Gadis itu terbaring miring di atas tempat
tidurnya. Tak terlelap. Jam dinding menunjuk angka 2 tetapi ia masih menatap ke
arah jendelayang sedikit terbuka tirainya. Pandangannya kosong. Pikirannya tak
tenang di malam yang sangat dingin itu. Dedaunan
di halaman sesekali mengintip dan melambai. Seakan bertanya “Kenapa kau tak
tidur? Insomnia lagi?”
Di otaknya hanya terpikir akan masa lalu.
Berkhayal, seandainya ia tak pernah lahir. Seandainya ia tak pernah ada di dunia ini.
Mungkin segalanya akan jadi lebih baik. Kini di sorot matanya semua berubah.
Dari kekosongan perlahan kemarahan, berubah lagi ke dalam sorot kesedihan
hingga semakin lama kembali kosong..
@@@
It’s
not about another girl. It’s about me
now. Aku
baru saja pulang dari kampusku. Siang ini terasa begitu pengap. Panasnya
matahari seakan memanggangku di dalam “oven” ini. Sudah satu jam aku berada di
dalam angkutan umum. Sedangkan kini harus oper ke angkutan lainnya. Baru lima
menit perjalanan baru, panas menurun beralih mendung. Lima belas menit kemudian
hujan pun turun. Perlahan semakin deras dan memuncak di saat aku harus turun
lantas berjalan ± 100 m menuju rumahku. Aku mendongakkan kepala. Air hujan
dengan mudahnya menyapu wajah. Sejuk. Sangatlah sejuk. Andai hidupku sesejuk ini.
Setelah
melewati beberapa tikungan di kompleks perumahan yang masing-masing memiliki
pekarangan sangat luas, aku tiba di ujung gang kecil. Menyeberangi sebuah rel
kereta api yang melintang panjang pada jarak 8 m di depan rumahku. Sepanjang jalan di kampungku ini sangat sepi.
Mungkin karena hujan, ibu-ibu pakar gossip tak lagi mejeng. Tak lama kemudian
aku telah berada di dalam rumah. Ibuku sedang berbaring di tempat tidurnya.
Seperti biasanya, merintih kesakitan.
Sudah tiga
bulan ini sakitnya semakin parah. Hampir setiap malam menggigil kedinginan
dalam keadaan tubuh bersuhu 28,5°C. sepanjang malam akan seperti itu. Menangis, merintih, istigfar, lalu kembali
menangis dan merintih, berputar seperti itu, membuat dada ini terasa sangat
sesak dan perlahan menyakitkan. Ingin aku menangis juga rasanya. Ntah kenapa
mendadak bekas luka jahitan operasi kankernya dulu kembali terbuka dan infeksi.
Kini sedang menunggu jadwal kemoterapi atau operasi, ntah yang mana keputusan
dokter belum dipastikan, menunggu hasil laboratorium.
Waktu
menunjukkan pukul 16.05 saat aku selesai berganti pakaian. Dan tak lama
kemudian kakakku yang juga tiduran terbangun.
“Pipi..pipi..”katanya
tergesa-gesa bangun tapi sulit untuk bangun. “..pipi..”katanya lagi seraya memegangi roknya. Sejenak aku menghela napas, lalu menemani
kakakku yang autis itu menuju kamar mandi. Beruntung kami tepat waktu. Sebab
jika tidak ia mungkin sudah buang air kecil di ruang tengah.
Kakakku
berusia 26 tahun. Sebentar lagi 27. Lima tahun lebih tua dariku. Meski begitu
ia selalu bersikap seperti balita. Karena demam tinggi dan salah penanganan
dokter di masa bayinya, ia harus menjadi seperti itu. Sempat lumpuh tak bisa berjalan,
tapi untunglah kami bertemu seseorang dan membantu kakakku untuk terapi di sebuah
yayasan anak cacat. Sekarang bisa berjalan baik meski tak bisa seperti cara
berjalan orang pada umumnya.
Tak lama
kemudian ayahku yang bekerja sebagai maintenance di pabrik tekstil pun datang.
Ia mengeluh lelah saat ibuku meminta dibelikan obat. Namun bagaimana pun ayahku
menuruti semuanya. Kami tak punya banyak uang, jadi pantas jika pada akhirnya
ayahku berkata lelah untuk mencari uang pinjaman. Setelah sholat, ayah pun
kembali keluar rumah.
“Pipi..pipi..”kata kakakku lagi dengan suaranya yang sangat lembut seraya
menyeret tanganku. Kata “pipi” yang kali ini berbeda dari yang awal. “pipi”
yang dimaksud diawal ditujukan untuk kata “pipis”, sedangkan “pipi” yang kali ini adalah untuk kata “TV”. Kakakku memang sedikit sulit bicara. Ia hanya
mampu untuk beberapa kata saja. Selebihnya ia hanya akan berkata “eh”seraya
menunjuk pada apa yang diinginkannya. Aku
menyalakan TV dan memutar lagu Doel Sumbang lewat DVD yang sebenarnya sudah tak
layak pakai. Itu lagu favoritnya yang sepertinya sekarang mulai membuatnya
bosan. Tapi begitulah kakakku. Setiap hari ia tak pernah bisa lepas dari music
(music yang dikenalnya). Jika tidak ia akan seharian menangis keras.
Kini aku duduk
di dekat ibuku yang sepertinya sedikit membaik setelah meminum obat penghilang
nyeri dan penurun panas.
“Gimana, jadi ujian
kapan?”Tanya ibuku mulai kembali membicarakan skripsi. Ini seperti hantaman
untukku.
“Nunggu ijin dari dosen
pembimbing dulu.”
“Kapan keputusannya. Bukannya
semester udah mau abis, jangan mundur lagi ya..”tuturnya. aku hanya terdiam.
“Emang
kamu kurang banyak?”
“Mm..nggak banyak sih, tapi
tergantung hasil asistensi ntar. Butuh revisi lagi apa nggak.”jawabku penuh
hati-hati.
“Jangan kelamaan, kalau
lama-lama kapan mau wisudanya coba? Temen-temenmu udah wisuda semua gitu.”
“Ya
ini masih usaha biar bisa ujian bulan ini.”jawabku ragu.
“Kamu sih, ngapain kamu nggak
ngekos lagi. Jadinya begini, susah ke kampusnya, jadi nggak bisa asistensi lancar,
mau ke perpus, mau apa-apa nunggu bapakmu punya uang.”ujarnya membuatku hanya
bisa membisu menahan semuanya. “Kalo kamu masih kos kan seenggaknya meski nggak
punya banyak uang kamu masih bisa ngampus, nggak butuh duwit transport.”
Aku
tak bisa menjawab. Dadaku sudah terlalu sakit. Hingga kemudian kakakku kembali
menarik tanganku.
“Mimik..mimik..”serunya minta
minum. Aku pun meninggalkan kamar dan
mengambil minum untuk kakakku.
Lantas aku mengambil tas dan
membuka laptop berniat melanjutkan pekerjaanku. Laporan skripsi yang tak
kunjung selesai. Tak lama setelah itu, “Mandi..mandi..adek..mandi..”seru
kakakku lagi seraya menarik-narik kerah kaosnya.
“Mbakmu minta mandi ini, sana
mandiin!”seru ibuku padaku.
Semua selesai. Awalnya berniat
kembali mengerjakan skripsiku dan.. “Pa ma’u..adek..ayo pa ma’u..”seru kakakku
lagi menarik tanganku meminta makan.
“Nggak ada lauk!” sahutku.
“Ntar ya, nunggu bapak.”
“Bapak?”
“Iya, nunggu bapak pulang!”
jawabku. Kakakku pun mengangguk dan tersenyum.
Tepat di saat itulah ayahku baru
saja pulang dengan ½ kg telur.
“Bapaak..”seru kakakku lembut seraya
melambaikan tangan memanggil ayahku agar mendekat.
“Apa mbak?”sahut ayahku penuh
perhatian.
“Ma’u..”sahut kakakku lantang.
“Oh, mau maem, ini masak dulu
ya. Sana di masak telurnya! Goreng telur dulu sana!”goda ayahku seraya
menyodorkan tas plastik berisi telur itu. Kakakku pun menerimanya.
“Adek..”panggil kakakku
kemudian mengoper telur padaku. Ayahku pun tersenyum seraya menyerahkan obat
luar sufratulle yang baru dibeli kepada ibuku. Mau tak mau akhirnya aku pun menyiapkan
makan untuk kakakku.
It’s
not for one day only. For everyday. And I being tired these days.
Waktu
berjalan. Sudah pukul 21.00, Ayahku sedang menjahit di ruang belakang. Untuk
mendapat penghasilan lain, ayah dan ibuku menerima pesanan pakaian, hanya saja
sekarang tinggal ayahku yang bisa. Kakakku terbaring dengan menggenggam
majalahnya, yang ntar pernah dibaca atau hanya dilihat gambarnya. Ibuku tidur
di kamar, kembali mulai merintih. Aku
sudah tak tahu lagi harus berbuat apa kini.
Hanya hening melanjutkan laporan
skripsiku.
Perlahan
keheningan terpecah oleh suara robekan kertas yang menerus terulang. Rupanya
kakakku mulai menebarkan “bunga” kertasnya. Ini salah satu kenapa rumahku
jarang terlihat bersih. Kebasaan buruk kakakku merusak kertas dan plastic
kadang-kadang membuatku stress juga. Seperti sekarang.
Untuk
pertama kalinya aku merasa benar-benar lelah. Aku pun menatap tajam kea rah kakakku..
“Andaikan kau normal, Andaikan kau bisa merawat dirimu sendiri. Andai
kau tak suka menangis, tak membuat sampah, andi kau normal, mungkin kau sudah
bekerja, mungkin keluarga ini akan lebih baik. Aku sedang tak ada waktu untuk
kerja sambilan, taka da waktu menerima pesanan apa pun, bahkan waktu untuk
menyelesaikan skripsiku.. Andau kau normal, mungkin aku takkan merasa ini beban
yang berat. Rasanya lelah juga jika harus selalu seperti ini. terutama ketika
kau tiba-tiba merusak dan merobek laporanku yang telah kukerjakan berhari-hari.
Kenapa aku harus memiliki kakak sepertimu? Kenapa harus aku?! Jika kau adalah
adik, mungkin aku takkan pernah berpikir seperti ini. Ibu terlalu lelah
mengurusmu, bahkan ia sering menangis sendiri untuk mencoba menahan semua
kelelahannya..“
Malam itu aku tak sadar, jika
aku telah memprotes takdir Allah. Detik
itu hatiku terlalu sakit. Mengingat peristiwa lalu saat aku kos di dekat
kampus. Ibu dan ayahku tak tahu bagaimana repotnya aku dengan tugas-tugasku,
kegiatan kampusku, hingga aku tak selalu bisa pulang setiap minggu. Hingga
ibuku berkata, “Apa kamu lupa dengan rumah? Apa kamu lupa kalau kamu punya
keluarga?” Lalu setiap aku pulang, selalu saja aku
melihat dan mendengar ayahku yang kebingungan mengurusi “Dua Dapur” urusan makanku
di kos dan keluarga dirumah, yang dirasanya itu pemborosan. Berlanjut ibuku
yang kemudian sakit dan mulai kesulitan mengurusi kakakku. Akhirnya aku
putuskan aku tak lagi kos, apalagi saat itu biaya kos akan dinaikkan. Itu semua
pilihan sangat sulit bagiku. Aku menjadi merasa serba salah.
Lantas semuanya semakin buruk
ketika aku mulai menjalankan skripsi ini. Masa kontrak beasiswaku telah habis.
Semua harus diselesaikan ayahku sekarang. Untuk menambah penghasilan, aku tak
lagi punya waktu untuk menerima pesanan lukisan, ataupun sketsa. Bekerja
menjadi penjaga kafe internet pun dirasa sudah menyita banyak waktu. Hanya bisa
berkonsentrasi pada skripsi yang.. bagiku mahal. Orang bilang, curhat bisa membantu meringankan
beban pikiran dan hati, sedangkan aku tak tahu harus bercerita pada siapa.
Sulit rasanya untukku bercerita tentang hal ini pada teman. Bahkan disaat aku
kira aku bisa bercerita, telah memanggil namanya, namun tetap saja semua
akhirnya terhenti. Aku tak bisa cerita apa pun.
Sebenarnya tak hanya aku yang
belum ujian akhir hingga sekarang. Banyak sekali temanku yang belum. 85% dari
teman seangkatan di jurusanku. Teman-teman sekelas SMA ku pun baru tiga orang
yang sudah wisuda. Tapi bagi ibu dan ayahku, ini sulit diterima. Mereka
benar-benar mengharapkanku, tapi semua usahaku belum bisa membuat semuanya
lebih baik. Perlahan aku merasa aku hanya beban mereka yang harusnya tak pernah
ada. Harusnya aku tak lahir. Bahkan ketika kembali melihat kakakku. Mungkin
lebih baik jika kami tanpanya.
Hingga keesokan harinya aku
jatuh sakit. Ibuku tak bisa merawatku, Ayahku yang juga harus bekerja. Jadi mau
tak mau aku harus tetap menjaga kakakku. Sempat ibuku merasa baikan, Ntah
sungguhan atau hanya karena keadaan, ibuku pun membantu. Hingga aku benar-benar
tak bisa berbuat apa-apa dan begitu juga ibuku. Malam harinya I disgrasped and kept vomiting. Can’t slept
at all. Rasanya membuatku merasa lebih baik mati. Ibuku sudah terlelap.
Ayahku menjagaku seraya menyelesaikan
jahitannya. Kakakku sehari ini cukup tenang, Tak seperti biasanya. Dan saat aku
melihatnya, ia menatapku dengan pandangan yang membuatku berpikir, “Kau berekspresi seperti itu apa karena kau
sungguh mengerti jika aku sedang sakit..?”
Aku mencoba mengalihkan
perasaan mualku dengan membuka ponselku, dan ternyata ada pesan masuk dari
seorang teman baikku pada pukul 20.30
“Charcarcar..”panggilnya
mengulang suku kata depan namaku.
Aish,
andai kau tahu aku sedang menderita! Hmm..tapi terimakasih, kau satu-satunya
orang yang mengingatku. Tapi maaf, seperti biasa aku sedang tak ada pulsa untuk
membalas..
Ponsel tak mmbantuku. Akhirnya
kuputuskan mencoba pejamkan mata. Namun terbuka kembali. Insomnia. Sudah pukul
02.00 dini hari tapi aku tak bisa tidur juga.
“Mbak, kamu nggak
tidur?”Tanyaku akhirnya menyapa kakakku yang tak beranjak dari sampingku sejak
sore. Ia hanya mengangguk dan tersenyum lalu meraih teko plastik di meja.
Airnya tinggal sepertiga bagian, lalu dituang oleh kakakku ke dalam gelas. Aku
terpesona.
Selama ini tak pernah kakakku bisa menuang minum sendiri,
selalu saja tumpah tak karuan. Bahkan berulangkali aku mengajarinya pun
hasilnya nihil. Tapi melihatnya tiba-tiba seperti ini membuatku benar-benar
terkejut.
“Mimik..”ucapnya lembut seraya
menyodorkan air setengah gelas itu padaku. Aku tersenyum terharu.
“Makasih..” aku pun meneguknya
sedikit. Kakakku tersenyum lebar. Aku kembali tiduran. Berbaring menyamping
menghadap kakakku yang duduk di sampingku. Tiba-tiba ia pun membelai dan
mengusap kepalaku.
It’s
like magic. I don’t know what it is, but it’s like magic. Membuatku
merasa sangat tenang detik itu juga. Tangannya sangat lembut dan wajahnya penuh
perhatian membelaiku. Hingga aku pun memejamkan mataku seraya menggenggam
tangan sisi lain milik kakakku. Hingga kemudian aku merasakan seseorang
mengecup keningku. Sangat lembut penuh kasih sayang. Aku kembali membuka mataku. Kakakku tersenyum.
Lalu mengangguk dan berkata, ”Sembuh..” seakan berkata “Lekaslah sembuh!” Seketika air mataku mengalir begitu saja.
mungkin bagi orang lain ini bisa tak berarti tapi bagiku ini adalah suatu hal
yang sangat berarti. Sesuatu yang menyadarkanku bahwa aku memiliki kakak yang
paling istimewa. Ketulusan yang istimewa. Sebab kutahu, ia tak pernah bisa
berdusta. Yang mungkin takkan pernah kudapat dari seorang kakak yang normal
seperti umumnya manusia. Rupanya sakit itu, malam itu, adalah teguran Allah, memberitahuku,
bahwa hidup ini, saudara yang kumiliki adalah anugrah-Nya. Allah, maafkan aku,
yang telah tak menyadari, betapa berartinya kakakku, kakak yang memang tak
memberi bantuan fisik pada keluarga kami melainkan kakak yang sangat tulus
menyayangiku..
It’s like
magic. Aku tidur nyenyak setelah itu dan telah
membaik esok harinya.
Saraswati,
I love you.. My best sister! :-*