2015-09-05

INDIRECT LETTER (part 4)


            “Hei! Apa kau tak mendengarku? Apa yang kau pikirkan?” tegur Askari seakan menghentikan deru hujan di sisi luar galeri itu.
“Ah, maaf.. Mm..tak ada.. hanya sedikit masa lalu.”sahut Kaira seraya menatap kerajinan perak di balik vitrin di hadapnya.
“Apa ada yang serius? Sampai alismu menyatu begitu. Sampai tak mendengarku bicara?”
“Antara ya.. dan tidak..”
“Tentang apa memangnya?”
“Tentangmu..”sahut Kaira singkat lalu beralih ke sisi lain ruang galeri seni tersebut.
“Aku?” Tanya Aska heran. Kaira pun berhenti di depan kerajinan kaca ukir berbentuk wayang.
“Sebenarnya.. hari itu membawa payung dalam tasku..”
“Hari itu?”

“Beberapa tahun lalu. Semester ketiga. Saat akhirnya kita benar-benar mengenal. Saat kita berbicara untuk pertama kalinya hari itu, ketika hujan dan kau meminjamkan payungmu..”
“Ah..itu.. Lalu, kenapa kau bilang tak bawa payung?”
“Sesungguhnya aku hanya penasaran.. Orang-orang bilang kau adalah orang yang baik, tapi kau pun tak selalu begitu pada semua orang. Aku penasaran, Apakah.. kau sungguh baik? Apakah.. aku cukup menarik untuk membuatmu sedikit peduli padaku? Jadi aku berpura-pura menggumam.. aku penasaran, apakah aku bisa membuatmu meresponku..”papar Kaira jelas-jelas membuat Askari tercengang tak mengira hal seperti itu yang akan diungkapkan gadis itu. Kini Askalah yang tertunduk dalam renungan. “Mm..apa kau marah?”tanya Kaira menyadari ekspresi Aska.
“Tidak.. sama sekali itu bukan masalah. Aku sendiri hanya teringat masa laluku. Saat hujan..”
“Apa itu?”
“Seperti yang kulakukan padamu, meminjamkan payungku pada seseorang. Saat itu aku masih sekolah dasar. Aku belum mengenalnya hari itu, tapi aku tahu ia teman sekelasku. Hanya saja siang itu tiba-tiba hujan dan kami sama-sama berteduh di depan toko. Aku pun mengeluarkan payungku dan bersiap melanjutkan perjalanan pulang. Mendadak dia meneriakiku, Hei, kau! Berikan payungmu!. Aku kaget mendengarnya, aku hanya memandanginya merasa aneh. Kenapa aku harus berikan payungku pikirku. Lalu  dia berkata, Laki-laki macam apa kau? Ada seorang gadis di sampingmu kau malah pakai payungmu sendirian. Memangnya kau siapa pikirku saat itu sedikit kesal..”
Kaira pun tertawa mendengarnya.
“Lalu apa kau meminjamkannya?”tanya gadis itu. Askari mengangguk.
“Akhirnya kuberikan payungku lalu cepat-cepat aku pergi. Berlari kerumahku. Hari itu aku harus pulang cepat. Jadi kubiarkan semuanya begitu. Lalu esoknya aku kena flu.”terang Aska sambil tertawa sendiri.
“Ah..kau ini memang terlalu baik.”komentar Kaira
“Begitukah menurutmu sekarang? Jadi kau sudah temukan jawaban dari rasa penasaranmu?”
“Ahaha..ya..kau temanku yang terbaik! Hm..dulu waktu kecil aku juga pernah mendapat pinjaman payung, lalu setelah mendengar ceritamu aku jadi berpikir apakah dia kena flu juga sepertimu ya?”
“Mungkin sama.”
“Ah, semoga tidak.. :P”
“Hmm..sepertinya hujannya sudah reda. Jadi mau lihat kintamani?”
“Tentu saja, kita sudah jauh-jauh sampai di Tegalalang sekarang, masa’ mau pulang begitu saja hanya karena hujan barusan.”
“Baiklah, ayo pergi kalau begitu.” Ajak Aska. Keduanya pun berjalan keluar. Namun mendadak Kaira kembali terhenti di ambang pintu.
“Ada apa?”tanya Askari. Namun Kaira hanya diam menatapnya. Dilihatnya jari-jari Kaira kembali tak tenang. Kebiasaan buruk gadis itu muncul lagi. “Apa ada masalah?”
“Mm..tak ada.”jawab Kaira setelah tersadar.
“Yakin?” tanya Aska lagi. Gadis itu mengangguk. “Lalu kenapa kau mengupas jarimu lagi begitu?”desak Aska menyentak Kaira membuat gadis itu secepat kilat mengurai tangannya.
“Ah..tak apa. Sungguh tak apa!”
“Aghh..terserah kau saja lah kalau begitu.”

@@@

Gunung menjulang tinggi, tetapi seperti berada di bawah. Seolah tempat Askari dan Kaira berdiri lebih tinggi dari gunung itu. Udara dingin yang seakan menusuk dapat berubah hangat seketika keduanya turun dan duduk di dekat pos tak terpakai. Tempat itu tak terlalu bagus dan rapi, bisa dibilang perlu perbaikan, tapi pemandangan yang disodorkan cukup berkesan. Membuat keduanya kembali teringat pemandangan Bromo Semeru di pulau Jawa. Viewdanau Batur di samping Kintamani pun memberi keunikan tersendiri.Hanya saja yang paling berbeda adalah di Malang tak ada seniman tato yang berkeliaran seperti disini.
“Rasanya seperti pulang ke Malang. Setelah berjemur setiap hari di Denpasar rasanya menyenangkan kembali ke pegunungan seperti ini.”
“Hm..harusnya kita mampir ke Bali Pulina tadi saat hujan. Menyesap sedikit kopi hangat sepertinya enak.”
                “Apa kau lupa aku tak bisa minum kopi? Lagi pula kopi di sana pasti mahal. Lebih menyenangkan ke galeri seni.”sanggah Kaira.
“Sesukamu sajalah.”sahut Aska menyerah.
“Mm..ngomong-ngomong, kenapa gunung bisa berubah warna? Hijau, biru, lalu sekarang ungu. Kenapa pohon hijau? Laut biru? Tanah coklat?”
“Aku bukan Tuhan jadi jangan tanya aku. Selain itu bukannya kau sudah pernah belajar IPA?”jawab Aska asal.
“Mm..lalu laut dan langit, siapa yang membuatnya biru? Laut atau langit? Siapa yang duluan berwarna biru?”
“Haruskah kau tanyakan itu padaku? Bisakah kau tanyakan hal yang pasti kuketahui?”
“Hehe.. kalau begitu, bagaimana jika aku tanya tentang masa kecilmu?”alih Kaira
“Masa kecilku?”
“Ya.”sahut Kaira bersemangat menanti kisah dari Aska.
“Hm..yang pasti berbeda denganmu.”

“Aish, tentu saja. Hm..apa kau nakal waktu kecil?”
“Kadang nakal, kadang tidak. Tapi tak senakal dirimu.”
“Hash..seperti kau tahu masa kecilku saja.”
“Haha.. Mm..bagaimana ya, aku bukan laki-laki pemberani. Tak mau menambah masalah sih lebih tepatnya.”
“Wah, benar-benar kebalikanku kalau begitu. Aku sangat nakal saat kecil, bahkan anak laki-laki saja kubuat menangis.”
“Pasti kau nakal karena ada alasannya, kan?”
“Wah, kau pintar menebak, ya, rupanya. Dulu di kelasku ada segerombolan anak seperti preman. Mereka suka menjahili temanku. Aku sendiri tak terlalu peduli sebenarnya, tapi karena mereka selalu berisik, lalu aku jadi sulit belajar, jadi kuhajar mereka. Anak lainnya bilang aku pahlawan, padahal aku berbuat hanya untuk diriku sendiri. Aku bahkan tak ingat siapa yang tertolong atau siapa saja yang kuhajar. Yah, kenapa jadi aku yang bercerita!” oceh Kaira membuat Aska tertawa.
“Sepertinya dulu aku semacam anak yang dijahili itu.”
“Benarkah?”
“Ya. Dan yang selalu menyelamatkanku justru murid perempuan. Memalukan sekali, kan.”
“Waah..jangan-jangan kau murid yang kuselamatkan dulu! Haha..”
“Wah..mungkin.. Haha.. ”
“Mm..lalu bagaimana lagi, ceritakan lainnya!”
“Hm..apalagi ya,. Dulu aku tak terlalu pintar. Guruku juga sering memarahiku masalah tulisanku. Apalagi saat awal-awal sekolah dasar.”
“Aish, jika aku sekelas denganmu, pasti aku sudah membencimu dulu.”
“Bagaimana bisa?”
“Orang-orang semacam dirimu itu yang membuatku kesal. Aku paling benci pelajaran menulis. Mengulang abjad atau kata atau kalimat sampai berbaris-baris dan berlembar-lembar, sangat membosankan. Bagiku semua itu tak berguna.”
“Haha.. hal semacam itu dulu justru sangat berguna untukku. Dunia kita memang berbeda sepertinya,,”
“Ya, berbeda, kau dan aku berbeda, aku sekarang dan aku dulu berbeda, dirimu yang dulu pun berbeda dengan sekarang, terutama saat kuliah, sepertinya dunia kita terbalik, kau menjadi orang yang sangat hebat sedangkan aku menjadi orang yang aneh dan..”
“Tidak. Kau juga hebat!”potong Askari membuat Kaira tertegun.
“Tapi aku tak sehebat Raina, kan..”
“Mm..kenapa kau bicara seperti itu?”
“Ya, semua orang melihat, dia di level yang sama denganmu, memiliki banyak penggemar, dia begitu pintar, segala hal ia kuasai, memenangkan banyak kompetisi, ia juga gadis yang cantik, setiap tugas setiap presentasi, semua terlihat sempurna,.”
“Kai, kau baik-baik saja, kan?!”
“Apa aku salah? Kau juga pernah menyukainya, kan? Mungkin juga masih.. dan kau..”
“Kai! Ada apa denganmu, ha?!”sela Aska lagi.
“Hehe..jangan seserius itu! Aku hanya bercanda!”cengir Kaira membuat Askari kesal. “Tentu saja aku juga hebat! Jauh lebih hebat malah! Hehe.. Awas saja kalau kau bilang tidak!”seru Kaira sungguh membingungkan Aska. Gadis itu pun kemudian berlari kembali naik ke arah jalan.
“Astaga, kau benar-benar membuatku gila, Kai! Kau mau kemana, ha?”Askari pun mengejar Kaira.
“Ayo jalan-jalan!”balas Kaira lalu mendekat dan berbisik, “..Kecuali kalau kau mau berada di antara bidadari-bidadari cantik itu.”  kata gadis itu sambil melihat ke arah turis-turis wanita bermata sipit  berbahasa Jepang itu.
“Ah..kau benar, mereka bidadari cantik. Tapi sepertinya lebih cantik bidadari yang ada di sampingku sekarang.”goda Aska.
“Apa kau merayuku? Aku takkan terpikat!”
“Benarkah? Meski aku memberimu bunga?”
“Memangnya kau punya bunga?”
“Hm..belum..”sahut Aska kemudian beralih pergi.
“Hei, kau mau kemana?”seru Kaira dan dilihatnya pemuda itu memetik setangkai bunga.
“Sekarang aku punya..”ucap Askari dan menyodorkan gerbera merah.  Kaira hanya terdiam. “Kau tak suka?”
“Aku tak suka gerbera.”kata Kaira kemudian berjalan meninggalkan Askari. Keceriaan gadis itu kembali pudar.
“Kukira selama ini kau menyukainya.”
“Sekarang tak lagi.”
“Kenapa?”
“Hanya tak suka saja.”jawab Kaira tetap berjalan tak acuhkan Askari.
“Karena kau sudah tahu itu bukan dari ayah ibumu?”tanya Aska membuat gadis itu berhenti seketika. Meski ia berteman akrab dengan Aska, namun tetap ia tak pernah beritahu makna bunga itu kepada siapa pun kecuali Shima. Akan tetapi Askari, bagaimana bisa ia bertanya begitu? Apakah sepupunya yang membocorkannya? Tapi kenapa Askari harus peduli soal itu?
“..karena kau sudah sadar jika itu tak mungkin?” lanjut Askari. Seketika itu Kaira merasa lumpuh. Tercengang menatap Askari penuh kebingungan. Matanya berkaca-kaca namun tak sanggup menjatuhkan air mata. ”.. sadar jika kata-kata anak itu hanya kebohongan?”


#Bersambung#




No comments:

Post a Comment