2016-04-08

Gagal Fokus



Bukan pertama kali sesungguhnya. Mungkin kali ini lebih detail saja melihat segala prosesnya. Mulai dari awal hingga akhir, semua tersaksikan. Hanya karena hal sederhana, sensasinya jadi berbeda.
Hanya karena ingin menuliskan perasaan tak penting ini pun aku berusaha sembunyi-sembunyi mengetik di aplikasi Autocad. Khawatir jika aku akan melupakan kata-kata yang mendadak mengaliri benak.  Kenapa tidak di aplikasi untuk menulis? Sebab aku masih di kantor, masih jam kerja (sederhananya, gagal fokus mode on), maka dengan aplikasi Autocad, takkan terlalu mencolok jika aku sedang mengerjakan hal lainnya.
Pagi itu, para tukang, pekerja yang dibayar Gary Fell mulai bekerja untuk pembuatan sebuah panel hari itu. Ya, hanya semacam screen kayu untuk mempercantik teras. Sebuah barang eksterior sederhana.  Panel tersebut dibuat untuk menyembunyikan  AC outdoor, panel listrik dan tabung gas LPG. Juga panel penyembunyi kolom struktur yang keberadaannya tak bisa dihindari meski jelek.  Proses perancangannya pun tak ribet, tak butuh simulasi, perhitungan matahari atau ilmu dewa pembangunan.
Hingga  seiring dimensi keempat berjalan – meski rasanya seperti hari tak pernah berganti, barang yang tadinya hanya berupa desain di aplikasi SketchUp dan terdetail dalam garis di CAD, finally hampir terwujud sungguhan. Siang itu, ada seorang senior paling tua di kantorku. Mas Zakky, biasanya kupanggil begitu, meski sempat bingung di awal harus menyapa dengan kata “Pak” atau “Mas”. Kami bertemu seusai jam makan siang. Kebetulan posisi kami bertemu di depan kantor, yang berseberangan langsung dengan rumah principal kami. Ia pun menunjukan padaku, sesuatu yang sedang dikerjakan para tukang kayu itu.
Kami mendekat ke pusat kesibukan. Mas Zakky mulai sedikit menjelaskan tentang sistem perakitan panel kayu itu. Sempat aku hendak mengatakan sesuatu, tapi ia tak memberiku peluang. Sampai datanglah seorang senior lainnya.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” tanya pria Itali itu dalam Bahasa Inggris. Di antara kami tak ada yang tahu apakah orang yang beristri wanita Nganjuk itu bisa Bahasa Indonesia atau tidak sesungguhnya.
“Kami hanya sedang ngobrol saja, sambil memberitahunya, agar ia perhatikan detail konstruksi screen ini, sehingga ia mengerti bagaimana sistemnya, prinsip pintunya, fungsi-fungsinya, kenapa yang itu dibuat beda berlubang, ya, intinya mengerti itu tak sekedar sebagai skin penghias saja,” terang mas Zakky menimpali dengan Bahasa Inggris pula.
 “Bukankah setahuku, kau mendesainnya berdua bersama Gary hari itu?” komentar Paolo langsung tertuju padaku dan sedikit mengejutkan.
Yes…, actually….” jawabku singkat dan sedikit ragu.
“Kamu yang buat gambarnya? Kenapa tak bilang? Jadi aku, kan, tak perlu sok ceramah.”
Aku pun nyengir. Namun akhirnya aku menjelaskan,
“Awalnya mau bilang, Mas, tapi mas Zakky, kan, masih ngomong dan niatnya baik, biar aku belajar, jadi sungkan mau motong.”
“Dasar, kamu ini!” sahut mas Zakky sambil tertawa bersama Paolo (yang sampai sekarang aku tak tahu harus menyapa dengan sebutan apa, Pak, Mr, atau lainnya? Entah). “Tumben, ya, pak Gary ijinin rumahnya digambar anak baru. Bukankah bulan lalu sempat marah karena Joko dibantu anak baru  gambarnya?”
“Entahlah, kulihat Gary langsung yang memintanya, malah kulihat dia biarkan this little girl sibuk menghitung dan memikirkan tebal dan panjang pelat baja untuk sistem pintu panel AC itu. Selama kau cuti, mereka berdua sibuk memikirkan beberapa hal untuk bangunan tambahan itu.”
Saat dua orang direktur bercakap-cakap seperti itu, yang seolah tak ada aku, sungguh membingungkan, aku harus tetap berdiri di sana atau pergi. Aku memang tipe orang yang suka dipuji (siapa pula yang tak suka), hanya aku tak mengira ada pemompa hati semacam Paolo - meski orang ini masih kalah, kalau dibandingkan dengan angin yang selalu mengipasiku tiap hari.
“Dan saat melihat gambarnya, Gary berkata, I like it! Very much! Bahkan saat makan siang denganku kapan hari itu dia bilang padaku, dia adalah staf terkecil yang pernah kupunya, tapi dia tak kalah tangguh, bahkan dia berani meminta untuk mengganti gambar dan ukuran-ukuran yang kuberikan, bagusnya dia memang punya alasan yang sangat tepat untuk melakukannya,” lanjut Paolo. Tak hanya hati dan perasaan, sekarang kepalaku sepertinya mulai terpompa.
“Oh, ya? Memangnya selama aku pergi dan kamu dipegang pak Gary, kamu buat apa saja?”sahut mas Zakky beralih tanya padaku.
“Hmm…. Apa saja ya? Kebanyakan bagian-bagian eksteriornya, sih, Mas. Halaman ini, taman lantai dua, roof garden, dan area pool.”
“Pola paving carport yanng rencananya random tapi bisa dipastikan tak sungguha random itu juga?”
“Iya, sekaligus benerin pattern paras jogja yang kemarin digambar Resa.”
“Hm…. Padahal itu jelas bagian-bagian yang bisa dibilang dia sangat pilih-pilih orang.”
“Awalnya, Yonathan sempat khawatir, dia minta bantuannya tanpa sepengetahuan Gary, ternyata, diam-diam Gary tahu. Oleh sebab itu, ya sudah, selama kau pergi ke Surabaya, dia mondar-mandir ke sini, membantu Yonathan untuk mengerjakan proyek renovasi rumah ini.” terang Paolo lagi seiring beranjaknya kami menuju kantor.
Teringat obrolan dengan seseorang di waktu lalu, awalnya aku pikir biasa saja, tapi ternyata benar, setelah beberapa kali kehilangan “scene terakhir” sebuah “finishing”, memang ada perasaan tersendiri saat akhirnya kembali melihat gambar menjadi barang sungguhan. Perasaan yang membuatku ingin menyimpan scene terakhir sebuah finishing itu.
Tiga bulan lebih berada di zona nyaman, senyaman-nyamannya. Proyek lokal tak terlalu banyak. Selain itu aku tak dibebani proyek yang harus kukuasai sendirian. Jadi tak sesering dulu keluar kantor untuk survey lapangan, meski sekali diajak keluar pas waktunya kurang tepat. Pagiku pun tak dihantui omelan-omelan. Malah dengan senyum aku menerima kata-kata semacam, “Good morning, Dear!”, So great, Darling!”, atau “Good Morniiing!” sapaan ramah pak Hiroshi bernada “Ohayoo!” Namun entah, terlalu nyaman itu sepertinya agak membosankan.
Sampai akhirnya pergeseran dan pergerakan pengusik itu mulai datang kembali, pengusik sesaat itu menyadarkan kalau aku sedang rindu. Merindukan masa lalu. Saat-saat yang kupahami sebagai hal yang ternyata lebih menyenangkan, yaitu ketika bisa mencium aroma kayu, disengat bau cat, melihat kembang api mesin besi, melompati pasir-kerikil dan semen, duduk makan siang di dekat sumuran septictank, dipekakan deru bor pencongkel dinding, berpusing ria bersama orang MEP, juga pastinya berkeliling kota mencari sampel material finishing bersama angin. Kembali berdebu itu seru. Namun aku tak merindukan moment-moment berdebat dengan kontraktor ^^ (namun itu pun pelajaran, I just realize and understand now).
Apa intinya tulisan ini? Seperti biasa, aku selalu gagal fokus. Writing is free anyway. Mungkin aku hanya sedang sedikit khawatir. Cemas jika aku nantinya seperti mbak-mbak yang sudah beberapa tahun bergelar Intermediate Architect itu tetapi tak mengerti kenapa ceramic tile yang akan dipasang harus direndam air.

Ah, I’m loving yet missing all things.

No comments:

Post a Comment