Lortfa dengan berat
membuka matanya. samar-samar terlihat olehnya langit-langit kayu yang usang menyorotkan sinar dari celahnya.
"Kak, cepat bangun!"
gugah dua orang anak kecil di sampingnya.
Gadis berkemeja putih dan
rok biru itu masih mencoba mencerna apa yang sedang terjadi, namun ia
hanya bisa menurut saat anak laki-laki dan perempuan itu menariknya.
"Lewat sini
kak!"ajak mereka melewati pintu belakang lumbung padi tersebut.
Hingga mendadak di kejauhan terdengar seruan,
Terlihat segerombol pria
dengan senjata tajam di masing2 tangan mereka berlarian ke arah
Lortfa.
"Run!"seru
anak2 tersebut membuat gadis itu tersentak dan buru-buru lari
menjauh, menyusup di antara gubug-gubug di kompleks pemukiman itu
lantas melompati dinding pembatas di depannya.
"Hei! Siapa kau?!"
seru ibu2 pemilik halaman dibalik dinding tersebut.
"Maafkan aku!"
seru Lortfa sambil tetap berlari keluar pagar, menembus semua jalan
yang bisa ia lewati hingga menyelinap ke tengah keramaian pasar.
Gerombolan pria2 itu pun
mulai berpencar. Sedangkan Lortfa kini tengah bersembunyi di balik
tiang besar rumah tua yang terbengkalai. Gadis itu mencoba
menenangkan diri dan berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi.
"Sial aku tak ingat
apa-apa,"desisnya. Namun dilihat dari pakaiannya, sepertinya ia
tak datang sendiri. Ia terlihat seperti memakai seragam sekolah.
Kemungkinannya ia terpisah dari timnya. Namun dimana sebenarnya
dirinya? Mengapa mereka mengejarnya? Siapa pula anak2 tadi? Sungguh
suasana yg kacau ini membuatnya semakin pusing. Matahari terik
menyengat. Atmosfir terasa sangat panas dan menyilaukan. Orang2 di
pasar saling berseru saat bertransaksi. Ditambah jalanan dan
lingkungannya sama sekali tak dikenali.
Namun bagaimana pun ia
tak bisa diam saja disana. Lortfa pun mulai berjalan pelan-pelan,
mencari jalan yang aman untuk dia mempelajari sekitarnya. Sampai ia
merasa familiar dengan satu tempat. Ia tak paham, itu kantor petugas
pasar atau apa, namun melihat pendopo dan banyaknya kendaraan
terpakir disekitar situ membuatnya merasa itu adalah titik jalan
keluarnya. Ia merasa pernah melalui tempat itu. Sejenak ia duduk di
depan sebuah warung yang tutup. Tak lama kemudian ia melihat
segerombolan anak berseragam sekolah. Ia melewatkan dari mana mereka
datang namun dengan segera ia menghampiri salah satu siswi di antara
murid-murid itu.
“Mm…maaf, aku sedang
lupa jalan, apa kau tau aku harus kemana untuk sampai ke jalan
besar?”
“Aish, disana! Belok
kanan lalu lurus saja.”jawab gadis itu terlihat buru-buru dan tak
terlalu peduli. Belum sampai Lortfa memperjelasnya, anak itu sudah
pergi menuju teman-temannya. Lortfa berniat kembali mengejar murid
tersebut tapi sialnya salah satu gerombolan pria berkaca mata hitam
yang mencarinya berhasil melihatnya.
Tanpa pikir panjang,
gadis berambut sepunggung itu langsung berlari ke arah pertigaan
jalan lokal tersebut. Melewati jembatan dan belok ke kanan dan
menghilang dibalik deretan rumah-rumah warga. Ia terus berlari tanpa
berani melihat lagi ke belakang, ia hanya ingin kabur
secepat-cepatnya. Selain itu ia merasa tak asing dengan jalan yang
sedang ia lewati. Seperti perkiraannya dipercabangan jalan ia akan
bertemu rel kereta api yang tak lama kemudian harusnya ia akan
bertemu sebuah stasiun.
Perlahan Lortfa merasa
sedikit aman, tak ada yang mengejarnya. Karena lelah pun ia perlambat
langkahnya. Dan lebih utamanya, ia mulai merasa janggal. Jalan itu
terlalu panjang dan sepi. Harusnya jalan itu selalu beriringan dengan
rel kereta, namun kenapa kini terpecah oleh hutan? Apakah
ingatanku salah? Ataukah ingatanku terlalu lama dan semua telah
berubah? Ah, andai saja aku ingat sesuatu!
Lortfa masih saja
berusaha berjalan. Ia yakin tak ada tikungan atau jalan lain. Anak
yang bertemu dengannya bilang aku hanya perlu lurus saja. Namun
kenapa sekarang jalannya menyempit dan terputus?
Lortfa terhenti cukup
lama, ia mulai ragu, ia merasa telah jauh dari jalan raya. Yang ada
dihadapannya hanya jalanan turun dengan sebuah aliran sungai di sana.
Tak ada jalan beraspal, bahkan jika ia memandang kedepan, hanyalah
hutan gelap di sana. Tak ada tanda kehidupan.
Haruskah aku turun?
Ah, bahkan ada beberapa laki-laki disana tak jelas, bagaimana jika
mereka bukan orang baik?”
Gadis itu perahan mundur
. Ia kembali berlari menuju titik percabangan rel kereta. Selama
aku menyusuri jalan kereta, aku pasti akan sampai ke jalan besar.
Hingga akhirnya Lortfa berlari menyusuri jalan kereta api tersebut.
Ia terus berjalan sambil tetap berharap tak ada kereta yang melintas
dan menabraknya. “Ah, ini sungguh melelahkan,” desah
Lortfa tatkala ia harus melewati jalan menanjak. Seandainya ada
kereta lewat pun ia benar-benar sulit menepi sekarang, di sisi
kanannya adalah dinding tebing.
“Tunggu! Jalannya mulai
aneh, jangan bilang di depan adalah jembatan. Dan jika itu adalah
jembatan yang sama maka harusnya tak lama lagi aku melihat jalan raya
di kiri jalan.” Pikir Lortfa mulai sedikit teringat dan mengenali
lebih jauh lingkungannya.
Sayangnya harapannya
punah seketika ia sampai di puncak tanjakan itu. Sangat benar jika
akhirnya ia bisa melihat jalan raya di kejauhan sisi kiri bawahnya.
Namun jembatan layang kereta itu terlalu menyeramkan dan terlihat
sulit untuk dilintasi. Sedangkan disebelahnya yang seharusnya ada
jalan namun jembatan itu terlihat sudah taka da. Samar bekasnya
dikejauhan. Jadi jalannya terputus disini sehingga ingatanku
selalu salah... Ah, aku ambil memori terlalu jauh, mungkin memang
jalan ini sudah sejak lama hilang.
Gadis itu melihat ke
sekeliling. Sepertinya sudah sore. Namun ia harus tetap pergi ke
seberang sana, atau mencari celah menuju jalan besar di bawah sana.
Setelah mendaki,
memanjat, menyusupi banyak celah, ia menemukan runtuhan jalan yang
tak lagi digunakan. Dipenuhi lumut dan semak belukar. Harapan gadis
itu hampir habis. Hanya mengandalkan sisa ingatan. Ia tahu ia jelas
di jalan yang salah, akan tetapi terlalu jauh untuknya kembali. Ia
tak bisa langsung bergerak ke kiri, jurang dan sungai besar
memaksanya mengikuti jejak runtuhan jalan yang tak jelas itu – tak
jelas akan kah ia mampu mendekat ke jalan besar itu atau semakin
menjauh, sebab ia yakin, jika jalan itu semakin lama semakin menanjak
dan bukan turun kea rah tujuannya. Baiklah, aku harus segera
akhiri ini! Ayo Lortfa, ayo lari lagi, sampai kau melihat ujungnya!”
Gadis itu pun kini
benar-benar menangis putus asa. Akar-akar panjang yang bergerak
pelan di sepanjang jalan sungguh membuatnya gemetaran. Hari sudah
mulai gelap, jalanan itu pun berujung pada jalan sempit di antara dua
dinding alam yang sangat tinggi. Yang pada akhirnya ia
terhenti oleh sebuah pohon besar . bahkan Lortfa sendiri sudah tak
mengerti, apakah di atasnya masih ada langit ataukah ia telah
terjebak di dalam dinding gua.
Ia terdiam, meringkuk
kedinginan di tengah kegelapan. Namun di tengah keheningan itu ia
merasa mendengar samar suara klakson mobil dan keramaian jalan.
Lortfa berusaha mempertajam penglihatannya. Mungkin di antara
pohon ini ada semak-semak yang masih bisa kusingkirkan. Aku diam atau
tidak, ujung-ujungnya akupun juga akan mati di sini cepat atau
lambat.
Dirabanya sekelilinya.
Sekuat tenaga dirusaknya batang dan akar semak belukar yang
bahkan nyaris tak dilihatnya. Tangannya yang tadinya terasa sakit dan
pedih kini mulai mati rasa. Semua dikoyaknya tanpa peduli. Hingga ia
merasa ada sesuatu yang berbeda. Logam? Kawat? Atau akar yang
sangat kuat?
Digalinya lagi dengan
lebih kuat bagian itu. sampai ia merasa ada seberkas cahaya. Papan?
Lampu?
“Oh God! Ini rangka
papan?!”seru Lortfa sambil berusaha menyingkirkan semak lebih
lebar dan memperjelas bidang yang serupa dengan papan berangka baja
itu. gadis itu sekuat tenaga membobol lapisan kombinasi semacam
elemen kardus atau gypsum, kain dan kaca di depannya (tak terlalu
yakin juga apa sebenarnya benda-benda itu). Lantas mengintip dari
celah tersebut.
Orang-orang berteriak
melihat kearah lubang yang ia ciptakan. Aku terjebak di balik
baliho?! Seriously?
“ Apa itu?! Binatang?
Monster?” seru orang menjauh darinya yang kini tengah membuka lebih
lebar celah untuknya keluar. Semua orang terheran-heran melihat
sosok Lortfa mendadak mucul dari balik baliho besar di depan sebuah
plaza mall malam itu.
“Apa itu manusia?”seru
orang-orang bertanya pada salah satu pria yang memberanikan diri
kembali mendekat.
Lortfa sendiri sudah
bingung harus bagaimana. Ia keluar dengan gemetaran. Dilongoknya
kebawah, sangat tinggi. Namun bagaimanapun ia harus turun. Perlaha ia
keluar dan mengandalkan rangka-rang baja itu untuknya bisa turun.
Sampai di batang terakhir, Lortfa terlihat ketakutan untuk mendarat.
Baginya masih terlalu tinggi jika ia melompat.
Tak disangka pria tadi
mendekat dan mengulurkan tangan.
“Kemarilah! Akan
kubantu!”ucapnya.
“Hei, hati-hati!”
seru seorang wanita dengan anak laki-lakinya dikejauhan.
“Dia hanya anak kecil!
Sepertinya dia tak bahaya dan bahkan butuh bantuan.”sahut pria itu.
Lortfa pun akhirnya memberanikan diri melompat dengan bantuan orang
tersebut. Namun masih tak nyaman dengan tatapan orang-orang ia pun
segera kembali berlari pergi.
“Hei!”seru pria tadi,
tapi Lortfa terlalu malu dengan kondisinya untuk dilihat banyak
orang.
Hari sudah petang.
Gemerlap lampu kota dan kendaraan berkilat-kilat sangat menyilaukan
bagi Lortfa. Ia pun berusaha menunduk selama berjalan. Ia tak mau
dilihat orang-orang yang berlalu lalang, namun kini ia tak tahu harus
kemana. Ia benar telah sampai di kota, tapi ia tak ingat kemana ia
harus pulang.
“Hai, apa kau butuh
bantuan?”sapa seorang pria tiba2 menghalangi jalan gadis itu.
Seketika Lortfa
terbelalak kaget. Ia merasa apa yang ia lakukan telah sia-sia. Tak
tahu bagaimana bisa pria itu menemukannya kembali. Tak lama kemudian
disusul oleh pria-pria lainnya. Masing-masing dari mereka masih
mengenakan pakaian serba hitam dengan tongkat hitam, pisau dan
pistol. Lortfa berusaha kabur, namun detik itu juga ia langsung
kehilangan kesadarannya. Semuanya hanyalah kegelapan.
"Kak, cepat bangun!"
Lortfa terperanjat bangun
dengan suara itu.
“Kalian?”serunya
melihat lagi dua orang anak yang membantunya kabur siang tadi.
"Lewat sini
kak!"ajak mereka melewati pintu belakang lumbung padi yang sama.
"Itu mereka!"
seruan di kejauan itu menyadarkan Lortfa bahwa semuanya sedang
terulang. Ia bahkan kembali dengan ibu-ibu yang meneriakinya karena
ia melompati dinding pagar rumahnya.
Oke, aku tak boleh
mengulang pergerakanku.
Dengan segera Lortfa
menghindar dan melewati jalan yang ia tahu pasti aman. Ia masih
mengingat kemana pengejarnya bergerak, ia pun berusaha secepatnya
menghindari kesalahan-kesalahan sebelumnya. Kini ia pun langsung
menargetkan menuju balai kantor kantor pasar. Ia pun bertanya pada
orang-orang namun semua hanya memberi jawaban yang sama dengan anak
sekolah yang ditemuinya sebelumnya. Sampai akhirnya gerombolan anak
sekolah itu muncul lagi. Dengan cepat Lortfa menyeret gadis itu
bersembunyi.
“Please, antar aku dan
beritahu aku cara ke kota!”
“Sudah kubilangkan,
jalan kesana, lalu belok kanan!”
“Jalan itu hanya
berujung ke sungai!”
“Bukan jalan itu! Jalan
sebelahnya, jalan yang turun, yang menuju terminal bawah tanah!seru
murid itu terlihat kesal, “Sudah ya, temanku sudah menunggu!”
OH Ya Tuhan, jadi aku
salah sejak awal?!
Setelah itu Lortfa segera
berlari ke jalan itu sebelum pengejarnya melihatnya lagi. Dan
tiba-tiba saja, langit mendung dan perlahan gerimis. Ia pun
mempercepat diri untuk segera sampai ke pintu utama menuju terminal
bawah tanah. Akan sesampainya di sana Lortfa kembali merasa aneh.
Apakah kali ini benar? Ketika kuubah jalan cerita, cuaca pun
berubah, apa ini sebenarnya? Apakah tadi hanya mimpi? Tapi ini apa?
Apa yang sebenarnya kulakukan?
“Hai, apa kau
tersesat?”sapa seorang pria yang terlihat sebaya dengan Lortfa.
Gadis itu masih diam saja dan hanya menatap waspada. “Tenang saja,
aku bukan orang jahat. Dari ekspresimu sepertinya kau sungguh
tersesat. Jadi ayo ikut aku!” tutur pemuda itu lagi dan Lortfa
masih terdiam.
“Baiklah, kalau begitu
apa kau tahu apa yang sedang kau lakukan disini?”
Lortfa sesungguhnya tak
ingin merespon, tapi entah kepalanya secara otomatis menggeleng.
“Benar, kan, karena itu
ikutlah aku! Aku tahu kemana tujuanmu.”
Perlahan Lortfa pun
menuruti ajakan pria berjaket hitam oranye itu. Sedangkan pria itu
kini kembali memasang headset ke kepalanya. Disusul oleh seorang
temannya yang lebih tinggi, ketiganya kini berjalan bersama.
“Mm…tunggu, bukannya
harusnya kita ke kanan?”
“Kau tak mengerti
apa-apa, ikut saja kami!”sahut si jaket hitam biru.
“Hm…baiklah,
bagaimana pun juga, aku sudah seperti orang mati sekarang.”pikir
Lortfa dalam benaknya.
Kini mereka kembali naik
meninggalkan jalan bawah tanah tersebut. Kondisi masih hujan, dengan
cepat orang-orang mengambil mantel plastik di dekat tangga tersebut.
“Pakai ini!”seru si
jaket biru hitam melemparkan mantel tersebut pada Lortfa.
Dan setelah beberapa
meter melewati jalur pejalan kaki, tak lama kemudian mereka sampai
di sebuah pelabuhan kecil.
Mereka bertiga pun masuk
ke sebuah ruangan bersama banyak orang lainnya.
”Tunggulah disini.
Hujannya masih deras. Kapalnya akan berangkat jika sudah reda.”kata
si jaket oranye, “atau kau bisa bersama dengannya, ngobrol
dengannya. Dia juga sama sepertimu,”tuturnya lagi sambil menunjuk
ke sosok perempuan cantik berponi. Rambutnya tak panjang namun cukup
untuk dikuncir kuda. Gadis itu terlihat memakai jaket yang seragam
dengan si pria jaket hitam biru tadi.
Kapal itu pun mulai
berangkat saat langit telah gelap. Meski masih sedikit gerimis namun
sebagian langit terlihat sudah cerah. Bahkan bulan pun mulai
bersinar.
Lortfa masih diam dan
duduk sendiri di dalam. Si jaket biru sepertinya sedang sibuk sendiri
dengan seorang gadis lain dengan seragam sama di deck atas. Untuk si
cantik yang tadi, hanya berdiri bertumpu pada parapet, tampaknya
sedang menikmati kesendiriannya menatap bulan. Si jaket hitam oranye,
entah kemana dia tak terlihat. Hingga beberapa menit kemudian.
“Hei, apa kau tak
ingin kemari? Pemandangannya sangat bagus!”seru gadis berkuncir
rapi itu. ia terlihat kedinginan tapi sangat menikmatinya. Ia pun
memakai earpuff putihnya saat Lortfa turut mendekat dan berdiri di
sampingnya.
“Wah, kau benar, ini
sangat indah!”seru Lortfa takjub melihat kelipan lampu high-rise
building di kejauhan. “Arsitektur dan pencahayaannya sangat gila!
BIntangnya pun lebih indah lagi.”
“Ya kan, bulannya
membuat semuanya makin terang. Sayang sekali ponselku mati”
“Aku malah kehilangan
semua barangku.”
“Ada yang mau
sushi?”seru si jaket hitam-oranye mendadak muncul.
Lortfa dan si poni hanya
menatap heran.
“Di atas ada servis
makanan. Kalian bisa memesan apa pun yang kalian mau. Kalian pasti
lapar kan.”
“Wah, ini keren! Sangat
keren! Aku bahkan tak tahu jika aku sudah tersesat sejauh ini. Tak
ada ingatan tentang pemandangan sebagus ini sebelumnya.”sahut
Lortfa
“Jadi kalian mau makan
apa?”
“Entahlah, melihat
semua ini, ketenangan ini, rasanya sudah sangat melegakan.”desah
Lortfa disetujui oleh gadis disampingnya.
“Aish, terserah kalian
lah.”
Waktu terus berjalan
seiring mendekatnya kapal itu ke daratan. Peluit terdengar
bersaut-sautan .
“Kita sudah
sampai.”ucap si pria berjaket hitam biru
Lortfa melihat kejauhan
pun ada beberapa orang berseragam sama dengannya melambaikan tangan
ke arahnya.
“Biipp….bippp!”mendadak
suara itu semakin jelas dan menggema di telinga Lortfa.
Sesaat semua seperti
gelap. Hingga kemudian Lortfa kembali membuka matanya, dan semua
berubah.
“Biipp…bippp”alarm
ponselnya berdering. Di lihat sekelilingnya, ia berda dirumah, di
kamarnya, dengan sinar matahari pagi menembus celah-celah tirai
jendelanya.
“Oh, my God! Jam berapa
sekarang? Sudah waktunya pergi! Oh yaampun, mimpi apa saja aku
barusan? Benar-benar gila!”
Sekian
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete