“Seperti
menunggu angin di ruang tertutup, ia takkan pernah tiba, kecuali jika kita yang
membuatnya bergerak..”
Asha termenung membeku di depan
lukisan itu. Sudah begitu banyak bulan terlewati bahkan tahun, namun ia merasa
masih di tempat yang sama. Sejak kegiatan pameran pertama, hingga kini
menjelang pameran terakhir, ia tak melakukan perubahan apa pun. Bahkan waktu
yang tersisa baginya hanya tinggal beberapa bulan. Akan tetapi ia masih saja
belum tahu harus berbuat apa. Ia tak bisa benar-benar memahami gadis itu meski
banyak orang berkata ia seperti pawang Riendra yang mampu mengendalikan gadis
itu.
Kini ia merasa telah mendapatkan
hukum karma untuk menertawakan isi novel favorit Yui hari itu. Kenyataannya,
begitu ia melihat sosok Riendra, ia bisa langsung menyukai gadis itu, bahkan
hingga menjelang kelulusan, ia masih belum mampu menghapus sosok itu dari
benaknya. Ia masih belum mampu membuat gadis itu benar-benar melihatnya. Hanya
melihatnya seorang, tanpa Rei atau pun orang lainnya. Ia masih belum mampu
melakukan itu.
“Hei, kenapa tiba-tiba diam saja
disitu? Ayo bantu aku mengatur panel!”tegur Riendra yang mendadak muncul
menyobek keruwetan pikiran Asha. Pemuda itu pun menghela napasnya diam-diam.
Berusaha mengabaikan kekacauan perasaannya.
“Ini
buatanmu, kan?”sahut Asha seolah tak acuhkan perintah Rien.
“Mm..memangnya
kenapa?”
“Ntahlah,
kurasa aku menyukainya. Eye Shelter!”
“Aish,
sudah, jangan beromong kosong! Ayo cepat bantu aku!”pinta Riendra lagi sambil
menarik lengan kaos Asha. Namun Asha tak mau kalah dan justru menahan
pergelangan tangan gadis itu.
“Disinilah sebentar!”suruh Asha
yang mendadak begitu takut kehilangan Riendra. Namun kesadaran masih
mengingatkannya untuk tenang, dengan berat ia pun akhirnya melepas Riendra.
“Untuk
apa? Mendengarkanmu menghina lukisanku?!”
Asha mendesah lagi. Lalu beralih membaca
label lukisan karya Riendra. Setidaknya kini gadis itu berada di sampingnya dan
ia harus sedikit menahan semua itu agar Riendra tak segera kembali menjauh
darinya.
“Saat yang kau lihat adalah sebuah mata, disitulah
kita kan bertemu.. Ketika kau melihat sebuah shelter di tengah hutan, maka kau pun akan
melihat seorang gadis kecil bernaung di bawahnya. Jika kau mampu melihat semua itu,
maka ingatlah satu sosok itu, satu aku yang menunggumu..”eja Asha cukup
keras untuk didengar Riendra.
“Apa maksudnya itu? Maaf jika selama ini aku tak terlalu memperhatikannya saat evaluasi di kelas.”lanjut Asha meski sesungguhnya ia paham benar maksud lukisan itu. Namun ia tetap saja ingin membicarakan lukisan itu, gambar yang terdiri atas rangkaian garis-garis bercabang, membentuk sebuah mata beserta pembuluh-pembuluh kecil di sudut-sudutnya. Perpaduan warna maroon berintensitas rendah, hitam, putih dan sedikit warna olive pada bagian iris memberi kesan tersendiri bagi Asha.
“Apa maksudnya itu? Maaf jika selama ini aku tak terlalu memperhatikannya saat evaluasi di kelas.”lanjut Asha meski sesungguhnya ia paham benar maksud lukisan itu. Namun ia tetap saja ingin membicarakan lukisan itu, gambar yang terdiri atas rangkaian garis-garis bercabang, membentuk sebuah mata beserta pembuluh-pembuluh kecil di sudut-sudutnya. Perpaduan warna maroon berintensitas rendah, hitam, putih dan sedikit warna olive pada bagian iris memberi kesan tersendiri bagi Asha.
“Maksudnya? Ya itu maksudnya.. Apakah kata-kata itu
kurang jelas? Hmm..jadi begini, kau lihat, kan, gambar mata itu? Mata itu
ibarat sebuah pertemuan. Setiap orang dikatakan bertemu jika mereka bisa
melihat mata lawannya. Lalu jika lukisan itu di balik 1800 maka yang
terlihat adalah gambar yang menyerupai sebuah shelter di tengah hutan, hutan
itu ditunjukkan oleh garis-garis bercabang itu, garis yang menyerupai cabang
pepohonan yang juga menyerupai cabang pembuluh darah yang biasa terlihat di bola
mata..”terang Rien membuat Asha mengangguk-angguk mulai mengerti. “..dibawah
shelter berbentuk lengkung itu kugambarkan rakitan garis yang menyerupai sosok
seorang gadis, bisa kau bayangkan?”
“Ya, ya.. aku mengerti..”
“Ya sudah, jika kau bisa menangkap gambar shelter dan
gadis itu, kau bisa anggap itu adalah seorang gadis yang sedang menunggu
sesuatu atau kedatangan seseorang.” pungkas Riendra.
“Hmm..jadi
begitu..mm..ngomong-ngomong, kau sedang menunggu siapa hingga membuat lukisan
teka-teki seperti ini?”tanya Asha dengan nada menggoda. Walaupun dalam hati
sesungguhnya ia berharap gadis itu akan menyebutkan namanya. Penuh harap jika
dirinyalah seseorang yang dinanti Riendra.
“Aku
menunggumu bekerja memasang frame di
panel!”sentak Riendra seraya memukul kepala Asha lalu berjalan pergi.
Ya, seperti itu, kau
selalu seperti itu. Iitulah dirimu. Itulah kita.
Hanya sebatas ini.
Pemuda
itu pun tertawa. Menertawakan dirinya dan keadaan mereka yang sudah terlanjur
tenggelam dalam ketidakseriusan. Untuk mendadak bertingkah serius, semuanya
jelas tak mungkin dilakukan. Semua telah terlambat.
“Ya,
semua itu tak mungkin!”bisik Asha lagi di dalam hatinya seraya menatap
kedatangan Rei yang kini tengah mendekati Riendra.
@@@
Permulaan September 2010. Asha
bergegas meluncurkan motornya meninggalkan rumah. Pagi itu ia cukup bersemangat
melintasi jembatan Soekarno-Hatta menuju perpustakaan. Di kantong jaketnya
sudah tersimpan sebuah gelang berliontin monel berbentuk biola, yang akan
diberikannya pada Riendra sebagai kado ulang tahun. Ia masih teringat bagaimana
Riendra yang sangat menyukai musik klasik khususnya permainan biola. Hari itu
pula ia putuskan untuk memberanikan diri mengatakan perasaannya pada Riendra.
Seperti keinginan Riendra untuk membuat sebuah sanggar seni setelah mereka
lulus, ia ingin mewujudkan mimpi itu bersama.
Namun lagi-lagi kenyataan itu tak
semudah harapan. Ia tak tahu kapan saat yang tepat untuk memberikan kado itu
pada Riendra. Sudah menginjak jam kedua siang itu ia masih belum mengatakan
apa-apa selain membicarakan soal skripsi. Meski perpustakaan kampus cukup
ramai, ntah kenapa rasanya telinganya terlalu tuli untuk mendengar gemerisik
pergerakan orang-orang. Ia tenggelam dalam kekalutannya sendiri. Lembaran
halaman buku di depannya pun hanya terus dibaliknya tanpa satu huruf pun
meresap ke otaknya.
“Mm..menurutmu,
Rei itu, apakah aku terlihat cocok jika aku jadi kekasihnya?”tanya Riendra
tiba-tiba membekukan Asha. Pemuda itu tak sanggup melihat ke arah gadis itu
lagi. Ketakutannya menyebar ke seluruh peredaran darahnya.
“Kenapa
kau tiba-tiba tanya begitu? Kukira kau akan tanyakan sesuatu tentang skripsi..
Mm..apakah dia melamarmu?” akhirnya Asha memberanikan diri untuk mendongak.
“Mm..semalam
ia mengaku jika ia menyukaiku, dan memintaku menjadi kekasihnya.”sahut Rien
lirih.
Seperti
dihantam ribuan ton batako. Asha tak sanggup bernapas. Namun ia pun tertawa.
Lagi-lagi menertawakan dirinya. Asha, kau
benar-benar pecundang! Kau bahkan dengan mudahnya dikalahkan sahabatmu sendiri!
Riendra menatap heran pada Asha
yang hanya tertawa.
“Ahaha,
jadi begitu!”kata Asha kemudian menghentikan tawanya mengingat mereka masih di
dalam ruang perpustakaan yang sebagian besar pengunjungnya sedang butuh
konsentrasi. Pemuda itu pun perlahan kembali serius. Terdiam sesaat setelah
membalik halaman bukunya. Namun akhirnya ia hanya menutup buku tersebut. “Kalau
aku berkata jangan diterima, apakah kau akan menurutinya?”tanyanya kemudian.
Berharap gadis itu bisa mengerti jika ia tak menginginkan Riendra bersama Rei.
“Ha?”Riendra
tercengang mendapat komentar seperti itu.
“Kalau
aku berkata aku tak suka melihat kau dan Rei menjalin hubungan, apakah kau akan
menolaknya?”tanya Asha lagi bersungguh-sungguh.
“Mm..apa
maksudmu? Aku tak cocok dengannya??”tanya Rien lagi dengan raut muka yang
sangat serius. Asha pun menyeringai, kembali ingin menertawakan diri. Kurasa kau takkan pernah mengerti. Sial!
Keberanianku telah habis. Jika jawabanmu seperti ini, aku sungguh tak tahu
bagaimana melanjutkannya..
Sesaat
ia menatap wajah Riendra yang tampak kebingungan. Sepertinya ia sudah sangat kebingungan, dan ini tak baik jika
membuatnya semakin bingung..
“Jika
kau menyukainya terima saja.”kata Asha berusaha menerima kekalahan. Ia
benar-benar menyerah sekarang. “Untuk urusan itu kau tak perlu perhatikan
pendapat orang. Cocok atau tidak itu bukan orang lain yang melihat, tapi kau
sendiri yang merasakannya. Lagi pula meski kita bersahabat, tak mungkin, kan,
kau akan bersamaku sampai mati. Bisa-bisa kau tak laku. Kau juga butuh pasangan
hidup untuk berbagi kasih sayang.” Tutur Asha seraya berusaha untuk tetap
terlihat ceria.
“Hei,
aku bukan barang dagangan! Bilang saja kalau kau yang takut tak laku!”protes
Riendra mendadak kesal, lalu kembali serius. “Mm..masalahnya, aku tak tahu, aku
menyukainya atau tidak..”
“Hm..kalau
begitu kenapa tak kau coba saja dulu berjalan di sampingnya? Bukankah ia sangat
baik padamu selama ini. Bahkan sepertinya dia lebih baik dari pada aku. Dia
selalu mampu menyediakan waktu untuk membantumu, berbeda denganku yang
seringkali tak bisa membantumu.”Asha kembali membuka bukunya.
“Begitukah
menurutmu?”
“Kita
takkan pernah tahu jika tak mencoba. Sama halnya dengan ‘Kita takkan pernah
tahu arti kata kehilangan tanpa mengenal kata pertemuan’. Jika kau tak
mencobanya, aku khawatir nantinya kau akan menyesal, saat sadar ia adalah orang
yang benar-benar baik, tapi kau sudah tak bisa lagi bersamanya karena ia sudah
menyukai orang lain. Jadi terima saja dirinya, dan nikmatilah September Ceria
bersama!”tutur Asha lagi ia tak ingin Riendra menjadi seseorang yang sama
sepertinya.
“Lalu,
menurutmu, apakah Rei adalah orang yang baik?”
“Kau
ini tanya apa? Jika ia tak baik aku takkan berteman dengannya sampai sekarang!”
“Hm..Yah,
kalau begitu baiklah!”kata Riendra setelah itu. “Kuputuskan aku akan
menerimanya!”
Asha
pun hanya tersenyum meski dalam hatinya ia berteriak kesakitan.
“Mm..ngomong-ngomong,
apa kau tak memberiku ucapan selamat? Aku ulang tahun hari ini!”tanya Riendra
membuat Asha semakin buruk.
“Ah,
maaf! Kalau begitu selamat ulang tahun! Maaf aku lupa jika hari ini ulang
tahunmu.”
“Hm..lalu
apa kau takkan memberiku kado?”tanya Riendra. Sesaat Asha terdiam berpikir.
Namun ia pun teringat sesuatu dan ia pun segera meraih sesuatu di sakunya.
“Maaf
sebentar!”ujarnya sambil mengambil ponselnya.
Riendra
pun langsung melonjak kaget saat ponselnya berdering. Sialnya lagi ia sedikit
kesulitan meraih ponselnya di saku jaket yang tergantung di sandaran kursi.
“Apa
kau gila?!”desis Riendra seraya mematikan
suara Lenka- We Will Not Grow Old.
Rupanya Asha barusaja me-misscall nomor
Riendra.
“Itu
kado dariku, kudoakan kau awet muda!”bisik Asha yang mengetahui nada dering apa
yang sedang dipakai gadis itu. Riendra pun
mendengus kesal saat Asha hanya tersenyum jenaka dan buru-buru kabur pergi.
Seketika
berbalik memunggungi Rien, seketika itu pula senyum Asha menghilang. Pemuda itu
hanya berjalan pergi tanpa melihat lagi ke belakang. Hanya sedetik terhenti di
samping tong sampah. Melemparkan sebuah gelang keluar dari sakunya.
@@@
Akhir
Februari. Malam itu Rei, Riendra, Asha, Bara, Firas dan Yui sedang
berkumpul di sebuah tempat karaoke untuk merayakan kelulusan mereka. Bara dan
Yui barusaja mengakhiri duet mereka. Firas yang sudah beberapa kali menyanyi
menolak untuk menyanyi lagi. Sedangkan Riendra yang tadi hanya menyanyi dua
kali pun tak mau lagi, ia tak terlalu suka menyanyi. Untuk Rei, saat ini ia
masih menghilang ke restroom.
“Hei
Asha! Kalau begitu ini jelas giliranmu! Kau belum menyanyi sama sekali kan!”seru
Bara.
“Iya,
benar, menyanyilah! Kau juga harus menyanyi sekarang, kapan lagi kita bisa
karaoke bersama, apalagi setelah ini kau ke Utrecht! Pasti sulit untuk kita
bisa bertemu.”sahut Firas.
“Utrecht!?”tanya
Yui dan Riendra
“Ya,
benar, Utrecht! Apa kalian tak tahu kalau dia melamar beasiswa ke Utrecht?”
“Wah!
Kau harus traktiran!”seru Yui dan Bara yang baru tahu jika teman mereka
mendapatkan beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Namun Asha hanya tertawa
sambil meraih ponselnya dan berjalan keluar ruang. sepertinya ada seseorang
meneleponnya.
“Aish!
Dia kabur..”desis Bara “Hei, terus siapa ini yang menyanyi?! Rien,
menyanyilah!”suruh Bara sambil menyodorkan mic
ketika Rei memasuki ruangan. “Rei, kau juga!”
“Ah,
kalian saja. Mm..aku ke toilet dulu!”elak Riendra lantas keluar ruangan.
“Yah,
dia kabur juga!”
@@@
Riendra
berjalan menyusuri koridor kamar karaoke dengan wajah yang begitu serius.
Sampai ia berhenti di depan pintu restroom,
di tempat Asha yang berdiri barusaja mengakhiri teleponnya.
“Hei,
kenapa wajahmu kusut begitu?”sapa Asha.
“Kenapa
kau tak bilang jika kau mendaftar beasiswa keluar negeri?”
“Ah,
aku baru berniat mengatakannya kalau sudah jelas diterima.”jawab Asha
sedapatnya. Ia tak mengira jika Riendra akan menanyakan hal itu.
“Aish,
kau ini, jadi kau berniat bersenang-senang sendirian? Padahal dulu kau sendiri
yang bilang, jika kau khawatir semua orang akan berpisah dengan kehidupannya
masing-masing, tapi nyatanya kau sendiri yang pertama kali memisahkan
diri!”omel Riendra diluar dugaan Asha.
“Mm..kupikir
tak ada masalah denganmu, aku bukan Rei, jadi kau tak perlu merasa
kehilangan..”
“Ah,
rupanya benar dugaanku, kau memang pelupa! Bukankah kau bilang kita akan
membangun sanggar seni bersama?! Tapi kenapa kau malah berencana menjadi
profesional sendirian?!”omel Riendra lagi membuat Asha tak sanggup menahan
perasaannya.
“Apakah
itu sangat berarti untukmu? Kau masih bisa membangunnya bersama Rei, atau anak
lainnya.”
“Lalu
apakah.. apakah kau tak pernah menganggap itu berarti? Apakah aku tak pernah berarti untukmu sedikit
pun?”
Seketika
hati Asha terasa tersayat hingga hancur. Ia sama sekali tak mengira jika gadis
yang sangat dikaguminya itu akan menanyakan hal semacam itu padanya. Apa arti semua ini? Tak mungkin, kan, kau
bertanya karena menyukaiku? Apakah aku sedemikian berartinya untukmu? Apakah
kau juga merasakan hal yang sama denganku?
“Apakah
aku sama sekali tak berarti untukmu?”tanya Riendra lagi juga tampak putus asa. Hingga
akhirnya ia pun menyerah.“Sudahlah lupakan! Maaf aku sudah melantur. Sudah
jelas kalau kita tak lebih dari sahabat, ya kan?”susul Riendra kemudian
berbalik hendak pergi.
“Lalu..
lalu kalau pun kau sangatlah berarti untukku, apa yang bisa kulakukan?!”tanya
Asha menghentikan Riendra. “Apa yang bisa kulakukan sekarang? Semua sudah
terlambat. Aku tak bisa mengkhianati sahabatku sendiri! Seandainya saja..
seandainya itu bukan Rei..” kalimat Asha tercekat. Ia tak sanggup
melanjutkannya. Ia sama sekali tak siap mendapatkan mimpi buruk semacam ini.
Riendra pun hanya tertegun mendengar jawaban itu.
“Maaf..
jika aku sudah menjadi seorang pengecut selama ini..” ucap Asha kemudian
beranjak pergi. “Semoga kau bisa bahagia bersamanya, dan dapatkan semua
mimpimu!” Asha pun menepuk lembut pundak Riendra dan melangkah dengan berat
meninggalkan gadis itu. Ia berharap mimpi buruk itu segera berakhir. Ia
berharap luka itu hanya untuk sesaat. Penyesalan itu hanya menyiksanya untuk
sesaat.
Riendra
sendiri tak sanggup bergerak. Hanya terpaku di tempatnya.
@@@
Dua
tahun kemudian. Semua orang telah berubah. Bara tak lagi bersama Yui. Yui sudah
bertunangan dengan seorang pengusaha. Bara sendiri bekerja sebagai desainer
furnitur di kota kelahirannya Yogyakarta. Rei yang baru menyelesaikan kuliahnya
di Jepang meneruskan bisnis ayahnya di Surabaya, ia juga sudah putus dengan
Riendra karena tertarik dengan seseorang di Jepang. Riendra sendiri kembali ke
Jakarta, ia menjadi pegawai negeri dan bekerja di galeri nasional bersama Firas.
Riendra juga sudah berhasil membangun sanggar seni dengan bantuan orang tuanya
yang juga seniman.
Asha
sendiri, ia baru saja pulang dari Belanda. Ia sudah jarang berkomunikasi dengan
teman-teman masa lalunya. Sejak kelulusan, terakhir kali hanya beberapa kali ia
kontak dengan Firas, dan dua kali dengan Riendra yang saat ini tengah menggelar
pameran yang juga memajang karya gadis itu sendiri. Seperti janjinya beberapa
waktu lalu, ia berencana menemui Riendra sekembalinya ia ke Indonesia.
Asha
pun menghadiri pameran tersebut. Setelah sekian lama mengubur penyesalannya, ia
berharap bisa memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Ia ingin mengambil
kesempatan yang pernah dibuangnya. Ia tak ingin lagi terlambat seperti dulu.
Dan siang itu Asha sudah berdiri di hadapan “Dancing Water” karya Riendra. Kembali meraih ponselnya, hendak
memanggil nomor ponsel sahabat lamanya.
“Hei,
apa dia juga pengelola galeri? Dia tampan sekali!”kata seseorang wanita di
samping Asha, yang saat itu tengah bersama seorang temannya.
“Iya,
dia rekan kerjaku juga, tapi jangan banyak berharap, pembuat lukisan ini adalah
kekasihnya.”kata orang satunya lagi membuat Asha menghentikan pergerakannya.
“Yah,
sayang sekali.”
“Hm..
bahkan sepertinya mereka barusaja menjalin hubungan. Beberapa minggu lalu ia bilang
pada temanku jika ia menyukai pelukis ini, dan akan mengatakan perasaannya
dalam waktu dekat. Lalu tak lama kemudian mereka kelihatan semakin dekat.”
“Apakah
wanita itu juga bekerja disini?”
“Ya,
keduanya rekan kerjaku. Mereka berdua sudah berteman sejak kuliah.”
Dan
kali ini Asha pun akhirnya bergerak mencoba melihat ke arah yang dibicarakan
kedua wanita itu. Terilhatlah Firas di kejauhan sana sedang sibuk dengan
beberapa orang.
Bahkan hingga kini pun,
takdir masih saja berkata tidak padaku..
@@@
Awal
November 2014. Asha sudah satu tahun lamanya tinggal di Eindhoven bersama seorang
rekannya, David. Hari itu mereka tengah membereskan rumahnya dan Asha pun kembali
menemukan lukisan yang sudah lama ditelantarkannya di dalam lemari.
“Dave,
mengenai pameran amal itu, kapan diselenggarakan?”
“Pertengahan
bulan ini. Tapi karya yang akan diikutsertakan harus sudah terkumpul akhir
minggu ini. Karena itu kita harus segera memperbaiki instalasi kita. Ada apa
memangnya?”tanya David kemudian menanggapi ekspresi Asha yang terlihat sedang
serius berpikir.
“Kurasa
aku bisa mengikutkannya.”kata Asha seraya menatap lukisannya sendiri. David pun
melihat ke arah pandangan Asha.
“Apa
kau yakin? Dulu saat ada seseorang yang ingin membelinya dengan harga mahal kau
bilang itu tak dijual, karena itu hanya akan kau berikan pada kekasihmu, tapi
sekarang kau akan membiarkannya untuk pameran amal?!”
“Kurasa
itu sudah tak lagi berarti. Aku tak bisa menemukan waktu yang tepat untuk
memberikannya pada gadis itu. Ia bahkan mungkin sudah lupa tentangku.”
“Kenapa
memangnya? Apakah kekasihmu itu benar-benar direbut orang?”
“Masih
lumayan jika ia pernah menjadi kekasihku, aku bahkan tak pernah mendapatkan
kesempatan menjadi itu..”kata Asha putus asa sembari membanting tubuhnya ke
tempat tidur.
“Mungkin
kau harus lebih keras lagi berusaha. Kalau perlu kejar saja dia sampai dapat, bahkan
sampai detik terakhir sebelum ia menikah. Kesempatan takkan ada jika kau tak
menciptakannya! Seharusnya kau tak pergi begitu saja hari itu. Mungkin saja, kan,
yang kau dengar hanyalah gosip. Jika kau memang menyukainya, hadapilah ia
secara langsung! Bukan tak mungkin ia masih menunggumu juga.”tutur David
mencoba memberi semangat pada Asha.
@@@
"
Now You See Me
2013 – 100cm x 60cm
Oil
on Canvas
-As the destiny of rotated earth, as the
destiny of meeting..
If one day that rotated painting can’t
be turning back to 1800, please don’t cry.. I‘ll replace it with the new one at
Karpendonkse Plas Eindhoven Winter..
When you step on the ground of Mauritstraat,
just walking to the north-east, 5 km, come closer, and now you see me..
– Asharry Giola –”
Asha
menatap lukisannya sendiri. Kini benar-benar menyerah dan berharap semua masa
lalu yang penuh dengan kesialan bisa pergi dengan membuat pergi lukisan itu.
Kali ini memutuskan untuk melepas Riendra dan membiarkan semua kenangan tentang
gadis itu pergi bersama lukisan itu. perlahan Asha menjauh pergi. beranjak
meninggalkan tempat itu untuk mencari ketenangan yang lain. Namun saat ia
hendak melintasi sebuah pintu, pandangannya tersangkut pada satu sosok yang
memasuki ruang itu dari pintu yang lainnya. Namun hanya sesaat sebelum ia
kembali tersenyum pada dirinya sendiri. Bahkan
sekarang aku mulai berhalusinasi melihatnya.
Asha
pun kembali melangkah. Akan tetapi kembali terhenti. Berlanjut jalan kembali
dan terhenti lagi untuk melihat kembali ke belakang. Rupanya ia belum tenang
dan ingin kembali memastikan. Seketika matanya terbelalak, mendapati sosok itu
belum menghilang. Bahkan kini gadis itu berdiri di depan lukisannya. Pemuda itu
tercengang. Apakah ini nyata?
Perlahan tanpa disadarinya, Asha pun melangkah mendekat.
No comments:
Post a Comment