2014-08-15

What’s Life Exactly?? Society & Children



Masyarakat "kampung" itu tak jarang yang lucu. Ntah faktor pendidikan, ntah pergaulan, ideologi atau faktor lainnya, semua membuat kehidupan mereka menjadi sangat unik. Kedamaian menurut mereka begitu membingungkan. Ketika seseorang berusaha bijak menegakkan keadilan justru dikucilkan.
DAMAI DAN AKRAB – Tak lebih dari ngrumpi pagi-pagi di teras tetangga.
HARUS SALING BERBAGI – Ternyata yang dimaksud adalah “Barang kamu milik kita bersama, barangku ya barangku..”
KEBERSAMAAN – Solid bagi mereka yang selalu ikut ngrumpi, yang tak ikut menggossip dikucikan, katanya sombong. Padahal sebagian besar kasus, mereka yang tak bergabung sesungguhnya hanya menghindari fitnah dan membicarakan aib orang lain.
ADIL – Kalau ada apa-apa harus dibagi rata. “Rata untuk keluarga panitia.”
MENGHORMATI – Dalam organsasi yang dihormati ya orang-orang yang dianggap kaya saja.
KAYA – Kalau punya mobil, komputer, kulkas dan mesin cuci. Kurang salah satu aja dikatakan biasa saja.
ANAK GADIS YANG RAMAH – Kalau rumah gadis itu didatangi banyak teman cowok, yang tidak katanya sombong, suka pilih-pilih, atau kalau tidak disebut nggak gaul. Padahal tak sedikit dari hal ini kalau gadis-gadis yang katanya “ramah” itu adalah gadis-gadis yang teman-temannya nggak jauh dari apa yang disebut “preman”.
PERAWAN TUA – Julukan bagi mereka yang berusia di atas 20 tahun belum menikah. Gadis itu dikatakan “nggak laku”, padahal mereka sebenarnya masih berkonsentrasi pada pendidikan. Masalahnya kebanyakan orang pelosok emang anak-anaknya dinikahkan setlah lulus SMP. SMA dan kuliah nggak penting, yang penting dapat kerja, dapat uang, dapat suami.
Semua hal biasa. Bukan hal aneh lagi untuk mereka yang tinggal di sebuah tempat yang di sebut “Kampung” apalagi kalau lokasinya emang pelosok. Tapi hal paling menyakitkan adalah ketika semua itu telah menyinggung anak-anak. Sangat disayangkan apabila anak-anak itu tak mendapatkan hak yang semestinya mereka dapat. Pendidikan itu pasti. Pendidikan formal akademis maupun pendidikan dalam pergaulan. Sangat menyedihkan jika melihat anak balita sudah pandai “misuh”, berkata kotor dan nada bicaranya kasar. Harusnya mereka tak seperti itu.
Ada suatu peristiwa, yang sering terjadi namun tak boleh menjadi kebiasaan. Masalahnya sepele, hanya lomba perayaan ulang tahun kemerdekaan negara, yang di Indonesia ini biasa disebut “Agustusan”.  Lomba diadakan untuk anak-anak kecil usia 3-12 tahun. Dalam kampung tersebut hampir setiap keluarga memiliki anak kecil yang diajak untuk partisipasinya. Namun sangat mengecewakan ketika panitia hampir saja tak mengundang semua anak. Ada beberapa yang berkata, “Sudahlah, untuk apa mengajak anak itu. Orangtuanya saja jarang keluar. Sibuk sendiri dengan pekerjaan, jarang berbaur dengan tetangga.” Padahal kenyataannya keluarga  tersebut tak benar-benar sombong seperti yang mereka katakan. Beberapa orang yang sadar, dan berpikiran positif pasti akan mengatakan “keluarga sombong” tersebut adalah keluarga yang berkualitas. Memiliki pekerjaan tetap dan anak-anak berpendidikan baik. Tak seperti mereka yang katanya “gaul”, yang sebagian besar hanya pengangguran dan berwawasan sempit.
Anak-anak tetaplah anak-anak. Bahkan seandainya ayah ibunya benar sombong, tetap saja, anak-anak berbeda dari orang tuanya. Mereka tak tahu apa-apa tentang yang dilakukan orangtuanya. Bagaimana pun mereka harus diperlakukan adil.  Itulah yang disebut menghormati dalam arti yang sesungguhnya. Bahkan seandainya anak-anak itu sendiri memiliki kelakuan buruk, mereka tetap tak boleh diasingkan begitu saja. Justru mereka harus diberi perhatian khusus untuk dididik menjadi lebih baik.
Beruntunglah ada beberapa remaja dari keseluruhan karangtaruna yang bisa sedikit meminimalisasi masalah itu. Mereka yang setidaknya mendapat pendidikan sedikit lebih baik dari warga lainnya dapat membantu menegakkan keadilan.  Keberadaan organisasi inilah kunci dari kemajuan suatu lingkungan pemukiman tersebut. Oleh karena itu suatu kampung harus memiliki organisasi ini. Bagi yang sudah ada maka kualitasnya harus lebih ditingkatkan lagi. Tanpa golongan satu ini akan sulit suatu lingkungan di Indonesia menjadi baik.
Sebagai contoh, ada kesalahan tapi dibenarkan, dianggap remeh, tak penting, namun sesungguhnya ini adalah akar dari kecacatan moral negeri ini. Pada lomba Agustusan, semua mengakui acara tersebut berguna untuk meramaikan kampung dan merayakan kebahagiaan bersama. Orang-orang bilang “Biar akrab semua.” Tapi nyatanya kasus yang diuraikan sebelumnya hampir terjadi. Jika ego masyarakat masih suka mengucilkan orang lain, bagaimana bisa esensi acara tersebut tercapai. Kita sebagai warga masyarakat tak boleh hanya menuntut orang lain keluar dari rumahnya. Namun kita sendiri haruslah masuk dan menggandeng mereka untuk keluar bersama-sama.
Akar kecacatan moral bangsa. Semua sudah mengenal KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme). Hampir setiap hari bahkan setiap jam. Ibu-ibu atau bapak-bapak, mas-mas dan mbak-mbak warga desa membicarakan hal itu. Khususnya dalam masa pemilihan umum. Semua mengolok-olok mereka yang bersikap KKN. Mencaci maki, membenci bahkan sumpah serapah tak jarang keluar. Tapi apa nyatanya, mereka sendiri, kita sendiri tak sadar bahwa KKN itu tertanam oleh mereka sendiri.
Masih mengenai Lomba Agustusan. Ketika lomba berjalan lancar semua bahagia. Beberapa ada yang menang dan kalah. Itu hal biasa. Bahkan anak menangis karena kalah pun bukan hal langka. Dan dari sinilah kesalahan kecil bisa fatal. Banyak yang berpikiran membagi hadiah kemenangan kepada sumua anak adalah suatu keadilan. Sampai mengoper kemenangan seorang anak yang sering menang ke orang lain. Intinya, hadiahnya rata, semua dapat. Tapi mereka lupa, bahwa seorang anak itu juga memiliki otak dan perasaan. Mereka bisa mencerna apa yang menyangkut hidupnya. Ketika seorang anak tersadar ia telah dicurangi, ia akan merasakan sakit. Jika para panitia itu memang berniat membagi rata hadiah lomba, bukankah masih ada cara lain, yaitu dengan menganggarkan biaya masing-masing hadiah. Tak harus besar, masing-masing bernilai kecil namun sesuai haknya, teratur dengan bijaksana. Bukannya justru mencurangi keadaan yang sudah terpampang sebagai kebenaran.
Penulis bukanlah seorang ahli jiwa anak-anak. Namun bukan berarti tak pernah menjadi anak-anak. Seorang anak seusia 3-12 tahun adalah masa dimana mereka belum bisa menyatukan logika dan perasaan mereka. Tak jarang mereka berpikir untuk ikhlas, jika satu atau dua dari hadiah mereka yang banyak dioperkan ke anak lainnya. Mereka pasti akan berkata “Iya, tak apa.” Meski sebenarnya mereka kecewa. Mereka sudah berjuang dengan semangat, mereka ingin menang, tapi setelah menang, kemenangan itu tak diakui. Pada beberapa anak hal itu bisa saja membekas utnuk waktu lama. Apalagi jika hal semacam itu terus terulang dalam kehidupannya.
Orang dewasa hanya berpikir kasihan pada anak-anak yang lain – yang dpikiran mereka tak jauh dari anak-anak di keluarga mereka sendiri. Inilah nepotisme kecil yang tak disadari. Apalagi jika orang dewasa itu berpikir,”Hadiah hangus jika pemenang tak datang, jadi hadiah dioper ke anak lain yang datang.” Tapi mereka tak berusaha memanggil pemenang, yang dipanggil untuk hadir di acara pembagian hadiah hanya anak-anak di keluarga panitia. Ya ini pemalsuan, KKN kecil yang bisa membuat kecewa banyak anak kecil, bibit dari pemimpin bangsa di masa depan. Lha kalau bibitnya sudah sadar, kenal, apalagi sampai terbiasa dengan kecurangan, bagaimana nanti besarnya?
Semakin buruk lagi jika pendidikan moral manusia itu rendah. Sangat mengecewakan bila melihat mereka, para panitia yang harusnya bijak  justru mengucilkan salah satu anggotanya yang berusaha membela hak anak-anak itu. Mereka bilang “Sok”, mereka bilang “Ngapain sih dikasih, keluar aja nggak mau orangtuanya, ya biarin aja anaknya.” Tak tahu jika si anak itu mungkin saja menanti saat pembagian hadiah itu.
Semangat, motivasi, persaingan sehat, dan kebersamaan. Itulah yang harus benar-benar diperhatikan. Sangat fatal jika dalam kehidupan seorang anak terjadi kesalahan penerapan dalam hal itu. Pendidikan anak haruslah dilakuakan dengan benar jika masyarakat tak ingin lagi mengeluhkan pemimpin bangsanya.

No comments:

Post a Comment