“Tunggu aku, okay?! Aku akan kembali. Aku pasti kembali. Hanya saja bersabarlah. Memang agak lama, tapi aku yakin kau akan kuat. I’ll always be yours.” kata Chander pada Terra.
“I hate you.” sahut Terra lirih, dan Chander tetap bergerak. Perlahan, pemuda itu pun terbang, menipis, dan menghilang ditelan gelapnya malam.
Terra tertunduk. Berjalan kembali, pulang. Kembali ke dalam kamar kecilnya yang penuh dengan seratus buah lonceng angin di langit-langitnya. Riuh menyambutnya. Nyanyian Moana di halaman yang biasanya membuatnya tenang kini nyaris tak tertangkap daun telinganya.
Gadis itu dengan lemah meraih secarik kertas coklat usang. Duduk di bangku kayu tuanya, mengambil sedikit tinta dengan penanya, dan menorehkannya. Entah berapa lama proses itu diambilnya. Entah berapa ratus, ribu, juta kali jarum jam tua berdetak. Bersautan dengan gemerincing lonceng, deburan angin, nyanyian pasir di teras rumah Moana.
“Dear Chander,
Let me tell you something. The atmosphere here.
So dark in the deep heart. Tear, rain, torn the time.
As if it will never end. Cloudy earth at night.”
“I hate you.” sahut Terra lirih, dan Chander tetap bergerak. Perlahan, pemuda itu pun terbang, menipis, dan menghilang ditelan gelapnya malam.
Terra tertunduk. Berjalan kembali, pulang. Kembali ke dalam kamar kecilnya yang penuh dengan seratus buah lonceng angin di langit-langitnya. Riuh menyambutnya. Nyanyian Moana di halaman yang biasanya membuatnya tenang kini nyaris tak tertangkap daun telinganya.
Gadis itu dengan lemah meraih secarik kertas coklat usang. Duduk di bangku kayu tuanya, mengambil sedikit tinta dengan penanya, dan menorehkannya. Entah berapa lama proses itu diambilnya. Entah berapa ratus, ribu, juta kali jarum jam tua berdetak. Bersautan dengan gemerincing lonceng, deburan angin, nyanyian pasir di teras rumah Moana.
“Dear Chander,
Let me tell you something. The atmosphere here.
So dark in the deep heart. Tear, rain, torn the time.
As if it will never end. Cloudy earth at night.”