2013-12-26

GoodLuck or BadLuck Lesson 1



Ada sebuah kisah di masa lalu. Tentang kehidupan seorang anak. Pada suatu hari Kia, nama gadis kecil itu, ia barusaja mendapatkan ijazah kelulusannya dari sekolah Taman Kanak-kanak. Ia dan teman-temannya terlihat begitu bahagia.
  Beberapa hari kemudian ia tersadar, bahwa orangtuanya dan orangtua sahabat-sahabatnya yang belum mendaftarkan putra putrinya ke sebuah Sekolah Dasar. Mereka bingung dan cemas. Baru setelah keesokan harinya mereka bertemu beberapa kawan lainnya juga belum mendapatkan tempat pendidikan baru.
  Sekolah Favorit.  Sekolah Terbaik. Begitulah mereka menyebutnya.  SDN Bina Bangsa dan SDN Nusantara, sebut saja begitu. Yang pertama adalah sekolah terbaik pertama dan yang kedua adalah rivalnya yang sedikit kalah dalam poin kecil. Namun kedua terakui keunggulannya.
  Seluruhnya bersemangat menuju Sekolah Bina Bangsa tersebut. Berharap pilihan pertama itu benar-benar menjadi milik mereka. Meski pun Sekolah Nusantara juga terkenal baik, tetap saja mereka berjuang untuk yang pertama.
  Dua berkas pendaftaran masuk  SD milik Kia telah tersetorkan ke masing-masing dua sekolah yang bertetangga tersebut. Tes pun dilalui. Hanya tinggal pengumuman yang mereka nanti.
  Keesokan harinya dengan panik ibu Kia mencari cara untuk mengejar waktu.
  Apa kita masih bisa daftar ulang?”tanya Kia penuh harap. Ia sudah jelas diterima di Sekolah Bina Bangsa, hanya saja mereka  perlu daftar ulang sebagai tanda pastinya. Mereka tak menyangka akan mendapat masalah seperti ini. Terlambat mendapatkan info.
  Ini kita sedang mencoba. Ibu akan berusaha agar kamu bisa sekolah disana. Doakan saja kita berhasil.”
  Kia tampak begitu sedih. Ia tak berhasil masuk untuk menerima pendidikan di sekolah nomor 1 itu. Bukan karena keterlambatan, melainkan berkaitan biaya administrasi yang harus dibayar tunai. Orangtua Kia yang dalam kondisi krisis   moneter itu tak menyangka bahwa semuanya berjalan secepat ini hingga mereka belum menyiapkan segalanya dengan baik sesuai harapan.
  Dua hari telah berlalu. Saatnya pengumuman siswa yang diterima di SDN Nusantara. Kia berhasil menembus benteng sekolah tersebut. Namun ia tak terlalu gembira. Mengingat kata-kata olokan beberapa temannya yang berhasil masuk Bina Bangsa, sedangkan ia tak bisa.
  “Kia, kamu jangan sedih seperti ini. Nusantara juga tempat yang bagus.”kata ibu Kia seraya membelai rambut putrinya yang lurus sepundak.
  Tapi tetap saja Bina bangsa lebih baik. Dan aku tak bisa kesana. Kenapa aku tak seberuntung mereka.”
  “Kia, kami minta maaf, kami sangat menyesal tak bisa memenuhi keinginanmu. Tapi asala kamu tahu, sekolah yang baik atau tidak itu bergantung pada siswa yang belajar disana. Jika kamu belajar sungguh-sungguh, tanpa harus dikejar prestasi itu akan datang. Dengan prestasi-prestasi itu secara perlahan nama sekolah pasti terjunjung, maka kamu tak perlu kecil hati lagi.”
  Begitukah?”
  Ya, tentu. Oleh karena itu, jadilah berbeda,dalam hal positif. Jika mereka mengejar sekolah yang terfavorit, maka buatlah sekolah yang biasa ini menjadi terfavorit, bukankah itu lebih menarik?”
  Empat tahun kemudian. Seperti yang diharapkan, dengan kerja kerasnya Kia berhasil menjadi bintang kelasnya. Tak menjadi yang pertama memang, namun hasil perjuangan itu cukup mengesankan.
  Hingga suatu hari ada sebuah Lembaga Scholarship dari luar negeri yang mencari tiga buah sekolah terbaik. Entah berdasarkan apa mereka menilai, secara tak disangka justru Sekolah Dasar Negeri Nusantara-lah yang masuk ke dalam salah satu dari tiga. Kia pun diikutsertakan oleh gurunya untuk mengikuti tes. Gadis itu pun bersorak gembira saat ia berhasil masuk sebagai penerima beasiswa siswa berprestasi itu. Setelah mengikuti beberapa rangkaian acara ia baru memahami bahwa alasan mengapa sekolahnya terpilih oleh lembaga itu karena pendiri sekolah di masa lampau masih terhubung dengan tim lembaga scholarship tersebut. Apa pun alasannya, yang pasti ia sedang beruntung.
  Seandainya saja ia masuk Bina Bangsa, mungkin ia takkan pernah merasakan sekolah gratis dari SD hingga perguruan tinggi. Kini gadis itu bahkan telah berhasil melihat berbagai keunikan budaya mancanegara secara langsung.

2013-12-08

Kembali Tentang Semesta

Semalam Langit turun. Seperti biasa melingkupi jagad bumi.
Mencoba mengibarkan sayap menaungi segalanya.
Begitu baik terlihat cerah. bahkan saat mendung. bahkan kala hujan.
Namun kenapa semua membuat mata tak berpusat. Otak hanya berputar dalam pusaran aura Bulan.
Hanya ada Bulan, Bulan dan Bulan lagi. Kenapa Bumi selalu merindukan satu benda itu? Tak cukupkah langit yang selalu baik itu? Kenapa harus Bulan yang justru selalu membuat tak nyaman. Kenapa harus Bulan yang sekarang ntah di balik awan yang mana?
Ketika semua galaksi memandang. menyaksikan Bumi dalam lindungan Langit. Ketika semua bertanya.   Kenapa mendadak magma panas itu meluap? Memori lama menguap. Saat-saat jagad semesta menjadi saksi, Bumi dan Bulan beriringan.
Kenapa ini bukan lagi Bulan? Disaant Mentari sirna dan Bintang terlalu bersinar.
Mengapa mengagumi Langit  seutuhnya sangatlah sulit? Langit takkan pernah pergi dan selalu ada, kenapa lagi-lagi kau tak bisa menerimanya dengan senang hati?
Waktu tak bisa berputar kembali. Segalanya tak dapat diulang. Tak dapat disingkirkan. mengapa harus ada Oktober, mengapa tiba November, mengapa muncul Desember hingga Januari. Sebab kala hujan, semuanya sirna. Semua terasa gelap. Bahkan Desember ini pun Bulan Baru itu tiada.
Dan aku benci awan yang sama. Yang menutup Bulanku, Bulan Baruku, juga Bintangku. Dan aku benci tak mampu menerima Langit yang terlalu besar itu.

2013-11-14

Merindukan Bulan di Siang Hari



Siang itu pena terdiam. Tergeletak di atas sebuah meja kosong. Membuat satu meja besar itu benar kosong, sedang di sisi lain penuh sesak. Ia sendirian. Kepalanya berat. Topinya yang kebesaran itu kekecilan.

Tak ada yang menengok. Tak ada yang menjamahnya. Tak ada yang memanggilnya. Yang ada mereka meninggalkannya. Satu detik. Dua detik. Satu menit. Dua menit. Satu jam. Membisu.

Tak dapat bergerak. Tertekan udara demam. Sinar matahari menyilaukannya. Matanya berkunang. Ia terperangkap kekosongan. Telinganya tak dapat lagi memilah. Terlalu rancu terlalu riuh dan ricuh. Hanya satu yang ia rindukan. Hanya satu yang bisa mengisi. Bulan. Satu bulan baru.