2014-09-02

Tempayan Malu





Mendadak teringat pada sebuah cerita dalam rubric Lentera, Majalah Intisari. Lupa itu majalah edisi ke berapa, namun saat membacanya dulu cerita itu cukup mengesankan. Inti ceritanya seperti ini..
Berkisah tentang sebuah tempayan air dan penjual air. Setiap hari pria penjual air itu membaya dua buah tempayan air yang diikatkan pada ujung-ujung sebuah pikulan kayu, menyusuri perkampungan dari kaki gunung ke punggung bukit. Saat itu si tempayan air merasa sangat bersalah pada tuannya. Ia sedih dan malu pada dirinya sendiri. Ia tak bisa menjadi tempayan yang sempurna.ia memiliki cela, yakni menjadi sebuah tempayan yang bocor. Hingga suatu hari ia berkata pada tuannya,
“Tuan, maafkan saya. Saya sebenarnya malu, karena saya akhirnya Tuan harus bolak-balik ke sungai mengambil air. Padahal kalau saya tak bocor, tak akan ada air yang tercecer, sehingga Tuan tak perlu bekerja keras.”
“Kau tak perlu merasa bersalah seperti ini..”sahut penjual air, “..pikirkan saja tentang kegunaan dari kekuranganmu itu.”lanjut penjual air lalu menunjukkan bagaimana air yang mengucur dari lubang tempayan bocor itu ditambung oleh cekungan di batu. Dimana air itu pun menjadi air minum bagi burung-burung dan binatang lain yang singgah di tempat itu.
Lantas pria itu kembali berjalan. Air pun membasahi tanah sepanjang jalan yang ditumbuhi oleh bunga-bunga.
“Lihatlah, semua orang terkesan dengan indahnya bunga-bunga ini, semua ini karena dirimu. Kau menyiraminya setiap hari. Tanah sepanjang jalan menjadi subur, sehingga biji bunga yang kutanam bisa tumbuh dengan baik. Bahkan penduduk desa juga pun memberi saya upah untuk menanam bunga-bunga ini. Jadi janganlah pernah malu pada kekuranganmu.”tutur sang penjual air. “Segala sesuatu pasti memiliki nilai yang berguna bagi kehidupan.”pungkasnya.

No comments:

Post a Comment