Ini bukan kisah tentang dia. Bukan soal gadis itu atau pemuda itu.
Entah apa poin utama cacatan ini, aku pun tak tahu.
Entah. Beribu kali kata itu melulu kulantunkan, seperti robot yang terprogram.
Kata yang sama.
Entah. Tumben kata ini hanya berupa tulisan. Tak terucap. Aku bahkan
sepertinya lupa cara berbicara.
Lidahku rasanya tersengat, entah oleh apa. Suaraku mengecil sejak aku
lupa bagaimana cara berbicara.
Entah. Setelah ini mungkin benar hilang. Sayangnya aku tak bisa hilang
juga. Tetap menjadi robot yang baru ter-reset ulang, kembali kosong.
Mungkin sekarang bukan manusia atau robot. Bisa jadi boneka yang
tergandeng kesana kemari dengan bibir melengkung senyum, tanpa tahu, apa yang sedang
terjadi pada dunia. Bergerak pun seperti puppet. Entah. Tanpa ekspresi yang
dapat berubah jelas. Tak bisa mendadak terbahak atau meraung karena sebuah topik.
Dapatkah berubah? Entah. Setidaknya, masih anak manusia. Sekali pun
ia cacat, bisu atau pun tuli, setidaknya ada yang yang sanggup bercakap
dengannya. Yang mengandung dan melahirkannya selalu bisa mendengarnya, bahkan
tanpa bahasa. Hewan pun mengenal komunikasi.
Kalau pun tak di seluruh dunia, tak semua beruntung, namun aku bersyukur
untuk berhenti berucap entah, saat seseorang bertanya hal apa yang paling kau
benci? Karena aku akan menjawab “tentang wanitaku”.
Sebab wanita itu selalu menungguku, menunggu ceritaku. Sekali pun aku
bicara keras, sekali pun aku jahat padanya, wanita itu tetap menanti dan
mendengarku. Lalu ketika aku merasa bersalah, itu menyakitkan. Di saat aku tak
dapat banyak berubah menjadi baik, itu menyakitkan. Itu adalah beberapa alasan.
Alasan berikutnya, hanya di hadapannya aku tak menjadi robot. Aku bisa
jadi penyiar radio yang tak pernah kehabisan kata dan kalimat panjang lebar. Buruknya,
aku normal hanya di depannya. Hanya bisa menjadi aku saat bersamanya.
Lalu apa alasan terbesar?
Wanita itu banyak berbohong, hanya karena dia lebih pintar berbicara
dan bersuara dibanding aku, ia sering berbohong. Jika beberapa artikel tertulis
atau media lain banyak mengungkap tentang delapan kebohongan ibu, mungkin wanitaku
adalah seniornya, yang sudah menciptakan begitu banyak kebohongan besar yang
tampak membahagiakan kala itu tapi menyakitkan di saat aku tahu kebenarannya.
Bukankah semua itu demi kau?
Ya, karena itu aku membencinya, selain itu aku benci saat akhirnya aku
mulai menjadi seperti dirinya. Sehingga aku harus menahan sakit beban dua
kebohongan. Akibat kebohonganku sendiri dan kebohongannya. Sedangkan ujungnya
aku hanya mampu bersembunyi di balik kata entah. Entah pada wanitaku, entah
pada orang-orangku, dan menjadi puppet pada lainnya. Yang bisa jadi perlahan aku menjadi puppet di antara semua orang termasuk wanitaku. Entahlah..
No comments:
Post a Comment