2015-12-06

Tanpa Judul, Tanpa Nama 4



Can’t you just stop?”
“Arsa, aku..” sahut Nana begitu lirih nyaris tertelan deru hujan.
“Can’t you just look at me?” potong Arsa. Seorang pemuda tampan dan jenius yang harusnya mampu mengalihkan dunia Nana dari lingkaran Moringa. “Apa kau tak melihat bagaimana dia mengacuhkanmu?”
“Ia mengacuhkanku karena ia tak tahu jika itu aku.” bantah Nana.
“TIdak. Aku tahu, jika kau tahu bahwa ia tahu..”balas Arsa. “Kau dengan begitu percaya diri datang kemari karena kau yakin, bahwa kau mengirim pesan yang pasti akan membuatnya berpikir tentangmu.”
“Tidak. Buktinya ia tak datang. Aku yakin karena ia tak menyadari makna pesanku.”sahut Nana lalu kembali berjalan pergi. “
“Nana!” seru Arsa mengejar lagi gadis itu. “Setidaknya ijinkan aku mengantarmu pulang.”lanjut pemuda itu dan Nana kembali berhenti.
“Apa menurutmu, ia sungguh tahu jika itu aku?”
“Aku tak tahu. Kau yang harusnya lebih tahu. Aku tak pernah tahu bagaimana kalian berkomunikasi selama ini.”
“Kuharap ia tak tahu..sebab jika ia tahu, ia pasti membenciku, aku sudah mengganggunya dengan catatan-catatan aneh itu.”
@@@

Nana pun kini sudah berada di dalam mobil Arsa menuju rumah. Keduanya hanya berdiam sepanjang perjalanan yang agak macet itu. Sesungguhnya beberapa kali Arsa mencoba membuka topik, akan tetapi gadis itu tak menggubrisnya. Nana terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri. Hanya satu kalimat Arsa yang tertangkap.
“Bukankah itu Moringa dan Ailin?”
Setika sorot mata Nana terpusat tajam masuk ke satu sudut kafe di tepi jalan. Keduanya tampak enjoy dalam sebuah perbincangan. Perlahan Nana pun menyeringai dan bergumam.
“Ia menghindariku karena ia tak ingin ada yang mati, lalu apa ia tak sadar jika Ailin bisa mati juga karenanya?!"
“Apa maksudmu?” tanya Arsa heran mendengar ucapan Nana.
“Apa kau tak tahu jika sebenarnya Elice dan Sherry meninggal karena dibunuh?”
“Nana, apa kau percaya rumor itu? Jangan bicarakan hal mengerikan semacam itu!”tukas Arsa membuat Nana tersenyum sinis.
“Mengerikan? Kau pikir itu mengerikan?”tanya Nana menatap lekat ke arah bola mata Arsa. Pemuda itu pun menyipit, bingung menyaksikan tingkah aneh gadis itu. 
@@@
“Aaagh!”teriak seseorang diluar kamar Ailin pagi-pagi, membuat gadis itu terperanjat bangun dan cepat-cepat keluar.
“Setting fire? Should I give you a death too?”
Seperti di dalam mimpinya, ia mendapatnya pesan darah di pintunya. Namun kali ini adalah nyata.
@@@
“Moringa?!”seru Nana kaget saat ia keluar dari kamar mandi sudah muncul Moringa di hadapannya.
“Ini..semuanya pesan darimu, kan?”tanya pemuda itu dengan wajah kaku menyodorkan kotak berisi catatan-catatan dari Tanpa Nama. Seketika itu mata Nana terbelalak.
“Kau..kau masih simpan semuanya??”
“Jadi benar kau penulis Tanpa Nama selama ini?”
“Apa kau baru menyadarinya?”
“TIdak. Sesungguhnya aku sudah curiga sejak awal, karena itu semuanya tersimpan dengan baik, tapi.. kenapa kau melakukan ini?” Pemuda itu pun menunjukkan sebuah buku tebal yang sangat tak asing bagi Nana.
“Kau..bagaimana kau..bagaimana bisa kau mendapatkannya?”seketika Nana menjadi gugup.
“Jadi benar ini juga perbuatanmu?”
“Bukan aku! Satu itu bukan aku..”
“Bukan kau, tapi benda ini ada di kamarmu? Termasuk dengan catatan Tanpa Judul dari tanpa Nama di dalamnya?”
“Moringa, sungguh, aku.. Sungguh satu itu bukan aku yang menulisnya. Aku..”
“JIka bukan kau kenapa kau sembunyikan buku Elice dariku? Kenapa kau tak katakan apa pun? Di saat aku ingin tahu bagaimana kematiannya yang sebenarnya.”
“Ringa, dengar dulu penjelasanku..”
“Kau tahu, kenapa aku datang kemari? Karena aku ingin minta maaf, jika aku tak bisa menemuimu semalam. Tapi.. aku tak mengira akan temukan barang ini di sini..barang yang sudah sekian lama kupikir tak pernah ada.. Bahkan kini kudengar ada pesan tertinggal di pintu Ailin dari Tanpa Nama.. Inikah caramu menyukaiku?!”
“Ringa.. aku hanya tak ingin kau terluka, dan aku..”
“Nana, aku tak mengerti jalan pikiranmu lagi.. Aku bahkan tak tahu, kau siapa, orang baik atau bukan, detik ini aku sungguh bingung.. dan kuharap mulai sekarang berhentilah menggangguku! Hentikan semua perbuatan tak masuk akalmu!” tegas Moringa lantas pergi begitu saja.
Apakah sekarang kau melihatku sebagai pengacau? Pembunuh? Psycho? Baiklah kalau begitu, aku tak perlu lagi terlihat baik. Sekalipun akhirnya aku terhukum, setidaknya kau bisa tenang setelahnya.
Dengan sorot mata penuh kekesalan Nana pun bergerak meraih tasnya dan memasukkan sebuah pisau kedalamnya. Bergegas meraih kunci dan cepat-cepat meninggalkan rumahnya. It’s time to stop. To forget everything.
 @@@
2011, jajaran angka yang tertulis paling besar di kalender meja itu. Di atas angka itu tertulis pula jajaran huruf dengan ukuran besar, Rumah Sakit Dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang. Terlihatlah Moringa yang beranjak bangun dari kursi, bersalaman dengan dokter di hadapannya. Begitu pula ayahnya yang mendampinginya.
“Kami akan menyusun hasilnya secepatnya.“ucap dokter pria itu membicarakan tes IQ dan minat bakat Moringa yang baru saja selesai.
“Baik, terimakasih.”
Setelah keluar dari ruang dokter itu Moringa pun pamit ke toilet lebih dulu sebelum ikut ayahnya pulang.
“Ayah tunggu di mobil.”ujar pria tua itu
“Oke.”
Saat meninggalkan ayahnya dilihatlah seorang gadis bersama ibunya tengah berjalan murung. Namun itu hanya sekilas, Moringa pun segera mengabaikannya. Hingga sekeluarnya dari restroom ia bertemu gadis itu, kali ini gadis itu bicara padanya.
“Apakah menurutmu aku aneh?”todong gadis itu membuat Moringa mengamati gadis itu dari ujung kaki hingga kepala.
“Kurasa tidak.”
“Terimakasih kalau begitu.”jawab gadis itu lalu berjalan pergi. Namun kemudian kembali lagi.
“Menurutmu apakah rumah sakit ini punya rooftop yang bagus untukku terjun?”
“Apa yang kau harapkan dari rumah sakit ini? Ini bukan gedung yang menyediakan rooftop tinggi dan terbuka untukmu terjun. Mereka sudah memikirkan orang-orang yang berpikir sepertimu. Lagi pula untuk apa kau terjun?”sahut Moringa.
“Hm..Aku lelah di dunia ini. Mereka semua menganggapku aneh. Tak ada yang mau berteman denganku . Lalu di rumah pun semua orang menyalahkanku dan dianggap aku selalu buat masalah. Aku hanya punya satu orang teman, tapi mereka tak pernah bertemu dengannya, lalu aku mengenalkannya pada mereka, tapi mereka tak melihat temanku. Jadi mereka membawaku kesini. Daripada aku tinggal bersama orang gila, di terapi seperti orang gila, bukankah lebih baik aku pergi dari dunia ini? Jadi tak ada yang perlu repot mengurusku..”oceh gadis itu panjang lebar membuat Moringa tercengang. “Ah, pasti kau pun sudah menganggapku gila. Mm..maaf sudah mengganggu waktumu.”ucap gadis itu lagi lalu kembali pergi.
“Jangan terjun!” seru Ringa kemudian menghentikan gadis itu. “Jangan mati!” gadis itu pun berbalik menatap Moringa dengan heran. “Kau bilang kau punya satu orang teman, kan. Entah orang melihatnya atau tidak, tapi dia melihatmu. Bagaimana jika dia kehilangan dirimu? Bagaimana jika ia menjadi menderita sepertimu karena tak ada teman lagi?”tanya Moringa membuat gadis itu perlahan tertawa.
“Apakah kau sungguh percaya jika aku punya teman semacam itu?”
“Apa kau tidak?”
“Teman itu memang tak ada. Ia hanya di khayalanku saja.”aku gadis itu membuat Moringa benar-benar bingung, bagaimana harusnya ia bersikap. “Terimakasih atas waktunya, terimakasih sudah mendengarkanku dan bicara padaku seolah aku normal.”
"Bukannya kau memang normal?" sahut Moringa semakin heran. gadis itu hanya tersenyum lalu mengangguk pamit pergi, ia benar-benar berlalu.
Beberapa hari kemudian, Moringa sudah melupakan pertemuannya dengan gadis itu.  Ia lebih fokus pada dunia perkuliahan di kampus barunya. Tempat yang tanpa sengaja membuatnya bertemu gadis itu lagi.  Gadis itu duduk sendiri di sudut perpustakaan. Sibuk dengan beberapa buku.
“Oh, dia, Nana.”kata seseorang pada Moringa. “Ia suka menyendiri di sana.  Beberapa tak suka padanya. Ia terlalu serius. Entah otaknya atau memang karakternya, ia tak bisa di ajak bercanda. Kami tak tahu apa yang ditulisnya setiap hari. Mungkin itu yang membuatnya mendapat nilai tertinggi di semua mata kuliah.  Bagi kami dia adalah robot. Tak pernah terlihat tertawa atau semacamnya. Kata Dion yang se-SMA dengannya, dia sering dibully dulu. Di sini pun sepertinya hanya Arsa yang masih mau..“papar Seya memberi penjelasan pada teman barunya. Namun Moringa sudah tak menggubrisnya dan malah berjalan menghampiri Nana. Pemuda itu pun duduk di hadapan gadis itu.
“Hai, gadis aneh.”sapa Moringa.
“Ah, kau? Kau kuliah di sini juga?!”
“Seperti yang kau lihat.”
“Lalu kenapa kau di sini? Orang-orang menunggumu.”kata Nana melihat Seya dan beberapa orang yang awalnya bersama Moringa.
“Mulai sekarang aku temanmu.”
“Ha?”
“Bertemanlah denganku!”
“Kenapa? Denganku? Yang mereka bilang aneh? Kau yakin?”
“Anggap saja kau membayar aku yang sudah mendengarkan curhatanmu kemarin.”jawab Moringa yang hanya dibalas dengan muka datar oleh Nana. Sesaat Moringa pun merasa bingung.
“Kau mau pudding?”tanya Nana tiba-tiba membuat Moringa heran.
“Puding?”
“Bukankah kau minta bayaran?”sahut Nana seraya membereskan barang lalu keluar ruangan, diikuti oleh Moringa.
“Hai, Na!”sapa Arsa, teman yang paling rajin menyapa Nana. Gadis itu hanya tersenyum dan mengangguk sekilas, di saat pemuda itu masih menatap perginya Nana bersama Moringa.
Gadis itu pun mengambil tasnya dari loker dan mengeluarkan kotak makanannya.
“Ambillah!”Nana menyodorkan kotak itu. Moringa meraihnya dan membukanya sesaat. Lantas menarik tangan Nana, mengajak gadis itu ke gazebo taman.
“Ayo kita bagi dua.”
@@@

Tanpa Judul,Tanpa Nama 5



The events, character, illustration and firms depicted in this story are fictitious. Any similarity to actual persons, living or dead, or actual firms is coincidental.

No comments:

Post a Comment