2016-04-09

Letter to Romeo



Ini tak ada hubungannya dengan Romeo dan Juliet. Aku hanya tak tahu, harus menuliskan apa pada kolom judul.
It looks like a big lie. But, I can’t say that I don’t feel it. I feel that kind of sign.
Perasaan semacam ini, cukup mengganggu. Seakan aku adalah manusia buruk pikir, yang menjadi sejenis pengintai seseorang. Menjadi wanita jahat yang gemar mengetes manusia lain dan tak biarkan mereka bebas begitu saja. Atau menjadi peramal sok tahu, yang sedang cari bukti bahwa ramalannya tepat. Padahal, saat mendapat jawaban jika dugaan itu benar, ia masih tak tahu, apa yang sesungguhnya terjadi.

2016-04-08

Gagal Fokus



Bukan pertama kali sesungguhnya. Mungkin kali ini lebih detail saja melihat segala prosesnya. Mulai dari awal hingga akhir, semua tersaksikan. Hanya karena hal sederhana, sensasinya jadi berbeda.
Hanya karena ingin menuliskan perasaan tak penting ini pun aku berusaha sembunyi-sembunyi mengetik di aplikasi Autocad. Khawatir jika aku akan melupakan kata-kata yang mendadak mengaliri benak.  Kenapa tidak di aplikasi untuk menulis? Sebab aku masih di kantor, masih jam kerja (sederhananya, gagal fokus mode on), maka dengan aplikasi Autocad, takkan terlalu mencolok jika aku sedang mengerjakan hal lainnya.

2016-04-01

New... Everything!



“Daripada ke Jogja mending pulang ke Lawang aja.”kata seorang teman di kampung. Bisa aja sih, masalahnya buat ke Jogja ini nunggunya sekitar setahun lebih sebulan. Inget banget, waktu itu harusnya upload skripsi dan jurnal malah upload cerpen buat seleksi. Padahal kalau telat upload skripsi yang udah dibikin sampai 200 halaman itu, bisa-bisa telat wisuda. Dengan penuh sadar juga, jarang sempat buka facebook, twitter, dan sebagainya tapi masih nyempet-nyempetin liat akun twitter Kampus Fiksi.
Finally, keturutan juga ke Jogja ngisi long weekend di bulan Maret ini. Awalnya sempat cemas kalau Kampus Fiksi 16 yang diadakan Diva Press ini bakal diundur, soalnya pas lihat kalender ada Paskah. Eh, ternyata nggak diundur, dan ternyata lagi, pas ngobrol sama mbak Tiwi, panitianya emang telat sadar. Alhamdulillah!

2016-01-23

Mine

Under the moonlight, I was enchanted to meet you. I like the way you look at me. For me, today was a fairytale. Met a superman like you. I never expect, finally I love you, for real. And you’re the best thing that’s ever been mine
When you're gone, missing you was dark grey all alone, but loving you was red. And I felt I can’t stop loving you  even we’re far apart. The journey also felt hard. Every night I was waiting for you, even I know you wouldn’t come. I just wish you were here. Yet, it just felt as wildest dreams.. Aah.. Can't wait to see you again!
But that night was a surprise, when you told me “You’re not alone, you’ll be in my heart.” You also said, “Nothing’s gonna change my love for you.” I hope that was right and true. So I could keep the way to your love. If you’re with me then everything’s alright.
The best, that you’re coming home. Then we’re planning for the long live
And thanks for the gift you bring for me, to always keep this love in heart.

2016-01-03

Tanpa Judul, Tanpa Nama 5



“Apakah kau bodoh? Apa kau mengerti bagaimana berbahasa Indonesia? Bukankah aku sudah bilang kalau hari ini proyek kita jalan. Bagaimana bisa sampai detik ini kau belum jelaskan apa pun pada kontraktor?! Sampai ada kesalahan kerja seperti, apa saja yang kau lakukan, ha?” Teriak wanita berusia kepala empat itu memecah keheningan koridor hotel siang itu. Di sampingnya berdiri pria tua dan dua orang lagi yang lebih muda.
“Saya sudah jelaskan, Bu! Saat itu Pak Gustra pun berkata iya, mengerti. Lagi pula bukankah untuk hal itu di gambar sudah jelas.”terang Nana, yang termuda di antara semuanya.
“Tidak. Belum semua di jelaskan. Lagipula gambar yang saya terima baru sebagian.”bantah Pak Gustra membuat Nana tercengang.
“Kau bahkan belum kirim gambar?”

2015-12-22

Entah..



Ini bukan kisah tentang dia. Bukan soal gadis itu atau pemuda itu. 
Entah apa poin utama cacatan ini, aku pun tak tahu.
Entah. Beribu kali kata itu melulu kulantunkan, seperti robot yang terprogram. Kata yang sama.
Entah. Tumben kata ini hanya berupa tulisan. Tak terucap. Aku bahkan sepertinya lupa cara berbicara.
Lidahku rasanya tersengat, entah oleh apa. Suaraku mengecil sejak aku lupa bagaimana cara berbicara.
Entah. Setelah ini mungkin benar hilang. Sayangnya aku tak bisa hilang juga. Tetap menjadi robot yang baru ter-reset ulang, kembali kosong.
Mungkin sekarang bukan manusia atau robot. Bisa jadi boneka yang tergandeng kesana kemari dengan bibir melengkung senyum, tanpa tahu, apa yang sedang terjadi pada dunia. Bergerak pun seperti puppet. Entah. Tanpa ekspresi yang dapat berubah jelas. Tak bisa mendadak terbahak atau meraung karena sebuah topik.
Dapatkah berubah? Entah. Setidaknya, masih anak manusia. Sekali pun ia cacat, bisu atau pun tuli, setidaknya ada yang yang sanggup bercakap dengannya. Yang mengandung dan melahirkannya selalu bisa mendengarnya, bahkan tanpa bahasa. Hewan pun mengenal komunikasi.
Kalau pun tak di seluruh dunia, tak semua beruntung, namun aku bersyukur untuk berhenti berucap entah, saat seseorang bertanya hal apa yang paling kau benci? Karena aku akan menjawab “tentang wanitaku”.
Kenapa?

2015-12-16

Can't Stop Loving You



Irama dan suara khas Phil Collins memenuhi kamar kecil Alleira dengan lagunya Can’t Stop Loving You. Menemani dua botol kaca berisi lampu beras menyala-nyala di atas meja. Baginya itu adalah kunang-kunang peliharaannya. Dalam temaram lampu kunang-kunang itu Alleira menyisir rambutnya yang sudah menyentuh siku. Seperti penampakan di tengah malam, pandangannya tajam ke satu sudut namun kosong.
Bukan berarti ia aneh, ia hanya menikmati permainan cahaya warna-warni yang mengingatkannya pada lampu hias di halaman kantor gubernur. Lampu-lampu yang pernah sedikit meredakan ketidaknyamanannya. Ya, lagi-lagi tulisan ini tentang cahaya semacam itu, dan nyanyian Phil Collins masih terus terputar berulang. Seperti terputar ulangnya pita roll film hidup Alleira di pikiran gadis itu.
            Pertama kali dirinya menjauh, sedangkan yang kedua ia menatap kepergian orang itu. Memori itu dan suara Phil Collins seakan menyatu selayaknya drama beserta soundtracknya.