Malam begitu sunyi. Desiran
angin sangatlah dingin menerpa. Dedaunan, pohon-pohon,basah akan hujan yang
barusaja berhenti. Suasana semakin gelap di antara lengkingan sekelompok kelelawar.
Di antara keheningan sesaat,
terdengarlah secara tiba-tiba derap langkah kuda dari kejauhan.
Diamati dari riuhnya suara tersebut, jelas sudah ada banyak pasang kaki yang
berlari di tengah rimba itu.
Detik-detik telah berlalu,
menit pun berjalan.Suasana tetap tak berubah. Suara tak berupa itu pun lenyap perlahan
di antara guguran daun yang tertiup angin kencang.
@@@
“Hai!” sapa
Andrea, seorang gadis yang masih duduk di bangku SMU Kharist – sekolah bertaraf
internasional yang mayoritas bermuridkan para warga asing yang mulai menetap di
Indonesia. Gadis berambut ekor kuda itu pun langsung meletakkan tasnya di atas meja.
“Hai juga!” sahut Irene
dan Lilyan seraya menyingkirkan buku yang ada di mejanya.
“Buku apa itu? Covernya
aneh sekali.” tanya Andrea yang akrab disapa dengan nama Rea.
“Aku juga tak tahu. Kutemukan
itu di jalan.”Jawab Lilyan yang berwajah oriental itu.
“Svãňdiq Hëistrý” ucap Rea mengeja huruf yang tertulis pada cover
buku tersebut. Sebuah buku yang nampaknya sudang tua dan using, yang memiliki
ketebalan sekitar 600 halaman. Bahasa yang tertulis pun menggunakan bahasa
asing, yang dapat dipastikan bukan bahasa Inggris, Perancis, Jerman, atau
Belanda yang biasanya digunakan meski nampaknya terdapat kemiripan kata.
Intinya buku itu tak dapat dimengerti sama sekali dan tak masuk dalam bahasa
pikiran Rea.
“Caśeśa miȑecla gowan Ȍude ŕein” itulah kata yang tertulis dibawah judul.
Kata yang tercetak dengan font yang sangat kecil dan tipis.
“Apa kau tahu apa
artinya ini?” Tanya Irene pad area yang
Nampak memandangi tulisan itu dengan sangat serius.
“Liliyan yang jenius
dan mengenal banyak bahasa saja tak mengerti, apalagi aku!” jawab Rea santai.
“Hmm.. kenapa harus aku
yang dikaitkan?” sahut Lilyan
“Karena itu
kenyataannya.” Jawab Rea
“Aish.. Hmm..
ngomong-ngomong apa kau masih sering mendapatkan mimpi buruk itu?” sahut Lilyan
kemudian berganti topic. Andrea yang mendapat pertanyaan itu pun mendesah.
“Ya, mimpi itu masih
sering muncul. Dan selalu tanpa ujung, tak pernah memiliki akhir yang jelas.”
“Apa mimpi itu tak
pernah berubah ceritanya sedikit pun?” Tanya Irene
“Mm.. seingatku sempat
sekali berubah, aku mendengar bisikan. Tapi tak jelas berkata apa.”
“Kau tak ingat saam
sekali?”
“Yang aku ingat
sepertinya berbunyi Rhu Risen Reis. Tapi
tak jelas itu dari belanda,jerman atau inggris. Ya aku rasa senasib dengan
bahasa di buku ini.”
“Hmm.. kalau begitu aku
rasa perlu dicari tahu!” sahut Lilyan. Sejenak kemudian gadis dengan rambut
panjangnya yang tergerai hitam mengkilat itu pun beranjak bangun dari duduknya.
“Kau mau kemana, Lee?”
“Aku hanya pergi
sebentar.”sahut Lilyan sedikit terburu-buru.
@@@
Di dalam sebuah ruang
berdimensi 20m x 25m itulah Lilyan terhenti. Ruangan yang hampir dipenuhi
deretan rak buku dan meja baca yang tertata rapi. Plafonnya cukup tinggi, 5
meter dari permukaan lantai. Berdinding tebal dengan jendela berdaun ganda,
panel jalusi dan panel kaca.
Di tengah ruang bangsal
colonial itulah Lilyan menyusuri rak perpustakaan di bagian khusus kamus.
Membuka isi dari buku-buku tebal itu, mencari kepastian.
“Hm.. tak bisa disambungkan,
terlalu aneh!” gumamnya.
“Lee Yue Xi!” tegur
Irene yang diam-diam mengikuti Lilyan, diikuti Rea.
“Jangan katakan kau
sedang mencari arti kata dalam mimpiku!”ujar Rea.
“Mm.. kalau ya memang
kenapa? Aku hanya merasa pasti ada sesuatu di mimpi itu, ada maksud tertentu.”
Jelas Lilyan.
“That’s enough, jangan terlalu memikirkannya. Itu hanya mimpi.” Kata
Andrea Arista Holtz, sedikit menegaskan.
“Ah.. Allright then..”
@@@
Mereka pun kembali
berjalan menuju kelas. Melewati koridor taman pergola di tengah area sekolah. Mengisi
langkah demi langkah dengan banyak kata yang bias diobrolkan.
“Oh ya Re, How about your holidays? Kau sudah
melihat kota kelahiranmu? Apa Haywards Heath kota yang bagus?” Tanya Irene
Maylina Dhini, gadis asal Sunda yang sudah lama tinggal di kota Malang ini.
“Yeah, indeed, It’s wonderfull, so beautiful.”jawab Rea dengan wajah
yang kurang bersemangat. Ia nampak tak focus kali ini.
“You said it’s wonderfull, but your face looks so bad! Any sth wrong?”
tegur Lilyan
“Ah, tak ada apa2. I’m fine. Everythings okay.” sahut Rea
sedikit tersentak.
“Baguslah jika semua
baik2 saja, lalu ngomong2 apakah kau juga pergi ke stasiun Heath? Kudengar
disana sedikit horror.”
“Mm.. disana..” Rea
kembali tak konsentrasi pada kedua sahabatnya. Terlihat jelas pandangannya yang
sedang terlayang jauh pada sesuatu yang baru saja berlalu di hadapnya.
“Rea, hallo! Apa yang
kau lihat? Kami memintamu bercerita, bukan memandangi Zavis!” protes Irene.
“Ah, forgive me! Mm.. aku tak melihatnya..”
elak Rea sedikit salah tingkah.
“Don’t be lie! We’re not blind. Kita tahu apa yang kau lihat.” Sahut
Lilyan. Rea pun mendesah.
“I just.. I just look at..”
“Look
at..??”
“..
He looks strange, I think, there’s sth on his eyes.. mm.. just looks strange.”
“Do
you mean his eyes so attractive, so make you fall in love, so make you can’t be..?”
“It’s
not like that!” potong Rea cepat, menyela godaan
Lilyan. “Please, jangan bercanda saat
serius.” Lanjutnya menjadi badmood lalu berjalan cepat mendahului kedua temanya.
“What’s wrong with her?”
“Wo
bu zhi dao.”sahut Lilyan seraya mengedikan bahu.
@@@