2015-03-20

Now You See Me (part 2)



“Seperti menunggu angin di ruang tertutup, ia takkan pernah tiba, kecuali jika kita yang membuatnya bergerak..”
Asha termenung membeku di depan lukisan itu. Sudah begitu banyak bulan terlewati bahkan tahun, namun ia merasa masih di tempat yang sama. Sejak kegiatan pameran pertama, hingga kini menjelang pameran terakhir, ia tak melakukan perubahan apa pun. Bahkan waktu yang tersisa baginya hanya tinggal beberapa bulan. Akan tetapi ia masih saja belum tahu harus berbuat apa. Ia tak bisa benar-benar memahami gadis itu meski banyak orang berkata ia seperti pawang Riendra yang mampu mengendalikan gadis itu.
Kini ia merasa telah mendapatkan hukum karma untuk menertawakan isi novel favorit Yui hari itu. Kenyataannya, begitu ia melihat sosok Riendra, ia bisa langsung menyukai gadis itu, bahkan hingga menjelang kelulusan, ia masih belum mampu menghapus sosok itu dari benaknya. Ia masih belum mampu membuat gadis itu benar-benar melihatnya. Hanya melihatnya seorang, tanpa Rei atau pun orang lainnya. Ia masih belum mampu melakukan itu.
“Hei, kenapa tiba-tiba diam saja disitu? Ayo bantu aku mengatur panel!”tegur Riendra yang mendadak muncul menyobek keruwetan pikiran Asha. Pemuda itu pun menghela napasnya diam-diam. Berusaha mengabaikan kekacauan perasaannya.
“Ini buatanmu, kan?”sahut Asha seolah tak acuhkan perintah Rien.
“Mm..memangnya kenapa?”
“Ntahlah, kurasa aku menyukainya. Eye Shelter!
“Aish, sudah, jangan beromong kosong! Ayo cepat bantu aku!”pinta Riendra lagi sambil menarik lengan kaos Asha. Namun Asha tak mau kalah dan justru menahan pergelangan tangan gadis itu.
“Disinilah sebentar!”suruh Asha yang mendadak begitu takut kehilangan Riendra. Namun kesadaran masih mengingatkannya untuk tenang, dengan berat ia pun akhirnya melepas Riendra.
Untuk apa? Mendengarkanmu menghina lukisanku?!”
Asha mendesah lagi. Lalu beralih membaca label lukisan karya Riendra. Setidaknya kini gadis itu berada di sampingnya dan ia harus sedikit menahan semua itu agar Riendra tak segera kembali menjauh darinya.
Saat yang kau lihat adalah sebuah mata, disitulah kita kan bertemu..  Ketika kau melihat sebuah shelter di tengah hutan, maka kau pun akan melihat seorang gadis kecil bernaung di bawahnya. Jika kau mampu melihat semua itu, maka ingatlah satu sosok itu, satu aku yang menunggumu..”eja Asha cukup keras untuk didengar Riendra. 

“Apa maksudnya itu? Maaf jika selama ini aku tak terlalu memperhatikannya saat evaluasi di kelas.”lanjut Asha meski sesungguhnya ia paham benar maksud lukisan itu. Namun ia tetap saja ingin membicarakan lukisan itu, gambar yang terdiri atas rangkaian garis-garis bercabang, membentuk sebuah mata beserta pembuluh-pembuluh kecil di sudut-sudutnya. Perpaduan warna maroon berintensitas rendah, hitam, putih dan sedikit warna olive pada bagian iris memberi kesan tersendiri bagi Asha.
“Maksudnya? Ya itu maksudnya.. Apakah kata-kata itu kurang jelas? Hmm..jadi begini, kau lihat, kan, gambar mata itu? Mata itu ibarat sebuah pertemuan. Setiap orang dikatakan bertemu jika mereka bisa melihat mata lawannya. Lalu jika lukisan itu di balik 1800 maka yang terlihat adalah gambar yang menyerupai sebuah shelter di tengah hutan, hutan itu ditunjukkan oleh garis-garis bercabang itu, garis yang menyerupai cabang pepohonan yang juga menyerupai cabang pembuluh darah yang biasa terlihat di bola mata..”terang Rien membuat Asha mengangguk-angguk mulai mengerti. “..dibawah shelter berbentuk lengkung itu kugambarkan rakitan garis yang menyerupai sosok seorang gadis, bisa kau bayangkan?”
“Ya, ya.. aku mengerti..”
“Ya sudah, jika kau bisa menangkap gambar shelter dan gadis itu, kau bisa anggap itu adalah seorang gadis yang sedang menunggu sesuatu atau kedatangan seseorang.” pungkas Riendra.
“Hmm..jadi begitu..mm..ngomong-ngomong, kau sedang menunggu siapa hingga membuat lukisan teka-teki seperti ini?”tanya Asha dengan nada menggoda. Walaupun dalam hati sesungguhnya ia berharap gadis itu akan menyebutkan namanya. Penuh harap jika dirinyalah seseorang yang dinanti Riendra.
“Aku menunggumu bekerja memasang frame di panel!”sentak Riendra seraya memukul kepala Asha lalu berjalan pergi.
Ya, seperti itu, kau selalu seperti itu. Iitulah dirimu. Itulah kita. Hanya sebatas ini.
Pemuda itu pun tertawa. Menertawakan dirinya dan keadaan mereka yang sudah terlanjur tenggelam dalam ketidakseriusan. Untuk mendadak bertingkah serius, semuanya jelas tak mungkin dilakukan. Semua telah terlambat.
“Ya, semua itu tak mungkin!”bisik Asha lagi di dalam hatinya seraya menatap kedatangan Rei yang kini tengah mendekati Riendra.
@@@
Permulaan September 2010. Asha bergegas meluncurkan motornya meninggalkan rumah. Pagi itu ia cukup bersemangat melintasi jembatan Soekarno-Hatta menuju perpustakaan. Di kantong jaketnya sudah tersimpan sebuah gelang berliontin monel berbentuk biola, yang akan diberikannya pada Riendra sebagai kado ulang tahun. Ia masih teringat bagaimana Riendra yang sangat menyukai musik klasik khususnya permainan biola. Hari itu pula ia putuskan untuk memberanikan diri mengatakan perasaannya pada Riendra. Seperti keinginan Riendra untuk membuat sebuah sanggar seni setelah mereka lulus, ia ingin mewujudkan mimpi itu bersama.
Namun lagi-lagi kenyataan itu tak semudah harapan. Ia tak tahu kapan saat yang tepat untuk memberikan kado itu pada Riendra. Sudah menginjak jam kedua siang itu ia masih belum mengatakan apa-apa selain membicarakan soal skripsi. Meski perpustakaan kampus cukup ramai, ntah kenapa rasanya telinganya terlalu tuli untuk mendengar gemerisik pergerakan orang-orang. Ia tenggelam dalam kekalutannya sendiri. Lembaran halaman buku di depannya pun hanya terus dibaliknya tanpa satu huruf pun meresap ke otaknya.
“Mm..menurutmu, Rei itu, apakah aku terlihat cocok jika aku jadi kekasihnya?”tanya Riendra tiba-tiba membekukan Asha. Pemuda itu tak sanggup melihat ke arah gadis itu lagi. Ketakutannya menyebar ke seluruh peredaran darahnya.
“Kenapa kau tiba-tiba tanya begitu? Kukira kau akan tanyakan sesuatu tentang skripsi.. Mm..apakah dia melamarmu?” akhirnya Asha memberanikan diri untuk mendongak.
“Mm..semalam ia mengaku jika ia menyukaiku, dan memintaku menjadi kekasihnya.”sahut Rien lirih.
Seperti dihantam ribuan ton batako. Asha tak sanggup bernapas. Namun ia pun tertawa. Lagi-lagi menertawakan dirinya. Asha, kau benar-benar pecundang! Kau bahkan dengan mudahnya dikalahkan sahabatmu sendiri!
                Riendra menatap heran pada Asha yang hanya tertawa.
“Ahaha, jadi begitu!”kata Asha kemudian menghentikan tawanya mengingat mereka masih di dalam ruang perpustakaan yang sebagian besar pengunjungnya sedang butuh konsentrasi. Pemuda itu pun perlahan kembali serius. Terdiam sesaat setelah membalik halaman bukunya. Namun akhirnya ia hanya menutup buku tersebut. “Kalau aku berkata jangan diterima, apakah kau akan menurutinya?”tanyanya kemudian. Berharap gadis itu bisa mengerti jika ia tak menginginkan Riendra bersama Rei.
“Ha?”Riendra tercengang mendapat komentar seperti itu.
“Kalau aku berkata aku tak suka melihat kau dan Rei menjalin hubungan, apakah kau akan menolaknya?”tanya Asha lagi bersungguh-sungguh.
“Mm..apa maksudmu? Aku tak cocok dengannya??”tanya Rien lagi dengan raut muka yang sangat serius. Asha pun menyeringai, kembali ingin menertawakan diri. Kurasa kau takkan pernah mengerti. Sial! Keberanianku telah habis. Jika jawabanmu seperti ini, aku sungguh tak tahu bagaimana melanjutkannya..
Sesaat ia menatap wajah Riendra yang tampak kebingungan. Sepertinya ia sudah sangat kebingungan, dan ini tak baik jika membuatnya semakin bingung..  
“Jika kau menyukainya terima saja.”kata Asha berusaha menerima kekalahan. Ia benar-benar menyerah sekarang. “Untuk urusan itu kau tak perlu perhatikan pendapat orang. Cocok atau tidak itu bukan orang lain yang melihat, tapi kau sendiri yang merasakannya. Lagi pula meski kita bersahabat, tak mungkin, kan, kau akan bersamaku sampai mati. Bisa-bisa kau tak laku. Kau juga butuh pasangan hidup untuk berbagi kasih sayang.” Tutur Asha seraya berusaha untuk tetap terlihat ceria.
“Hei, aku bukan barang dagangan! Bilang saja kalau kau yang takut tak laku!”protes Riendra mendadak kesal, lalu kembali serius. “Mm..masalahnya, aku tak tahu, aku menyukainya atau tidak..”
“Hm..kalau begitu kenapa tak kau coba saja dulu berjalan di sampingnya? Bukankah ia sangat baik padamu selama ini. Bahkan sepertinya dia lebih baik dari pada aku. Dia selalu mampu menyediakan waktu untuk membantumu, berbeda denganku yang seringkali tak bisa membantumu.”Asha kembali membuka bukunya.
“Begitukah menurutmu?”
“Kita takkan pernah tahu jika tak mencoba. Sama halnya dengan ‘Kita takkan pernah tahu arti kata kehilangan tanpa mengenal kata pertemuan’. Jika kau tak mencobanya, aku khawatir nantinya kau akan menyesal, saat sadar ia adalah orang yang benar-benar baik, tapi kau sudah tak bisa lagi bersamanya karena ia sudah menyukai orang lain. Jadi terima saja dirinya, dan nikmatilah September Ceria bersama!”tutur Asha lagi ia tak ingin Riendra menjadi seseorang yang sama sepertinya.
“Lalu, menurutmu, apakah Rei adalah orang yang baik?”
“Kau ini tanya apa? Jika ia tak baik aku takkan berteman dengannya sampai sekarang!”
“Hm..Yah, kalau begitu baiklah!”kata Riendra setelah itu. “Kuputuskan aku akan menerimanya!”
Asha pun hanya tersenyum meski dalam hatinya ia berteriak kesakitan.
“Mm..ngomong-ngomong, apa kau tak memberiku ucapan selamat? Aku ulang tahun hari ini!”tanya Riendra membuat Asha semakin buruk.
“Ah, maaf! Kalau begitu selamat ulang tahun! Maaf aku lupa jika hari ini ulang tahunmu.”
“Hm..lalu apa kau takkan memberiku kado?”tanya Riendra. Sesaat Asha terdiam berpikir. Namun ia pun teringat sesuatu dan ia pun segera meraih sesuatu di sakunya.
“Maaf sebentar!”ujarnya sambil mengambil ponselnya.
Riendra pun langsung melonjak kaget saat ponselnya berdering. Sialnya lagi ia sedikit kesulitan meraih ponselnya di saku jaket yang tergantung di sandaran kursi.
“Apa kau gila?!”desis Riendra seraya mematikan  suara Lenka- We Will Not Grow Old. Rupanya Asha barusaja me-misscall nomor Riendra.
“Itu kado dariku, kudoakan kau awet muda!”bisik Asha yang mengetahui nada dering apa yang sedang dipakai gadis itu.  Riendra pun mendengus kesal saat Asha hanya tersenyum jenaka dan buru-buru kabur pergi.
Seketika berbalik memunggungi Rien, seketika itu pula senyum Asha menghilang. Pemuda itu hanya berjalan pergi tanpa melihat lagi ke belakang. Hanya sedetik terhenti di samping tong sampah. Melemparkan sebuah gelang keluar dari sakunya.
@@@
Akhir Februari. Malam itu Rei, Riendra, Asha, Bara, Firas dan Yui sedang berkumpul di sebuah tempat karaoke untuk merayakan kelulusan mereka. Bara dan Yui barusaja mengakhiri duet mereka. Firas yang sudah beberapa kali menyanyi menolak untuk menyanyi lagi. Sedangkan Riendra yang tadi hanya menyanyi dua kali pun tak mau lagi, ia tak terlalu suka menyanyi. Untuk Rei, saat ini ia masih menghilang ke restroom.
“Hei Asha! Kalau begitu ini jelas giliranmu! Kau belum menyanyi sama sekali kan!”seru Bara.
“Iya, benar, menyanyilah! Kau juga harus menyanyi sekarang, kapan lagi kita bisa karaoke bersama, apalagi setelah ini kau ke Utrecht! Pasti sulit untuk kita bisa bertemu.”sahut Firas.
“Utrecht!?”tanya Yui dan Riendra
“Ya, benar, Utrecht! Apa kalian tak tahu kalau dia melamar beasiswa ke Utrecht?”
“Wah! Kau harus traktiran!”seru Yui dan Bara yang baru tahu jika teman mereka mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Namun Asha hanya tertawa sambil meraih ponselnya dan berjalan keluar ruang. sepertinya ada seseorang meneleponnya.
“Aish! Dia kabur..”desis Bara “Hei, terus siapa ini yang menyanyi?! Rien, menyanyilah!”suruh Bara sambil menyodorkan mic ketika Rei memasuki ruangan. “Rei, kau juga!”
“Ah, kalian saja. Mm..aku ke toilet dulu!”elak Riendra lantas keluar ruangan.
“Yah, dia kabur juga!”
@@@
Riendra berjalan menyusuri koridor kamar karaoke dengan wajah yang begitu serius. Sampai ia berhenti di depan pintu restroom, di tempat Asha yang berdiri barusaja mengakhiri teleponnya.
“Hei, kenapa wajahmu kusut begitu?”sapa Asha.
“Kenapa kau tak bilang jika kau mendaftar beasiswa keluar negeri?”
“Ah, aku baru berniat mengatakannya kalau sudah jelas diterima.”jawab Asha sedapatnya. Ia tak mengira jika Riendra akan menanyakan hal itu.
“Aish, kau ini, jadi kau berniat bersenang-senang sendirian? Padahal dulu kau sendiri yang bilang, jika kau khawatir semua orang akan berpisah dengan kehidupannya masing-masing, tapi nyatanya kau sendiri yang pertama kali memisahkan diri!”omel Riendra diluar dugaan Asha.
“Mm..kupikir tak ada masalah denganmu, aku bukan Rei, jadi kau tak perlu merasa kehilangan..”
“Ah, rupanya benar dugaanku, kau memang pelupa! Bukankah kau bilang kita akan membangun sanggar seni bersama?! Tapi kenapa kau malah berencana menjadi profesional sendirian?!”omel Riendra lagi membuat Asha tak sanggup menahan perasaannya.
“Apakah itu sangat berarti untukmu? Kau masih bisa membangunnya bersama Rei, atau anak lainnya.”
“Lalu apakah.. apakah kau tak pernah menganggap itu berarti?  Apakah aku tak pernah berarti untukmu sedikit pun?”
Seketika hati Asha terasa tersayat hingga hancur. Ia sama sekali tak mengira jika gadis yang sangat dikaguminya itu akan menanyakan hal semacam itu padanya. Apa arti semua ini? Tak mungkin, kan, kau bertanya karena menyukaiku? Apakah aku sedemikian berartinya untukmu? Apakah kau juga merasakan hal yang sama denganku?
Apakah aku sama sekali tak berarti untukmu?”tanya Riendra lagi juga tampak putus asa. Hingga akhirnya ia pun menyerah.“Sudahlah lupakan! Maaf aku sudah melantur. Sudah jelas kalau kita tak lebih dari sahabat, ya kan?”susul Riendra kemudian berbalik hendak pergi.
“Lalu.. lalu kalau pun kau sangatlah berarti untukku, apa yang bisa kulakukan?!”tanya Asha menghentikan Riendra. “Apa yang bisa kulakukan sekarang? Semua sudah terlambat. Aku tak bisa mengkhianati sahabatku sendiri! Seandainya saja.. seandainya itu bukan Rei..” kalimat Asha tercekat. Ia tak sanggup melanjutkannya. Ia sama sekali tak siap mendapatkan mimpi buruk semacam ini. Riendra pun hanya tertegun mendengar jawaban itu.
“Maaf.. jika aku sudah menjadi seorang pengecut selama ini..” ucap Asha kemudian beranjak pergi. “Semoga kau bisa bahagia bersamanya, dan dapatkan semua mimpimu!” Asha pun menepuk lembut pundak Riendra dan melangkah dengan berat meninggalkan gadis itu. Ia berharap mimpi buruk itu segera berakhir. Ia berharap luka itu hanya untuk sesaat. Penyesalan itu hanya menyiksanya untuk sesaat.
Riendra sendiri tak sanggup bergerak. Hanya terpaku di tempatnya.
@@@
Dua tahun kemudian. Semua orang telah berubah. Bara tak lagi bersama Yui. Yui sudah bertunangan dengan seorang pengusaha. Bara sendiri bekerja sebagai desainer furnitur di kota kelahirannya Yogyakarta. Rei yang baru menyelesaikan kuliahnya di Jepang meneruskan bisnis ayahnya di Surabaya, ia juga sudah putus dengan Riendra karena tertarik dengan seseorang di Jepang. Riendra sendiri kembali ke Jakarta, ia menjadi pegawai negeri dan bekerja di galeri nasional bersama Firas. Riendra juga sudah berhasil membangun sanggar seni dengan bantuan orang tuanya yang juga seniman.
Asha sendiri, ia baru saja pulang dari Belanda. Ia sudah jarang berkomunikasi dengan teman-teman masa lalunya. Sejak kelulusan, terakhir kali hanya beberapa kali ia kontak dengan Firas, dan dua kali dengan Riendra yang saat ini tengah menggelar pameran yang juga memajang karya gadis itu sendiri. Seperti janjinya beberapa waktu lalu, ia berencana menemui Riendra sekembalinya ia ke Indonesia.
Asha pun menghadiri pameran tersebut. Setelah sekian lama mengubur penyesalannya, ia berharap bisa memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Ia ingin mengambil kesempatan yang pernah dibuangnya. Ia tak ingin lagi terlambat seperti dulu. Dan siang itu Asha sudah berdiri di hadapan “Dancing Water” karya Riendra. Kembali meraih ponselnya, hendak memanggil nomor ponsel sahabat lamanya.
“Hei, apa dia juga pengelola galeri? Dia tampan sekali!”kata seseorang wanita di samping Asha, yang saat itu tengah bersama seorang temannya.
“Iya, dia rekan kerjaku juga, tapi jangan banyak berharap, pembuat lukisan ini adalah kekasihnya.”kata orang satunya lagi membuat Asha menghentikan pergerakannya.
“Yah, sayang sekali.”
“Hm.. bahkan sepertinya mereka barusaja menjalin hubungan. Beberapa minggu lalu ia bilang pada temanku jika ia menyukai pelukis ini, dan akan mengatakan perasaannya dalam waktu dekat. Lalu tak lama kemudian mereka kelihatan semakin dekat.”
“Apakah wanita itu juga bekerja disini?”
“Ya, keduanya rekan kerjaku. Mereka berdua sudah berteman sejak kuliah.”
Dan kali ini Asha pun akhirnya bergerak mencoba melihat ke arah yang dibicarakan kedua wanita itu. Terilhatlah Firas di kejauhan sana sedang sibuk dengan beberapa orang.
Bahkan hingga kini pun, takdir masih saja berkata tidak padaku..
@@@
Awal November 2014. Asha sudah satu tahun lamanya tinggal di Eindhoven bersama seorang rekannya, David. Hari itu mereka tengah membereskan rumahnya dan Asha pun kembali menemukan lukisan yang sudah lama ditelantarkannya di dalam lemari.
“Dave, mengenai pameran amal itu, kapan diselenggarakan?”
“Pertengahan bulan ini. Tapi karya yang akan diikutsertakan harus sudah terkumpul akhir minggu ini. Karena itu kita harus segera memperbaiki instalasi kita. Ada apa memangnya?”tanya David kemudian menanggapi ekspresi Asha yang terlihat sedang serius berpikir.
“Kurasa aku bisa mengikutkannya.”kata Asha seraya menatap lukisannya sendiri. David pun melihat ke arah pandangan Asha.
“Apa kau yakin? Dulu saat ada seseorang yang ingin membelinya dengan harga mahal kau bilang itu tak dijual, karena itu hanya akan kau berikan pada kekasihmu, tapi sekarang kau akan membiarkannya untuk pameran amal?!”
“Kurasa itu sudah tak lagi berarti. Aku tak bisa menemukan waktu yang tepat untuk memberikannya pada gadis itu. Ia bahkan mungkin sudah lupa tentangku.”
“Kenapa memangnya? Apakah kekasihmu itu benar-benar direbut orang?”
“Masih lumayan jika ia pernah menjadi kekasihku, aku bahkan tak pernah mendapatkan kesempatan menjadi itu..”kata Asha putus asa sembari membanting tubuhnya ke tempat tidur.
“Mungkin kau harus lebih keras lagi berusaha. Kalau perlu kejar saja dia sampai dapat, bahkan sampai detik terakhir sebelum ia menikah. Kesempatan takkan ada jika kau tak menciptakannya! Seharusnya kau tak pergi begitu saja hari itu. Mungkin saja, kan, yang kau dengar hanyalah gosip. Jika kau memang menyukainya, hadapilah ia secara langsung! Bukan tak mungkin ia masih menunggumu juga.”tutur David mencoba memberi semangat pada Asha.
@@@
"  Now You See Me
   2013 – 100cm x 60cm
    Oil on Canvas
-As the destiny of rotated earth, as the destiny of meeting..
If one day that rotated painting can’t be turning back to 1800, please don’t cry..  I‘ll replace it with the new one at Karpendonkse Plas Eindhoven Winter..
When you step on the ground of Mauritstraat, just walking to the north-east, 5 km, come closer, and now you see me..
Asharry Giola –

Asha menatap lukisannya sendiri. Kini benar-benar menyerah dan berharap semua masa lalu yang penuh dengan kesialan bisa pergi dengan membuat pergi lukisan itu. Kali ini memutuskan untuk melepas Riendra dan membiarkan semua kenangan tentang gadis itu pergi bersama lukisan itu. perlahan Asha menjauh pergi. beranjak meninggalkan tempat itu untuk mencari ketenangan yang lain. Namun saat ia hendak melintasi sebuah pintu, pandangannya tersangkut pada satu sosok yang memasuki ruang itu dari pintu yang lainnya. Namun hanya sesaat sebelum ia kembali tersenyum pada dirinya sendiri. Bahkan sekarang aku mulai berhalusinasi melihatnya.
Asha pun kembali melangkah. Akan tetapi kembali terhenti. Berlanjut jalan kembali dan terhenti lagi untuk melihat kembali ke belakang. Rupanya ia belum tenang dan ingin kembali memastikan. Seketika matanya terbelalak, mendapati sosok itu belum menghilang. Bahkan kini gadis itu berdiri di depan lukisannya. Pemuda itu tercengang. Apakah ini nyata? Perlahan tanpa disadarinya, Asha pun melangkah mendekat.


No comments:

Post a Comment