2015-12-16

Can't Stop Loving You



Irama dan suara khas Phil Collins memenuhi kamar kecil Alleira dengan lagunya Can’t Stop Loving You. Menemani dua botol kaca berisi lampu beras menyala-nyala di atas meja. Baginya itu adalah kunang-kunang peliharaannya. Dalam temaram lampu kunang-kunang itu Alleira menyisir rambutnya yang sudah menyentuh siku. Seperti penampakan di tengah malam, pandangannya tajam ke satu sudut namun kosong.
Bukan berarti ia aneh, ia hanya menikmati permainan cahaya warna-warni yang mengingatkannya pada lampu hias di halaman kantor gubernur. Lampu-lampu yang pernah sedikit meredakan ketidaknyamanannya. Ya, lagi-lagi tulisan ini tentang cahaya semacam itu, dan nyanyian Phil Collins masih terus terputar berulang. Seperti terputar ulangnya pita roll film hidup Alleira di pikiran gadis itu.
            Pertama kali dirinya menjauh, sedangkan yang kedua ia menatap kepergian orang itu. Memori itu dan suara Phil Collins seakan menyatu selayaknya drama beserta soundtracknya.
Malam itu ia pergi. Meski mobil itu telah melaju, ia tak dapat langsung menatap ke depan. Berharap dari jendela di sampingnya, ia masih dapat menyaksikan satu sosok yang berdiri itu. Sekali pun kepalanya sudah menghadap ke depan, air di pelupuk mata justru menghalangi pandangannya. Malam itu semua benar-benar gelap. Kepalanya terasa begitu berat dan pening, tapi masih lebih ringan dibandingkan hatinya yang enggan pergi.
Hingga waktu berjalan kerlipan lampu warna-warni itu akhirnya menyambut sebuah pertemuan. Lampu yang dirangkainya sendiri di kamar, sehingga ia tak perlu mendatangi kantor gubernur atau pun warung kopi di pinggir jalan yang dihiasi lampu itu. Sampai hari berganti, kemudian habislah waktunya untuk bersama sosok itu. Seolah jam-jam dan pergerakan penuh matahari itu hanyalah detik yang langsung habis sebelum menit.
Siang itu terik. Benar-benar menyengat matahari kala itu. Seperti malam ketika Alleira merindukannya, yang membuatnya berjalan tanpa arah jelas mengelilingi lapangan di depan kantor gubernur itu. Kali ini semuanya juga seperti itu. Ada yang menyesak namun juga terasa kosong. Dalam benaknya bertanya, apakah hanya itu baginya bertemu dalam periode itu. Apakah sore itu yang terakhir? Tanpa kata penutup? Namun ia masih berpikir semua akan baik-baik saja. Ia mencoba menerima kondisi yang ada. Ia memahami semua keadaan dengan benar. Bahkan berharap semua perasaan yang dimilikinya untuk sosok itu segera berakhir.
Suatu waktu mereka pasti bertemu lagi. Ia akan bertemu dengan orang itu. Tak butuh banyak waktu, mungkin 30 menit kemudian pemuda itu sudah di depan pagar rumahnya. Berkaos hitam. Sorot mata sosok itu sulit diterjemahkan, terlalu banyak hal tersimpan, mungkin sama seperti dirinya. Selama ini Alleira hanya menertawakan adegan perpisahan di film, yang dianggapnya berlebihan. Ia bahkan menuliskan karangan tentang perpisahan. Mungkin sempat mencoba merekanya sesedih mungkin. Hanya saja baru detik itu ia tahu, ia tak bisa tertawa. Sedikit pun. Ada pun tersenyum. Getir. Lebih getir dari imajinasinya selama ini.
“Kapan ya ada libur lagi? Hm.. aku masih kepikiran sepedamu..”ucap pemuda itu, masih menggenggam erat tangan Alleira. Berbicara tentang sepeda yang tak sanggup bejalan kehabisan angin.
“Hm..sudahlah, itu sepedaku, gampanglah ntar. Kamu fokus aja, belajar yang rajin!”sahut gadis  itu dengan senyumnya. Hanya itu ia pikir kalimat terbaik yang bisa ia ucapkan. Perlahan dengan berat, pembicaraan singkat itu harus berakhir, jari-jari dua anak manusia itu terurai. Lantas pemuda itu menjauh. Hitam itu menjadi titik lalu hilang bersama motor kelabu itu. Gadis itu pun beranjak dari tempatnya.
“..I'll walk away and you won't know
That I'll be crying

Cause I can't stop loving you
No I can't stop loving you
No I won't stop loving you
Why should I?”

No comments:

Post a Comment