Mendadak
teringat pada sebuah cerita dalam rubric Lentera, Majalah Intisari. Lupa itu
majalah edisi ke berapa, namun saat membacanya dulu cerita itu cukup
mengesankan. Inti ceritanya seperti ini..
Berkisah
tentang sebuah tempayan air dan penjual air. Setiap hari pria penjual air itu
membaya dua buah tempayan air yang diikatkan pada ujung-ujung sebuah pikulan
kayu, menyusuri perkampungan dari kaki gunung ke punggung bukit. Saat itu si
tempayan air merasa sangat bersalah pada tuannya. Ia sedih dan malu pada
dirinya sendiri. Ia tak bisa menjadi tempayan yang sempurna.ia memiliki cela,
yakni menjadi sebuah tempayan yang bocor. Hingga suatu hari ia berkata pada
tuannya,
“Tuan, maafkan saya. Saya sebenarnya
malu, karena saya akhirnya Tuan harus bolak-balik ke sungai mengambil air.
Padahal kalau saya tak bocor, tak akan ada air yang tercecer, sehingga Tuan tak
perlu bekerja keras.”
“Kau tak perlu merasa
bersalah seperti ini..”sahut penjual air, “..pikirkan saja tentang kegunaan
dari kekuranganmu itu.”lanjut penjual air lalu menunjukkan bagaimana air yang
mengucur dari lubang tempayan bocor itu ditambung oleh cekungan di batu. Dimana
air itu pun menjadi air minum bagi burung-burung dan binatang lain yang singgah
di tempat itu.
Lantas
pria itu kembali berjalan. Air pun membasahi tanah sepanjang jalan yang
ditumbuhi oleh bunga-bunga.
“Lihatlah, semua orang
terkesan dengan indahnya bunga-bunga ini, semua ini karena dirimu. Kau
menyiraminya setiap hari. Tanah sepanjang jalan menjadi subur, sehingga biji
bunga yang kutanam bisa tumbuh dengan baik. Bahkan penduduk desa juga pun memberi
saya upah untuk menanam bunga-bunga ini. Jadi janganlah pernah malu pada
kekuranganmu.”tutur sang penjual air. “Segala sesuatu pasti memiliki nilai yang
berguna bagi kehidupan.”pungkasnya.
No comments:
Post a Comment