2019-10-17

Dream



Lortfa dengan berat membuka matanya. samar-samar terlihat olehnya langit-langit kayu yang usang menyorotkan sinar dari celahnya.
"Kak, cepat bangun!" gugah dua orang anak kecil di sampingnya.
Gadis berkemeja putih dan rok biru itu masih mencoba mencerna apa yang sedang terjadi, namun ia hanya bisa menurut saat anak laki-laki dan perempuan itu menariknya.
"Lewat sini kak!"ajak mereka melewati pintu belakang lumbung padi tersebut. Hingga mendadak di kejauhan terdengar seruan, 
"Itu mereka!"
Terlihat segerombol pria dengan senjata tajam di masing2 tangan mereka berlarian ke arah Lortfa.
"Run!"seru anak2 tersebut membuat gadis itu tersentak dan buru-buru lari menjauh, menyusup di antara gubug-gubug di kompleks pemukiman itu lantas melompati dinding pembatas di depannya.
"Hei! Siapa kau?!" seru ibu2 pemilik halaman dibalik dinding tersebut.
"Maafkan aku!" seru Lortfa sambil tetap berlari keluar pagar, menembus semua jalan yang bisa ia lewati hingga menyelinap ke tengah keramaian pasar.
Gerombolan pria2 itu pun mulai berpencar. Sedangkan Lortfa kini tengah bersembunyi di balik tiang besar rumah tua yang terbengkalai. Gadis itu mencoba menenangkan diri dan berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi.
"Sial aku tak ingat apa-apa,"desisnya. Namun dilihat dari pakaiannya, sepertinya ia tak datang sendiri. Ia terlihat seperti memakai seragam sekolah. Kemungkinannya ia terpisah dari timnya. Namun dimana sebenarnya dirinya? Mengapa mereka mengejarnya? Siapa pula anak2 tadi? Sungguh suasana yg kacau ini membuatnya semakin pusing. Matahari terik menyengat. Atmosfir terasa sangat panas dan menyilaukan. Orang2 di pasar saling berseru saat bertransaksi. Ditambah jalanan dan lingkungannya sama sekali tak dikenali.
Namun bagaimana pun ia tak bisa diam saja disana. Lortfa pun mulai berjalan pelan-pelan, mencari jalan yang aman untuk dia mempelajari sekitarnya. Sampai ia merasa familiar dengan satu tempat. Ia tak paham, itu kantor petugas pasar atau apa, namun melihat pendopo dan banyaknya kendaraan terpakir disekitar situ membuatnya merasa itu adalah titik jalan keluarnya. Ia merasa pernah melalui tempat itu. Sejenak ia duduk di depan sebuah warung yang tutup. Tak lama kemudian ia melihat segerombolan anak berseragam sekolah. Ia melewatkan dari mana mereka datang namun dengan segera ia menghampiri salah satu siswi di antara murid-murid itu.
“Mm…maaf, aku sedang lupa jalan, apa kau tau aku harus kemana untuk sampai ke jalan besar?”
“Aish, disana! Belok kanan lalu lurus saja.”jawab gadis itu terlihat buru-buru dan tak terlalu peduli. Belum sampai Lortfa memperjelasnya, anak itu sudah pergi menuju teman-temannya. Lortfa berniat kembali mengejar murid tersebut tapi sialnya salah satu gerombolan pria berkaca mata hitam yang mencarinya berhasil melihatnya.
Tanpa pikir panjang, gadis berambut sepunggung itu langsung berlari ke arah pertigaan jalan lokal tersebut. Melewati jembatan dan belok ke kanan dan menghilang dibalik deretan rumah-rumah warga. Ia terus berlari tanpa berani melihat lagi ke belakang, ia hanya ingin kabur secepat-cepatnya. Selain itu ia merasa tak asing dengan jalan yang sedang ia lewati. Seperti perkiraannya dipercabangan jalan ia akan bertemu rel kereta api yang tak lama kemudian harusnya ia akan bertemu sebuah stasiun.
Perlahan Lortfa merasa sedikit aman, tak ada yang mengejarnya. Karena lelah pun ia perlambat langkahnya. Dan lebih utamanya, ia mulai merasa janggal. Jalan itu terlalu panjang dan sepi. Harusnya jalan itu selalu beriringan dengan rel kereta, namun kenapa kini terpecah oleh hutan? Apakah ingatanku salah? Ataukah ingatanku terlalu lama dan semua telah berubah? Ah, andai saja aku ingat sesuatu!
Lortfa masih saja berusaha berjalan. Ia yakin tak ada tikungan atau jalan lain. Anak yang bertemu dengannya bilang aku hanya perlu lurus saja. Namun kenapa sekarang jalannya menyempit dan terputus?
Lortfa terhenti cukup lama, ia mulai ragu, ia merasa telah jauh dari jalan raya. Yang ada dihadapannya hanya jalanan turun dengan sebuah aliran sungai di sana. Tak ada jalan beraspal, bahkan jika ia memandang kedepan, hanyalah hutan gelap di sana. Tak ada tanda kehidupan.
Haruskah aku turun? Ah, bahkan ada beberapa laki-laki disana tak jelas, bagaimana jika mereka bukan orang baik?”
Gadis itu perahan mundur . Ia kembali berlari menuju titik percabangan rel kereta. Selama aku menyusuri jalan kereta, aku pasti akan sampai ke jalan besar. Hingga akhirnya Lortfa berlari menyusuri jalan kereta api tersebut. Ia terus berjalan sambil tetap berharap tak ada kereta yang melintas dan menabraknya. “Ah, ini sungguh melelahkan,” desah Lortfa tatkala ia harus melewati jalan menanjak. Seandainya ada kereta lewat pun ia benar-benar sulit menepi sekarang, di sisi kanannya adalah dinding tebing.
“Tunggu! Jalannya mulai aneh, jangan bilang di depan adalah jembatan. Dan jika itu adalah jembatan yang sama maka harusnya tak lama lagi aku melihat jalan raya di kiri jalan.” Pikir Lortfa mulai sedikit teringat dan mengenali lebih jauh lingkungannya.
Sayangnya harapannya punah seketika ia sampai di puncak tanjakan itu. Sangat benar jika akhirnya ia bisa melihat jalan raya di kejauhan sisi kiri bawahnya. Namun jembatan layang kereta itu terlalu menyeramkan dan terlihat sulit untuk dilintasi. Sedangkan disebelahnya yang seharusnya ada jalan namun jembatan itu terlihat sudah taka da. Samar bekasnya dikejauhan. Jadi jalannya terputus disini sehingga ingatanku selalu salah... Ah, aku ambil memori terlalu jauh, mungkin memang jalan ini sudah sejak lama hilang.
Gadis itu melihat ke sekeliling. Sepertinya sudah sore. Namun ia harus tetap pergi ke seberang sana, atau mencari celah menuju jalan besar di bawah sana.
Setelah mendaki, memanjat, menyusupi banyak celah, ia menemukan runtuhan jalan yang tak lagi digunakan. Dipenuhi lumut dan semak belukar. Harapan gadis itu hampir habis. Hanya mengandalkan sisa ingatan. Ia tahu ia jelas di jalan yang salah, akan tetapi terlalu jauh untuknya kembali. Ia tak bisa langsung bergerak ke kiri, jurang dan sungai besar memaksanya mengikuti jejak runtuhan jalan yang tak jelas itu – tak jelas akan kah ia mampu mendekat ke jalan besar itu atau semakin menjauh, sebab ia yakin, jika jalan itu semakin lama semakin menanjak dan bukan turun kea rah tujuannya. Baiklah, aku harus segera akhiri ini! Ayo Lortfa, ayo lari lagi, sampai kau melihat ujungnya!”
Gadis itu pun kini benar-benar menangis putus asa. Akar-akar panjang yang bergerak pelan di sepanjang jalan sungguh membuatnya gemetaran. Hari sudah mulai gelap, jalanan itu pun berujung pada jalan sempit di antara dua dinding alam yang sangat tinggi. Yang pada akhirnya ia terhenti oleh sebuah pohon besar . bahkan Lortfa sendiri sudah tak mengerti, apakah di atasnya masih ada langit ataukah ia telah terjebak di dalam dinding gua.
Ia terdiam, meringkuk kedinginan di tengah kegelapan. Namun di tengah keheningan itu ia merasa mendengar samar suara klakson mobil dan keramaian jalan. Lortfa berusaha mempertajam penglihatannya. Mungkin di antara pohon ini ada semak-semak yang masih bisa kusingkirkan. Aku diam atau tidak, ujung-ujungnya akupun juga akan mati di sini cepat atau lambat.
Dirabanya sekelilinya. Sekuat tenaga dirusaknya batang dan akar semak belukar yang bahkan nyaris tak dilihatnya. Tangannya yang tadinya terasa sakit dan pedih kini mulai mati rasa. Semua dikoyaknya tanpa peduli. Hingga ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Logam? Kawat? Atau akar yang sangat kuat?
Digalinya lagi dengan lebih kuat bagian itu. sampai ia merasa ada seberkas cahaya. Papan? Lampu?
Oh God! Ini rangka papan?!”seru Lortfa sambil berusaha menyingkirkan semak lebih lebar dan memperjelas bidang yang serupa dengan papan berangka baja itu. gadis itu sekuat tenaga membobol lapisan kombinasi semacam elemen kardus atau gypsum, kain dan kaca di depannya (tak terlalu yakin juga apa sebenarnya benda-benda itu). Lantas mengintip dari celah tersebut.
Orang-orang berteriak melihat kearah lubang yang ia ciptakan. Aku terjebak di balik baliho?! Seriously?
“ Apa itu?! Binatang? Monster?” seru orang menjauh darinya yang kini tengah membuka lebih lebar celah untuknya keluar. Semua orang terheran-heran melihat sosok Lortfa mendadak mucul dari balik baliho besar di depan sebuah plaza mall malam itu.
“Apa itu manusia?”seru orang-orang bertanya pada salah satu pria yang memberanikan diri kembali mendekat.
Lortfa sendiri sudah bingung harus bagaimana. Ia keluar dengan gemetaran. Dilongoknya kebawah, sangat tinggi. Namun bagaimanapun ia harus turun. Perlaha ia keluar dan mengandalkan rangka-rang baja itu untuknya bisa turun. Sampai di batang terakhir, Lortfa terlihat ketakutan untuk mendarat. Baginya masih terlalu tinggi jika ia melompat.
Tak disangka pria tadi mendekat dan mengulurkan tangan.
“Kemarilah! Akan kubantu!”ucapnya.
“Hei, hati-hati!” seru seorang wanita dengan anak laki-lakinya dikejauhan.
“Dia hanya anak kecil! Sepertinya dia tak bahaya dan bahkan butuh bantuan.”sahut pria itu. Lortfa pun akhirnya memberanikan diri melompat dengan bantuan orang tersebut. Namun masih tak nyaman dengan tatapan orang-orang ia pun segera kembali berlari pergi.
“Hei!”seru pria tadi, tapi Lortfa terlalu malu dengan kondisinya untuk dilihat banyak orang.
Hari sudah petang. Gemerlap lampu kota dan kendaraan berkilat-kilat sangat menyilaukan bagi Lortfa. Ia pun berusaha menunduk selama berjalan. Ia tak mau dilihat orang-orang yang berlalu lalang, namun kini ia tak tahu harus kemana. Ia benar telah sampai di kota, tapi ia tak ingat kemana ia harus pulang.
“Hai, apa kau butuh bantuan?”sapa seorang pria tiba2 menghalangi jalan gadis itu.
Seketika Lortfa terbelalak kaget. Ia merasa apa yang ia lakukan telah sia-sia. Tak tahu bagaimana bisa pria itu menemukannya kembali. Tak lama kemudian disusul oleh pria-pria lainnya. Masing-masing dari mereka masih mengenakan pakaian serba hitam dengan tongkat hitam, pisau dan pistol. Lortfa berusaha kabur, namun detik itu juga ia langsung kehilangan kesadarannya. Semuanya hanyalah kegelapan.
"Kak, cepat bangun!"
Lortfa terperanjat bangun dengan suara itu.
“Kalian?”serunya melihat lagi dua orang anak yang membantunya kabur siang tadi.
"Lewat sini kak!"ajak mereka melewati pintu belakang lumbung padi yang sama.
"Itu mereka!" seruan di kejauan itu menyadarkan Lortfa bahwa semuanya sedang terulang. Ia bahkan kembali dengan ibu-ibu yang meneriakinya karena ia melompati dinding pagar rumahnya.
Oke, aku tak boleh mengulang pergerakanku.
Dengan segera Lortfa menghindar dan melewati jalan yang ia tahu pasti aman. Ia masih mengingat kemana pengejarnya bergerak, ia pun berusaha secepatnya menghindari kesalahan-kesalahan sebelumnya. Kini ia pun langsung menargetkan menuju balai kantor kantor pasar. Ia pun bertanya pada orang-orang namun semua hanya memberi jawaban yang sama dengan anak sekolah yang ditemuinya sebelumnya. Sampai akhirnya gerombolan anak sekolah itu muncul lagi. Dengan cepat Lortfa menyeret gadis itu bersembunyi.
“Please, antar aku dan beritahu aku cara ke kota!”
“Sudah kubilangkan, jalan kesana, lalu belok kanan!”
“Jalan itu hanya berujung ke sungai!”
“Bukan jalan itu! Jalan sebelahnya, jalan yang turun, yang menuju terminal bawah tanah!seru murid itu terlihat kesal, “Sudah ya, temanku sudah menunggu!”
OH Ya Tuhan, jadi aku salah sejak awal?!
Setelah itu Lortfa segera berlari ke jalan itu sebelum pengejarnya melihatnya lagi. Dan tiba-tiba saja, langit mendung dan perlahan gerimis. Ia pun mempercepat diri untuk segera sampai ke pintu utama menuju terminal bawah tanah. Akan sesampainya di sana Lortfa kembali merasa aneh. Apakah kali ini benar? Ketika kuubah jalan cerita, cuaca pun berubah, apa ini sebenarnya? Apakah tadi hanya mimpi? Tapi ini apa? Apa yang sebenarnya kulakukan?
“Hai, apa kau tersesat?”sapa seorang pria yang terlihat sebaya dengan Lortfa. Gadis itu masih diam saja dan hanya menatap waspada. “Tenang saja, aku bukan orang jahat. Dari ekspresimu sepertinya kau sungguh tersesat. Jadi ayo ikut aku!” tutur pemuda itu lagi dan Lortfa masih terdiam.
“Baiklah, kalau begitu apa kau tahu apa yang sedang kau lakukan disini?”
Lortfa sesungguhnya tak ingin merespon, tapi entah kepalanya secara otomatis menggeleng.
“Benar, kan, karena itu ikutlah aku! Aku tahu kemana tujuanmu.”
Perlahan Lortfa pun menuruti ajakan pria berjaket hitam oranye itu. Sedangkan pria itu kini kembali memasang headset ke kepalanya. Disusul oleh seorang temannya yang lebih tinggi, ketiganya kini berjalan bersama.
“Mm…tunggu, bukannya harusnya kita ke kanan?”
“Kau tak mengerti apa-apa, ikut saja kami!”sahut si jaket hitam biru.
Hm…baiklah, bagaimana pun juga, aku sudah seperti orang mati sekarang.”pikir Lortfa dalam benaknya.
Kini mereka kembali naik meninggalkan jalan bawah tanah tersebut. Kondisi masih hujan, dengan cepat orang-orang mengambil mantel plastik di dekat tangga tersebut.
“Pakai ini!”seru si jaket biru hitam melemparkan mantel tersebut pada Lortfa.
Dan setelah beberapa meter melewati jalur pejalan kaki, tak lama kemudian mereka sampai di sebuah pelabuhan kecil.
Mereka bertiga pun masuk ke sebuah ruangan bersama banyak orang lainnya.
”Tunggulah disini. Hujannya masih deras. Kapalnya akan berangkat jika sudah reda.”kata si jaket oranye, “atau kau bisa bersama dengannya, ngobrol dengannya. Dia juga sama sepertimu,”tuturnya lagi sambil menunjuk ke sosok perempuan cantik berponi. Rambutnya tak panjang namun cukup untuk dikuncir kuda. Gadis itu terlihat memakai jaket yang seragam dengan si pria jaket hitam biru tadi.
Kapal itu pun mulai berangkat saat langit telah gelap. Meski masih sedikit gerimis namun sebagian langit terlihat sudah cerah. Bahkan bulan pun mulai bersinar.
Lortfa masih diam dan duduk sendiri di dalam. Si jaket biru sepertinya sedang sibuk sendiri dengan seorang gadis lain dengan seragam sama di deck atas. Untuk si cantik yang tadi, hanya berdiri bertumpu pada parapet, tampaknya sedang menikmati kesendiriannya menatap bulan. Si jaket hitam oranye, entah kemana dia tak terlihat. Hingga beberapa menit kemudian.
“Hei, apa kau tak ingin kemari? Pemandangannya sangat bagus!”seru gadis berkuncir rapi itu. ia terlihat kedinginan tapi sangat menikmatinya. Ia pun memakai earpuff putihnya saat Lortfa turut mendekat dan berdiri di sampingnya.
“Wah, kau benar, ini sangat indah!”seru Lortfa takjub melihat kelipan lampu high-rise building di kejauhan. “Arsitektur dan pencahayaannya sangat gila! BIntangnya pun lebih indah lagi.”
“Ya kan, bulannya membuat semuanya makin terang. Sayang sekali ponselku mati”
“Aku malah kehilangan semua barangku.”
“Ada yang mau sushi?”seru si jaket hitam-oranye mendadak muncul.
Lortfa dan si poni hanya menatap heran.
“Di atas ada servis makanan. Kalian bisa memesan apa pun yang kalian mau. Kalian pasti lapar kan.”
“Wah, ini keren! Sangat keren! Aku bahkan tak tahu jika aku sudah tersesat sejauh ini. Tak ada ingatan tentang pemandangan sebagus ini sebelumnya.”sahut Lortfa
“Jadi kalian mau makan apa?”
“Entahlah, melihat semua ini, ketenangan ini, rasanya sudah sangat melegakan.”desah Lortfa disetujui oleh gadis disampingnya.
“Aish, terserah kalian lah.”
Waktu terus berjalan seiring mendekatnya kapal itu ke daratan. Peluit terdengar bersaut-sautan .
“Kita sudah sampai.”ucap si pria berjaket hitam biru
Lortfa melihat kejauhan pun ada beberapa orang berseragam sama dengannya melambaikan tangan ke arahnya.
“Biipp….bippp!”mendadak suara itu semakin jelas dan menggema di telinga Lortfa.
Sesaat semua seperti gelap. Hingga kemudian Lortfa kembali membuka matanya, dan semua berubah.
“Biipp…bippp”alarm ponselnya berdering. Di lihat sekelilingnya, ia berda dirumah, di kamarnya, dengan sinar matahari pagi menembus celah-celah tirai jendelanya.
“Oh, my God! Jam berapa sekarang? Sudah waktunya pergi! Oh yaampun, mimpi apa saja aku barusan? Benar-benar gila!”
Sekian



1 comment:

  1. This comment has been removed by a blog administrator.

    ReplyDelete