2014-01-07

Good or Bad LUck: 1:10

Hari itu dia terbaring di atas bangku gazebo. Matanya berat terbuka. Sekelilingnya masih sepi sepi pikirnya, maka ia berniat melanjutkan tidurnya lagi sejenak. Setidaknya hingga matahari mulai menghangat.

Beberapa mobil yang melesat di jalan raya sesekali terdengar sayup-sayup. Tak ada yang datang. Ia sendirian, ah tidak. Berdua. Hanya dengan ayahnya.
Gadis itu terdiam dalam pejaman sekejap itu. Memendam segala yang akan meluap. Membendung air mata.
 "Beginikah seorang ayah? Kenapa ayah itu terlalu baik. Ia bahkan sedang sakit. Tapi kenapa ia bahkan tak pikirkan dirinya sendiri." Ariel merenungi semua yang terjadi detik itu. Lagi-lagi air matanya hendak menembus celah kelopak saat teringat kata-kata ayahnya beberapa menit yang lalu.
"Mumpung masih sepi tidurlah dulu, kamu kan habis begadang semalaman, tidur saja dulu dari pada ntar kepalamu pusing. Maketnya biar ayah yang jaga."
Ariel kembali membuka mata. Melihat ke arah ayahnya yang duduk di dekatnya. Wajahnya terlihat begitu lelah,  Mungkin karena sudah sakit ditambah begadang juga hanya untuk menemaninya.
Dengan segera ia mengusap air matanya sebelum ayahnya sadar. Gadis itu kembali duduk.
"Kok nggak tidur?"
"Nggak bisa tidur."
"Nanti kalau pusing gimana?"
"Nggak."sahutnya. Namun dalam hatinya ia berkata, "Aku sudah pusing."
"Neng, ayah minta maaf ya, nggak bisa ngasih yang terbaik buat kamu."
"Ayah ngomong apa sih?"
"Ya, gini ini, karena serba nggak ada, jadinya kamu harus berangkat pagi, ngikutin pak Pardi, padahal harusnya seenggaknya pak Pardi yang bisa nurutin kamu."
"Terus kenapa ayah yang minta maaf. Nggak papa kok, pagi gini jadinya gak kena macet."
"Ya, kan, mungkin kalau ayah punya rejeki lebih banyak bisa nyariin angkutan yang lebih m udah buat kamu."tapi melihat ayahnya
"Udahlah. Nggak usah dipikirin." sahut Ariel lagi. Awalnya ia memang sempat kesal karena hal itu ayahnya sudah membayar sewa angkutan untuk pengumpulan tugas maketnya harinya itu, tapi tetap saja tak bisa mendapatkan apa yang sebenarnya dibutuhkan. Namun kini ia telah berubah pikiran. Tak ada yang bisa disalahkan. Sudah begitu nasibnya, mungkin itu memang pilihan terbaik dari Tuhan untuknya.

Dilihatnya jam ponsel masih menunjukkan angka 7. Waktu baru berjalan setengah jam. Sedang ia masih tak tahu kapan gedung tempat pengumpulan akan terbuka. Lantas sejenak setelah itu Ariel meminta ijin untuk pergi sebentar untuk beli pulsa. Kemudian mengirimkan pesan pada temannya.

Jam 12. 5 jam lagi! Yang benar saja, ia harus selama itu menunggu disana? Ariel mendesah sedih seraya memandang maketnya yang duduk manis di depannya. Maket penuh kasih sayang pikirnya. dengan pekerjaan yang penuh bantuan keluarga dan anak-anak SD di neighborhood.
"Ya, sudah, tunggu aja. Udah, sekarang tidur saja dulu sana! Atau kamu mau beli roti atau apa?"
"Masih kenyang."
"Sanalah beli, ntar barangkali lapar tiba-tiba. Masih lama, 5 jam lagi."
"Iya, gampanglah. Terus ayah masih mau disini? Kalau mau pulang pulang saja dulu tak apa. Ayah juga pasti capek, kan."
"Nggak, ayah biasa aja. Kamu itu yang udah pucat."

Then, menuruti ayahnya. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Setelah membeli makanan ringan, ia kembali berbaring di bangku gazebo.
"Ayah, kalau ayah capek, ingin istirahat, aku tak masalah disini sendirian."
"Sudah, sana tidur! Mumpung belum ada temenmu!"

Itulah kebohongan orang tua. Selalu berpura-pura baik-baik saja meski faktanya berbanding terbalik dengan tiap perkataannya.

30 menit telah berlalu. Ariel kembali membuka mata kareena tetap saja tak mampu terlelap.
"Ah, ada pak Odi."ujarnya lalu dengan segera mengejar staf TU jurusannya tersebut untuk minta izin membawa masuk maketnya dan menitipkannya di lobby hingga waktu pasti pengumpulan tugas tersebut tiba. Untunglah ada pak Odi yang datang sebentar untuk satu keperluan kecil.
"Tapi nggak ada yang jaga, soalnya saya mau pergi lagi ini."
"Iya nggak papa pak."

10 jam kemudian. Ariel telah berada di rumah. Ia sudah menyelesaikan tidurnya. Sejenak setelah itu ia meraih ponsel untuk mencari kabar tentang pengumpulan tugas. Baru tahu jika ternyata teman-temannya telah menunggu  selama 8 jam di teras gedung pengumpulan tugas dalam keadaan hujan dan udara dingin karena tak seorang staf kampus datang membuka pintu gedung.

Menunggu satu jam di tengah kesunyian sepertinya masih lebih baik dari 10 jam di tengah hujan.
Segalanya takkan ada yang sia-sia. Sesuatu yang terlihat sebagai nasib buruk itu bisa jadi sebenarnya adalah keberuntungan besar.
 

ART



Mentari senja semakin jingga menghangat menyelimuti. Lampion kereta perlahan menyala mengiringi derap kaki-kaki itu. Sepasang kuda hitam yang kuat yang langkahnya semakin lambat lalu berhenti saat langit menjadi violet. Sepasang sepatu kayu beludru biru itu menapak perlahan di kaki gadis itu. Pepohonan menyambut menyiramkan desiran angin dingin menyejukkan. Barisan wanita berpakaian adat terlihat rapi di kanan kiri jalan menunduk hormat sesaat saat sepasang tua itu menuruni kereta. Wanita dan pria tua itu berjalan dengan anggun diikuti sederetan pengawal.
Gadis itu mengikuti pula di belakangnya. Rok lebar coklat dengan sulaman bunga dibagian bawah dikenakannya dengan cantik sesekali menyapu jalan.  Berjalan di halaman pelataran bersambut alunan musik yang terasa kuat kesakralannya. Dengan penari-penari elok menyajikan gerakan penghormatan. Tanpa kata, ia hanya ikuti saja perintah sepasang tua itu, bersama seorang pemuda menuju sebuah bangsal. Ia ikuti pergerakan punggung itu. Dan tibalah gadis itu di sebuah bangunan tua, tempat kakeknya, mereka berkata samar di tengah ruang dalam kerlingan lilin-lilin kecil.

2013-12-26

GoodLuck or BadLuck Lesson 1



Ada sebuah kisah di masa lalu. Tentang kehidupan seorang anak. Pada suatu hari Kia, nama gadis kecil itu, ia barusaja mendapatkan ijazah kelulusannya dari sekolah Taman Kanak-kanak. Ia dan teman-temannya terlihat begitu bahagia.
  Beberapa hari kemudian ia tersadar, bahwa orangtuanya dan orangtua sahabat-sahabatnya yang belum mendaftarkan putra putrinya ke sebuah Sekolah Dasar. Mereka bingung dan cemas. Baru setelah keesokan harinya mereka bertemu beberapa kawan lainnya juga belum mendapatkan tempat pendidikan baru.
  Sekolah Favorit.  Sekolah Terbaik. Begitulah mereka menyebutnya.  SDN Bina Bangsa dan SDN Nusantara, sebut saja begitu. Yang pertama adalah sekolah terbaik pertama dan yang kedua adalah rivalnya yang sedikit kalah dalam poin kecil. Namun kedua terakui keunggulannya.
  Seluruhnya bersemangat menuju Sekolah Bina Bangsa tersebut. Berharap pilihan pertama itu benar-benar menjadi milik mereka. Meski pun Sekolah Nusantara juga terkenal baik, tetap saja mereka berjuang untuk yang pertama.
  Dua berkas pendaftaran masuk  SD milik Kia telah tersetorkan ke masing-masing dua sekolah yang bertetangga tersebut. Tes pun dilalui. Hanya tinggal pengumuman yang mereka nanti.
  Keesokan harinya dengan panik ibu Kia mencari cara untuk mengejar waktu.
  Apa kita masih bisa daftar ulang?”tanya Kia penuh harap. Ia sudah jelas diterima di Sekolah Bina Bangsa, hanya saja mereka  perlu daftar ulang sebagai tanda pastinya. Mereka tak menyangka akan mendapat masalah seperti ini. Terlambat mendapatkan info.
  Ini kita sedang mencoba. Ibu akan berusaha agar kamu bisa sekolah disana. Doakan saja kita berhasil.”
  Kia tampak begitu sedih. Ia tak berhasil masuk untuk menerima pendidikan di sekolah nomor 1 itu. Bukan karena keterlambatan, melainkan berkaitan biaya administrasi yang harus dibayar tunai. Orangtua Kia yang dalam kondisi krisis   moneter itu tak menyangka bahwa semuanya berjalan secepat ini hingga mereka belum menyiapkan segalanya dengan baik sesuai harapan.
  Dua hari telah berlalu. Saatnya pengumuman siswa yang diterima di SDN Nusantara. Kia berhasil menembus benteng sekolah tersebut. Namun ia tak terlalu gembira. Mengingat kata-kata olokan beberapa temannya yang berhasil masuk Bina Bangsa, sedangkan ia tak bisa.
  “Kia, kamu jangan sedih seperti ini. Nusantara juga tempat yang bagus.”kata ibu Kia seraya membelai rambut putrinya yang lurus sepundak.
  Tapi tetap saja Bina bangsa lebih baik. Dan aku tak bisa kesana. Kenapa aku tak seberuntung mereka.”
  “Kia, kami minta maaf, kami sangat menyesal tak bisa memenuhi keinginanmu. Tapi asala kamu tahu, sekolah yang baik atau tidak itu bergantung pada siswa yang belajar disana. Jika kamu belajar sungguh-sungguh, tanpa harus dikejar prestasi itu akan datang. Dengan prestasi-prestasi itu secara perlahan nama sekolah pasti terjunjung, maka kamu tak perlu kecil hati lagi.”
  Begitukah?”
  Ya, tentu. Oleh karena itu, jadilah berbeda,dalam hal positif. Jika mereka mengejar sekolah yang terfavorit, maka buatlah sekolah yang biasa ini menjadi terfavorit, bukankah itu lebih menarik?”
  Empat tahun kemudian. Seperti yang diharapkan, dengan kerja kerasnya Kia berhasil menjadi bintang kelasnya. Tak menjadi yang pertama memang, namun hasil perjuangan itu cukup mengesankan.
  Hingga suatu hari ada sebuah Lembaga Scholarship dari luar negeri yang mencari tiga buah sekolah terbaik. Entah berdasarkan apa mereka menilai, secara tak disangka justru Sekolah Dasar Negeri Nusantara-lah yang masuk ke dalam salah satu dari tiga. Kia pun diikutsertakan oleh gurunya untuk mengikuti tes. Gadis itu pun bersorak gembira saat ia berhasil masuk sebagai penerima beasiswa siswa berprestasi itu. Setelah mengikuti beberapa rangkaian acara ia baru memahami bahwa alasan mengapa sekolahnya terpilih oleh lembaga itu karena pendiri sekolah di masa lampau masih terhubung dengan tim lembaga scholarship tersebut. Apa pun alasannya, yang pasti ia sedang beruntung.
  Seandainya saja ia masuk Bina Bangsa, mungkin ia takkan pernah merasakan sekolah gratis dari SD hingga perguruan tinggi. Kini gadis itu bahkan telah berhasil melihat berbagai keunikan budaya mancanegara secara langsung.