Ini fiksi PALING ecek-ecek, cerita jadul masa awal masuk SMA,
awal masuk ekskul. Terus tiba-tiba disuruh jadi pengurus mading ekskul dan
bikin cerita bersambung yang dulu ntah gimana caranya kok bisa-bisanya ditunggu
banyak orang. Padahal (sekarang kubaca lagi) ceritanya itu krik..krik..
Awalannya pun basi, pake insiden tabrakan..
JANGAN CARI AKU LAGI!
“Teng..teng..teng!!” Bel masuk pun berbunyi. Seluruh
siswa pun memasuki kelas masing-masing.
Tampak sesekali Moni melayangkan pandangannya keluar
jendela di samping kirinya. Lumayan, dengan melihat permainan basket di luar
dapat menghilangkan kebosanannya di kelas. Ada untungnya duduk di kelas 1-7 yang
dekat dengan lapangan basket. Semakin bagus ketika ia berhasil mendapat kursi
di dekat jendela. Ia tak perlu terus-terus menatap guru sejarahnya yang pemarah
itu.
Hari
itu cukup melelahkan bagi Moni. Waktu digital ponselnya menunjukan angka 18.00,
namun gadis itu masih baru saja beranjak ke rumah. Kegiatan ekstrakurikuler
sore itu telah menyita waktunya, ditambah lagi dengan kerja kelompok di rumah
temannya. Beruntunglah rumahnya tak terlalu jauh, sehingga ia cukup berjalan
kaki untuk sampai ke rumah. Hanya saja satu hal yang sedikit mengganggu,
bagaimana pun Moni sempat juga merasa was-was saat melewati makam dan hutan randhu yang lebat tanpa rumah-rumah
penduduk di sekitarnya. Hanya ada kesunyian dan gemerisik angin yang menyeruak
dari sisi kiri Moni. Tepatnya dari sebuah jalan setapak yang menembus hutan
randhu, yang ntah berujung kemana.
“Bruk!!”
Moni tersentak. Serasa jantungnya hendak terhenti saat mendadak muncul
seseorang yang lantas ditabraknya.
“Ah, maaf!”seru Moni.
“Kalau jalan pakai mata dong!”maki
pemuda yang ditabraknya itu.
“Sekali lagi maaf!”
“Lain kali jangan melamun
aja!”sentaknya sambil berlalu pergi.
“Aish, aku kan udah minta maaf.. tuh
orang juga aneh, jalan kan pakai kaki!”desis Moni mendengus kesal. ”Dia juga,
kalau tahu aku ngelamun kenapa nggak ngehindar?!”
@@@
Seminggu telah berlalu. Seperti
biasanya, Moni beralih ke lapangan basket untuk menghindari ocehan Pak Johan
soal jalur sutra dan saudagar dunia di jaman lalu. Akan tetapi untuk kali ini
ada sesuatu yang mendadak benar-benar menarik perhatiannya. Bukan, bukan
sesuatu! Seseorang lebih tepatnya.
“Wah, jago banget mainnya!
Keren!”seru Moni dalam hati melihat siswa laki-laki di antara beberapa kakak
kelas lainnya. “Hm..sepertinya nggak asing.. tapi siapa? Mirip kak Irvan, tapi
jelas bukan.. Hm..”gumam Moni masih penasaran. “Ah! Iya! Aku ingat!”seru Moni
kelepasan.
“Moni!!” tegur pak Johan.
“Eh, iya, Pak. Maaf!”sahut Moni
cemas.
“Barang dagangan apa saja yang dibawa
ke Eropa?”
Sial! Siapa yang ke Eropa? Emang bawa apa?
“Mm..anu..rempah..rempah?”sahut Moni
ragu-ragu. Duh, kok rempah-rempah?
“Moni, saya lihat tiap kelas saya kamu
nggak pernah konsen. Kamu itu mau sekolah atau cuma nonton basket?!”sentak pak
Johan membuat Moni benar-benar merasa terbungkam.
“Ayo jawab! Sekolah, atau nonton
basket?!?”tegasnya lagi.
“Dua-duanya, Pak!”jawab Moni spontan
karena kaget. Eh, dua?? Duh, salah omong
lagi!
“Moni, keluar sekarang!”bentak pak
Johan.
“Tapi, pak..”rajuk Moni.
“Nggak pakai tapi-tapian!”
Duh, kok jadi begini sih!
@@@
Diluar Moni tak tahu harus berbuat
apa selain duduk di dekat lapangan. Ia bukan penggemar buku yang bisa dengan
mudah pergi ke perpustakaan. Kegiatan olahraga kakak kelasnyalah yang bisa
sedikit menghiburnya.
“Dug..dug…dug…”suara pantulan bola
basket yang mendekati Moni. Ia pun memungutnya dan dilihatnya ke arah lapangan.
Salah satu pemain pun mendekat. Moni melemparkannya sebelum kakak kelasnya satu
itu benar-benar mendatanginya. Anak-anak kelas 3 IPS-3 itu pun dapat segera
kembali bermain. Moni pun hanya menikmati permainan mereka sampai akhirnya Moni
menyadari satu orang yang dikenalinya itu masih melihat ke arahnya.
“Gilang!”seru seseorang dikejauhan
mengalihkan perhatian pemuda itu. Namun terlambat menangkapnya, seseorang
bernama Gilang itu kehilangan bolanya. Bulatan jingga itu kembali menggelinding
ke arah Moni. Gilang pun berjalan ke arah Moni. Kali ini mereka berdua
benar-benar bertemu.
“Sepertinya aku pernah lihat
kamu..”kata laki-laki itu.
“Iya, emang!”
“Hm..ya, tentu aja, satu sekolah
juga ya..”pikirnya kemudian menyadari itu bukan hal aneh untuk mereka merasa
pernah bertemu. “Mm..mana bolanya!”
“Sebelum minta maaf nggak aku
kasih.”sahut Moni membuat laki-laki itu kaget. Akan tetapi kemudian pemuda itu
teringat sesuatu.
“Ah, aku ngerti! Oke, anggap aja
kita sama-sama salah. Sory kalau gitu. Udah cepet mana bolanya!”
“Tuh, ambil sana! Dasar tikus jelek!”desis
Moni sambil melempar bolanya. Bola itu pun langsung diserbu oleh Isa, teman sekelas
Gilang yang Moni ketahui sebagai wakil ketua OSIS.
“Apa? Tikus?! Aku Gilang, bukan
tikus! Loe tuh yang tikus jelek.”
“Ah, Gilang, hm..gigimu ilang
ya..”ledek Moni masih kesal. Gilang hanya menatap tajam ke arah gadis itu saat
beranjak kembali ke lapangan.
@@@
Sore itu Moni tengah memasukkan
pakaian putih-putih seragam silatnya dan bersiap untuk pulang. Kemudian ia
mengambil selembar kertas dari mapnya dan menyetorkannya ke kakak kelasnya.
Sebuah formulir diklat yang akan diadakan akhir minggu itu. Tak lama kemudian
gadis itu sudah di jalanan petang. Mulai mendekati persimpangan jalan yang biasanya
dikuasai cowok-cowok jahil. Kali ini rupanya lebih ramai, lebih banyak anak
berbaju hitam ala punk yang nongkrong.
“Minggir nggak!? Ini jalan umum.
Bukan jalan nenekmu!”bentak Moni. Mereka pun hendak menanggapi Moni, akan
tetapi tiba-tiba saja mereka terhenti. Seseorang menghentikan mereka. Rupanya
kalangan preman itu cuma preman-premanan, beraninya sama cewek doang. Muncul
satu sosok laki-laki di belakang Moni saja mereka sudah menyerah.
Sesaat Moni pun merasa aneh karena
yang muncul itu adalah Gilang. Semakin aneh menyadari Gilang masih berjalan di
belakangnya.
“Sebaiknya lain kali jangan lewat
sini! Bisa bahaya kalau mereka lagi nggak waras.” Kata Gilang menyadari Moni
yang beberapa kali melihat ke belakang secara diam-diam.
“Ah, aku udah biasa kok. Lagian
kejauhan kalau lewat jalan lain.” Sahut Moni kemudian, ia tak mengira cowok
yang dipikirnya menyebalkan bisa mengatakan hal semacam itu. Ia pun melihat
kembali ke arah Gilang, namun rupanya pemuda itu telah menikung ke jalan
setapak di tengah hutan randhu.
“Ah, jadi jalan itu benar-benar
berfungsi.”pikir Moni mulai berpikir itu mungkin terabasan menuju perkampungan
sebelah.
@@@
Sabtu
sore itu para peserta ekstrakurikuler Perisai Diri tengah berkumpul di tengah
lapangan tengah sebuah sekolah. Hari ini mereka akan melaksanakan kegiatan
diklat hingga Minggu siang. Perguruan sekolah mereka diundang oleh SMA tetangga
yang mengadakan latihan bersama. Beberapa kelas yang mengelilingi lapangan itu
telah ditata menjadi tempat mereka menginap malam ini. Lapangan kali ini pun
menjadi lebih penuh dibandingkan biasanya. Ekstrakurikuler yang diikuti Moni
ini memiliki dua waktu latihan karena banyaknya peserta, yaitu pada hari Minggu
dan Jumat. Tiap siswa bebas untuk memilih jadwal latihan rutin. Moni yang
biasanya ikut latihan di hari Jumat sedikit kaget saat ia akhirnya melihat
banyaknya para peserta di hari Minggu, ditambah lagi dengan peserta dari SMA
tuan rumah.
Keterkejutan
itu belum seberapa. Satu hal yang semakin mengagetkan adalah saat Moni melihat
Gilang ada di sana juga. Semakin parah saat melihat strip hijau-biru di badgenya.
Ia tak mengira bahwa pemuda itu adalah seniornya yang bisa dipastikan setelah
ujian kenaikan tingkat ia bisa menjadi aasisten pelatih. Sudah jelas juga Gilang
telah mengikuti ekskul itu sejak SMP, beda dengannya yang saat ini masih di
tingkat dasar II dengan sabuk hitam. Detik itu Gilang benar-benar tampak
berbeda. Seakan tergelitik, Moni mendadak kagum
menyaksikan pesona Gilang. Sosok yang tampak begitu tampan, dengan
postur tubuh yang tinggi dan terlihat ideal. Jagoan basket itu ternyata juga
pesilat yang mahir. Selama latihan itu Moni hampir tak lepas pandangannya dari
gerakan-gerakan Gilang yang begitu gesit, nyaris sempurna.
Malam
pun tiba. Jam dinding telah menunjukkan waktu pukul 11 malam. Namun Moni belum
bisa juga terlelap sejak jam 9 tadi. Padahal harusnya mereka sudah bangun lagi
jam 12 nanti untuk penjelajahan malam. Moni menyerah untuk berusaha tidur dan
beralih keluar kelas. Duduk di bangku depan bersama Lusy, temannya yang juga
tak bisa tidur. Sampai kemudian Moni sedikit berjalan-jalan ke toilet mengantar
Lusy. Gadis itu menunggu di luar seraya menatap air mancur taman di depannya.
Mendadak
Moni tersentak saat mendengar suara aneh dari dalam gudang di samping toilet.
“Agh!”pekiknya
kaget ketika tiba-tiba muncul pula sekelebat bayangan seorang wanita bergaun putih
duduk di atas pohon. Moni benar-benar dibuat kehilangan daya, terhuyung lemah
tersandar pada dinding dengan degup jantung yang begitu kencang.
“Kamu
baik-baik aja kan?” tegur seseorang yang tak disadari kedatangannya oleh Moni.
“Ah, ya..”desah Moni sedikit lega.
“Lalu ngapain sendirian
disini?”tanya orang itu yang tak lain adalah Gilang.
“Ah, nggak sendirian, kok. Aku
nemenin Lusy.”
“Hm..ya udah setelah ini langsung
sempetin istirahat! Jangan mikir aneh-aneh biar cepet tidur. Kalau lihat atau
denger sesuatu yang aneh, abaikan aja. Udah biasa..“ tutur Gilang rupanya
mengerti apa yang barusaja dialami Moni. Gadis itu pun akhirnya bisa kembali
tenang mendengarnya.
“Ah..makasih sarannya. Mm..aku nggak
ngira kamu ikut PD juga.”
“Ya, mungkin karena hari latihan
kita beda.”
“Ya, mungkin..Mm..ngomong-ngomong,
besok ngapani aja ya?”
“Ya, latihan. Memangnya mau apa
lagi? Makanya sekarang kamu kudu bisa sempetin tidur. Jadi besok bisa latihan bener,
juga nggak banyak salah.”sahut Gilang seakan menyindir Moni yang sering
melupakan gerakan rangkaian.
“Harap maklumlah, aku kan masih
baru. Belum seahli kamu..jadi masih ngerasa susah. Sepertinya aku emang butuh
latihan ekstra.”
“Kebanyakan ngelamun itu!”sahut
Gilang santai.
“Hei! Aku nggak suka ngelamun juga!”protes
Moni.
“Ya, kapan-kapanlah latihan bareng.”
Kata Gilang kemudian menepuk pundak Moni sembari berjalan pergi. Gadis itu pun
tertegun melihat kepergian laki-laki itu. Hari ini ia sama sekali tak melihat
sosok Gilang yang menyebalkan.
“Maaf ya, lama!”kata Lusy yang
barusaja keluar.
“Ah, nggak papa.”sahut Moni kemudian
keduanya pun kembali ke kelas.
@@@
Moni dan Gilang pun akhirnya
berteman. Bahkan sudah hampir dua bulan mereka menjadi sepasang kekasih, pulang
sekolah bersama, latihan silat bersama serta Gilang pula lah yang membantu Moni
hingga gadis itu berhasil masuk menjadi peserta pertandingan IPSI (Ikatan
Pencak Silat Indonesia). Namun tak tahu mengapa, seminggu setelah gadis itu
memenangkan pertandingan, Moni jarang sekali bertemu Gilang. Awalnya ia mengira
karena pemuda itu sibuk dengan Try out UNAS.
Hingga suatu hari Moni melihat
daftar hasil Tryout I UNAS itu. ia masih belum bisa menghubungi Gilang. Bahkan
ia tak melihat nama Gilang Adhi Yudistira tertera di salah satu lembaran yang
terpajang. Telepon, SMS berulangkali pun hanya sia-sia. Gilang tak pernah
menjawabnya. Saat ia ingin mencari Gilang ke rumahnya, sayangnya ia tak pernah tahu
dimana rumah laki-laki itu. Bahkan semua orang pun telah lupa dan merasa nama
Gilang itu tak pernah ada, termasuk bagi teman-teman Gilang sendiri.
“Gilang? Dikelas IPS-3 cuma ada
satu.”kata Mine kakak kelas perempuan Moni.
“Iya, nggak ada yang namanya Gilang
Adhi, adanya Gilang Pratama, mantan kapten basket sekolah.”sahut Isa.
“Tapi dulu aku lihat mas Isa manggil
dia! Hari itu aku nonton basket pas aku diusir pak Johan!”bantah Moni merasa
yakin.
“Itu aku manggil Gilang Pratama.
Nah, itu orangnya!”sahut Isa seraya menunjuk ke arah seseorang.
Perlahan Moni pun mencoba
mengingatnya. Siang itu, saat ia mendengar nama Gilang diserukan, ia mengira
itu adalah seseorang yang ia ketahui. Namun ia tersadar, Gilang Pratama adalah
seseorang yang berdiri tepat di depan Gilang yang dikenalnya. Kalau begitu siapa namanya sebenarnya?
Mungkinkah Gilang hanyalah nama palsunya? Tapi bagaimana bisa aku tak pernah
mengetahuinya?
@@@
Bintang mulai menampakkan diri. Sang
bayu pun mulai berusaha menyejukkan hati. Dedaunan randhu itu menari-nari di
antara nyanyian jangkrik-jangkrik yang saling bersautan menemani katak yang sesekali
juga berdendang. Moni terhenti di tengah jalannya. Menatap langit dengan sendu.
Ia tak pernah mengira akan kehilangan Gilang seperti itu. Apakah ia pindah sekolah? Tapi tak mungkin rasanya disaat seperti ini. Ia
sungguh ingin tahu kemana perginya pemuda itu. Mengapa Gilang harus menghilang
dengan cara yang aneh.
“Tuh, kan ngelamun lagi!”tegur
seseorang yang suaranya tak lagi terdengar asing bagi Moni. Dengan cepat gadis
itu berbalik melihat sosok yang menyapa.
“Gilang?! Kamu kemana aja sih?
Dicari dari minggu kemarin tapi nggak pernah ada!” omel Moni seraya memukul
dada Gilang. Ia benar takut jika ia akan kehilangan Gilang sungguhan. Pemuda
itu masih terdiam. Hanya menatap Moni dengan pandangan yang sulit diartikan.
Sorot lampu jalan yang menyinari, memperlihatkan satu ekspresi tak bahagia di
wajah Gilang.
“Maaf..”ucap Gilang sangat lirih.
“Maaf? Setelah aku kebingungan dan
khawatir kamu cuma bilang maaf?”
“Sekali lagi maaf..”ucapnya parau.
“Apa kamu ada masalah? Kenapa kamu
nggak cerita sesuatu ke aku?”
“Aku sungguh minta maaf. Maaf juga
buat.. buat semua yang nggak bisa kujelasin ke kamu.”
“Kenapa nggak bisa? Jadi benar kamu
bohong tentang identitasmu? Aku ngerasa seperti mimpi saat tanya ke orang lain,
tapi nggak ada teman sekelasmu yang kenal dengan keberadaanmu. Kamu seperti nggak
ada. Siapa sebenarnya kamu ha?!”
“Aku..”kata-kata permuda itu
tergantung. “Aku adalah..”
“Kamu adalah apa ha? Anak gembala?”
potong Moni kesal.
“Aku adalah, seseorang yang
menyayangimu.. yang aku sendiri bahkan tak bisa menjelaskan siapa diriku ini
sesungguhnya..aku tak tahu harus menyebut diriku apa.. dan menyukaimu, hanya
itu yang aku mengerti..”
“Aku nggak ngerti maksudmu, Lang..”
“Aku dan kamu nggak bisa bersama,
Mon..”ucap Gilang penuh penyesalan.
“Maksudmu, kamu mau kita putus?”
tanya Moni penuh hati-hati. Bahkan matanya pun mulai berkaca-kaca. “Setelah,
aku bingung dengan identitasmu, sekarang kamu mau pergi gitu aja?”
“Aku nggak tahu bagaimana.. tapi
dunia kita beda..ini sungguh sulit diungkapkan, Mon..”
“Jadi menurutmu, aku nggak pantas
buat kamu, begitu? Kamu sedang bercanda, kan, sekarang?”
“Sayangnya aku sedang serius
sekarang.. Aku benar-benar harus meninggalkanmu, dunia ini nggak nyata
untukku.. oleh karena itu, segeralah pulang sekarang dan jangan pikirkan aku
lagi!”
“Kenapa sebenarnya? Ada apa
denganmu? Setidaknya beri aku penjelasan yang bisa kupahami, yang bisa
membuatku mengerti alasan kita harus pisah!”
“Moni, aku harus kembali ke duniaku,
dan dunia kita sangat jauh..aku harus pergi sekarang, dan tempatku.. tempatku
adalah sesuatu yang nggak bisa dijangkau telepon atau SMS! Akan sulit buat kita
berkomunikasi. Jadi kita harus benar-benar pisah..”
“Gilang, sungguh, aku nggak bisa
mengerti maksudmu! Kumohon berhentilah menyulitkanku, aku bukan orang pandai
dalam teka-teki seperti ini! Jadi maksudmu kamu mau keluar negeri setelah ini,
begitu maksudmu? Lalu selama ini aku nggak pernah berarti buatmu? Sampai kamu
memutuskan hubungan ini dengan cara seperti ini?!”
“Aku hanya ingin kamu ingat tiga
pesanku..”sahut Gilang mengabaikan kata-kata Moni.
“Gilang, kumohon!”pinta Moni dengan
sangat. Gadis itu kembali memukuli tubuh Gilang dengan putus asa. Air mata pun
menitik membasahi wajahnya saat pemuda itu akhirnya menggenggam dingin kedua
tangannya.
“Pertama..janganlah melamun, apalagi
saat kamu sendirian, di malam sepi
seperti ini. Itu tak baik untukmu.. Lalu kedua..lakukan segalanya yang terbaik.
Mulai sekarang perhatikanlah gurumu di kelas. Aku ingin melihatmu menjadi
seseorang yang sukses, yang berhasil mewujudkan cita-citamu..”
“Kenapa kamu berkata seperti ini?
Apa sungguh, kamu akan pergi? Jika kamu ingin melihatku, harusnya kamu tetap disini
bersamaku!”
Napas Gilang tertahan. Pelupuk
matanya sendiri pun mulai basah.
“..dan terakhir..” kata Gilang
serak, “ ..dan yang terakhir kuminta.. jangan cari aku lagi!”ucapnya penuh
penyesalan. Perasaannya begitu berat
untuk melepaskan tangan Moni.
“Kenapa..kenapa kamu perlakukan aku
seperti ini?”isak Moni. Namun pemuda itu hanya melangkah mundur dan perlahan
berbalik meninggalkan Moni.
“Gilang!”panggil Moni lagi, berharap
ini hanya mimpi. Sedangkan pemuda itu hanya terus melangkah menjauh. Masuk ke
dalam kegelapan jalan setapak tengah hutan itu. “Gilang!!”seru Moni hendak
mengejar, ia memasuki hutan itu menyusuri setapak yang terasa sangat lembab
itu. Namun tak ada lagi jejak pemuda itu terlihat olehnya. Hanya kekosongan,
kegelapan. Sampai hanya tersisa aroma melati yang kini Moni rasakan, menyusup
ke segala syaraf kesadarannya. Angin berbisik semakin kencang. Jangkrik
berhenti menangis. Sunyi. Hingga samarlah bisikan itu terdengar..
“Sorry, Moni, Jangan cari aku lagi!”
bisikan sayup-sayup diiringi wangi melati yang semakin menyengat.
(^-^) SEKIAN (^-^)
No comments:
Post a Comment