Bukan pertama kali sesungguhnya. Mungkin
kali ini lebih detail saja melihat segala prosesnya. Mulai dari awal hingga
akhir, semua tersaksikan. Hanya karena hal sederhana, sensasinya jadi berbeda.
Hanya karena ingin menuliskan perasaan
tak penting ini pun aku berusaha sembunyi-sembunyi mengetik di aplikasi Autocad. Khawatir jika aku akan
melupakan kata-kata yang mendadak mengaliri benak. Kenapa tidak di aplikasi untuk menulis? Sebab aku
masih di kantor, masih jam kerja (sederhananya, gagal fokus mode on), maka dengan aplikasi Autocad, takkan terlalu mencolok jika
aku sedang mengerjakan hal lainnya.
Pagi itu, para tukang, pekerja yang dibayar
Gary Fell mulai bekerja untuk pembuatan sebuah panel hari itu. Ya, hanya
semacam screen kayu untuk
mempercantik teras. Sebuah barang eksterior sederhana. Panel tersebut dibuat untuk menyembunyikan AC
outdoor, panel listrik dan tabung gas LPG. Juga panel penyembunyi kolom
struktur yang keberadaannya tak bisa dihindari meski jelek. Proses perancangannya pun tak ribet, tak butuh
simulasi, perhitungan matahari atau ilmu dewa pembangunan.
Hingga
seiring dimensi keempat berjalan – meski rasanya seperti hari tak pernah
berganti, barang yang tadinya hanya berupa desain di aplikasi SketchUp dan terdetail dalam garis di CAD, finally
hampir terwujud sungguhan. Siang itu, ada seorang senior paling tua di
kantorku. Mas Zakky,
biasanya kupanggil begitu, meski sempat bingung di awal harus menyapa dengan
kata “Pak” atau “Mas”. Kami bertemu seusai jam
makan siang. Kebetulan posisi kami bertemu di depan kantor, yang berseberangan langsung dengan
rumah principal kami. Ia pun
menunjukan padaku, sesuatu yang sedang dikerjakan para tukang kayu itu.
Kami
mendekat ke pusat kesibukan. Mas Zakky mulai sedikit menjelaskan tentang sistem
perakitan panel kayu itu. Sempat aku hendak mengatakan sesuatu, tapi ia tak
memberiku peluang. Sampai datanglah seorang senior lainnya.
“Apa
yang sedang kalian lakukan?” tanya pria Itali itu dalam Bahasa Inggris. Di
antara kami tak ada yang tahu apakah orang yang beristri wanita Nganjuk itu
bisa Bahasa Indonesia atau tidak sesungguhnya.
“Kami
hanya sedang ngobrol saja, sambil memberitahunya, agar ia perhatikan detail
konstruksi screen ini, sehingga ia
mengerti bagaimana sistemnya, prinsip pintunya, fungsi-fungsinya, kenapa yang
itu dibuat beda berlubang, ya, intinya mengerti itu tak sekedar sebagai skin penghias saja,” terang mas Zakky
menimpali dengan Bahasa Inggris pula.
“Bukankah setahuku, kau mendesainnya berdua
bersama Gary hari itu?” komentar Paolo langsung tertuju padaku dan sedikit
mengejutkan.
“Yes…, actually….” jawabku singkat dan
sedikit ragu.
“Kamu
yang buat gambarnya? Kenapa tak bilang? Jadi aku, kan, tak perlu sok ceramah.”
Aku
pun nyengir. Namun akhirnya aku menjelaskan,
“Awalnya
mau bilang, Mas, tapi mas Zakky, kan, masih ngomong dan niatnya baik, biar aku
belajar, jadi sungkan mau motong.”
“Dasar,
kamu ini!” sahut mas Zakky sambil tertawa bersama Paolo (yang sampai sekarang aku
tak tahu harus menyapa dengan sebutan apa, Pak, Mr, atau lainnya? Entah). “Tumben,
ya, pak Gary ijinin rumahnya digambar anak baru. Bukankah bulan lalu sempat marah
karena Joko dibantu anak baru gambarnya?”
“Entahlah,
kulihat Gary langsung yang memintanya, malah kulihat dia biarkan this little girl sibuk menghitung dan
memikirkan tebal dan panjang pelat baja untuk sistem pintu panel AC itu. Selama kau cuti,
mereka berdua sibuk memikirkan beberapa hal untuk bangunan tambahan itu.”
Saat
dua orang direktur bercakap-cakap seperti itu, yang seolah tak ada aku, sungguh
membingungkan, aku harus tetap berdiri di sana atau pergi. Aku memang tipe
orang yang suka dipuji (siapa pula yang tak suka), hanya aku tak mengira ada
pemompa hati semacam Paolo - meski orang ini masih kalah, kalau dibandingkan dengan angin yang selalu mengipasiku tiap hari.
“Dan
saat melihat gambarnya, Gary berkata, I
like it! Very much! Bahkan saat makan siang denganku kapan hari itu dia
bilang padaku, dia adalah staf terkecil yang pernah kupunya, tapi dia tak kalah
tangguh, bahkan dia berani meminta untuk mengganti gambar dan ukuran-ukuran yang
kuberikan, bagusnya dia memang punya alasan yang sangat tepat untuk
melakukannya,” lanjut Paolo. Tak hanya hati dan perasaan, sekarang kepalaku
sepertinya mulai terpompa.
“Oh,
ya? Memangnya selama aku pergi dan kamu dipegang pak Gary, kamu buat apa saja?”sahut
mas Zakky beralih tanya padaku.
“Hmm….
Apa saja ya? Kebanyakan bagian-bagian eksteriornya, sih, Mas. Halaman ini,
taman lantai dua, roof garden, dan
area pool.”
“Pola
paving carport yanng rencananya random tapi bisa dipastikan tak sungguha random itu juga?”
“Iya,
sekaligus benerin pattern paras jogja yang
kemarin digambar Resa.”
“Hm….
Padahal itu jelas bagian-bagian yang bisa dibilang dia sangat pilih-pilih
orang.”
“Awalnya,
Yonathan sempat khawatir, dia minta bantuannya tanpa sepengetahuan Gary, ternyata,
diam-diam Gary tahu. Oleh sebab itu, ya sudah, selama kau pergi ke Surabaya,
dia mondar-mandir ke sini, membantu Yonathan untuk mengerjakan proyek renovasi rumah ini.”
terang Paolo lagi seiring beranjaknya kami menuju kantor.
Teringat
obrolan dengan seseorang di waktu lalu, awalnya aku pikir biasa saja, tapi
ternyata benar, setelah beberapa kali kehilangan “scene terakhir” sebuah “finishing”,
memang ada perasaan tersendiri saat akhirnya kembali melihat gambar menjadi
barang sungguhan. Perasaan yang membuatku ingin menyimpan scene terakhir sebuah finishing
itu.
Tiga
bulan lebih berada di zona nyaman, senyaman-nyamannya. Proyek lokal tak terlalu
banyak. Selain itu aku tak dibebani proyek yang harus kukuasai sendirian. Jadi
tak sesering dulu keluar kantor untuk survey lapangan, meski sekali diajak keluar
pas waktunya kurang tepat. Pagiku pun tak dihantui omelan-omelan. Malah dengan
senyum aku menerima kata-kata semacam, “Good
morning, Dear!”, “So great,
Darling!”, atau “Good Morniiing!” sapaan ramah pak Hiroshi bernada “Ohayoo!” Namun entah, terlalu nyaman
itu sepertinya agak membosankan.
Sampai
akhirnya pergeseran dan pergerakan pengusik itu mulai datang kembali, pengusik
sesaat itu menyadarkan kalau aku sedang rindu. Merindukan masa lalu. Saat-saat yang
kupahami sebagai hal yang ternyata lebih menyenangkan, yaitu ketika bisa
mencium aroma kayu, disengat bau cat, melihat kembang api mesin besi, melompati
pasir-kerikil dan semen, duduk makan siang di dekat sumuran septictank, dipekakan deru bor pencongkel
dinding, berpusing ria bersama orang MEP, juga pastinya berkeliling kota
mencari sampel material finishing bersama
angin. Kembali berdebu itu seru. Namun aku tak merindukan moment-moment berdebat dengan kontraktor
^^ (namun itu pun pelajaran, I just
realize and understand now).
Apa
intinya tulisan ini? Seperti biasa, aku selalu gagal fokus. Writing is free anyway. Mungkin aku
hanya sedang sedikit khawatir. Cemas jika aku nantinya seperti mbak-mbak yang
sudah beberapa tahun bergelar Intermediate
Architect itu tetapi tak mengerti kenapa ceramic
tile yang akan dipasang harus direndam air.
Ah, I’m loving yet missing all
things.
No comments:
Post a Comment