2015-12-22

Entah..



Ini bukan kisah tentang dia. Bukan soal gadis itu atau pemuda itu. 
Entah apa poin utama cacatan ini, aku pun tak tahu.
Entah. Beribu kali kata itu melulu kulantunkan, seperti robot yang terprogram. Kata yang sama.
Entah. Tumben kata ini hanya berupa tulisan. Tak terucap. Aku bahkan sepertinya lupa cara berbicara.
Lidahku rasanya tersengat, entah oleh apa. Suaraku mengecil sejak aku lupa bagaimana cara berbicara.
Entah. Setelah ini mungkin benar hilang. Sayangnya aku tak bisa hilang juga. Tetap menjadi robot yang baru ter-reset ulang, kembali kosong.
Mungkin sekarang bukan manusia atau robot. Bisa jadi boneka yang tergandeng kesana kemari dengan bibir melengkung senyum, tanpa tahu, apa yang sedang terjadi pada dunia. Bergerak pun seperti puppet. Entah. Tanpa ekspresi yang dapat berubah jelas. Tak bisa mendadak terbahak atau meraung karena sebuah topik.
Dapatkah berubah? Entah. Setidaknya, masih anak manusia. Sekali pun ia cacat, bisu atau pun tuli, setidaknya ada yang yang sanggup bercakap dengannya. Yang mengandung dan melahirkannya selalu bisa mendengarnya, bahkan tanpa bahasa. Hewan pun mengenal komunikasi.
Kalau pun tak di seluruh dunia, tak semua beruntung, namun aku bersyukur untuk berhenti berucap entah, saat seseorang bertanya hal apa yang paling kau benci? Karena aku akan menjawab “tentang wanitaku”.
Kenapa?
Sebab wanita itu selalu menungguku, menunggu ceritaku. Sekali pun aku bicara keras, sekali pun aku jahat padanya, wanita itu tetap menanti dan mendengarku. Lalu ketika aku merasa bersalah, itu menyakitkan. Di saat aku tak dapat banyak berubah menjadi baik, itu menyakitkan. Itu adalah beberapa alasan.
Alasan berikutnya, hanya di hadapannya aku tak menjadi robot. Aku bisa jadi penyiar radio yang tak pernah kehabisan kata dan kalimat panjang lebar. Buruknya, aku normal hanya di depannya. Hanya bisa menjadi aku saat bersamanya.
Lalu apa alasan terbesar?
Wanita itu banyak berbohong, hanya karena dia lebih pintar berbicara dan bersuara dibanding aku, ia sering berbohong. Jika beberapa artikel tertulis atau media lain banyak mengungkap tentang delapan kebohongan ibu, mungkin wanitaku adalah seniornya, yang sudah menciptakan begitu banyak kebohongan besar yang tampak membahagiakan kala itu tapi menyakitkan di saat aku tahu kebenarannya.
Bukankah semua itu demi kau?
Ya, karena itu aku membencinya, selain itu aku benci saat akhirnya aku mulai menjadi seperti dirinya. Sehingga aku harus menahan sakit beban dua kebohongan. Akibat kebohonganku sendiri dan kebohongannya. Sedangkan ujungnya aku hanya mampu bersembunyi di balik kata entah. Entah pada wanitaku, entah pada orang-orangku, dan menjadi puppet pada lainnya. Yang bisa jadi perlahan aku menjadi puppet di antara semua orang termasuk wanitaku. Entahlah..

No comments:

Post a Comment