2013-03-05

DIMENSIONS : 1. PIKIRAN KACAU ANDREA


Malam begitu sunyi. Desiran angin sangatlah dingin menerpa. Dedaunan, pohon-pohon,basah akan hujan yang barusaja berhenti. Suasana semakin gelap di antara lengkingan sekelompok kelelawar.
Di antara keheningan sesaat, terdengarlah secara tiba-tiba derap langkah kuda dari kejauhan. Diamati dari riuhnya suara tersebut, jelas sudah ada banyak pasang kaki yang berlari di tengah rimba itu.
Detik-detik telah berlalu, menit pun berjalan.Suasana tetap tak berubah. Suara tak berupa itu pun lenyap perlahan di antara guguran daun yang tertiup angin kencang.
@@@
“Hai!” sapa Andrea, seorang gadis yang masih duduk di bangku SMU Kharist – sekolah bertaraf internasional yang mayoritas bermuridkan para warga asing yang mulai menetap di Indonesia. Gadis berambut ekor kuda itu pun langsung meletakkan tasnya di atas meja.
“Hai juga!” sahut Irene dan Lilyan seraya menyingkirkan buku yang ada di mejanya.
“Buku apa itu? Covernya aneh sekali.” tanya Andrea yang akrab disapa dengan nama Rea.
“Aku juga tak tahu. Kutemukan itu di jalan.”Jawab Lilyan yang berwajah oriental itu.
Svãňdiq Hëistrý” ucap Rea mengeja huruf yang tertulis pada cover buku tersebut. Sebuah buku yang nampaknya sudang tua dan using, yang memiliki ketebalan sekitar 600 halaman. Bahasa yang tertulis pun menggunakan bahasa asing, yang dapat dipastikan bukan bahasa Inggris, Perancis, Jerman, atau Belanda yang biasanya digunakan meski nampaknya terdapat kemiripan kata. Intinya buku itu tak dapat dimengerti sama sekali dan tak masuk dalam bahasa pikiran Rea.
Caśeśa miȑecla gowan Ȍude ŕein” itulah kata yang tertulis dibawah judul. Kata yang tercetak dengan font yang sangat kecil dan tipis.
“Apa kau tahu apa artinya ini?” Tanya Irene  pad area yang Nampak memandangi tulisan itu dengan sangat serius.
“Liliyan yang jenius dan mengenal banyak bahasa saja tak mengerti, apalagi aku!” jawab Rea santai.
“Hmm.. kenapa harus aku yang dikaitkan?” sahut Lilyan
“Karena itu kenyataannya.” Jawab Rea
“Aish.. Hmm.. ngomong-ngomong apa kau masih sering mendapatkan mimpi buruk itu?” sahut Lilyan kemudian berganti topic. Andrea yang mendapat pertanyaan itu pun mendesah.
“Ya, mimpi itu masih sering muncul. Dan selalu tanpa ujung, tak pernah memiliki akhir yang jelas.”
“Apa mimpi itu tak pernah berubah ceritanya sedikit pun?” Tanya Irene
“Mm.. seingatku sempat sekali berubah, aku mendengar bisikan. Tapi tak jelas berkata apa.”
“Kau tak ingat saam sekali?”
“Yang aku ingat sepertinya berbunyi Rhu Risen Reis. Tapi tak jelas itu dari belanda,jerman atau inggris. Ya aku rasa senasib dengan bahasa di buku ini.”
“Hmm.. kalau begitu aku rasa perlu dicari tahu!” sahut Lilyan. Sejenak kemudian gadis dengan rambut panjangnya yang tergerai hitam mengkilat itu pun beranjak bangun dari duduknya.
“Kau mau kemana, Lee?”
“Aku hanya pergi sebentar.”sahut Lilyan sedikit terburu-buru.
@@@

Di dalam sebuah ruang berdimensi 20m x 25m itulah Lilyan terhenti. Ruangan yang hampir dipenuhi deretan rak buku dan meja baca yang tertata rapi. Plafonnya cukup tinggi, 5 meter dari permukaan lantai. Berdinding tebal dengan jendela berdaun ganda, panel jalusi dan panel kaca.
Di tengah ruang bangsal colonial itulah Lilyan menyusuri rak perpustakaan di bagian khusus kamus. Membuka isi dari buku-buku tebal itu, mencari kepastian.
“Hm.. tak bisa disambungkan, terlalu aneh!” gumamnya.
“Lee Yue Xi!” tegur Irene yang diam-diam mengikuti Lilyan, diikuti Rea.
“Jangan katakan kau sedang mencari arti kata dalam mimpiku!”ujar Rea.
“Mm.. kalau ya memang kenapa? Aku hanya merasa pasti ada sesuatu di mimpi itu, ada maksud tertentu.” Jelas Lilyan.
That’s enough, jangan terlalu memikirkannya. Itu hanya mimpi.” Kata Andrea Arista Holtz, sedikit menegaskan.
“Ah.. Allright then..”
@@@
Mereka pun kembali berjalan menuju kelas. Melewati koridor taman pergola di tengah area sekolah. Mengisi langkah demi langkah dengan banyak kata yang bias diobrolkan.
“Oh ya Re, How about your holidays? Kau sudah melihat kota kelahiranmu? Apa Haywards Heath kota yang bagus?” Tanya Irene Maylina Dhini, gadis asal Sunda yang sudah lama tinggal di kota Malang ini.
Yeah, indeed, It’s wonderfull, so beautiful.”jawab Rea dengan wajah yang kurang bersemangat. Ia nampak tak focus kali ini.
You said it’s wonderfull, but your face looks so bad! Any sth wrong?” tegur Lilyan
“Ah, tak ada apa2. I’m fine. Everythings okay.” sahut Rea sedikit tersentak.
“Baguslah jika semua baik2 saja, lalu ngomong2 apakah kau juga pergi ke stasiun Heath? Kudengar disana sedikit horror.”
“Mm.. disana..” Rea kembali tak konsentrasi pada kedua sahabatnya. Terlihat jelas pandangannya yang sedang terlayang jauh pada sesuatu yang baru saja berlalu di hadapnya.
“Rea, hallo! Apa yang kau lihat? Kami memintamu bercerita, bukan memandangi Zavis!” protes Irene.
“Ah, forgive me! Mm.. aku tak melihatnya..” elak Rea sedikit salah tingkah.
Don’t be lie! We’re not blind. Kita tahu apa yang kau lihat.” Sahut Lilyan. Rea pun mendesah.
I just.. I just look at..”
“Look at..??”
“.. He looks strange, I think, there’s sth on his eyes.. mm.. just looks strange.”
“Do you mean his eyes so attractive, so make you fall in love, so make you can’t be..?”
“It’s not like that!” potong Rea cepat, menyela godaan Lilyan. “Please, jangan bercanda saat serius.” Lanjutnya menjadi badmood lalu berjalan cepat mendahului kedua temanya.
What’s wrong with her?”
“Wo bu zhi dao.”sahut Lilyan seraya mengedikan bahu.
@@@

No comments:

Post a Comment