2015-02-03

JANGAN CARI AKU LAGI!


Ini fiksi PALING ecek-ecek, cerita jadul masa awal masuk SMA, awal masuk ekskul. Terus tiba-tiba disuruh jadi pengurus mading ekskul dan bikin cerita bersambung yang dulu ntah gimana caranya kok bisa-bisanya ditunggu banyak orang. Padahal (sekarang kubaca lagi) ceritanya itu krik..krik.. Awalannya pun basi, pake insiden tabrakan..


JANGAN CARI AKU LAGI!

“Teng..teng..teng!!” Bel masuk pun berbunyi. Seluruh siswa pun memasuki kelas masing-masing.
Tampak sesekali Moni melayangkan pandangannya keluar jendela di samping kirinya. Lumayan, dengan melihat permainan basket di luar dapat menghilangkan kebosanannya di kelas. Ada untungnya duduk di kelas 1-7 yang dekat dengan lapangan basket. Semakin bagus ketika ia berhasil mendapat kursi di dekat jendela. Ia tak perlu terus-terus menatap guru sejarahnya yang pemarah itu.
                Hari itu cukup melelahkan bagi Moni. Waktu digital ponselnya menunjukan angka 18.00, namun gadis itu masih baru saja beranjak ke rumah. Kegiatan ekstrakurikuler sore itu telah menyita waktunya, ditambah lagi dengan kerja kelompok di rumah temannya. Beruntunglah rumahnya tak terlalu jauh, sehingga ia cukup berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Hanya saja satu hal yang sedikit mengganggu, bagaimana pun Moni sempat juga merasa was-was saat melewati makam  dan hutan randhu yang lebat tanpa rumah-rumah penduduk di sekitarnya. Hanya ada kesunyian dan gemerisik angin yang menyeruak dari sisi kiri Moni. Tepatnya dari sebuah jalan setapak yang menembus hutan randhu, yang ntah berujung kemana.
                “Bruk!!” Moni tersentak. Serasa jantungnya hendak terhenti saat mendadak muncul seseorang yang lantas ditabraknya.
“Ah, maaf!”seru Moni.
“Kalau jalan pakai mata dong!”maki pemuda yang ditabraknya itu.
“Sekali lagi maaf!”
“Lain kali jangan melamun aja!”sentaknya sambil berlalu pergi.
“Aish, aku kan udah minta maaf.. tuh orang juga aneh, jalan kan pakai kaki!”desis Moni mendengus kesal. ”Dia juga, kalau tahu aku ngelamun kenapa nggak ngehindar?!”
@@@
Seminggu telah berlalu. Seperti biasanya, Moni beralih ke lapangan basket untuk menghindari ocehan Pak Johan soal jalur sutra dan saudagar dunia di jaman lalu. Akan tetapi untuk kali ini ada sesuatu yang mendadak benar-benar menarik perhatiannya. Bukan, bukan sesuatu! Seseorang lebih tepatnya.
“Wah, jago banget mainnya! Keren!”seru Moni dalam hati melihat siswa laki-laki di antara beberapa kakak kelas lainnya. “Hm..sepertinya nggak asing.. tapi siapa? Mirip kak Irvan, tapi jelas bukan.. Hm..”gumam Moni masih penasaran. “Ah! Iya! Aku ingat!”seru Moni kelepasan.

“Moni!!” tegur pak Johan.
“Eh, iya, Pak. Maaf!”sahut Moni cemas.
“Barang dagangan apa saja yang dibawa ke Eropa?”
Sial! Siapa yang ke Eropa? Emang bawa apa?
“Mm..anu..rempah..rempah?”sahut Moni ragu-ragu. Duh, kok rempah-rempah?
Moni, saya lihat tiap kelas saya kamu nggak pernah konsen. Kamu itu mau sekolah atau cuma nonton basket?!”sentak pak Johan membuat Moni benar-benar merasa terbungkam.
“Ayo jawab! Sekolah, atau nonton basket?!?”tegasnya lagi.
“Dua-duanya, Pak!”jawab Moni spontan karena kaget. Eh, dua?? Duh, salah omong lagi!
“Moni, keluar sekarang!”bentak pak Johan.
“Tapi, pak..”rajuk Moni.
“Nggak pakai tapi-tapian!”
Duh, kok jadi begini sih!
@@@
Diluar Moni tak tahu harus berbuat apa selain duduk di dekat lapangan. Ia bukan penggemar buku yang bisa dengan mudah pergi ke perpustakaan. Kegiatan olahraga kakak kelasnyalah yang bisa sedikit menghiburnya.
“Dug..dug…dug…”suara pantulan bola basket yang mendekati Moni. Ia pun memungutnya dan dilihatnya ke arah lapangan. Salah satu pemain pun mendekat. Moni melemparkannya sebelum kakak kelasnya satu itu benar-benar mendatanginya. Anak-anak kelas 3 IPS-3 itu pun dapat segera kembali bermain. Moni pun hanya menikmati permainan mereka sampai akhirnya Moni menyadari satu orang yang dikenalinya itu masih melihat ke arahnya.
“Gilang!”seru seseorang dikejauhan mengalihkan perhatian pemuda itu. Namun terlambat menangkapnya, seseorang bernama Gilang itu kehilangan bolanya. Bulatan jingga itu kembali menggelinding ke arah Moni. Gilang pun berjalan ke arah Moni. Kali ini mereka berdua benar-benar bertemu.
“Sepertinya aku pernah lihat kamu..”kata laki-laki itu.
“Iya, emang!”
“Hm..ya, tentu aja, satu sekolah juga ya..”pikirnya kemudian menyadari itu bukan hal aneh untuk mereka merasa pernah bertemu. “Mm..mana bolanya!”
“Sebelum minta maaf nggak aku kasih.”sahut Moni membuat laki-laki itu kaget. Akan tetapi kemudian pemuda itu teringat sesuatu.
“Ah, aku ngerti! Oke, anggap aja kita sama-sama salah. Sory kalau gitu. Udah cepet mana bolanya!”
 “Tuh, ambil sana! Dasar tikus jelek!”desis Moni sambil melempar bolanya. Bola itu pun langsung diserbu oleh Isa, teman sekelas Gilang yang Moni ketahui sebagai wakil ketua OSIS.
“Apa? Tikus?! Aku Gilang, bukan tikus! Loe tuh yang tikus jelek.”
“Ah, Gilang, hm..gigimu ilang ya..”ledek Moni masih kesal. Gilang hanya menatap tajam ke arah gadis itu saat beranjak kembali ke lapangan.
@@@
Sore itu Moni tengah memasukkan pakaian putih-putih seragam silatnya dan bersiap untuk pulang. Kemudian ia mengambil selembar kertas dari mapnya dan menyetorkannya ke kakak kelasnya. Sebuah formulir diklat yang akan diadakan akhir minggu itu. Tak lama kemudian gadis itu sudah di jalanan petang. Mulai mendekati persimpangan jalan yang biasanya dikuasai cowok-cowok jahil. Kali ini rupanya lebih ramai, lebih banyak anak berbaju hitam ala punk yang nongkrong.
“Minggir nggak!? Ini jalan umum. Bukan jalan nenekmu!”bentak Moni. Mereka pun hendak menanggapi Moni, akan tetapi tiba-tiba saja mereka terhenti. Seseorang menghentikan mereka. Rupanya kalangan preman itu cuma preman-premanan, beraninya sama cewek doang. Muncul satu sosok laki-laki di belakang Moni saja mereka sudah menyerah.
Sesaat Moni pun merasa aneh karena yang muncul itu adalah Gilang. Semakin aneh menyadari Gilang masih berjalan di belakangnya.
“Sebaiknya lain kali jangan lewat sini! Bisa bahaya kalau mereka lagi nggak waras.” Kata Gilang menyadari Moni yang beberapa kali melihat ke belakang secara diam-diam.
“Ah, aku udah biasa kok. Lagian kejauhan kalau lewat jalan lain.” Sahut Moni kemudian, ia tak mengira cowok yang dipikirnya menyebalkan bisa mengatakan hal semacam itu. Ia pun melihat kembali ke arah Gilang, namun rupanya pemuda itu telah menikung ke jalan setapak di tengah hutan randhu.
“Ah, jadi jalan itu benar-benar berfungsi.”pikir Moni mulai berpikir itu mungkin terabasan menuju perkampungan sebelah.
@@@
                Sabtu sore itu para peserta ekstrakurikuler Perisai Diri tengah berkumpul di tengah lapangan tengah sebuah sekolah. Hari ini mereka akan melaksanakan kegiatan diklat hingga Minggu siang. Perguruan sekolah mereka diundang oleh SMA tetangga yang mengadakan latihan bersama. Beberapa kelas yang mengelilingi lapangan itu telah ditata menjadi tempat mereka menginap malam ini. Lapangan kali ini pun menjadi lebih penuh dibandingkan biasanya. Ekstrakurikuler yang diikuti Moni ini memiliki dua waktu latihan karena banyaknya peserta, yaitu pada hari Minggu dan Jumat. Tiap siswa bebas untuk memilih jadwal latihan rutin. Moni yang biasanya ikut latihan di hari Jumat sedikit kaget saat ia akhirnya melihat banyaknya para peserta di hari Minggu, ditambah lagi dengan peserta dari SMA tuan rumah.
                Keterkejutan itu belum seberapa. Satu hal yang semakin mengagetkan adalah saat Moni melihat Gilang ada di sana juga. Semakin parah saat melihat strip hijau-biru di badgenya. Ia tak mengira bahwa pemuda itu adalah seniornya yang bisa dipastikan setelah ujian kenaikan tingkat ia bisa menjadi aasisten pelatih. Sudah jelas juga Gilang telah mengikuti ekskul itu sejak SMP, beda dengannya yang saat ini masih di tingkat dasar II dengan sabuk hitam. Detik itu Gilang benar-benar tampak berbeda. Seakan tergelitik, Moni mendadak kagum  menyaksikan pesona Gilang. Sosok yang tampak begitu tampan, dengan postur tubuh yang tinggi dan terlihat ideal. Jagoan basket itu ternyata juga pesilat yang mahir. Selama latihan itu Moni hampir tak lepas pandangannya dari gerakan-gerakan Gilang yang begitu gesit, nyaris sempurna.
                Malam pun tiba. Jam dinding telah menunjukkan waktu pukul 11 malam. Namun Moni belum bisa juga terlelap sejak jam 9 tadi. Padahal harusnya mereka sudah bangun lagi jam 12 nanti untuk penjelajahan malam. Moni menyerah untuk berusaha tidur dan beralih keluar kelas. Duduk di bangku depan bersama Lusy, temannya yang juga tak bisa tidur. Sampai kemudian Moni sedikit berjalan-jalan ke toilet mengantar Lusy. Gadis itu menunggu di luar seraya menatap air mancur taman di depannya.
                Mendadak Moni tersentak saat mendengar suara aneh dari dalam gudang di samping toilet.
                “Agh!”pekiknya kaget ketika tiba-tiba muncul pula sekelebat bayangan seorang wanita bergaun putih duduk di atas pohon. Moni benar-benar dibuat kehilangan daya, terhuyung lemah tersandar pada dinding dengan degup jantung yang begitu kencang.
                “Kamu baik-baik aja kan?” tegur seseorang yang tak disadari kedatangannya oleh Moni.
“Ah, ya..”desah Moni sedikit lega.
“Lalu ngapain sendirian disini?”tanya orang itu yang tak lain adalah Gilang.
“Ah, nggak sendirian, kok. Aku nemenin Lusy.”
“Hm..ya udah setelah ini langsung sempetin istirahat! Jangan mikir aneh-aneh biar cepet tidur. Kalau lihat atau denger sesuatu yang aneh, abaikan aja. Udah biasa..“ tutur Gilang rupanya mengerti apa yang barusaja dialami Moni. Gadis itu pun akhirnya bisa kembali tenang mendengarnya.
“Ah..makasih sarannya. Mm..aku nggak ngira kamu ikut PD juga.”
“Ya, mungkin karena hari latihan kita beda.”
“Ya, mungkin..Mm..ngomong-ngomong, besok ngapani aja ya?”
“Ya, latihan. Memangnya mau apa lagi? Makanya sekarang kamu kudu bisa sempetin tidur. Jadi besok bisa latihan bener, juga nggak banyak salah.”sahut Gilang seakan menyindir Moni yang sering melupakan gerakan rangkaian.
“Harap maklumlah, aku kan masih baru. Belum seahli kamu..jadi masih ngerasa susah. Sepertinya aku emang butuh latihan ekstra.”
“Kebanyakan ngelamun itu!”sahut Gilang santai.
“Hei! Aku nggak suka ngelamun juga!”protes Moni.
“Ya, kapan-kapanlah latihan bareng.” Kata Gilang kemudian menepuk pundak Moni sembari berjalan pergi. Gadis itu pun tertegun melihat kepergian laki-laki itu. Hari ini ia sama sekali tak melihat sosok Gilang yang menyebalkan.
“Maaf ya, lama!”kata Lusy yang barusaja keluar.
“Ah, nggak papa.”sahut Moni kemudian keduanya pun kembali ke kelas.
@@@
Moni dan Gilang pun akhirnya berteman. Bahkan sudah hampir dua bulan mereka menjadi sepasang kekasih, pulang sekolah bersama, latihan silat bersama serta Gilang pula lah yang membantu Moni hingga gadis itu berhasil masuk menjadi peserta pertandingan IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia). Namun tak tahu mengapa, seminggu setelah gadis itu memenangkan pertandingan, Moni jarang sekali bertemu Gilang. Awalnya ia mengira karena pemuda itu sibuk dengan Try out UNAS.
Hingga suatu hari Moni melihat daftar hasil Tryout I UNAS itu. ia masih belum bisa menghubungi Gilang. Bahkan ia tak melihat nama Gilang Adhi Yudistira tertera di salah satu lembaran yang terpajang. Telepon, SMS berulangkali pun hanya sia-sia. Gilang tak pernah menjawabnya. Saat ia ingin mencari Gilang ke rumahnya, sayangnya ia tak pernah tahu dimana rumah laki-laki itu. Bahkan semua orang pun telah lupa dan merasa nama Gilang itu tak pernah ada, termasuk bagi teman-teman Gilang sendiri.
“Gilang? Dikelas IPS-3 cuma ada satu.”kata Mine kakak kelas perempuan Moni.
“Iya, nggak ada yang namanya Gilang Adhi, adanya Gilang Pratama, mantan kapten basket sekolah.”sahut Isa.
“Tapi dulu aku lihat mas Isa manggil dia! Hari itu aku nonton basket pas aku diusir pak Johan!”bantah Moni merasa yakin.
“Itu aku manggil Gilang Pratama. Nah, itu orangnya!”sahut Isa seraya menunjuk ke arah seseorang.
Perlahan Moni pun mencoba mengingatnya. Siang itu, saat ia mendengar nama Gilang diserukan, ia mengira itu adalah seseorang yang ia ketahui. Namun ia tersadar, Gilang Pratama adalah seseorang yang berdiri tepat di depan Gilang yang dikenalnya. Kalau begitu siapa namanya sebenarnya? Mungkinkah Gilang hanyalah nama palsunya? Tapi bagaimana bisa aku tak pernah mengetahuinya?
@@@
Bintang mulai menampakkan diri. Sang bayu pun mulai berusaha menyejukkan hati. Dedaunan randhu itu menari-nari di antara nyanyian jangkrik-jangkrik yang saling bersautan menemani katak yang sesekali juga berdendang. Moni terhenti di tengah jalannya. Menatap langit dengan sendu. Ia tak pernah mengira akan kehilangan Gilang seperti itu. Apakah ia pindah sekolah? Tapi tak mungkin rasanya disaat seperti ini. Ia sungguh ingin tahu kemana perginya pemuda itu. Mengapa Gilang harus menghilang dengan cara yang aneh.
“Tuh, kan ngelamun lagi!”tegur seseorang yang suaranya tak lagi terdengar asing bagi Moni. Dengan cepat gadis itu berbalik melihat sosok yang menyapa.
“Gilang?! Kamu kemana aja sih? Dicari dari minggu kemarin tapi nggak pernah ada!” omel Moni seraya memukul dada Gilang. Ia benar takut jika ia akan kehilangan Gilang sungguhan. Pemuda itu masih terdiam. Hanya menatap Moni dengan pandangan yang sulit diartikan. Sorot lampu jalan yang menyinari, memperlihatkan satu ekspresi tak bahagia di wajah Gilang.
“Maaf..”ucap Gilang sangat lirih.
“Maaf? Setelah aku kebingungan dan khawatir kamu cuma bilang maaf?”
“Sekali lagi maaf..”ucapnya parau.
“Apa kamu ada masalah? Kenapa kamu nggak cerita sesuatu ke aku?”
“Aku sungguh minta maaf. Maaf juga buat.. buat semua yang nggak bisa kujelasin ke kamu.”
“Kenapa nggak bisa? Jadi benar kamu bohong tentang identitasmu? Aku ngerasa seperti mimpi saat tanya ke orang lain, tapi nggak ada teman sekelasmu yang kenal dengan keberadaanmu. Kamu seperti nggak ada. Siapa sebenarnya kamu ha?!”
“Aku..”kata-kata permuda itu tergantung. “Aku adalah..”
“Kamu adalah apa ha? Anak gembala?” potong Moni kesal.
“Aku adalah, seseorang yang menyayangimu.. yang aku sendiri bahkan tak bisa menjelaskan siapa diriku ini sesungguhnya..aku tak tahu harus menyebut diriku apa.. dan menyukaimu, hanya itu yang aku mengerti..”
“Aku nggak ngerti maksudmu, Lang..”
“Aku dan kamu nggak bisa bersama, Mon..”ucap Gilang penuh penyesalan.
“Maksudmu, kamu mau kita putus?” tanya Moni penuh hati-hati. Bahkan matanya pun mulai berkaca-kaca. “Setelah, aku bingung dengan identitasmu, sekarang kamu mau pergi gitu aja?”
“Aku nggak tahu bagaimana.. tapi dunia kita beda..ini sungguh sulit diungkapkan, Mon..”
“Jadi menurutmu, aku nggak pantas buat kamu, begitu? Kamu sedang bercanda, kan, sekarang?”
“Sayangnya aku sedang serius sekarang.. Aku benar-benar harus meninggalkanmu, dunia ini nggak nyata untukku.. oleh karena itu, segeralah pulang sekarang dan jangan pikirkan aku lagi!”
“Kenapa sebenarnya? Ada apa denganmu? Setidaknya beri aku penjelasan yang bisa kupahami, yang bisa membuatku mengerti alasan kita harus pisah!”
“Moni, aku harus kembali ke duniaku, dan dunia kita sangat jauh..aku harus pergi sekarang, dan tempatku.. tempatku adalah sesuatu yang nggak bisa dijangkau telepon atau SMS! Akan sulit buat kita berkomunikasi. Jadi kita harus benar-benar pisah..”
“Gilang, sungguh, aku nggak bisa mengerti maksudmu! Kumohon berhentilah menyulitkanku, aku bukan orang pandai dalam teka-teki seperti ini! Jadi maksudmu kamu mau keluar negeri setelah ini, begitu maksudmu? Lalu selama ini aku nggak pernah berarti buatmu? Sampai kamu memutuskan hubungan ini dengan cara seperti ini?!”
“Aku hanya ingin kamu ingat tiga pesanku..”sahut Gilang mengabaikan kata-kata Moni.
“Gilang, kumohon!”pinta Moni dengan sangat. Gadis itu kembali memukuli tubuh Gilang dengan putus asa. Air mata pun menitik membasahi wajahnya saat pemuda itu akhirnya menggenggam dingin kedua tangannya.
“Pertama..janganlah melamun, apalagi saat kamu sendirian, di  malam sepi seperti ini. Itu tak baik untukmu.. Lalu kedua..lakukan segalanya yang terbaik. Mulai sekarang perhatikanlah gurumu di kelas. Aku ingin melihatmu menjadi seseorang yang sukses, yang berhasil mewujudkan cita-citamu..”
“Kenapa kamu berkata seperti ini? Apa sungguh, kamu akan pergi? Jika kamu ingin melihatku, harusnya kamu tetap disini bersamaku!”
Napas Gilang tertahan. Pelupuk matanya sendiri pun mulai basah.
“..dan terakhir..” kata Gilang serak, “ ..dan yang terakhir kuminta.. jangan cari aku lagi!”ucapnya penuh penyesalan. Perasaannya  begitu berat untuk melepaskan tangan Moni.
“Kenapa..kenapa kamu perlakukan aku seperti ini?”isak Moni. Namun pemuda itu hanya melangkah mundur dan perlahan berbalik meninggalkan Moni.
“Gilang!”panggil Moni lagi, berharap ini hanya mimpi. Sedangkan pemuda itu hanya terus melangkah menjauh. Masuk ke dalam kegelapan jalan setapak tengah hutan itu. “Gilang!!”seru Moni hendak mengejar, ia memasuki hutan itu menyusuri setapak yang terasa sangat lembab itu. Namun tak ada lagi jejak pemuda itu terlihat olehnya. Hanya kekosongan, kegelapan. Sampai hanya tersisa aroma melati yang kini Moni rasakan, menyusup ke segala syaraf kesadarannya. Angin berbisik semakin kencang. Jangkrik berhenti menangis. Sunyi. Hingga samarlah bisikan itu terdengar..
“Sorry, Moni, Jangan cari aku lagi!” bisikan sayup-sayup diiringi wangi melati yang semakin menyengat.

(^-^) SEKIAN (^-^)



No comments:

Post a Comment