Waktu kesadaran Radya berhenti bersamaan dengan berakhirnya jam kerjanya di kantor. Gadis itu masih terdiam di perpustakaan bergaya rustic modern itu, di saat seharusnya ia bersiap pulang.
“Apa kau mau lembur hari ini?” Tegur
Fong yang ada di seberang rak mengintip Radya lewat celah-celah buku. Radya
menggeleng. “Lalu kenapa malah melamun? Ayo cepat, kita pulang!”ujar Fong lagi.
“Oke, aku akan menyusul. Kalian
pulanglah dulu. Aku bereskan buku-buku ini dulu.”jawab
Radya kembali beralih waktu dan tempat secara maya. Perlahan
rak putih di perpustakaan kantor itu berubah warna. Buku-buku tebal
arsitektural berubah menjadi kumpulan majalah dan jurnal. Gadis itu berpindah dimensi.
Kembali ke perpustakaan kampusnya di masa lalu.
“Hei! Sedang apa?”sapa seseorang
mengagetkan Radya.
“Sama, sekalian ingin meng-copy-nya
beberapa. Scanner-nya bisa dipakai, kan?” sahut Ehan balik bertanya.
“Ntahlah, aku tak pernah memakai
scanner di sini.” Jawab Radya
“Ah,
begitu..” komentar Ehan singkat
lalu keduanya pun sibuk mencari kebutuhan masing-masing, diselingi
obrolan-obrolan tentang judul proposal skripsi mereka. Hingga beberapa
jam
kemudian..
“Bagaimana? Apa scanner-nya bisa dipakai?”tanya
Radya berpindah dari seberang rak menghampiri Ehan yang sibuk di depan
komputer.
“Bisa.”
“Hm..”
“Kau sendiri, apakah tak ada yang
ingin kau scan?”
“Would you do it for me?”balas Radya
manja. Gadis itu pun meletakkan jurnal temuannya di meja komputer bersama
flashdisk-nya.
“Hm..alright, it’s okay..”
“Terimakasih sebelumnya kalau begitu..”ucap
gadis itu senang seraya sesekali meremas sendiri telapak tangannya yang kedinginan karena AC di
ruang itu. “..kau memang temanku yang terbaik hehe..”lanjut Radya lalu bergerak
melihat buku-buku di rak terdekatnya sambil menunggu Ehan selesai membereskan
keperluan mereka berdua.
Jam dinding di dekatnya berdetak
cukup keras untuk terdengar. Gadis itu pun melihat sekilas untuk melihat waktu.
Namun yang dilihatnya adalah, jarum jam itu bergerak mundur. Dimensi keempat
berlalu ke masa lalu lebih jauh lagi.
Radya masih di depan sebuah rak
buku. Namun sudah jelas benda yang berbeda, di saat yang berbeda, ruang yang
berbeda lagi. Lebih terang, lebih luas, bahkan terdengar sayup-sayup suara
musik kini. Semua benar-benar berganti kecuali satu hal. Aroma di ruangan
tersebut.
Telapak tangan Radya masih terasa
membeku seperti es, hanya saja kali ini ada ponsel di genggamannya yang mampu menyerap
suhu rendah itu. Gadis itu termenung. Detak jantungnya tak beraturan. Perasaannya
tak tenang. Semacam perasaan yang sama, yang terkadang muncul. Sebagian penuh
harap, sebagian ia merasa sendirian. Sampai akhirnya sesuatu menjawab rasa
penasarannya. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Ehan.
“Aku di gramed.”
Petang itu, pertama kalinya bagi gadis
itu melihat pemuda itu tampak berbeda. Ehan sudah ada di seberangnya dan
tersenyum. Apakah selama ini ia terlihat sebaik ini? Kenapa aku merasa seperti ada
yang berubah?
Detik itu adalah 96 hari dari titik
awal roda berputar, dari malam saat Radya tak mampu merasakan aroma tanah saat
gerimis.
“Masih bosan? Apakah pikiranmu masih
terasa lelah?”tanya Ehan saat keduanya meniggalkan mall yang telah mereka
kelilingi beberapa puluh menit lalu.
“Entahlah.. sepertinya sekarang
lebih baik. Apalagi sekarang aku punya teman mengobrol.”
“Hm..masih mau refreshing lagi?”tanya
Ehan seakan hendak menawarkan sesuatu. Radya hanya mengrenyit. “Kurasa aku
punya tempat yang lebih baik..”lanjut Ehan dan membawa gadis itu pergi bersama
angin. Ya, angin. Berkendara tanpa helm malam itu, membuat Radya yang duduk di belakang Ehan, merasa semakin benar-benar
terbebas bersama angin. Kala itu ia masih tak mengira jika setelahnya hal semacam ini akan sering terulang.
Alun-alun kota Malang belum di renovasi
tahun itu dan malam itu terlihat begitu ramai. Bintang berserakan di langit. Penjual mainan anak dan pedagang
makanan cukup banyak. Lampu-lampu terlihat lumayan cantik. Mainan menyala yang
dilesatkan ke langit secara bergantian menyorotkan warna biru, ungu hijau yang
menyejukkan mata. Namun bukan itu penenang sejatinya. Tempat refreshing yang sesungguhnya ada di sisi
Barat alun-alun itu. Di dalam gedung yang menggaungkan suara penyejuk malam itu.
Yang sarat dengan aroma kayu dan batu akibat proses renovasi ruang.
Tebaran aroma yang kontras dari apa yang menyengat di sekeliling Radya
sebelumnya.
Aku tak tahu
seberapa penting dirinya sesungguhnya, seberapa besar kemampuannya untuk
menjadi hebat, apakah ia lebih hebat dari Doraemon? Aku tak tahu. Aku belum
tahu.
Radya kembali pada realitanya dan kembali pulang. Detik itu ia telah berada di depan rumahnya. Dari sana ia
bisa memandang kilauan lampu beras warna-warni yang menghiasi rumahnya.
Gadis itu pun tersenyum, tapi bukan pada lampu atau pun rumahnya.
Melainkan pada pemuda yang kini di hadapannya. Seseorang yang beberapa
waktu terakhir cukup lama tak dilihatnya, yang rupanya kini memiliki
aromanya sendiri.
Apa saja yang sudah
kami lalui? Aku sendiri tak ingat semuanya. Terlalu banyak orang di jalanku,
dan beragam orang yang pernah berjalan bersamaku. Aku tak ingat detailnya. Namun aku masih ingat
satu hal yang pasti. Tentang satu malam itu. Bahwa hanya satu
orang itu yang mengingatkanku pada satu ketenangan yang selama ini kulewatkan. Bukan saat ia menunjukkan cantiknya bulan atau bintang. Bukan saat ia memerkan indahnya pegunungan. Bukan dengan kata-kata motivasi klise. Ia pun tak butuh doraemon atau apalah itu. Ia punya satu
cara yang lebih hebat, yang tak pernah dikenalkan oleh orang lain padaku, yaitu.. meminta
ketenangan dan kebahagiaan itu sendiri kepada Tuhan...
Sekian
No comments:
Post a Comment