Irama dan suara khas Phil Collins memenuhi kamar
kecil Alleira dengan lagunya Can’t Stop
Loving You. Menemani dua botol kaca berisi lampu beras menyala-nyala di
atas meja. Baginya itu adalah kunang-kunang peliharaannya. Dalam temaram lampu
kunang-kunang itu Alleira menyisir rambutnya yang sudah menyentuh siku. Seperti
penampakan di tengah malam, pandangannya tajam ke satu sudut namun kosong.
Bukan berarti ia aneh, ia hanya menikmati permainan
cahaya warna-warni yang mengingatkannya pada lampu hias di halaman kantor
gubernur. Lampu-lampu yang pernah sedikit meredakan ketidaknyamanannya. Ya,
lagi-lagi tulisan ini tentang cahaya semacam itu, dan nyanyian Phil Collins
masih terus terputar berulang. Seperti terputar ulangnya pita roll film hidup
Alleira di pikiran gadis itu.
Pertama kali dirinya menjauh, sedangkan yang kedua ia
menatap kepergian orang itu. Memori itu dan suara Phil Collins seakan menyatu
selayaknya drama beserta soundtracknya.
Malam itu ia pergi. Meski mobil itu telah melaju, ia tak dapat
langsung menatap ke depan. Berharap dari jendela di sampingnya, ia masih dapat
menyaksikan satu sosok yang berdiri itu. Sekali pun kepalanya sudah menghadap
ke depan, air di pelupuk mata justru menghalangi pandangannya. Malam itu semua
benar-benar gelap. Kepalanya terasa begitu berat dan pening, tapi masih lebih
ringan dibandingkan hatinya yang enggan pergi.
Hingga waktu berjalan kerlipan lampu warna-warni itu
akhirnya menyambut sebuah pertemuan. Lampu yang dirangkainya sendiri di kamar,
sehingga ia tak perlu mendatangi kantor gubernur atau pun warung kopi di
pinggir jalan yang dihiasi lampu itu. Sampai hari berganti, kemudian habislah waktunya
untuk bersama sosok itu. Seolah jam-jam dan pergerakan penuh matahari itu hanyalah
detik yang langsung habis sebelum menit.
Siang itu terik. Benar-benar menyengat matahari kala
itu. Seperti malam ketika Alleira merindukannya, yang membuatnya berjalan tanpa
arah jelas mengelilingi lapangan di depan kantor gubernur itu. Kali ini semuanya
juga seperti itu. Ada yang menyesak namun juga terasa kosong. Dalam benaknya
bertanya, apakah hanya itu baginya bertemu dalam periode itu. Apakah sore itu yang
terakhir? Tanpa kata penutup? Namun ia masih berpikir semua akan baik-baik
saja. Ia mencoba menerima kondisi yang ada. Ia memahami semua keadaan dengan
benar. Bahkan berharap semua perasaan yang dimilikinya untuk sosok itu segera berakhir.
Suatu waktu mereka pasti bertemu lagi. Ia akan
bertemu dengan orang itu. Tak butuh banyak waktu, mungkin 30 menit kemudian pemuda
itu sudah di depan pagar rumahnya. Berkaos hitam. Sorot mata sosok itu sulit
diterjemahkan, terlalu banyak hal tersimpan, mungkin sama seperti dirinya. Selama
ini Alleira hanya menertawakan adegan perpisahan di film, yang dianggapnya
berlebihan. Ia bahkan menuliskan karangan tentang perpisahan. Mungkin sempat
mencoba merekanya sesedih mungkin. Hanya saja baru detik itu ia tahu, ia tak
bisa tertawa. Sedikit pun. Ada pun tersenyum. Getir. Lebih getir dari
imajinasinya selama ini.
“Kapan ya ada libur lagi? Hm.. aku masih kepikiran
sepedamu..”ucap pemuda itu, masih menggenggam erat tangan Alleira. Berbicara tentang sepeda yang tak sanggup bejalan kehabisan angin.
“Hm..sudahlah, itu sepedaku, gampanglah ntar. Kamu
fokus aja, belajar yang rajin!”sahut gadis itu dengan senyumnya. Hanya itu ia pikir
kalimat terbaik yang bisa ia ucapkan. Perlahan dengan berat, pembicaraan singkat itu harus berakhir, jari-jari dua anak
manusia itu terurai. Lantas pemuda itu menjauh. Hitam itu menjadi titik lalu
hilang bersama motor kelabu itu. Gadis itu pun beranjak dari tempatnya.
♫ “..I'll walk away and you won't know
That I'll be crying
Cause I can't stop loving you
No I can't stop loving you
No I won't stop loving you
Why should I?” ♫
No comments:
Post a Comment