First chapter: Cintaku Ditolak
Sana-Sini
A happy start. Everthing
was looked well. Aku punya bu Triandi dan pak Chairil,
kupikir.
Namun tak bertahan lama. Bu Rina selaku koordinator
Tugas Akhir mendadak memberitahuku aku perlu mencari dosen pembimbing lain. Rupanya
pak Il nggak mau membimbingku :( Detik itu hanya tersisa tiga pilihan, Noviani S., ST.,MT.,
Triandriani M., ST.,MT., Indiyah M. ST.,MT. I
couldn’t think anything.
Saat itu ada beberapa anak lain yang juga harus
mencari dosen lain. Karena saat itu benar-benar bingung, aku hanya bergerak
mengikuti arus. Saat beberapa memberiku saran untuk melaju ke arah Bu Novi, aku
pun ke arah sana. Namun aku tak dapat apa-apa. Cintaku ditolak bu Novi. Seseorang
sudah lebih dulu merebut hatinya. Aku terlambat satu menit!Tersisalah bu Acil
dan bu Indiyah.
Orang bilang bu Triandi tampak lebih cocok bersama bu
Indiyah dibanding bu Acil. Akan tetapi ntah kenapa aku kurang nyaman. Aku tak
pernah mengenalnya dengan benar. Padahal bu Rina bilang, kita harus cari
seseorang yang bisa membuat kita nyaman. Detik itu benar-benar dibuat galau. Satu
sisi berkata bu Indiyah lebih baik, satu sisi bilang ibunya terlalu sibuk dan
susah ditemui. Akhirnya aku memutuskan menemui bu Acil. Namun ibunya tampak
enggan dan menyuruhku ke bu Indiyah. Akan tetapi masih saja, hati nuraniku
berat ke bu Acil. Lebih galau rasanya dibandingkan saat ngomongin cinta.
Second chapter:
Sebuah Proposal
Finally, aku memiliki dua pembimbing dengan nama cantik, keduanya sama-sama
memiliki awalan Tri dan akhiran Wati. Triandriani Mustikawati dan Triandi
Laksmiwati yang tak jarang membuatku kesrimpet saat menuliskan nama mereka
berdua. Hingga perlahan aku tak merasa semua tampak cantik. Seperti langit dan bumi.
Berbeda, tapi tak ada yang salah atau pun benar. Aku dibuat seperti bola
ping-pong. Beruntung pada akhirnya keduanya sama-sama bertoleransi. Setelah kepeningan
beberapa hari, sidang proposal hari itu memberikan satu penyelesaian.
Setelah proposal, kupikir semua dapat berjalan
lancar. Topik yang kuambil tak jauh beda dengan tugas studio di semester 7. Obyeknya
pun sama. Tapi perlahan semua berubah saat kabar sengketa tanah tapak yang
kupakai semakin rumit di luar sana. Aku harus mencari tapak baru dan pastinya
desain baru.
I'm dying.
Third chapter:
Stairs to Seminar Hasil – SURVEY!
This is the
long part which was felt like there’s no end.
Selama beberapa minggu aku berada di dalam
kekosongan. Tak tahu harus kemana. Aku belum tahu harus pergi survey kemana
lebih dulu, dengan kendaraan apa, bersama siapa, dengan kamera siapa dan.. aku
sungguh tak tahu apa-apa. Selama ini kupikir aku tak pernah memiliki teman yang
sungguh baik. Kupikir orang-orang ada hanya untuk memanfaatkanku, kalau pun
tidak, orang-orang yang kupikir bisa jadi seorang sahabat ternyata mereka
berharap lebih yang membuatku menjadi enggan untuk berhutang budi atau pun
memberikan harapan palsu.
Begitu banyak pelajaran pada periode ini. Perlahan
aku bisa melihat, bahwa aku memiliki banyak teman. Ada beberapa teman perempuan
yang kumiliki, mereka adalah orang-orang yang bisa menghilangkan stres atau pun
stres beramai-ramai :D Melegakan aku memiliki Rica, Widya, Aning, dan
Bena. Terutama Rica dan Widya yang sering menampungku di kamarnya. Sedangkan Aning
adalah produsen film yang bisa menguraikan pikiranku saat ruwet.
Namun pada periode SURVEY ini mereka tak bisa berbuat
apa-apa. Tak satu pun dari kami punya kendaraan atau pun kamera. Sama-sama tak
paham soal liku-liku kota Malang. Hingga suatu hari aku bertemu teman lainnya,
Guruh. Berdiskusi dengannya sedikit bisa memecahkan masalahku. Ia yang biasa
mengembara sendirian menyusuri jalanan kota Malang memberiku beberapa gambaran
mengenai lokasi tapak proyek tugas akhirku ini. Dengan bantuan Wikimapia pula, akhirnya
kami pun menemukan beberapa lokasi alternatif. Sayangnya Guruh terlalu sibuk
dengan urusannya hingga akhirnya aku harus mencari orang lain yang bisa
mengantarku berkeliling.
Seperti beberapa waktu lalu, akhirnya Rahman lagi
yang mengantarku berkeliling. Bahkan sampai berhujan-hujan, ia masih bersedia
mengantarku. Kami berdua pun akhirnya temukan tempat yang dirasa tepat. Hari-hari
berikutnya aku pun survey tapak sendiri dengan angkutan umum. Beruntung lokasi
tapak itu tak jauh dari jalan besar. Sangat strategis malah. Dalam hal ini, aku
berhasil dapatkan kamera Redy, seorang teman dari jurusan Mesin, aku bisa
merekam semuanya dengan bantuannya.
Semua itu baru survey tapak. Selang beberapa minggu,
aku mengendap di rumah. Hanya bisa survey ke pusat seni Singosari yang sudah
pasti kuketahui lokasinya. Untuk sentra batik Celaket dan Druju aku tak
berkutik tanpa kendaraan, sebab aku belum tahu dimana lokasinya. Beruntung aku
punya teman bernama Jati yang tugas akhirnya juga berkaitan dengan batik. Survey
pun tak berjalan lancar. Hampir tersesat beberapa kali mencari lokasi sentra
batik. ditambah lagi hujan deras membuat kami harus piknik di teras Alfamart
beberapa kali.
Fourth chapter:
Stairs to Seminar Hasil – Palung!
Masa pengerjaan skripsi yang membuatku sulit
bernapas. Seusai survey, aku tersesat ke sebuah samudra. Terjebak! Sangat sulit
keluar dari palung itu. seperti tak ada cahaya. Kebingungan tiada akhir. Waktu
terasa seperti air. Tak bisa kukendalikan, membuatku tersedak beberapa kali. Begitu
banyak yang harus kuhadapi, benar-benar berusaha menguatkan segenap jiwa dan
raga.
Sakit yang dirasakan ibuku selama satu tahun ini
sampai pada puncaknya. Cronic infected
wound pada bekas operasi kankernya mengharuskan ibuku mondar-mandir ke
rumah sakit setiap hari. Tiap usai Subuh aku dan ibuku harus meninggalkan rumah
ke RS. Saiful Anwar Malang dan pulang setelah Ashar atau bahkan menjelang
Maghrib. Sungguh berat menyaksikan ibuku yang begitu lemah, demam setiap malam dengan
rintihan kesakitannya.
Aku tenggelam. Meski ayah dan ibuku beberapa kali
menyuruhku mengabaikan mereka, menyuruhku berfokus pada pekerjaanku, nyatanya
itu tak mungkin. Tiap kali aku menghadap komputerku, pikiranku kosong. Mataku tak
melihat apa yang di depannya. Telingaku seperti penuh sesak oleh suara tangis
kakakku yang autis tiap harinya. Aku tenggelam.
Sampai pada akhirnya ibuku harus dioperasi dan rawat
inap selama dua minggu di rumah sakit. Beberapa kali orang menyebutku “Flying doctor” sebab aku harus
mondar-mandir merawat ibuku, dan mengurus kakakku dirumah. Ayahku harus bekerja
dari pagi sampai sore di sebuah pabrik tekstil tua di Lawang. Selanjutnya harus
bekerja hingga pagi lagi di rumah untuk menyelesaikan pakaian pesanan
orang-orang menjelang hari raya.
Bagaimana pun dengan berkah bulan ramadhan, kami
semua masih hidup :D
Setidaknya, meski progres skripsiku 0%, aku masih
bisa meraih ilmu lainnya. Perawatan medis ringan bisa kupelajari selama
beberapa hari di rumah sakit. Beberapa minggu rumah sakit begitu padat dan para
perawat pun begitu sibuk. Jadi kepuasan tersendiri untukku bisa sedikit
membantu ibuku dan beberapa pasien yang tempat tidurnya bertetangga dengan
ibuku.
Dengan banyak orang di sekitarku, perlahan aku mendekati
permukaan. Pembantu urusan finansial pun ada. Sebuah kelegaan aku memiliki
orang tua angkat di Belanda yang begitu mulia hatinya, untuk membantuku sejak
SD hingga detik ini. Ada pula Presda temanku sejak SMP yang kini sudah bekerja
di kantor bea cukai yang sudah membantuku beberapa kali. Sungguh, aku tak
pernah menyangka jika Allah akan menghadirkan mereka semua untukku.
Di awal aku bertanya apakah aku salah pilih? Namun kini
aku tahu, bagaimana makna “cintaku di tolak”. Aku bertemu orang-orang yang
tepat. Jika dulu aku tak peduli apa kata orang tentang dosen-dosen
pembimbingku, mungkin kini aku akan peduli. Bagiku mereka adalah orang-orang
yang luar biasa. Saat bersama mereka aku sungguh terharu, aku tak mengira jika
mereka sedemikian peduli padaku. Aku menyukai takdir ini. Aku sangat
berterimakasih pada Allah yang telah mempertemukan dengan dua orang itu,
khususnya bu Acil. Aku tak tahu harus berkata apa untuk mengungkapkan kebaikan
satu dosen itu.
Akhirnya aku
keluar ke permukaan..
Fifth chapter:
Mengejar Kapal Sidang
Sampailah pada seminar hasil, aku merasa begitu lega.
Sangat melegakan bahwa pengujiku adalah bu Rina dan bu Damayanti. Orang-orang
yang juga baik. Beruntung rasanya bisa
lulus meski presentasiku berantakan. Akibat kelewatan grogi saat menunggu dosen
datang di menit-menit terakhir menjelang seminar. Menunggu di detik terakhir
memang sungguh menegangkan!
Meski aku sudah di permukaan, belum berarti aku telah
selamat. Aku masih harus mencari jalan menuju daratan untukku berpijak. Seusai sidang,
keadaan ibuku memang lebih baik. Akan tetapi ujianku ini baru dimulai. Kakakku sama
sekali tak bisa membiarkanku tenang, kebingungan akan poin-poin revisi
membuatku hampir kembali tenggelam.
Aku seperti kehabisan ide untuk memenuhi permintaan
penguji. Sempat meminta pendapat teman namun tak ada yang bisa membantu. Ada Rahman
yang sepertinya bisa memberiku sedikit ide, namun keadaannya tak memungkinkan. Sempat
teman itu memberi ide agar aku menggunakan sesuatu yang pernah dirancangnya. Namun
hatiku tak mengijinkan. Idealismeku menginginkan aku membuat sesuatu yang
benar-benar dari dalam diriku. Aku pun bertekat bagaimana pun caranya aku harus
berenang sendiri meski tanpa batang kayu dan pelampung. Hanya berharap pada
Tuhan, satu-satunya yang kumiliki dengan pasti!
Setelah beberapa minggu jatuh sakit. Pada akhirnya
aku baru bisa mengikuti sidang di bulan berikutnya di saat teman-temanku sudah
bersiap untuk wisuda. Nyaris tak rampung. Bahkan bu Acil sudang memberi aba-aba
untuk sidang di semester berikutnya. NO!! Aku menolak keras. Bagaimana caranya
aku harus bisa menjangkau kapal yang kulihat detik itu. Jika bukan saat itu
maka takkan pernah ada kapal lainnya. Kami takkan sanggup lagi jika harus
menghadapi SPP progresif. Untuk semua biaya yang sudah kuhabiskan saja ayahku
sudah berkorban pergi jauh ke luar provinsi mencari harta karun. Jika harus
berjelajah mencari harta karun lainnya, sepertinya akan sulit.
Dengan napas tersengal aku berenang mengejar kapal
itu. Dengan berbagai rintangan! Printerku akhirnya rusak sungguhan. Ada teman ayahku
yang hendak meminjamkan bantuan, mendadak pergi ke luar kota. Cari tukang
servis printer nggak ketemu. Ayahku bahkan berkeliling kemana-mana tapi
hasilnya nihil. Tak ada yang sanggup membenahi printerku. Padahal baru kupakai
beberapa kali. Sungguh miris.. Untunglah aku punya mbak Nani, pengelola jasa
pengetikan-printing di depan kampus yang sudah kenal aku. Aku dapat diskon
cukup banyak darinya. Sebagian juga ada bantuan Jati yang memngijinkanku memakai kertas dan printernya.
Tanpa surat persetujuan, akhirnya aku berhasil naik
ke kapal itu. Bu Acil langsung yang meminta pada bu Rina agar aku diijinkan
menaiki kapal terakhir itu. Di kapal itu aku memiliki Aning, Rica, Diba, Widya,
Hanif, Nimo, Fikri, Ayong dan Dyah. Tanpa tiket yang berupa maket, hanya dengan
beberapa lembar A3 yang kutempel di panel beramai-ramai bersama mereka, aku berhasil
mencapai pelabuhan. Kini saatnya aku berjalan kembali ke rumah!
Sixth chapter:
Memburu kereta wisudawan!
Saat ini masih dalam perjuangan untuk sampai ke
stasiun.. semoga belum kehabisan tiket hehe..
No comments:
Post a Comment