2015-02-07

about SKRIPSI which almost kill me



First chapter: Cintaku Ditolak Sana-Sini

A happy start. Everthing was looked well. Aku punya bu Triandi dan pak Chairil, kupikir.

Namun tak bertahan lama. Bu Rina selaku koordinator Tugas Akhir mendadak memberitahuku aku perlu mencari dosen pembimbing lain. Rupanya pak Il nggak mau membimbingku :( Detik itu hanya tersisa tiga pilihan, Noviani S., ST.,MT., Triandriani M., ST.,MT., Indiyah M. ST.,MT. I couldn’t think anything.

Saat itu ada beberapa anak lain yang juga harus mencari dosen lain. Karena saat itu benar-benar bingung, aku hanya bergerak mengikuti arus. Saat beberapa memberiku saran untuk melaju ke arah Bu Novi, aku pun ke arah sana. Namun aku tak dapat apa-apa. Cintaku ditolak bu Novi. Seseorang sudah lebih dulu merebut hatinya. Aku terlambat satu menit!Tersisalah bu Acil dan bu Indiyah.

Orang bilang bu Triandi tampak lebih cocok bersama bu Indiyah dibanding bu Acil. Akan tetapi ntah kenapa aku kurang nyaman. Aku tak pernah mengenalnya dengan benar. Padahal bu Rina bilang, kita harus cari seseorang yang bisa membuat kita nyaman. Detik itu benar-benar dibuat galau. Satu sisi berkata bu Indiyah lebih baik, satu sisi bilang ibunya terlalu sibuk dan susah ditemui. Akhirnya aku memutuskan menemui bu Acil. Namun ibunya tampak enggan dan menyuruhku ke bu Indiyah. Akan tetapi masih saja, hati nuraniku berat ke bu Acil. Lebih galau rasanya dibandingkan saat ngomongin cinta.

Second chapter: Sebuah Proposal


Finally, aku memiliki dua pembimbing dengan nama cantik, keduanya sama-sama memiliki awalan Tri dan akhiran Wati. Triandriani Mustikawati dan Triandi Laksmiwati yang tak jarang membuatku kesrimpet saat menuliskan nama mereka berdua. Hingga perlahan aku tak merasa semua tampak cantik. Seperti langit dan bumi. Berbeda, tapi tak ada yang salah atau pun benar. Aku dibuat seperti bola ping-pong. Beruntung pada akhirnya keduanya sama-sama bertoleransi. Setelah kepeningan beberapa hari, sidang proposal hari itu memberikan satu penyelesaian.

Setelah proposal, kupikir semua dapat berjalan lancar. Topik yang kuambil tak jauh beda dengan tugas studio di semester 7. Obyeknya pun sama. Tapi perlahan semua berubah saat kabar sengketa tanah tapak yang kupakai semakin rumit di luar sana. Aku harus mencari tapak baru dan pastinya desain baru.

I'm dying.

Third chapter: Stairs to Seminar Hasil – SURVEY!

This is the long part which was felt like there’s no end.
Selama beberapa minggu aku berada di dalam kekosongan. Tak tahu harus kemana. Aku belum tahu harus pergi survey kemana lebih dulu, dengan kendaraan apa, bersama siapa, dengan kamera siapa dan.. aku sungguh tak tahu apa-apa. Selama ini kupikir aku tak pernah memiliki teman yang sungguh baik. Kupikir orang-orang ada hanya untuk memanfaatkanku, kalau pun tidak, orang-orang yang kupikir bisa jadi seorang sahabat ternyata mereka berharap lebih yang membuatku menjadi enggan untuk berhutang budi atau pun memberikan harapan palsu.

Begitu banyak pelajaran pada periode ini. Perlahan aku bisa melihat, bahwa aku memiliki banyak teman. Ada beberapa teman perempuan yang kumiliki, mereka adalah orang-orang yang bisa menghilangkan stres atau pun stres beramai-ramai :D   Melegakan aku memiliki Rica, Widya, Aning, dan Bena. Terutama Rica dan Widya yang sering menampungku di kamarnya. Sedangkan Aning adalah produsen film yang bisa menguraikan pikiranku saat ruwet.

Namun pada periode SURVEY ini mereka tak bisa berbuat apa-apa. Tak satu pun dari kami punya kendaraan atau pun kamera. Sama-sama tak paham soal liku-liku kota Malang. Hingga suatu hari aku bertemu teman lainnya, Guruh. Berdiskusi dengannya sedikit bisa memecahkan masalahku. Ia yang biasa mengembara sendirian menyusuri jalanan kota Malang memberiku beberapa gambaran mengenai lokasi tapak proyek tugas akhirku ini. Dengan bantuan Wikimapia pula, akhirnya kami pun menemukan beberapa lokasi alternatif. Sayangnya Guruh terlalu sibuk dengan urusannya hingga akhirnya aku harus mencari orang lain yang bisa mengantarku berkeliling.

Seperti beberapa waktu lalu, akhirnya Rahman lagi yang mengantarku berkeliling. Bahkan sampai berhujan-hujan, ia masih bersedia mengantarku. Kami berdua pun akhirnya temukan tempat yang dirasa tepat. Hari-hari berikutnya aku pun survey tapak sendiri dengan angkutan umum. Beruntung lokasi tapak itu tak jauh dari jalan besar. Sangat strategis malah. Dalam hal ini, aku berhasil dapatkan kamera Redy, seorang teman dari jurusan Mesin, aku bisa merekam semuanya dengan bantuannya.

Semua itu baru survey tapak. Selang beberapa minggu, aku mengendap di rumah. Hanya bisa survey ke pusat seni Singosari yang sudah pasti kuketahui lokasinya. Untuk sentra batik Celaket dan Druju aku tak berkutik tanpa kendaraan, sebab aku belum tahu dimana lokasinya. Beruntung aku punya teman bernama Jati yang tugas akhirnya juga berkaitan dengan batik. Survey pun tak berjalan lancar. Hampir tersesat beberapa kali mencari lokasi sentra batik. ditambah lagi hujan deras membuat kami harus piknik di teras Alfamart beberapa kali.

Fourth chapter: Stairs to Seminar Hasil – Palung!

Masa pengerjaan skripsi yang membuatku sulit bernapas. Seusai survey, aku tersesat ke sebuah samudra. Terjebak! Sangat sulit keluar dari palung itu. seperti tak ada cahaya. Kebingungan tiada akhir. Waktu terasa seperti air. Tak bisa kukendalikan, membuatku tersedak beberapa kali. Begitu banyak yang harus kuhadapi, benar-benar berusaha menguatkan segenap jiwa dan raga.

Sakit yang dirasakan ibuku selama satu tahun ini sampai pada puncaknya. Cronic infected wound pada bekas operasi kankernya mengharuskan ibuku mondar-mandir ke rumah sakit setiap hari. Tiap usai Subuh aku dan ibuku harus meninggalkan rumah ke RS. Saiful Anwar Malang dan pulang setelah Ashar atau bahkan menjelang Maghrib. Sungguh berat menyaksikan ibuku yang begitu lemah, demam setiap malam dengan rintihan kesakitannya.

Aku tenggelam. Meski ayah dan ibuku beberapa kali menyuruhku mengabaikan mereka, menyuruhku berfokus pada pekerjaanku, nyatanya itu tak mungkin. Tiap kali aku menghadap komputerku, pikiranku kosong. Mataku tak melihat apa yang di depannya. Telingaku seperti penuh sesak oleh suara tangis kakakku yang autis tiap harinya. Aku tenggelam.

Sampai pada akhirnya ibuku harus dioperasi dan rawat inap selama dua minggu di rumah sakit. Beberapa kali orang menyebutku “Flying doctor” sebab aku harus mondar-mandir merawat ibuku, dan mengurus kakakku dirumah. Ayahku harus bekerja dari pagi sampai sore di sebuah pabrik tekstil tua di Lawang. Selanjutnya harus bekerja hingga pagi lagi di rumah untuk menyelesaikan pakaian pesanan orang-orang menjelang hari raya.

Bagaimana pun dengan berkah bulan ramadhan, kami semua masih hidup :D
Setidaknya, meski progres skripsiku 0%, aku masih bisa meraih ilmu lainnya. Perawatan medis ringan bisa kupelajari selama beberapa hari di rumah sakit. Beberapa minggu rumah sakit begitu padat dan para perawat pun begitu sibuk. Jadi kepuasan tersendiri untukku bisa sedikit membantu ibuku dan beberapa pasien yang tempat tidurnya bertetangga dengan ibuku.

Dengan banyak orang di sekitarku, perlahan aku mendekati permukaan. Pembantu urusan finansial pun ada. Sebuah kelegaan aku memiliki orang tua angkat di Belanda yang begitu mulia hatinya, untuk membantuku sejak SD hingga detik ini. Ada pula Presda temanku sejak SMP yang kini sudah bekerja di kantor bea cukai yang sudah membantuku beberapa kali. Sungguh, aku tak pernah menyangka jika Allah akan menghadirkan mereka semua untukku.

Di awal aku bertanya apakah aku salah pilih? Namun kini aku tahu, bagaimana makna “cintaku di tolak”. Aku bertemu orang-orang yang tepat. Jika dulu aku tak peduli apa kata orang tentang dosen-dosen pembimbingku, mungkin kini aku akan peduli. Bagiku mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Saat bersama mereka aku sungguh terharu, aku tak mengira jika mereka sedemikian peduli padaku. Aku menyukai takdir ini. Aku sangat berterimakasih pada Allah yang telah mempertemukan dengan dua orang itu, khususnya bu Acil. Aku tak tahu harus berkata apa untuk mengungkapkan kebaikan satu dosen itu.

Akhirnya aku keluar ke permukaan..
 
Fifth chapter: Mengejar Kapal Sidang

Sampailah pada seminar hasil, aku merasa begitu lega. Sangat melegakan bahwa pengujiku adalah bu Rina dan bu Damayanti. Orang-orang yang juga baik.  Beruntung rasanya bisa lulus meski presentasiku berantakan. Akibat kelewatan grogi saat menunggu dosen datang di menit-menit terakhir menjelang seminar. Menunggu di detik terakhir memang sungguh menegangkan!

Meski aku sudah di permukaan, belum berarti aku telah selamat. Aku masih harus mencari jalan menuju daratan untukku berpijak. Seusai sidang, keadaan ibuku memang lebih baik. Akan tetapi ujianku ini baru dimulai. Kakakku sama sekali tak bisa membiarkanku tenang, kebingungan akan poin-poin revisi membuatku hampir kembali tenggelam.

Aku seperti kehabisan ide untuk memenuhi permintaan penguji. Sempat meminta pendapat teman namun tak ada yang bisa membantu. Ada Rahman yang sepertinya bisa memberiku sedikit ide, namun keadaannya tak memungkinkan. Sempat teman itu memberi ide agar aku menggunakan sesuatu yang pernah dirancangnya. Namun hatiku tak mengijinkan. Idealismeku menginginkan aku membuat sesuatu yang benar-benar dari dalam diriku. Aku pun bertekat bagaimana pun caranya aku harus berenang sendiri meski tanpa batang kayu dan pelampung. Hanya berharap pada Tuhan, satu-satunya yang kumiliki dengan pasti!

Setelah beberapa minggu jatuh sakit. Pada akhirnya aku baru bisa mengikuti sidang di bulan berikutnya di saat teman-temanku sudah bersiap untuk wisuda. Nyaris tak rampung. Bahkan bu Acil sudang memberi aba-aba untuk sidang di semester berikutnya. NO!! Aku menolak keras. Bagaimana caranya aku harus bisa menjangkau kapal yang kulihat detik itu. Jika bukan saat itu maka takkan pernah ada kapal lainnya. Kami takkan sanggup lagi jika harus menghadapi SPP progresif. Untuk semua biaya yang sudah kuhabiskan saja ayahku sudah berkorban pergi jauh ke luar provinsi mencari harta karun. Jika harus berjelajah mencari harta karun lainnya, sepertinya akan sulit.

Dengan napas tersengal aku berenang mengejar kapal itu. Dengan berbagai rintangan! Printerku akhirnya rusak sungguhan. Ada teman ayahku yang hendak meminjamkan bantuan, mendadak pergi ke luar kota. Cari tukang servis printer nggak ketemu. Ayahku bahkan berkeliling kemana-mana tapi hasilnya nihil. Tak ada yang sanggup membenahi printerku. Padahal baru kupakai beberapa kali. Sungguh miris.. Untunglah aku punya mbak Nani, pengelola jasa pengetikan-printing di depan kampus yang sudah kenal aku. Aku dapat diskon cukup banyak darinya. Sebagian juga ada bantuan Jati yang memngijinkanku memakai kertas dan printernya.

Tanpa surat persetujuan, akhirnya aku berhasil naik ke kapal itu. Bu Acil langsung yang meminta pada bu Rina agar aku diijinkan menaiki kapal terakhir itu. Di kapal itu aku memiliki Aning, Rica, Diba, Widya, Hanif, Nimo, Fikri, Ayong dan Dyah. Tanpa tiket yang berupa maket, hanya dengan beberapa lembar A3 yang kutempel di panel beramai-ramai bersama mereka, aku berhasil mencapai pelabuhan. Kini saatnya aku berjalan kembali ke rumah!






Sixth chapter: Memburu kereta wisudawan!
Saat ini masih dalam perjuangan untuk sampai ke stasiun.. semoga belum kehabisan tiket hehe..

No comments:

Post a Comment