Ayo kesana!" serunya seraya menunjuk air terjun di ketinggian, di
area semacam perbukitan di seberang sana.
"Naik kesana?"
"Iya. Kamu nggak pernah
kesana?"
"Nggak, kalaupun aku pernah
kemari pasti nggak boleh ma ibuku.."
"Oalah.. makanya ayo kesana,
aku juga pingin lihat soalnya."
"Ayo dah.."
"Lewat mana nih tapi?"
"Ya turun dulu, Bli lewat situ
terus naik di sana."
Kami pun
melewati perkebunan bunga.
"Bli, fotoin!" seruku.
"Oke dah dimana?"
"Di sini!" seruku di dekat
bunga-bunga yang berwarna merah. Bli pun menuruti permintaanku.
"Bagus nih!" katanya
seraya menunjukan hasil
potretannya. "Aku jadi pingin
hehe.."katanya.
"Ya udah sini gantian."
"Tapi masa' aku foto di
bunga-bunga."
"Ya nggak papa lah!"
"Jadi kelihatan kayak cowok
romantis dong aku?"
"Udahlah, gpp, kan bagus
tuh!"
"Iya dah, dimana ya enaknya,
apa disini? Di sini aja deh. Eh, tapi kok bunganya kuning haha.."
"Haha..udah bagus disitu,
lucu!"seruku.
"Tapi masa' kuning sih!"
"Ya nggak papa lah kuning,
ceria!"
"Hehe.. iya deh." sahutnya sambil duduk di atas batu besar di antara
bunga- bunga itu. Ia tersenyum lebar.
Dan saat melihat fotonya itu, aku pasti bisa tertawa. Karena melihat
senyum dan tawanya selalu membuatku ingin ikut tersenyum.
Perjalanan ini
berlajut, kami sudah di "kaki gnung" itu. "Heh, masa' lewat
sini, tuh disana ada jalan!" protesku
"Udah lewat sini aja, kalau
kesana kejauhan, kelamaan juga." "Serem, Bli! Ntar kalau kepleset
gimana?"
"Nggak, nggak licin kok, aku
bantuin! Ayo deh." paksanya dan ia langsung naik begitu saja. "Ayo
sini, aku pegangin!" serunya seraya mengulurkan tangannya padaku. Akhirnya
aku pun setuju dan membalas uluran itu. Ia pun menggenggam erat tanganku dan
menarikku.
"Makasih"
"Tuh kan nggak kenapa-kenapa. Ayo naik, pelan-pelan aja, biar kamu nggak jatuh ntar."
"Iya!"sahutku menyerah saja.
Aku tak peduli siapa
saja yang pernah ditolongnya, berapa jumlah
gadis yang pernah ia genggam tangannya. Namun aku bahagia mendapatkan pengalaman
itu dengannya.
Pukul 13.15 kami beranjak pulang karena
langit tampak mulai
mendung. Di jalan pun kami tetap berbagi cerita seperti
awal kami berangkat.
"Kamu mau makan dimana, Naeris?"
"Di kos mungkin. Tadi aku sudah
masak nasi sama bawa lauk dari rumah."
"Oh, kamu masak nasi sendiri tiap
hari?"
"Iya. Buat penghematan, Bli. Jadi
cukup beli lauknya aja."
"Oh..gitu. Tadinya kamu mau aku
ajak makan bakso. Sekalian ganti uang tiket tadi."
"Gampanglah itu, Bli. Besok juga
gpp. Ato sekalian buat jajanku besok."
"Gitu? Ok deh kalo gitu. Berarti
ini langsung pulang ya."
"Ya.."
"Btw abis ini kamu ngapain?"
"Gtw.. tidur mungkin. Lha kamu,
Naeris?" "Sama deh kayaknya. Pingin tidur juga aku.."
@@@
Seusai hari itu antara aku dan Aru
kembali seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Mungkin hanya beberapa kali kerja
kelompok dalam mata kuliah yang sekelas. Mungkin ia sudah melupakan semuanya. Sedangkan
aku pasti takkan bisa, karena itu adalah hari kebebasanku melihat dunia luar.
Namun perlahan aku mencoba kembali bangkit, mengejar nilaiku yang sempat
tertinggal. Seakan aku benar-benar mendapatkan pencerahan dari pemuda itu. Ia
membuatku merasa normal.
That’s
ordinary moment but special, karena itu hanya sekali dalam hidupku. Meski
mungkin setelah itu aku tak dapat lagi melihat, bertemu, berbicara dan tertawa
dengan Aru, akan tetapi saat ingat kata-katanya itu, saat mengingat ekspresi
itu, aku selalu memiliki alasan untuk bangkit tiap kali aku mendapatkan bad day. Cukup sekali untuk terbebas,
meski sekali itu sangat berarti untuk membuatku mampu berjalan sendiri. Bahkan
ketika aku pada akhirnya bertemu lagi dengannya di Festival Malang Tempo
Doeloe, dan kemudian berpencar lagi, itu adalah sebuah hadiah, setidaknya
mimpiku dan khayalanku telah kudapatkan, setidaknya aku tahu mimpi itu bisa
menjadi nyata, dan aku tahu aku masih memiliki Tuhan yang dapat membawaku bertemu seorang teman yang tak mahal. Satu teman yang
benar membuatku melihat hal yang berbeda, dalam ordinary
moment..
@@@
No comments:
Post a Comment