2016-01-03

Tanpa Judul, Tanpa Nama 5



“Apakah kau bodoh? Apa kau mengerti bagaimana berbahasa Indonesia? Bukankah aku sudah bilang kalau hari ini proyek kita jalan. Bagaimana bisa sampai detik ini kau belum jelaskan apa pun pada kontraktor?! Sampai ada kesalahan kerja seperti, apa saja yang kau lakukan, ha?” Teriak wanita berusia kepala empat itu memecah keheningan koridor hotel siang itu. Di sampingnya berdiri pria tua dan dua orang lagi yang lebih muda.
“Saya sudah jelaskan, Bu! Saat itu Pak Gustra pun berkata iya, mengerti. Lagi pula bukankah untuk hal itu di gambar sudah jelas.”terang Nana, yang termuda di antara semuanya.
“Tidak. Belum semua di jelaskan. Lagipula gambar yang saya terima baru sebagian.”bantah Pak Gustra membuat Nana tercengang.
“Kau bahkan belum kirim gambar?”
“Lho sudah saya kirim, Pak Abraham yang menerimanya..dan sete..”belum selesai, kata-kata gadis itu terpotong.
“Belum. Abraham tak lapor apa pun ke saya.”
“Ah, aku tak mengerti bagaimana caramu kerja, dan aku tak mau peduli lagi, pokoknya kau bereskan semuanya hari ini. Kalau kau tak bisa bekerja, lebih baik tidur sana. Aku tak butuh orang sepertimu! Aku bisa bekerja sendiri.” Tukas wanita itu lalu pergi begitu saja. Beberapa orang yang sempat melintas pun menatap heran pada keributan itu.
Nana masih terdiam di tempatnya. Menahan semua emosinya.
“Bongkar plafonnya!”perintah Pak Gustra pada pekerjanya yang ada di dalam ruang kamar. Pria itu pun beranjak untuk pergi.
“Pak,”panggil Nana menghentikan pria itu. “Pak, saya sudah kirim gambarnya, dan bukankah saya sudah jelaskan waktu kita bertemu di kantor bapak. Bahkan bapak sendiri yang meminta pak Abraham mencetak gambarnya saat itu.”
“Iya, tadi saya lupa.”jawab pria itu singkat dan begitu santainya membuat Nana semakin lelah. Dengan penuh kesal ia pun pergi. Ia terlalu lelah untuk berkata-kata lagi. Ditinggalkannya koridor itu dan memasuki ruang lift untuk turun meninggalkan hotel.
Gadis itu keluar dan terhenti langkahnya di lobby lift basement. Ia baru ingat jika ia datang dengan mobil bosnya dan kini tak ada gunanya dia ke basement. Namun Nana masih mematung. Menahan sesuatu yang menggenang di pelupuk matanya. Tak pedulikan orang yang berlalu lalang menatapnya aneh. Hingga ia akhirnya bergerak saat ponselnya berdering.
“Ah, hai, Ar.”ucapnya pada telepon. “Iya ini aku masih di proyek… Ini hotel yang direnovasi interiornya..  Hm..ini tadi dengan bosku.” Gadis itu pun terhenti membiarkan lawan bicaranya berkata-kata. “Iya.. setelah ini kembali ke kantor… Dijemput rekanku setelah ini.. Oke, kalau begitu. Sampai nanti!” pungkas Nana berjalan kembali ke lift menuju main lobby lounge. Lantas dibukanya lagi ponsel mencari sebuah nama dan menekan tombol dial.
“Siang. Mas, bisa pesan taxi?..”
***
“Hai, Nae,“ sapa Nana pada Naeri, temannya yang sering sekali mengadukan berbagai masalah padanya.
Hai, Na! Ada apa?”
“Bisa ketemu hari ini?”
“Wah, aku sibuk sekali, malam ini juga ada acara. Apa kau sedang ada masalah?”
“Hm..semacam itu.”
Besok saja bagaimana?”
“Hm..baiklah.”
Oh ya, apa kau jadi  ikut camping?”
“Memangnya kapan jadinya?”
“Sabtu ini.”
“Bukankah rencananya minggu depan? Bukankah aku bilang Sabtu ini aku tak bisa.”
“Masalah kalau minggu depan Ledy tak bisa ikut. Jadi dimajukan Sabtu ini.”
***
Nana keluar dari taxi dan memasuki kantor untuk kembali pada pekerjaan studionya.
            “Kok pakai taxi, bu Rona kemana?”sapa Ailin rekan seruangan Nana.
“Ntahlah.”jawab Nana singkat seraya membenahi ikatan rambutnya.
Being devil lagi?”
“Semacamnyalah.”
Baru beberapa menit, yang dibicarakan pun muncul. Mengomel di telepon memasuki ruangannya.
“Hoh, dia sungguh berisik.”desis Ailin.
“Ezaar!!”seru bu Rona dari dalam ruangannya. Secepatnya Ezar pun memasuki ruangan itu.
“Kau itu kerja pakai otak tidak? Lihatlah, semua kacau begini!” amukan bu Rona yang terdengar sampai luar.
“Pakai, Bu.”jawan Ezar samar-samar.
Lalu otakmu jalan nggak?!
Diem, Bu, dimakan anjing ntar kalau bisa jalan.” Jawab Ezar yang membuat orang-orang di studio tercengang.
“Hoh, Apa dia sudah ingin mati?”tanya Ailin nyaris tak terdengar, kalah dengan ledakan omelan bu Rona pada Ezar. Setelah kurang lebih 10 menit keributan, wanita itu akhirnya pergi lagi. Seketika, suasana pun berubah.
“Ah, gila ya, kau masih hidup, Zar?”sapa Ruri.
“Masihlah. Aku sudah kebal kali.”
“Oh ya, piknik lusa jadinya pakai mobil siapa? Atau sewa mobil dimana?”tanya Ailin memindah topik.
“Mobil? Untuk apa? Motor saja tak cukup ya?”sahut Vero
“Kan, kita ganjil. Bertujuh.”kata Victor
“Bertujuh, sama siapa?”tanya Ledy.
“Nana.”
“Oh, Nana ikut ya.. Aku pikir tak ikut. Tapi kan Nana ada kendaraan sendiri.”
“Motor Nana kan lagi direparasi.”jelas Ailin.
“Oh iya.. jadi susah ya ini.”sahut Ezar mulai berpikir.
“Aku tak jadi ikut kok, aku mau pulang kampung.”kata Nana menghentikan kebingungan.
***
Hari telah berganti. Pagi itu Nana bersiap pergi seperti biasanya. Tersisa 20 menit untuknya sedikit bersantai. Membuka Line di ponselnya.
                “Naeri: Nana, maaf, Dino datang hari ini, kita meet up besok aja ya.”
Nana pun tersenyum getir setelah membacanya.  Gadis itu pun beralih pada chat grup.
“Sony: teman, meet up nya sekalian tahun baru aja bagaimana? Soalnya Intan baru bisa pulang pas tahun baru.
Dita: terserah sih, tapi katanya Nana tak bisa libur lama, tahun baru dia sudah tak disini.
Sony: Nana, kamu kesininya mundur aja, pas tahun baru..”
“Masalahnya aku belum bisa minta libur. Jadi aku cari waktu yang aku bisa dapat libur panjang.”jawab Nana lalu beralih ke jendela chat yang lainnya.
Citra: Nana, kamu jangan pulang dulu! Skripsiku belum kelar. Pas tahun baru aja, kalau kamu pulang pas natal aku pas lagi repot-repotnya. Jadi susah ketemu.”
“Jeje: Na, maaf ya, aku tak jadi ke Bali, Restu mau ke Malang. Kalau kau ke Malang kita ketemu di Malang ya.”
Kini gadis itu harus tertawa, ntah kenapa. Mungkin sedang bangga ia berhasil menghafal lagu-lagu yang dinyanyikan teman-temannya hampir setiap saat.
Line!”dering pesan masuk tiba-tiba.
“Victor: Nana, ban motorku bocor semalam sepulang dari kos Ledy, jadi tak bisa jemput. Ini aku pakai mobil, takutnya nanti kesiangan kena macet kalau barengan. Kau ikut Ezar atau Ailin ya.”
***
“Aku yang harus menyesuaikan.. aku yang harus menyesuaikan..” that’s my lyric. Now, I just wanna go home, as soon as possible.
***
Jalanan banyak dihiasi kelipan lampu dan pohon natal. Terutama di pusat kota. Namun bagi Nana keindahan malam itu bukanlah apa-apa. Tak ada yang bisa dilihatnya. Hanya ada rumah di benaknya. Keluarga yang sangat ia rindukan. Sekali pun semua orang sibuk, keluarganya adalah tujuannya untuk pulang.
Line!”dering ponsel gadis itu memecah suasana perjalanan Nana.
Jeje: Na, sepertinya kita tak bisa ketemu. Ada acara mendadak.”
I know that.

                “Kak Nana ngapain sih pulang sekarang? Kira lagi banyak kegiatan dan keperluan di sekolah. Kakak pulang tuh makan biaya. Sudah tahu bapak kontraktor bangkrut yang nggak punya duwit. Terus kakak sendiri, kenapa tiba-tiba berencana ingin resign? Sudah tahu kita lagi krisis, kakak malah bikin ulah.”oceh bocah laki-laki itu.
                “Kira!!”tegur ibunya kemudian mengomeli adik Nana yang sekarang masih SMA itu.
Even at home, I’m rejected. Should I just disappear then? Am I really that useless?
             "Oh ya, Na, apa kau sudah kabari Tania? Kau bilang dia akan kesini kalau kau datang?"tanya ibu Nana kemudian.
             "Aku tak bilang. Aku hanya ingin istirahat sendiri selama libur ini." Kalau pun aku bilang, aku sudah lelah melihat jawaban mereka, terlalu lelah untuk "di-delayed" dan "di-postponed" yang ujungnya mereka memilih cancel.. I'm always in wrong place and wrong time.
***
                Nana berjalan keluar rumah. Di lihatnya bulan dan bintang bersinar terang. Gemerincing gantungan pintu seakan menjadi nyanyian bulan yang menghiburnya. Hanya saja tiba-tiba dering ponsel merusak nyanyian malam kala itu. Sebuah pesan dari Moringa berisi link sebuah video. Gadis itu pun membukanya dan perlahan merasa mendapatkan sebuah jawaban dari pertanyaan batinnya. Diiringi suara Shayne Ward menyenandungkan You're not alone.
Hingga mendadak ponselnya kembali berdering. Kali ini telepon. 
“Moringa?”
Hai, Na! Kudengar kau di rumah sekarang. Jadi aku ingin memastikan kalau kaubenar di rumah.”
Nana pun kaget saat ia melihat ke luar pagar rumahnya, pemuda itu terlihat melambaikan tangannya. Gadis itu pun cepat-cepat memutus panggilan dan menghampiri Moringa.
“Hei, kenapa tak bilang kau datang kesini?”tanya Nana. Pemuda itu pun tersenyum.
“Untuk surprise!”jawabnya.
“To much surprise. I can be dying now..”
“Mm..tapi kau baik-baik saja, kan?”
“Ya. I’m fine. So glad to see you again.” As always..I never regret to admire you.
Yakin, baik-baik saja?”
“Yaa.. Kenapa? Apa aku terlihat buruk?”
“Tidak, karena aku masih punya satu kabar lagi.”
“Apa?”
“Aku akan ikut kau ke Bali.”
“Maksudmu?”
“Aku juga akan bekerja dan tinggal di sana. Jadi kita bisa berteman lagi. Yaa..meski mungkin sekarang kau sudah banyak teman dan tak menjadikanku satu-satunya lagi seperti dulu.”
Moringa, please, save me once more!
***
Dalam keadaan kaki yang terluka, Nana terjebak di sudut ruang yang remang-remang itu. Berusaha menjauh saat orang berpisau itu bergerak ke arahnya. Menyeret tubuhnya sendiri menyapu parket menuju tangga. Ia hampir tak bisa melihat apa pun saat merasakan darahnya mengaliri keningnya.  Hanya kepanikan dan menyengatnya aroma serbuk kayu yang memuncak.  Hanya keinginan untuk meninggalkan ruang bawah tanah itu secepatnya.
Please, save me!
  
Tanpa Judul, Tanpa Nama 6


No comments:

Post a Comment