Waktu
tak pernah terasa kapan ia berlalu. Begitu cepat, seperti angin yang membasuh wajahku. Tak pernah bisa
dipahami kapan ia datang atau pun berhenti. Waktu yang tepat itu takkan pernah
ada jika bukan kita yang membuatnya. Seperti menunggu angin di ruang tertutup,
ia takkan pernah tiba, kecuali jika kita yang membuatnya bergerak.
Kini,
aroma tanah saat hujan terhenti itu adalah aroma cinta. Menenangkan. Aku tak
pernah sanggup melupakannya. Aroma basah yang mengantarkanku padanya. Sungguh
berharap waktu itu dapat berputar. Berharap semua berhenti ke masa lalu. Pada
masa aku berjumpa dengannya. Benar-benar berharap aku sanggup berlari kembali
mengambil kesempatanku. Bersama wanita itu. Seorang gadis lebih tepatnya.
Sebuah
cinta pada pandangan pertama. Sebuah cinta sejati.
@@@
“Ah,
semua omong kosong! Mana ada cinta pada pandangan pertama adalah cinta sejati.”
Ujar Asha sinis mengomentari backcover
sebuah novel roman yang dibawa sahabatnya Firas. Ia pun meletakkan lagi buku itu
di atas meja kotak gazebo. Dua orang lagi yang tengah menemaninya minum pun
tertawa. Membuat beberapa orang yang melintas di area outdoor Kafe Asrama
Brawijaya itu otomatis menoleh ke arah mereka.
“Hei, jangan begitulah! Cinta bisa
datang kapan saja!”protes Firas.
“Ya, kurasa itu benar. Cinta tak
pernah mengenal waktu.”dukung Bara.
“Sudahlah, jangan menanggapi novel
itu terlalu serius. Bukankah tadi kau bilang butuh hiburan?”sela Rei, yang
merupakan sahabat Asha sejak SD.
“Aku serius saat bilang butuh hiburan,
tapi bukan yang semacam itu! Aku tak suka novel yang seperti itu.”
Firas dan Bara serta Rei pun hanya
tertawa.
“Ini! Kubawakan film seperti yang
kau minta. Ini film terbaru tentang konflik antara Cina dan Korea, sedangkan
yang ini tentang MVP basket.”kata Rei kemudian sembari meletakkan beberapa
keping DVD. “Kalau yang ini tentang pembunuhan di sebuah institusi seni.
Mengenai novel tadi, itu hanya iseng. Buku itu milik Yui yang dititipkan pada Bara.”
“Ngomong-ngomong apakah kau
benar-benar tak percaya pada cinta pandangan pertama?”tanya Bara.
Asha pun mendesah.
Asha pun mendesah.
“Ntahlah.. tapi kurasa semua orang
sudah tahu tentang itu. Ketika seseorang dengan cepat mencintai orang lain maka
dengan cepat pula ia bosan. Berbeda dengan keadaan di saat ia sudah mengenal
lama, cinta yang tumbuh secara perlahan akan hilang secara perlahan pula.
Bahkan mungkin sulit hilang.” Papar Asha membuat beberapa temannya merasa geli
mendengar kalimat itu dari mulut seorang Asha.
“Hmm..mungkin itu benar,
tapi..”sahut Rei terputus.
“Tak ada tapi! Sudah ayo kita
pergi. Pertandingan segera di mulai.”potong Asha seraya bangkit dari duduknya
dan berjalan ke arah GOR Pertamina di sisi timur tempat makan itu. Keempat
orang itu tengah bersiap untuk pertandingan basket antar tingkatan. Mereka yang
saat ini baru mengakhiri semester pertama kuliahnya sebentar lagi harus
berhadapan dengan seniornya dalam kegiatan classmeeting
tersebut.
@@@
Pertandingan telah usai. Jam
digital ponsel Asha memamerkan angka 17 saat GOR itu mulai kehabisan manusia.
Sebagian besar temannya sudah pergi menghilang. Sedangkan ia sendiri memiliki
keperluan dengan temannya yang tinggal di asrama kampus. Pemuda itu pun berniat
memotong jalan lewat koridor GOR dan menyusup ke jalan tikus di belakang
kompleks asrama yang bernuansa abu-abu itu.
Jalanan dan pepohonan tampak masih
sangat basah kala itu. Hujan baru saja berhenti. Ia berjalan sambil men-drubble bulatan jingga yang dibawanya.
Namun sesaat ia terhenti di ujung koridor, di tempat seharusnya ia berjalan
untuk turun lantas menapak ke tanah lembek. Bukan karena tanah becek yang bisa
mengotori sepatunya, tapi ia terhenti saat melihat sebuah pergerakan yang
muncul di teras samping GOR itu.
Terlihat seorang gadis dengan earphone-nya menari seorang diri. Tengah
beraksi dalam atraksi breakdance-nya.
Dengan aliran hip-hop-nya gadis itu
menampilkan koreo yang sangat menarik, yang membuat Asha terpukau tanpa sadar.
Sesaat gadis itu tak tahu. Akan tetapi akhirnya gadis berkuncir itu segera
mengakhiri tariannya begitu sadar akan kedatangan Asha.
Asha kembali pada kesadarannya dan
cepat-cepat meninggalkan gadis berkaos merah itu tanpa menoleh lagi. Gadis itu
pun menghampiri tasnya dan mengeluarkan sebotol air mineral. Duduk sejenak
menyandar pada dinding sambil menatap kepergian Asha, sebelum ia juga pergi
meninggalkan lokasi itu.
@@@
Semester baru sudah dimulai. Kelas
perkenalan pun dimulai hari itu dengan matakuliah Sejarah Seni Rupa Barat bagi
Asha. Pemuda itu pun terkejut, saat memasuki ruangan ia melihat seseorang yang
asing tapi juga tak benar-benar asing.
“Sepertinya ada mahasiswa
baru.”bisik Bara pada Asha yang berjalan di sampingnya. Keduanya pun duduk di
bangku belakang seraya menatap ke arah gadis asing itu.
Asha ingat benar saat pertama kali
ospek hingga semester pertama itu habis, ia tak pernah melihat sosok itu. Namun
ia bisa sedikit mengenali. Gadis itu adalah penari atraktif yang beberapa hari
lalu dilihatnya di GOR. Sepertinya warna merah selalu menjadi aksen khasnya.
Kali ini gadis itu memakai merah lagi untuk kemeja dan jeansnya. Karet bludru
merah yang sama pun masih mengikat rambut panjang gadis itu.
“Sepertinya kau tertarik..”goda
Bara yang menyadari bahwa sahabatnya terus menatap ke arah gadis itu.
“Pakaiannya terlalu mencolok. Serba
merah dari atas hingga bawah benar-benar aneh.”sahut Asha seakan tak terlalu
peduli. Bara pun tertawa.
“Setidaknya rambut dan kulitnya
masih normal, kan!”komentar Bara masih saja tertawa. Asha pun akhirnya turut
tertawa.
@@@
Perpustakaan jurusan sedikit ramai
siang itu. Gadis serba merah termasuk di dalamnya. Berkeliling menyusuri rak-rak buku sendirian dengan wajah
yang merasa sangat asing dengan ruang itu, ia pun menyimpan kebingungannya
dalam kebisuan. Hingga pada akhirnya ia menghampiri petugas perpustakaan
menanyakan keberadaan sebuah buku yang dicarinya.
“Oh, buku itu sudah habis dipinjam.
Itu yang terakhir.”kata petugas sambil menunjuk ke arah Asha yang kebetulan ada
di sana sedang mengisi buku pinjaman.
Pemuda itu pun melihat ke arah petugas dan juga gadis itu sesaat, lalu kembali
melanjutkan menulis.
“Ah, kalau begitu terimakasih.”kata
gadis itu terdengar sangat kecewa.
“Coba cari saja di perpustakaan
pusat, atau tunggu beberapa hari lagi.”kata petugas perpustakaan.
“Ah, ya, kalau begitu aku ke perpustakaan
pusat saja setelah ini, soalnya ada tugas, takutnya jika tak ada waktu
mengerjakan jika menunggu.”
“Ya sudah kalau begitu. Semoga kau
bisa segera dapat bukunya!”
“Kalau begitu aku pergi dulu.”pamit
gadis itu beranjak pergi.
“Ah, tunggu!”seru Asha secara
tiba-tiba di luar kesadarannya. Dia yang baru menyelesaikan urusannya segera
menghampiri gadis serba merah yang kini berdiri di dekat pintu tersebut.
“Ya, ada apa?”sahut gadis itu.
“Kalau kau mau menunggu, besok akan
kuberikan bukunya padamu,”kata Asha sambil berjalan keluar dari perpustakaan.
“Aku hanya meminjamnya sehari untuk mengcopy beberapa bagian. Setelah itu kau
bisa meminjamnya.”
“Oh, begitu, apakah tak apa? Kalau
begitu terimakasih sekali! Maaf jika merepotkan.”
“Tak apa. Lagi pula kita teman
sekelas, bukan masalah lagi untuk saling membantu.”jawab Asha merasa sedikit
canggung mendengar perkataannya sendiri.
“Terimakasih sekali lagi kalau
begitu. Mm..lalu besok kau kuliah apa? Dimana dan jam berapa kita bisa
bertemu?”
“Mm..aku ambil kuliah estetika kelas
B jam 10 besok. Mungkin kita bisa bertemu sebelum itu di loby.”
“Ah, jadi kau masuk kelas B
estetika? Aku juga ambil kelas B.”
“Oh, kalau begitu bukan masalah
lagi. Akan kuberikan bukunya besok di kelas.”
“Baiklah. Terimakasih sebelumnya.”
“Kalau begitu aku pergi dulu.”pamit
Asha.
“Oh, ok.”
@@@
Seperti takdir, ternyata Asha
bertemu gadis itu lagi hampir di semua kelas yang dipilihnya. Mungkin hanya
untuk mata kuliah seni grafis saja mereka tak sekelas. Secara perlahan Asha pun
akhirnya mengetahui nama gadis itu. Riendra Atalea, pindahan dari universitas
swasta di Jakarta. Saat ini Rien pun berteman sangat baik dengan Yui, kekasih
Bara. Hal itu membuat Rien semakin sering bertemu Asha, Rei dan Firas. Asha
juga beberapa kali dipertemukan dengan Riendra dalam beberapa tugas kelompok. Selama
satu semester itu Asha dan Riendra pun sudah sangat akrab dan memutuskan untuk
mengambil kelas yang sama di semester ketiga.
Menjelang Dies Natalis jurusan,
semua orang tengah sibuk menyiapkan beberapa acara. Di dalam himpunan ada juga
sebuah divisi tari yang sedang menyiapkan diri untuk mengisi acara perayaan
itu. Asha pun begitu kaget, saat tahu jika Riendra yang masuk divisi itu juga
mahir dalam hal tari tradisional.
“Kukira kau hanya modern dancer, tak kusangka juga tradisional dancer.” Kata Asha pada
Riendra yang duduk di sampingnya di studio seni patung itu.
“Mm..darimana kau tahu aku bisa
modern dance?”tanya Riendra heran.
“Ah..kurasa aku pernah melihatmu di
GOR. Beberapa hari sebelum semester kedua dimulai.”aku Asha.
Wajah Riendra pun memerah. Ia tak mengira ada
seseorang yang mengenalinya hari itu.
“Oh, jadi itu kau..”kata Riendra
kemudian, ia masih ingat saat ada seseorang aneh menonton tariannya. Hanya ia
tak ingat jelas wajah pemuda itu. “Dulu kupikir kau adalah pervert aneh yang suka mengintip.”aku Riendra membuat Asha tertawa.
“Maaf! Saat itu aku juga tak
sengaja. Aku sendiri bahkan kaget, kenapa aku berdiri disana.”sahut Asha
berterus terang.
“Agh!!”pekik Riendra
tiba-tiba.”Aish!”desisnya, rupanya jarinya terluka oleh pisau pahatnya.
“Kau baik-baik saja?”
“Ya. Hanya sedikit perih saja.”
kata Riendra seraya mengeluakan bandage dari
saku tasnya.
“Ah, kau ini selalu saja seperti
ini..”desah Asha yang sudah terlalu sering melihat Riendra yang rupanya tak
bisa berteman dengan bangsa pisau apa pun.
“Jangan melihatku seperti itu!”kata
Riendra sambil menyengir. “Oh ya, Asha, ternyata harddiskku yang rusak.” Lanjut
Riendra beralih topik membicarakan laptopnya yang rusak.
“Ah, jadi kau sudah membawa
laptopmu ke service center?”
“Ya, akhirnya kemarin aku pergi
bersama Rei.” jawab Riendra cukup menyentak Asha. Pemuda itu tak tahu kenapa
mendadak perasaannya menjadi tak tenang. Namun sebisa mungkin ia berusaha untuk
tetap tampak normal.
“Hm..begitu. Maaf ya, aku tak bisa
membantumu kemarin.”
“Tak apa. Aku juga tahu kalau kau
sibuk. Apalagi kau adalah ketua pelaksana acara, banyak sekali yang harus kau
urus.”sahut Riendra.
“Itu benar, aku bahkan sangat lelah
rasanya. Tugas mata kuliah lukis saja
belum aku kerjakan karena itu.”
“Hm..apakah perlu kubantu?”tanya
Riendra kemudian. Namun Asha hanya tertawa.
“Tak perlu, aku kan punya dewa
berkekuatan super yang bisa membantuku!“
“Dewa berkekuatan super??”
“Ya, dewa dengan power of kepepet!”seru Asha dengan bangga.
“Aish!”desis Riendra yang
memahami benar bagaimana cara kerja Asha saat terdesak deadline pengumpulan tugas.
@@@
3
hari menjelang kegiatan pameran yang menjadi rangkaian perayaan Dies Natalis.
Pagi itu Asha baru saja selesai mandi saat Riendra datang ke kontrakannya
bersama Rei dan Bara. Beberapa anak lain juga akan datang tak lama lagi.
Kontrakkannya sudah menjadi basecamp
persiapan dekorasi pameran. Saat ini mereka tengah menyusun sebuah instalasi
yang nantinya tinggal memasangnya di ruang pamer di kampus.
Kemudian
mereka bertiga pun membicarakan surat izin peminjaman alat, lobby gedung dan
aula. Seiring bertambahnya waktu, Zulfy dan Naufal pun datang, ada juga Firas.
Awalnya mereka berencana membuat dekorasi pada
langit-langit. Berhubung belum
bertemu dosen penanggung jawab
acara, otomatis belum terlaksana, sebab
mereka harus mendiskusikan lagi desain dekorasi. Diskusi mereka pagi itu tak terlalu serius.
Bahkan terlalu banyak santai membicarakan banyak hal lain.
Tak terlalu lama diskusi itu,
setelah Yui, dan beberapa gadis yang juga panitia kegiatan datang, semua pun
langsung bekerja. Asha dan Riendra pun mulai mendesain banner 3D dari foam selama
teman-temannya merakit instalasi dari barang bekas. Setelah menyelesaikan
sketsa, Asha dan gadis itu duduk di dekat jendela, di hadapan laptop, membuat
pola banner itu dengan aplikasi Corel
Draw. Di awal semua biasa saja. Akan tetapi semakin lama Asha kembali merasa tak tenang.
“Apa kau baru keramas?”tanya Asha
mengejutkan dirinya sendiri.
“Ha? Ah, ya. Mm..kenapa?”sahut
Riendra mendadak bingung oleh pertanyaan Asha yang tiba-tiba.
“Hanya tanya saja. apa tak
boleh?”sahut Asha pura-pura tak ada masalah, meski sesungguhnya aroma shampo
yang dipakai gadis itu membuat jantungnya berdegup kencang tanpa alasan jelas.
“Ah, bilang saja, kalau kau
terganggu rambutku!”kata Rien kemudian menggulung dan mengikat rambutnya. Gadis
itu memang merasa rambutnya beberapa kali tertiup angin, namun tak sadar jika
itu bisa mengganggu Asha. Riendra tak mengerti jika Asha terganggu oleh faktor
yang berbeda dari dugaannya.
“Aku tak berpikir begitu.”kata Asha
sambil bangkit berdiri. “Mm..aku mau mencetak proposal dulu diluar, setelah ini
kita ke kampus. Sudah hampir jam 12, kita tak boleh terlambat bertemu pak Edi.”lanjut
Asha pada Rien yang merupakan penanggung jawab dekorasi.
“Ah, oke.”
@@@
“Ah sial, hujan!”seru Asha saat keluar
dari sebuah toko di area pertigaan menuju pasar besar. Seusai menemui dosen,
mereka berdua menyempatkan diri membeli beberapa keperluan sebelum pulang ke basecamp. Tak tahu perjalanan pulang
mereka jadi terhambat. Dengan terpaksa mereka pun harus berhenti untuk berteduh
di depan kompleks pertokoan itu.
“Apa kau tak bawa ponco?”tanya
Riendra.
“Kemarin aku menjemurnya dan lupa
memasukkannya lagi.”
“Ah, benar-benar sial!”desis Rien.
“Mm..ngomong-ngomong jam berapa sekarang? Ponselku mati.”
“Jam setengah tiga.”jawab Asha
setelah melihat jam tangannya.
“Sudah setengah tiga ya, pantas aku
sudah lapar.”
“Apa kau mau makan? Sambil menunggu
hujan reda?”
“Makan dimana?”sahut Rien balik
bertanya sambil melihat ke deretan-deretan toko.
“Ayo kesebelah sana! Ada warung
makan disitu.”
“Ah, baiklah.”
Hujan
deras kala itu. menahanku tuk tetap tinggal. Untuk tetap menapakkan
langkah-langkahku di atas bidang itu, di sampingnya. Hingga perlahan hujan
mereda menjadi titik air yang sangat halus. Begitu halus menyentuh ragaku.
Aroma saat hujan berhenti, aroma cinta. Aku rasa pernyataan itu tak benar-benar
salah.
@@@
Sesampainya di rumah kontrakan
Asha, keduanya langsung menggantung jaket basah masing-masing di dekat jendela.
Dengan angin yang bertiup, mungkin jaket itu bisa sedikit mengering saat nanti
akan dipakai lagi. Kesibukan kembali menghiasi rumah itu. Sejenak kemudian ternyata Nisa dan Mitha
datang dengan keripik singkong dan keripik ketela ungu menambah persediaan snack mereka sore itu.
Sampai menjelang pukul 18.00
beberapa orang sudah berpamit pulang. Hanya tersisa Riendra, Rei, Bara, Firas
dan Yui serta Asha sendiri tentunya. Hanya
saja mendadak hujan kembali turun saat mereka akan pergi. beruntunglah Firas
dan Bara keduanya membawa mantel hujan. Sesaat mereka kebingungan dengan
Riendra yang tak memiliki kendaraan sendiri itu tak bawa mantel hujan. Gadis
itu datang bersama Bara, tapi sudah pasti Bara pulang dengan Yui. Firas yang
rencananya mengantar Rien pulang pun hanya mempunyai jas hujan yang hanya untuk
satu orang.
“Ya sudah, pakai saja mantel
hujanku.”kata Asha kemudian. Namun Rei yang baru dari kamar mandi itu memberi
solusi lebih baik.
“Kenapa kalian bingung? Aku kan
bawa mobil.”
“Ah, ya, benar! Ya sudah, masalah
selesai. Rien pulanglah bersama Rei!”sahut Yui.
“Ah, bodoh sekali kita
tadi.”komentar Firas dan Bara yang menertawakan diri.
“Ya sudah kalau begitu. Asha, kami
pulang dulu! Sampai jumpa besok!”
“Ah, oke. Hati-hati di jalan!”sahut
Asha kemudian menatap Riendra yang bergerak cepat ke arah mobil Rei.
Sepertinya
hujan tak sebagus itu.. Aroma seperti ini juga mengganggu!
@@@
Keesokan harinya, sepulang kuliah,
Riendra dan beberapa orang lainnya segera meluncur kembali ke rumah Asha melanjutkan
persiapan pameran. Beberapa saat kemudian mereka pun telah sampai dengan
selamat. Beruntung hujan baru turun setelah semua orang masuk ke dalam rumah.
“Dingin-dingin sepertinya enak kalau ada
gorengan.”celetuk Firas
“Ya sudah sana beli atau kamu yang
buat!”sahut Asha sambil meletakkan foam yang baru di belinya.
Tak disangka Firas
bersungguh-sungguh, ia meraih payung dan keluar rumah. Beberapa saat kemudian telah
kembali dengan dua sisir pisang dan dua kantong plastik berisi tepung, saus,
kecap, gula, telur dan kerupuk.
“Asha, aku pinjam dapur!”serunya
“Pakai saja sesukamu seperti
biasa.”sahut Asha dari kamarnya. “Memangnya kau mau bikin apa?”
“Aku buatkan kalian pisang goreng.”
“Horee..”seru semuanya.
Disisi lain Firas memasak, Rien, Asha, Naufal, Bara dan Yui mulai mendesain ulang tatanan huruf yang akan
dibuat dari bahan foam. Setelah pekerjaan itu hampir selesai, mereka mengambil
jeda untuk menikmati pisang goreng buatan Firas.
“Sudahlah, hari ini kau tak perlu
kerja, jadi koki saja sudah cukup!”kata Asha pada Firas memancing tawa
teman-temannya.
“Benar sekali. Aku juga kangen mie
goreng buatanmu. Bagaimana kalau kau juga membuatnya untuk makan malam
nanti?”dukung Naufal.
“Aish..kalian ini! Hm..tapi
baiklah. Dengan syarat jika aku tak membantu instalasi tak masalah.”
@@@
Setelah istirahat sejenak
orang-orang itu kembali bekerja membuat banner 3D foam. Setelah itu Rei, Nisa
dan Mitha juga datang. Semuanya pun kembali berbagi tugas. Mereka bekerja sampai
pukul 18.00, tepat di saat mie goreng ala Firas siap saji. Mereka pun makan
bersama. Tiga piring untuk bersama. Asha dengan Rien dan Firas, Yui dengan Nisa
dan Bara, lalu Rei dengan Naufal dan Mitha.
“Lebih enak yang dulu, Fir, yang
dulu lebih terasa bumbunya.”komentar Naufal
“Tentu saja, orang ini tadi salah
bumbu, tadi aku buat untuk mie 3 porsi tapi akhirnya aku tambah mie lagi biar
cukup untuk semua.”jelas Firas
“Wah aku jadi merasa bersalah..tiba-tiba datang.”sahut
Mitha dan Nisa hampir bersamaan.
“Aish! Tak masalah. Kalian, kan,
juga disini untuk kerja. Tak hanya makan.”sahut Asha tenang.
Sampai sekitar pukul
19.00, Riendra dan Yui keluar
untuk mengeprint gambar pola foam
yang belum tercetak. Sedangkan Asha dan Rei menuju rumah Aldo untuk mengambil
lampu sorot. Tak lama kemudian mereka sudah kembali lagi dan mulai menggunting
pola dengan dibantu Anwar dan Icang yang baru datang. Mereka pun berniat lembur
malam itu. Jadi Asha pun menghubungi ketua RT untuk lapor soal menginapnya
beberapa anak di rumahnya.
“Sudah lapor?” tanya Riendra.
“Sudah.”jawab Asha
“Kapan lapor? Sepertinya aku tak melihat kau keluar.”sahut Riendra lagi.
“Untuk apa keluar. Jaman sudah
canggih, tinggal SMS saja, kan, sudah
beres.”
“Oh begitu.”
Sekitar pukul
20.45 Nisa dan Mitha pun pulang. Rei
sudah lebih dulu pulang untuk acara keluarga. Beberapa lainnya pun beristirahat
lagi. Riendra memilih menonton film di laptop Asha. Gadis itu pun meminjam bantal
Asha selama menonton. Sudah kebiasaan Riendra untuk memeluk sesuatu, ntah
bantal atau boneka, saat menonton film. Beberapa anak lainnya menonton film
lainnya di laptop Naufal.
“Aish, yang benar saja, ini film
apa coba!”desis Yui kesal sendiri. Namun Bara dan lainnya tak peduli.
“Memangnya kalian nonton apa?”
tanya Riendra yang duduk di samping Asha.
“Aku tak tahu apa judulnya.”sahut
Yui. Sedangkan Asha yang duduk di samping Riendra hanya tertawa membuat Rien
dan Yui heran.
“Kenapa tertawa? Kau sudah tahu ya,
film apa ini!”
“Sudahlah, lebih baik kau ikut
nonton disini saja!”ajak Asha yang memang mengetahui film apa yang sedang
ditonton Naufal, bara dan Firas.
“Mm..memangnya kenapa
filmnya?”tanya Rien pada Yui yang kini di sampingnya ikut menonton From Paris With Love.
“Itu,
American Pie!”kata Asha mencoba
menjelaskan.
“American Pie? Apakah itu film masak-memasak?”tanya Riendra dengan
lugunya membuat Asha dan Yui kaget. “Beberapa kali aku dengar orang ribut
membicarakan film itu, tapi aku belum pernah melihatnya.”
“Aish, sebaiknya kau tak menonton.
Itu film dewasa!”kata Yui. Seketika Rien pun tercengang mendengarnya. Sedangkan
Asha hanya menertawakannya.
“Hahaha..film
masak-memasak..”pemuda itu tak berhenti tertawa. Bara dan lainnya pun ikut
tertawa mendengarnya.
“Hei, aku, kan, tak tahu!
Berhentilah tertawa!”tukas Rien seraya menutup jendela di belakangnya.
“Kenapa ditutup? Apa kau
kedinginan?”tanya Asha kemudian.
“Tentu saja. Kau tak merasa dingin?
Lagipula ini sudah malam!”
“Aku sedang merasa gerah sekarang,
tapi ya sudahlah..kau tutup saja itu! Mm..kau tak bawa jaket?”
“Kan tadi aku sudah bilang, jaket
yang kubawa basah kena hujan tadi pagi.”
“Ah, iya, maaf, aku lupa.
Hm..sebentar kalau begitu.”sahut Asha kemudian masuk ke kamarnya sejenak lalu
keluar lagi dan melemparkan jaket ke arah Riendra. “Pakailah!”
“Ah, terimakasih.”kata Riendra
sumringah.
@@@
Sekitar pukul 23.15 semua kembali
bekerja mengecat foam kecuali Naufal yang sedang iseng sejak tadi masuk ke
kamar Asha. Nampaknya ia hendak melihat keluar
jendela. Hingga tiba-tiba ia terlonjak kaget.
“Woi, ono ceweke ta iku?”seru seorang laki-laki di luar terdengar
menyeramkan memakai bahasa Jawanya.
“Ah, iya ada.”jawab Naufal
takut-takut.
“Kon
mulih ae yo..”serunya menyuruh agar para gadis
dipulangkan.
“Mm..sudah lapor pak RT kok tadi.”sahut
Naufal sesuai instruksi Asha.
“Wis lapor pak RT?”
“Sudah.”
“Oh, yo wis lek ngono.”sahut orang tersebut.
Naufal pun akhirnya keluar dari
kamar.
“Astaga, aku benar-benar kaget,
tiba-tiba ada orang muncul manjat pohon. Sek
enak-enak ate ndelok njobo, eh, ono wong ate nginceng. Koyok cilukba ae malian.”desis
Naufal yang masih sedikit shock.
“Haha..mungkin dikiranya kita
sedang berbuat aneh-aneh. Tak usah
dipedulikan, dia biasa seperti itu. Lagipula kita disini juga kerja.”sahut Asha.
“Makanya, kalian jangan nonton
aneh-aneh disini! Nanti diusir sungguhan lagi..”omel Yui ke arah Naufal dan
Bara. Lainnya pun hanya tertawa.
@@@
Fajar terbangun saat Riendra
membuka jendela ruang tengah rumah Asha. Semak-semak di bawah jendela tampak
masih basah oleh hujan yang baru berhenti.
“Kau sudah bangun rupanya.”sapa
Asha.
“Ah, hai!”sahut Riendra dengan
senyum lebarnya kemudian kembali menikmati udara pagi.
“Apakah masih hujan diluar?”
“Tidak. Hujannya sudah reda, dan aku
suka saat-saat seperti ini.”
“Saat yang bagaimana?”tanya Asha
sambil berjalan menghampiri, ia pun turut melongok keluar jendela.
“Aromanya.. Ah! Rasanya begitu
menyegarkan pikiran. Aroma tanah saat hujan turun atau ketika hujan reda itu
benar-benar membuatku nyaman.”ungkap Riendra di saat Asha hanya menatap wajah
gadis itu lekat-lekat. Setiap saat ia di dekat gadis itu, ia tak pernah bisa
merasa tenang. Di satu sisi ia merasa sangat senang, namun perasaan berdebar
yang muncul seringkali membuat pikirannya mendadak kosong. Asha tak bisa merasa
normal, tak bebas untuk menjadi dirinya yang biasanya.
“Kenapa menatapku seperti
itu?”tegur Riendra sedikit menjauh. Rupanya gadis itu pun merasa sedikit
canggung untuk begitu dekat dengan Asha.
“Ah, tak ada..”jawab Asha juga
beralih dari posisinya. “Melihatmu barusan, mendadak aku teringat ekspresimu
hari itu.. kau tampak begitu menikmatinya.”
“Hari itu?”
“Ya, hari pertama saat aku
melihatmu, di GOR sore itu.”
“Ah, itu.. Jangan bahas itu lagi.
Itu memalukan!”desis Riendra otomatis membuat Asha tertawa.
“Jangan tertawa! Kenapa kau suka
sekali menertawakanku, ha?!”
“Aku tak suka menertawakanmu. Aku
hanya ingin tertawa untuk diriku sendiri!”balas Asha tak acuh. Pemuda itu pun
berjalan ke dapur untuk membuat beberapa cangkir susu hangat melihat beberapa
teman lainnya sudah bangun. Riendra pun membantunya.
“Bagaimana dengan laptopmu?”
“Ah ya, kau mengingatkanku! Mereka
bilang hari ini laptopku sudah bisa diambil.”
“Benarkah? Baguslah kalau begitu.
Jadi kapan kau ambil? Sepulang kuliah?”
“Sepertinya begitu. Mm..apakah kau
bisa menemaniku kesana?”
“Mm..sepertinya bisa..”
“Tunggu, tapi bukannya nanti siang
kau harus bertemu pak Edi?”
“Ah, ya, kau benar juga. Mm..tapi
tak apa, kurasa itu tak butuh waktu yang lama. Kurasa aku bisa mengantarmu.”
“Jika kau repot tak apa. Kurasa aku
bisa meminta Yui untuk menemaniku, atau kalau tidak angkutan umum juga banyak.”
“Mm..bagaimana kalau nanti
kutelepon atau SMS? Mungkin saja
urusanku bisa selesai lebih cepat, jadi aku bisa mengantarmu.”
“Begitukah? Baiklah kalau begitu.”
@@@
Jam tangan Asha memberitahu pemuda
itu bahwa hari sudah siang. Pukul 11.50.
Pemuda itu pun bergegas keluar menuruni tangga gedung kuliah menuju
ruang dosen.
“Hei, Asha!”seru Bara yang
ditinggalkannya.
“Maaf, aku sedang sibuk, kita
bertemu lagi nanti!”balas Asha cepat.
Ia pun berusaha mempercepat
urusannya dengan pak Edi. Namun dosen satu itu malah bertele-tele dengan
berbagai instruksinya. Asha pun begitu gelisah sambil beberapa kali melirik jam
tangannya. Hingga begitu pembicaraannya selesai ia cepat-cepat keluar ruangan
dan melihat ke sekeliling mencari sosok Riendra yang tadi sempat dilihatnya.
Akan tetapi sosok itu sudah menghilang rupanya.
Dengan gesit Asha merogoh sakunya
mengambil ponsel untuk menghubungi gadis itu.
“Halo, Rien?”
“Ah,
Asha, kebetulan sekali, barusaja aku mau mengirim pesan. Barusan aku bertemu
Rei dan ia menawarkan bantuan untuk menemaniku ke service center. Jadi kau tak
usah bingung lagi sekarang. Selesaikanlah urusanmu dengan tenang!”terang
Riendra seakan meluruhkan daya raga Asha.
“Ah,
jadi kau bertemu Rei.. baguslah kalau begitu.. Maaf tak bisa membantumu..”
“Tak
apa. Maaf juga sudah mengganggumu.”
“Sama
sekali tak mengganggu. Ya sudah, kalau begitu kututup teleponnya. Sampai ketemu
nanti.” Sahut Asha kemudian memutuskan panggilan. Detik itu pun ia mendesah.
Terpaku di tempatnya dengan air muka yang sangat buruk.
Tak
bisakah kau sedikit menungguku? Bukankah sudah kubilang aku bisa mengantarmu?!
@@@
--------Now You See Me (part2)------
No comments:
Post a Comment