Beberapa hari kemudian ia tersadar, bahwa orangtuanya dan orangtua sahabat-sahabatnya yang
belum mendaftarkan putra putrinya ke sebuah Sekolah Dasar. Mereka bingung dan cemas. Baru setelah keesokan harinya mereka bertemu beberapa kawan lainnya juga belum mendapatkan tempat pendidikan baru.
Sekolah Favorit. Sekolah Terbaik. Begitulah mereka menyebutnya. SDN Bina Bangsa dan SDN Nusantara, sebut saja begitu.
Yang pertama adalah sekolah terbaik pertama dan yang
kedua adalah rivalnya yang
sedikit kalah dalam poin kecil. Namun kedua terakui keunggulannya.
Seluruhnya bersemangat menuju Sekolah Bina Bangsa tersebut. Berharap pilihan pertama itu benar-benar menjadi milik mereka. Meski pun Sekolah Nusantara juga terkenal baik, tetap saja mereka berjuang untuk yang pertama.
Dua berkas pendaftaran masuk
SD milik Kia telah tersetorkan ke masing-masing dua sekolah yang
bertetangga tersebut. Tes pun dilalui. Hanya tinggal pengumuman yang
mereka nanti.
Keesokan harinya dengan panik ibu Kia mencari cara untuk mengejar waktu.
“Apa kita masih bisa daftar ulang?”tanya Kia penuh harap. Ia sudah jelas diterima di Sekolah Bina Bangsa, hanya saja mereka perlu daftar ulang sebagai tanda pastinya. Mereka tak menyangka akan mendapat masalah seperti ini. Terlambat mendapatkan
info.
“Ini kita sedang mencoba. Ibu akan berusaha agar kamu bisa sekolah disana. Doakan saja kita berhasil.”
Kia tampak begitu sedih. Ia tak berhasil masuk untuk menerima pendidikan di sekolah nomor 1 itu. Bukan karena keterlambatan, melainkan berkaitan biaya administrasi yang
harus dibayar tunai. Orangtua Kia
yang dalam kondisi krisis moneter itu tak menyangka bahwa semuanya berjalan secepat ini hingga mereka belum menyiapkan segalanya dengan baik sesuai harapan.
Dua hari telah berlalu. Saatnya pengumuman siswa yang diterima di SDN Nusantara. Kia berhasil menembus benteng sekolah tersebut. Namun ia tak terlalu gembira. Mengingat
kata-kata olokan beberapa temannya yang
berhasil masuk Bina Bangsa, sedangkan ia tak bisa.
“Kia, kamu jangan sedih seperti ini. Nusantara juga tempat yang
bagus.”kata
ibu Kia seraya membelai rambut putrinya yang
lurus sepundak.
“Tapi tetap saja Bina bangsa lebih baik. Dan aku tak bisa kesana. Kenapa aku tak seberuntung mereka.”
“Kia, kami minta maaf, kami sangat menyesal tak bisa memenuhi keinginanmu. Tapi asala kamu tahu, sekolah yang baik atau tidak itu bergantung pada siswa yang belajar disana. Jika kamu belajar sungguh-sungguh, tanpa harus dikejar prestasi itu akan datang. Dengan prestasi-prestasi itu secara perlahan nama sekolah pasti terjunjung, maka kamu tak perlu kecil hati lagi.”
“Begitukah?”
“Ya, tentu. Oleh karena itu, jadilah berbeda,dalam hal positif. Jika mereka mengejar sekolah yang
terfavorit, maka buatlah sekolah yang
biasa ini menjadi terfavorit, bukankah itu lebih menarik?”
Empat tahun kemudian. Seperti yang diharapkan, dengan kerja kerasnya Kia berhasil menjadi bintang kelasnya. Tak menjadi yang pertama memang, namun hasil perjuangan itu cukup mengesankan.
Hingga suatu hari ada sebuah Lembaga Scholarship dari luar negeri yang
mencari tiga buah sekolah terbaik. Entah berdasarkan apa mereka menilai, secara tak disangka justru Sekolah Dasar Negeri
Nusantara-lah yang
masuk ke dalam salah satu dari tiga. Kia
pun diikutsertakan oleh gurunya untuk mengikuti tes. Gadis itu pun bersorak gembira saat ia berhasil masuk sebagai penerima beasiswa siswa berprestasi itu. Setelah mengikuti beberapa rangkaian acara ia baru memahami bahwa alasan mengapa sekolahnya terpilih oleh lembaga itu karena pendiri sekolah di masa lampau masih terhubung dengan tim lembaga
scholarship tersebut. Apa pun alasannya,
yang pasti ia sedang beruntung.
Seandainya saja ia masuk Bina Bangsa, mungkin ia takkan pernah merasakan sekolah gratis dari SD hingga perguruan tinggi. Kini gadis itu bahkan telah berhasil melihat berbagai keunikan budaya mancanegara secara langsung.
No comments:
Post a Comment