2014-07-01

Good or Bad Luck: Best Love




Gadis itu terbaring miring di atas tempat tidurnya. Tak terlelap. Jam dinding menunjuk angka 2 tetapi ia masih menatap ke arah jendelayang sedikit terbuka tirainya. Pandangannya kosong. Pikirannya tak tenang di  malam yang sangat dingin itu. Dedaunan di halaman sesekali mengintip dan melambai. Seakan bertanya “Kenapa kau tak tidur? Insomnia lagi?”
Di otaknya hanya terpikir akan masa lalu. Berkhayal, seandainya ia tak pernah lahir.  Seandainya ia tak pernah ada di dunia ini. Mungkin segalanya akan jadi lebih baik. Kini di sorot matanya semua berubah. Dari kekosongan perlahan kemarahan, berubah lagi ke dalam sorot kesedihan hingga  semakin lama kembali kosong..
@@@
It’s not about  another girl. It’s about me now.  Aku baru saja pulang dari kampusku. Siang ini terasa begitu pengap. Panasnya matahari seakan memanggangku di dalam “oven” ini. Sudah satu jam aku berada di dalam angkutan umum. Sedangkan kini harus oper ke angkutan lainnya. Baru lima menit perjalanan baru, panas menurun beralih mendung. Lima belas menit kemudian hujan pun turun. Perlahan semakin deras dan memuncak di saat aku harus turun lantas berjalan ± 100 m menuju rumahku. Aku mendongakkan kepala. Air hujan dengan mudahnya menyapu wajah. Sejuk. Sangatlah sejuk. Andai hidupku sesejuk ini.
Setelah melewati beberapa tikungan di kompleks perumahan yang masing-masing memiliki pekarangan sangat luas, aku tiba di ujung gang kecil. Menyeberangi sebuah rel kereta api yang melintang panjang pada jarak 8 m di depan rumahku.  Sepanjang jalan di kampungku ini sangat sepi. Mungkin karena hujan, ibu-ibu pakar gossip tak lagi mejeng. Tak lama kemudian aku telah berada di dalam rumah. Ibuku sedang berbaring di tempat tidurnya. Seperti biasanya, merintih kesakitan.
Sudah tiga bulan ini sakitnya semakin parah. Hampir setiap malam menggigil kedinginan dalam keadaan tubuh bersuhu 28,5°C. sepanjang malam akan seperti itu.  Menangis, merintih, istigfar, lalu kembali menangis dan merintih, berputar seperti itu, membuat dada ini terasa sangat sesak dan perlahan menyakitkan. Ingin aku menangis juga rasanya. Ntah kenapa mendadak bekas luka jahitan operasi kankernya dulu kembali terbuka dan infeksi. Kini sedang menunggu jadwal kemoterapi atau operasi, ntah yang mana keputusan dokter belum dipastikan, menunggu hasil laboratorium.
Waktu menunjukkan pukul 16.05 saat aku selesai berganti pakaian. Dan tak lama kemudian kakakku yang juga tiduran terbangun.
                “Pipi..pipi..”katanya tergesa-gesa bangun tapi sulit untuk bangun. “..pipi..”katanya lagi  seraya memegangi roknya.  Sejenak aku menghela napas, lalu menemani kakakku yang autis itu menuju kamar mandi. Beruntung kami tepat waktu. Sebab jika tidak ia mungkin sudah buang air kecil di ruang tengah. 
Kakakku berusia 26 tahun. Sebentar lagi 27. Lima tahun lebih tua dariku. Meski begitu ia selalu bersikap seperti balita. Karena demam tinggi dan salah penanganan dokter di masa bayinya, ia harus menjadi  seperti itu. Sempat lumpuh tak bisa berjalan, tapi untunglah kami bertemu seseorang dan membantu kakakku untuk terapi di sebuah yayasan anak cacat. Sekarang bisa berjalan baik meski tak bisa seperti cara berjalan orang pada umumnya.
Tak lama kemudian ayahku yang bekerja sebagai maintenance di pabrik tekstil pun datang. Ia mengeluh lelah saat ibuku meminta dibelikan obat. Namun bagaimana pun ayahku menuruti semuanya. Kami tak punya banyak uang, jadi pantas jika pada akhirnya ayahku berkata lelah untuk mencari uang pinjaman. Setelah sholat, ayah pun kembali keluar rumah.
                “Pipi..pipi..”kata kakakku lagi  dengan suaranya yang sangat lembut seraya menyeret tanganku. Kata “pipi” yang kali ini berbeda dari yang awal. “pipi” yang dimaksud diawal ditujukan untuk kata “pipis”, sedangkan “pipi”  yang kali ini adalah untuk kata “TV”.  Kakakku memang sedikit sulit bicara. Ia hanya mampu untuk beberapa kata saja. Selebihnya ia hanya akan berkata “eh”seraya menunjuk pada apa yang diinginkannya.  Aku menyalakan TV dan memutar lagu Doel Sumbang lewat DVD yang sebenarnya sudah tak layak pakai. Itu lagu favoritnya yang sepertinya sekarang mulai membuatnya bosan. Tapi begitulah kakakku. Setiap hari ia tak pernah bisa lepas dari music (music yang dikenalnya). Jika tidak ia akan seharian menangis keras.
Kini aku duduk di dekat ibuku yang sepertinya sedikit membaik setelah meminum obat penghilang nyeri dan penurun panas.
“Gimana, jadi ujian kapan?”Tanya ibuku mulai kembali membicarakan skripsi. Ini seperti hantaman untukku.
“Nunggu ijin dari dosen pembimbing dulu.”
“Kapan keputusannya. Bukannya semester udah mau abis, jangan mundur lagi ya..”tuturnya. aku hanya terdiam.
“Emang kamu kurang banyak?”
                “Mm..nggak banyak sih, tapi tergantung hasil asistensi ntar. Butuh revisi lagi apa nggak.”jawabku penuh hati-hati.
                “Jangan kelamaan, kalau lama-lama kapan mau wisudanya coba? Temen-temenmu udah wisuda semua gitu.”
                “Ya ini masih usaha biar bisa ujian bulan ini.”jawabku ragu.
                “Kamu sih, ngapain kamu nggak ngekos lagi. Jadinya begini, susah ke kampusnya, jadi nggak bisa asistensi lancar, mau ke perpus, mau apa-apa nunggu bapakmu punya uang.”ujarnya membuatku hanya bisa membisu menahan semuanya. “Kalo kamu masih kos kan seenggaknya meski nggak punya banyak uang kamu masih bisa ngampus, nggak butuh duwit transport.”
Aku tak bisa menjawab. Dadaku sudah terlalu sakit. Hingga kemudian kakakku kembali menarik tanganku.
“Mimik..mimik..”serunya minta minum.  Aku pun meninggalkan kamar dan mengambil minum untuk kakakku.
Lantas aku mengambil tas dan membuka laptop berniat melanjutkan pekerjaanku. Laporan skripsi yang tak kunjung selesai. Tak lama setelah itu, “Mandi..mandi..adek..mandi..”seru kakakku lagi seraya menarik-narik kerah kaosnya.
“Mbakmu minta mandi ini, sana mandiin!”seru ibuku padaku.
Semua selesai. Awalnya berniat kembali mengerjakan skripsiku dan.. “Pa ma’u..adek..ayo pa ma’u..”seru kakakku lagi menarik tanganku meminta makan.
“Nggak ada lauk!” sahutku. “Ntar ya, nunggu bapak.”
“Bapak?”
“Iya, nunggu bapak pulang!” jawabku. Kakakku pun mengangguk dan tersenyum.  Tepat di  saat itulah ayahku baru saja pulang dengan ½ kg telur.
“Bapaak..”seru kakakku lembut seraya melambaikan tangan memanggil ayahku agar mendekat.
“Apa mbak?”sahut ayahku penuh perhatian.
“Ma’u..”sahut kakakku lantang.
“Oh, mau maem, ini masak dulu ya. Sana di masak telurnya! Goreng telur dulu sana!”goda ayahku seraya menyodorkan tas plastik berisi telur itu. Kakakku pun menerimanya.
“Adek..”panggil kakakku kemudian mengoper telur padaku. Ayahku pun tersenyum seraya menyerahkan obat luar sufratulle yang baru dibeli kepada ibuku. Mau tak mau akhirnya aku pun menyiapkan makan untuk kakakku.
It’s not for one day only. For everyday. And I being tired these days.
Waktu berjalan. Sudah pukul 21.00, Ayahku sedang menjahit di ruang belakang. Untuk mendapat penghasilan lain, ayah dan ibuku menerima pesanan pakaian, hanya saja sekarang tinggal ayahku yang bisa. Kakakku terbaring dengan menggenggam majalahnya, yang ntar pernah dibaca atau hanya dilihat gambarnya. Ibuku tidur di kamar, kembali mulai merintih.  Aku sudah tak tahu lagi harus berbuat apa kini.   Hanya hening melanjutkan laporan skripsiku.

Perlahan keheningan terpecah oleh suara robekan kertas yang menerus terulang. Rupanya kakakku mulai menebarkan “bunga” kertasnya. Ini salah satu kenapa rumahku jarang terlihat bersih. Kebasaan buruk kakakku merusak kertas dan plastic kadang-kadang membuatku stress juga. Seperti sekarang.

Untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar lelah. Aku pun menatap tajam kea rah kakakku..
Andaikan kau normal, Andaikan kau bisa merawat dirimu sendiri. Andai kau tak suka menangis, tak membuat sampah, andi kau normal, mungkin kau sudah bekerja, mungkin keluarga ini akan lebih baik. Aku sedang tak ada waktu untuk kerja sambilan, taka da waktu menerima pesanan apa pun, bahkan waktu untuk menyelesaikan skripsiku.. Andau kau normal, mungkin aku takkan merasa ini beban yang berat. Rasanya lelah juga jika harus selalu seperti ini. terutama ketika kau tiba-tiba merusak dan merobek laporanku yang telah kukerjakan berhari-hari. Kenapa aku harus memiliki kakak sepertimu? Kenapa harus aku?! Jika kau adalah adik, mungkin aku takkan pernah berpikir seperti ini. Ibu terlalu lelah mengurusmu, bahkan ia sering menangis sendiri untuk mencoba menahan semua kelelahannya..“
Malam itu aku tak sadar, jika aku telah memprotes takdir Allah.  Detik itu hatiku terlalu sakit. Mengingat peristiwa lalu saat aku kos di dekat kampus. Ibu dan ayahku tak tahu bagaimana repotnya aku dengan tugas-tugasku, kegiatan kampusku, hingga aku tak selalu bisa pulang setiap minggu. Hingga ibuku berkata, “Apa kamu lupa dengan rumah? Apa kamu lupa kalau kamu punya keluarga?”    Lalu setiap aku pulang, selalu saja aku melihat dan mendengar ayahku yang kebingungan mengurusi “Dua Dapur” urusan makanku di kos dan keluarga dirumah, yang dirasanya itu pemborosan. Berlanjut ibuku yang kemudian sakit dan mulai kesulitan mengurusi kakakku. Akhirnya aku putuskan aku tak lagi kos, apalagi saat itu biaya kos akan dinaikkan. Itu semua pilihan sangat sulit bagiku. Aku menjadi merasa serba salah.
Lantas semuanya semakin buruk ketika aku mulai menjalankan skripsi ini. Masa kontrak beasiswaku telah habis. Semua harus diselesaikan ayahku sekarang. Untuk menambah penghasilan, aku tak lagi punya waktu untuk menerima pesanan lukisan, ataupun sketsa. Bekerja menjadi penjaga kafe internet pun dirasa sudah menyita banyak waktu. Hanya bisa berkonsentrasi pada skripsi yang.. bagiku mahal.  Orang bilang, curhat bisa membantu meringankan beban pikiran dan hati, sedangkan aku tak tahu harus bercerita pada siapa. Sulit rasanya untukku bercerita tentang hal ini pada teman. Bahkan disaat aku kira aku bisa bercerita, telah memanggil namanya, namun tetap saja semua akhirnya terhenti. Aku tak bisa cerita apa pun.
Sebenarnya tak hanya aku yang belum ujian akhir hingga sekarang. Banyak sekali temanku yang belum. 85% dari teman seangkatan di jurusanku. Teman-teman sekelas SMA ku pun baru tiga orang yang sudah wisuda. Tapi bagi ibu dan ayahku, ini sulit diterima. Mereka benar-benar mengharapkanku, tapi semua usahaku belum bisa membuat semuanya lebih baik. Perlahan aku merasa aku hanya beban mereka yang harusnya tak pernah ada. Harusnya aku tak lahir. Bahkan ketika kembali melihat kakakku. Mungkin lebih baik jika kami tanpanya.
Hingga keesokan harinya aku jatuh sakit. Ibuku tak bisa merawatku, Ayahku yang juga harus bekerja. Jadi mau tak mau aku harus tetap menjaga kakakku. Sempat ibuku merasa baikan, Ntah sungguhan atau hanya karena keadaan, ibuku pun membantu. Hingga aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa dan begitu juga ibuku. Malam harinya I disgrasped and kept vomiting. Can’t slept at all. Rasanya membuatku merasa lebih baik mati. Ibuku sudah terlelap. Ayahku  menjagaku seraya menyelesaikan jahitannya. Kakakku sehari ini cukup tenang, Tak seperti biasanya. Dan saat aku melihatnya, ia menatapku dengan pandangan yang membuatku berpikir, “Kau berekspresi seperti itu apa karena kau sungguh  mengerti jika aku sedang sakit..?”
Aku mencoba mengalihkan perasaan mualku dengan membuka ponselku, dan ternyata ada pesan masuk dari seorang teman baikku pada pukul 20.30
“Charcarcar..”panggilnya mengulang suku kata depan namaku.
Aish, andai kau tahu aku sedang menderita! Hmm..tapi terimakasih, kau satu-satunya orang yang mengingatku. Tapi maaf, seperti biasa aku sedang tak ada pulsa untuk membalas..
Ponsel tak mmbantuku. Akhirnya kuputuskan mencoba pejamkan mata. Namun terbuka kembali. Insomnia. Sudah pukul 02.00 dini hari tapi aku tak bisa tidur juga.
“Mbak, kamu nggak tidur?”Tanyaku akhirnya menyapa kakakku yang tak beranjak dari sampingku sejak sore. Ia hanya mengangguk dan tersenyum lalu meraih teko plastik di meja. Airnya tinggal sepertiga bagian, lalu dituang oleh kakakku ke dalam gelas. Aku terpesona.
Selama ini tak  pernah kakakku bisa menuang minum sendiri, selalu saja tumpah tak karuan. Bahkan berulangkali aku mengajarinya pun hasilnya nihil. Tapi melihatnya tiba-tiba seperti ini membuatku benar-benar terkejut.
“Mimik..”ucapnya lembut seraya menyodorkan air setengah gelas itu padaku. Aku tersenyum terharu.
“Makasih..” aku pun meneguknya sedikit. Kakakku tersenyum lebar. Aku kembali tiduran. Berbaring menyamping menghadap kakakku yang duduk di sampingku. Tiba-tiba ia pun membelai dan mengusap kepalaku.
It’s like magic. I don’t know what it is, but it’s like magic. Membuatku merasa sangat tenang detik itu juga. Tangannya sangat lembut dan wajahnya penuh perhatian membelaiku. Hingga aku pun memejamkan mataku seraya menggenggam tangan sisi lain milik kakakku. Hingga kemudian aku merasakan seseorang mengecup keningku. Sangat lembut penuh kasih sayang.  Aku kembali membuka mataku. Kakakku tersenyum. Lalu mengangguk dan berkata, ”Sembuh..” seakan berkata  “Lekaslah sembuh!”   Seketika air mataku mengalir begitu saja. mungkin bagi orang lain ini bisa tak berarti tapi bagiku ini adalah suatu hal yang sangat berarti. Sesuatu yang menyadarkanku bahwa aku memiliki kakak yang paling istimewa. Ketulusan yang istimewa. Sebab kutahu, ia tak pernah bisa berdusta. Yang mungkin takkan pernah kudapat dari seorang kakak yang normal seperti umumnya manusia. Rupanya sakit itu, malam itu, adalah teguran Allah, memberitahuku, bahwa hidup ini, saudara yang kumiliki adalah anugrah-Nya. Allah, maafkan aku, yang telah tak menyadari, betapa berartinya kakakku, kakak yang memang tak memberi bantuan fisik pada keluarga kami melainkan kakak yang sangat tulus menyayangiku..
It’s like magic. Aku tidur nyenyak setelah itu dan telah membaik esok harinya.

Saraswati, I love you.. My best sister! :-*


No comments:

Post a Comment