Masyarakat "kampung" itu tak jarang
yang lucu. Ntah faktor pendidikan, ntah pergaulan, ideologi atau faktor lainnya,
semua membuat kehidupan mereka menjadi sangat unik. Kedamaian menurut mereka
begitu membingungkan. Ketika seseorang berusaha bijak menegakkan keadilan
justru dikucilkan.
DAMAI DAN AKRAB – Tak lebih dari ngrumpi pagi-pagi di teras
tetangga.
HARUS SALING BERBAGI – Ternyata yang dimaksud adalah “Barang kamu milik kita bersama, barangku ya
barangku..”
KEBERSAMAAN – Solid bagi mereka yang selalu ikut ngrumpi, yang tak
ikut menggossip dikucikan, katanya sombong. Padahal sebagian besar kasus,
mereka yang tak bergabung sesungguhnya hanya menghindari fitnah dan
membicarakan aib orang lain.
ADIL – Kalau ada apa-apa harus dibagi rata. “Rata untuk keluarga panitia.”
MENGHORMATI – Dalam organsasi yang dihormati ya orang-orang yang
dianggap kaya saja.
KAYA – Kalau punya mobil, komputer, kulkas dan mesin cuci. Kurang
salah satu aja dikatakan biasa saja.
ANAK GADIS YANG RAMAH – Kalau rumah gadis itu didatangi banyak
teman cowok, yang tidak katanya sombong, suka pilih-pilih, atau kalau tidak
disebut nggak gaul. Padahal tak sedikit dari hal ini kalau gadis-gadis yang
katanya “ramah” itu adalah gadis-gadis yang teman-temannya nggak jauh dari apa
yang disebut “preman”.
PERAWAN TUA – Julukan bagi mereka yang berusia di atas 20 tahun
belum menikah. Gadis itu dikatakan “nggak
laku”, padahal mereka sebenarnya masih berkonsentrasi pada pendidikan. Masalahnya
kebanyakan orang pelosok emang anak-anaknya dinikahkan setlah lulus SMP. SMA
dan kuliah nggak penting, yang penting dapat kerja, dapat uang, dapat suami.
Semua hal biasa. Bukan hal aneh
lagi untuk mereka yang tinggal di sebuah tempat yang di sebut “Kampung” apalagi
kalau lokasinya emang pelosok. Tapi hal paling menyakitkan adalah ketika semua
itu telah menyinggung anak-anak. Sangat disayangkan apabila anak-anak itu tak
mendapatkan hak yang semestinya mereka dapat. Pendidikan itu pasti. Pendidikan
formal akademis maupun pendidikan dalam pergaulan. Sangat menyedihkan jika
melihat anak balita sudah pandai “misuh”,
berkata kotor dan nada bicaranya kasar. Harusnya mereka tak seperti itu.
Ada suatu peristiwa, yang sering
terjadi namun tak boleh menjadi kebiasaan. Masalahnya sepele, hanya lomba perayaan
ulang tahun kemerdekaan negara, yang di Indonesia ini biasa disebut “Agustusan”. Lomba diadakan untuk anak-anak kecil usia 3-12
tahun. Dalam kampung tersebut hampir setiap keluarga memiliki anak kecil yang diajak
untuk partisipasinya. Namun sangat mengecewakan ketika panitia hampir saja tak
mengundang semua anak. Ada beberapa yang berkata, “Sudahlah, untuk apa mengajak
anak itu. Orangtuanya saja jarang keluar. Sibuk sendiri dengan pekerjaan,
jarang berbaur dengan tetangga.” Padahal kenyataannya keluarga tersebut tak benar-benar sombong seperti yang
mereka katakan. Beberapa orang yang sadar, dan berpikiran positif pasti akan
mengatakan “keluarga sombong” tersebut adalah keluarga yang berkualitas. Memiliki
pekerjaan tetap dan anak-anak berpendidikan baik. Tak seperti mereka yang
katanya “gaul”, yang sebagian besar hanya pengangguran dan berwawasan sempit.
Anak-anak tetaplah anak-anak. Bahkan
seandainya ayah ibunya benar sombong, tetap saja, anak-anak berbeda dari orang
tuanya. Mereka tak tahu apa-apa tentang yang dilakukan orangtuanya. Bagaimana pun
mereka harus diperlakukan adil. Itulah yang
disebut menghormati dalam arti yang sesungguhnya. Bahkan seandainya anak-anak
itu sendiri memiliki kelakuan buruk, mereka tetap tak boleh diasingkan begitu
saja. Justru mereka harus diberi perhatian khusus untuk dididik menjadi lebih
baik.
Beruntunglah ada beberapa remaja dari
keseluruhan karangtaruna yang bisa sedikit meminimalisasi masalah itu. Mereka yang
setidaknya mendapat pendidikan sedikit lebih baik dari warga lainnya dapat
membantu menegakkan keadilan. Keberadaan
organisasi inilah kunci dari kemajuan suatu lingkungan pemukiman tersebut. Oleh
karena itu suatu kampung harus memiliki organisasi ini. Bagi yang sudah ada
maka kualitasnya harus lebih ditingkatkan lagi. Tanpa golongan satu ini akan
sulit suatu lingkungan di Indonesia menjadi baik.
Sebagai contoh, ada kesalahan tapi
dibenarkan, dianggap remeh, tak penting, namun sesungguhnya ini adalah akar
dari kecacatan moral negeri ini. Pada lomba Agustusan, semua mengakui acara
tersebut berguna untuk meramaikan kampung dan merayakan kebahagiaan bersama. Orang-orang
bilang “Biar akrab semua.” Tapi
nyatanya kasus yang diuraikan sebelumnya hampir terjadi. Jika ego masyarakat
masih suka mengucilkan orang lain, bagaimana bisa esensi acara tersebut
tercapai. Kita sebagai warga masyarakat tak boleh hanya menuntut orang lain keluar
dari rumahnya. Namun kita sendiri haruslah masuk dan menggandeng mereka untuk
keluar bersama-sama.
Akar kecacatan moral bangsa. Semua
sudah mengenal KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme). Hampir setiap hari bahkan setiap
jam. Ibu-ibu atau bapak-bapak, mas-mas dan mbak-mbak warga desa membicarakan
hal itu. Khususnya dalam masa pemilihan umum. Semua mengolok-olok mereka yang
bersikap KKN. Mencaci maki, membenci bahkan sumpah serapah tak jarang keluar. Tapi
apa nyatanya, mereka sendiri, kita sendiri tak sadar bahwa KKN itu tertanam
oleh mereka sendiri.
Masih mengenai Lomba Agustusan. Ketika
lomba berjalan lancar semua bahagia. Beberapa ada yang menang dan kalah. Itu hal
biasa. Bahkan anak menangis karena kalah pun bukan hal langka. Dan dari sinilah
kesalahan kecil bisa fatal. Banyak yang berpikiran membagi hadiah kemenangan
kepada sumua anak adalah suatu keadilan. Sampai mengoper kemenangan seorang
anak yang sering menang ke orang lain. Intinya, hadiahnya rata, semua dapat. Tapi
mereka lupa, bahwa seorang anak itu juga memiliki otak dan perasaan. Mereka bisa
mencerna apa yang menyangkut hidupnya. Ketika seorang anak tersadar ia telah
dicurangi, ia akan merasakan sakit. Jika para panitia itu memang berniat
membagi rata hadiah lomba, bukankah masih ada cara lain, yaitu dengan
menganggarkan biaya masing-masing hadiah. Tak harus besar, masing-masing bernilai
kecil namun sesuai haknya, teratur dengan bijaksana. Bukannya justru mencurangi
keadaan yang sudah terpampang sebagai kebenaran.
Penulis bukanlah seorang ahli
jiwa anak-anak. Namun bukan berarti tak pernah menjadi anak-anak. Seorang anak
seusia 3-12 tahun adalah masa dimana mereka belum bisa menyatukan logika dan
perasaan mereka. Tak jarang mereka berpikir untuk ikhlas, jika satu atau dua dari
hadiah mereka yang banyak dioperkan ke anak lainnya. Mereka pasti akan berkata “Iya,
tak apa.” Meski sebenarnya mereka kecewa. Mereka sudah berjuang dengan semangat,
mereka ingin menang, tapi setelah menang, kemenangan itu tak diakui. Pada beberapa
anak hal itu bisa saja membekas utnuk waktu lama. Apalagi jika hal semacam itu terus
terulang dalam kehidupannya.
Orang dewasa hanya berpikir kasihan
pada anak-anak yang lain – yang dpikiran mereka tak jauh dari anak-anak di
keluarga mereka sendiri. Inilah nepotisme kecil yang tak disadari. Apalagi jika
orang dewasa itu berpikir,”Hadiah hangus jika pemenang tak datang, jadi hadiah
dioper ke anak lain yang datang.” Tapi mereka tak berusaha memanggil pemenang,
yang dipanggil untuk hadir di acara pembagian hadiah hanya anak-anak di
keluarga panitia. Ya ini pemalsuan, KKN kecil yang bisa membuat kecewa banyak
anak kecil, bibit dari pemimpin bangsa di masa depan. Lha kalau bibitnya sudah sadar,
kenal, apalagi sampai terbiasa dengan kecurangan, bagaimana nanti besarnya?
Semakin buruk lagi jika
pendidikan moral manusia itu rendah. Sangat mengecewakan bila melihat mereka,
para panitia yang harusnya bijak justru
mengucilkan salah satu anggotanya yang berusaha membela hak anak-anak itu.
Mereka bilang “Sok”, mereka bilang “Ngapain sih dikasih, keluar aja nggak mau
orangtuanya, ya biarin aja anaknya.” Tak tahu jika si anak itu mungkin saja
menanti saat pembagian hadiah itu.
Semangat, motivasi, persaingan
sehat, dan kebersamaan. Itulah yang harus benar-benar diperhatikan. Sangat fatal
jika dalam kehidupan seorang anak terjadi kesalahan penerapan dalam hal itu. Pendidikan
anak haruslah dilakuakan dengan benar jika masyarakat tak ingin lagi
mengeluhkan pemimpin bangsanya.
No comments:
Post a Comment