7 Oktober 2019.
Pagi telah tiba. Tampak Andrea yang tengah sibuk bersiap ke SMUnya. Kaca
jendela masih basah oleh hujan yang barusaja mereda. Hari tak terlihat cerah
seperti biasanya. Musim hujan kini mulai berkuasa kembali setelah beberapa
tahun ini jarang datang. Termasuk menguasai pikiran Rea yang selalu saja gelisah
akan mimpi-mimpinya yang tiada henti mendatanginya dengan gambaran aneh.
“Andre,
Sarapannya sudah siap. Kakakmu sudah menunggu di bawah, jadi lekaslah.”sapa
Ny.Ema Holtz, ibu Rea.
“Baik, aku akan
turun sebentar lagi.”jawab Rea lirih
seraya membereskan alat riasnya.
“Apa kau baik2
saja?”
“Ya. Kenapa ibu
tiba2 tanya seperti itu?” balas Rea
“Ah, tak apa,
hanya saja ibu lihat kau kurang bersemangat akhir2 ini.”
“Sudahlah, ibu
tenang saja. Jangan khawatirkan aku. Aku hanya sedikit lelah karena tugas
sekolah. Itu saja.”
“Kau yakin?”
“Yes, I’m”
“Ya sudahlah kalau begitu.” Jawab
ibunya lantas meninggalkan Rea.
Rea kembali termenung. Terduduk dan
tersandar pada kursinya di depan meja rias. Ia pun mencoba menenangkan diri.
Ditutupnya kedua kelopak matanya. Terpejam di antara nuansa putih syfon
kamarnya.
“Braakk!” Tiba2 daun pintu jendela
terbuka keras disusul angin cukup kencang meniup vitrage jendela kamar yang setengah terbuka.
Gadis itu tetap berusaha untuk
tetap tenang. Menutup kembali daun jendela lalu mengambil tasnya dan bergegas
ke ruang makan setelah mengunci pintu kamar mezaninnya.
Beberapa detik setelah Rea tinggalkan kamarnya, daun
jendela pun terka kembali secara perlahan, diiringi tiupan angin berbisik yang
menggoyangkan lagi vitrage dan curtain di hadapnya.
“Őude meirran zawñ”
@@@
“Pagi!” sapa Rea pada kakak
laki-lakinya seraya duduk di hadapan kakaknya.
“Apa saja yang kau lakukan? Apa kau
tak bisa lebih cepat sedikit?”sahut Andra, kakak Rea tsb.
“Kenapa kau tanya seperti itu?
Seolah itu adalah kesalahan besar.”
“Itu memang kesalahan, aku bias
terlambat hanya karena menunggumu, si turtle.”
“Bukankah aku sudah berkali-kali
berkata aku bukan turtle!” protes Rea.
“Hei sudah!Ibu tak ingin ada
perdebatan lagi di tiap pagi!”sela Ny.Ema memotong.
“Turtle!”bisik Andra tetap menggoda
adiknya. Rea hanya mendengus kesal.
Mereka pun akhirnya menikmati sarapan
bertiga. Ya, hanya bertiga, tanpa seorang ayah. Tn Edward Holtz, ayah Andre dan
Andra telah meninggal sejak Rea berusia 10 th, di tahun kelima dimana mereka
menempati rumah di Indonesia.
@@@
Andra Zachary
Holtz tengah sibuk mengemudikan mobilnya melintasi jalanan menuju kampusnya
seusai mengantarkan Andrea ke sekolahnya. Di sisi lain Andrea sendiri kini
sudah memasuki gerbang Kharist. Melewati pedestrian di tepi lapangan taman
rumput luas dengan beberapa perdunya. Terus berjalan ke Utara hingga ia
memasuki gerbang kedua, di saat sebuah sepeda motor Tiger hampir
menyerempetnya.
Dilewati juga
lapangan parkir dimana ia melihat sosok sepeda yang membuatnya kesal, terutama
pemiliknya, seorang pemuda berjaket kulit coklat tua yang detik itu tengah
berjalan. Jelas sekali tatapan tajam diantara keduanya. Andrea tajam oleh rasa
kesal, pemuda itu tajam penuh ketidakpedulian. Gadis itu pun segera mengalihkan
pandangannya saat menyadarinya.
“Ni hao ma!” sapa Lilyan yang tiba-tiba
muncul di belakang Rea.
“Ni hao.”sahut Rea singkat.
“Pasti kau
sedang melamun!”
“Ah, tidak” elak
Rea
“Hm..
terserahlah jika kau tak mau mengaku.” Sahut Lee, ”Hei, bukankah itu Zavis?Sejak
kapan ia naik motor? Kupikir si Brown
Jacket itu takkan pernah meninggalkan Aventadornya.”
Tambah Lee seraya menyisir poninya dengan jari.
@@@
Dari gerbang 2
mereka menikung ke kanan dan menuruni tangga teras kelas 3 Ilmu Sosial lalu
langsung ke kiri menuju kelas sastra Inggris.
Good morning
everyone!” sapa Miss Vina, guru sastra tsb saat masuk kelas hendak memulai
pelajaran.
“Good morning!”
balas seluruhnya termasuk Rea yang tengah memainkan dan memutar-putar
bolpoinnya di sela-sela jemarinya.
Masing-masing
dari mereka pun mengeluarkan Hi-Lapcomp ataupun I-pad dan semacamnya untuk mendapat
transfer materi dari ms Vina.
Rea pun langsung
memusatkan perhatian ke arah Hi-lapcompnya. Membuka materi. Namun sesaat perhatiannya
terpecah pada icon kecil disudut kanan atas yang berkedip, tanda saat seseorang
mengirim pesan untuk chatting atau email.
“(I-Prince):Hai, Apa ada masalah? Kau nampak gelisah
hari ini.”
Setelah membaca
pesan itu Rea pun menoleh ke deret 4 di kirinya, tepatnya di baris paling
belakang. Rea sendiri yang saat itu ada di baris 3 deret 3 itu pun melihat
sosok pemuda berkulit putih yang tampan yang kemudian melempar senyum padanya.
Andrea pun membalasnya dengan senyum simpul yang sedikit dipaksakan. Lalu gadis
itu kembali pada materi kelas.
“(I-Prince):Tak ingin menjawab pertanyaanku?”
Rea kembali
menghela napas dan mulai mengetikkan beberapa kata.
“(A-Holtz):I’m fine. Sepertinya lbh baik jk kita
kembali ke materi.”
“(I-Prince):begitukah?”
“(A-Holtz):I don’t wanna see her being angry”
“(I-Prince):I think won’t. Selama she doesn’t
know.”
“(A-Holtz):Sudahlah Sam, jgn skrg, kita sudah
terlalu sering seperti ini.
“(I-Prince):Allright then. Oh ya, You looks
more beautiful when you’re smiling”
@@@
Keesokan harinya.
Saat bel istirahat bordering. Hampir seluruh siswa berhambur keluar kelas.
Begitu pula Rea, Irene dan Lilyan. Mereka segera menuju tempat favorit mereka
di kantin.
Tampak
tergesa-gesa Lilyan membuka tasnya dan mengambil sesuatu, lantas meletakkan
benda itu di atas meja seluas 1 m2 itu.
“Kau kenapa
Lee?” Tanya Irene seraya mulai meminum orange
squashnya
“Ada hal penting
yang ingin kuceritakan.” Ujar Lee sambil membuka buku yang baru diambilnya.
“Bukankah itu
buku yang kemarin?”sahut Rea
“Ya, aku baru
menemukan sesuatu..”kata Lilyan terputus oleh kedatangan Isam.
“Hai
semuanya.”sapa Isam
“Hai Sam.”
“Re, aku ingin
bicara denganmu, sebentar saja.”
“Tentang apa?”
“Ikutlah
denganku.”pinta Itsamuel Mahatma, pemuda asal Sunda-Manado.
@@@
“Apa ada hal
penting, Sam?” Tanya Rea sedikit enggan untuk bicara dengan Isam. Isam pun
menyandar pada tiang penyamgga jaring kawat pembatas di samping lapangan
basket.
“Ntahlah, ini
penting atau tidak bagimu. Aku hanya merasa sedikit terganggu.”
“Apa itu?”sahut
Rea sedikit tak acuh.
“Semalam aku bermimpi..”
“Semua orang
yang tidur pasti akan bermimpi semalam.”
“Masalahnya aku
memimpikanmu semalam.”
“Aku?!”sahut Rea
heran
“Disitu kau
terlihat berbeda. Kulihat kau memakai gaun putih dengan rambut tergerai dan berponi. Sebuah penampilan
yang tak pernah kulihat sebelumnya..”
“Lalu?” sahut
Rea mulai tak menggubris.
“..saat itu kau
tengah terkapar lemah..”
“Apa? Terkapar?”
Rea pun menjadi tersentak mendengarnya.
“..dan kau
katakana sebuah kata padaku.. dan masalahnya aku lupa..kata apa itu, aku tak
bias mendengarnya dengan jelas, suara itu terlalu lirih.”
“Kau tak ingat
sama sekali?!”
“Ntahlah, namun
sepertinya semacam kata ‘plaeis’ ya, seperti itu!”
“Ah, kau ini
ada2 saja, bukankah itu berarti aku meminta tolong padamu saat aku sekarat di
mimpi itu?” ujar Rea kemudian, meyakinkan dirinya itu bukan hal penting
meskipun ia sedikit cemas.
“Ya..mungkin..Ah,
ntahlah.. Seperti yang kukatakan tadi, terserah padamu menganggap ini penting
atau tidak.”
“Ah, ya sudah
kalau begitu. Janagn terlalu serius memikirkan bunga tidur!” ujar Rea kemudian
pergi meninggalkan Isam yang masih terdiam dalam kebingungannya.
“Okey..”sahut
Isam tanpa ada orang lain yang mendengar, kemudian berbalik badan dan pergi
melintasi pagar jarring kawat pembatas lapangan basket outdoor.
@@@
Rea berjalan
melintasi koridor ke arah kantin. Dalam langkahnya ia kembali teringat akan
kata-kata dalam mimpinya kemarin yang hingga saat ini semuanya tak diketahui
juga maksudnya. Di tengah lamunannya itu ia segera tersadar. Ia berusaha untuk
melupakan hal itu dan teringat pada Lilyan. Dengan segera di percepatlah
langkah kakinya.
Di saat ia
terburu-buru, tiba-tiba ia kembali melambat tanpa kesadaran penuh,
memperhatikan sosok Zavis Arya Mighellan yang tengah berjalan bersama
sahabatnya Edwin, Zave, pemuda itu, yang sempat melirik sinis padanya. Gadis
itu pun memicingkan mata dengan heran dan turut terus menatapnya. Ia Rea pun
tak sadar sebuah tiang besi menjulang tinggi dihadapnya. Ia pun menabraknya.
“Shit!” gerutu
Rea kesal ditambah dengan ketidaksukaannya pada senyum ledekan dari Zave.
@@@
“Ada apa?” Tanya
Irene yang paham dengan ekspresi Rea.
“Apa Isam
membuatmu kesal?” tambah Lee.
“Bukan
tentangnya, tapi tiang besi di tikungan koridor dan American itu.”
“Zave? Atau Bryan?”
sahut Irene
“Siapa lagi
orang yang paling menyebalkan di sekolah ini. Tentu saja itu Zave.”
“Memang ada apa
kau dengannya?”
“Ntahlah, aku
juga tak tahu. Dia selalu menatapku dengan aneh dan sinis. Seperti itulah tadi
yang ia lakukan, membuatku heran dan membalasnya dengan tatapan tajam, dan
tiba-tiba tiang besi itu memukul kepalaku.” Jelas Rea membuat Irene hampir
tertawa karena membayangkannya.”I hope
nobody laugh for me!” susul Rea cepat.
“Ok, well. Kita
kembali saja ke topic awal kita sebelum ada pria-pria pengacau itu datang. Ini,
Aku telah menemukan kata-kata yang kedengarannya mirip dengan kata-kata dalam
mimpimu.” Sahut Lilyan seraya menyodorkan buku yang sudah mereka ketahui.
“Apa kau yakin?”
“Ntahlah, aku
hanya merasa itu cukup membuatku tertarik untuk meyakininya.”
“ ̿Rein ȑaeise
ẽn cyvo ́breivę kheyr dathӑ ̲riesein ̿Aesthӑ
̲Julie.”
“Then, how about
‘Rhu’?”
“Masalahnya
disini jarang ditemukan. Pernah ada di kata-kata kutipan, mm.. sepertinya ini
buku cerita, di beberapa percakapan disini tertulis Routh, R-O-U-T-H mungkin
bisa saja itu dibaca rhu, yang ada kata rha.”
“Begitukah?”
“Aku juga tak
tahu, aku hanya merasa buku ini menarik. Sepertinya menceritakan suatu hal atau
peristiwa yang mendebarkan, Ada beberapa nama tokoh rupanya, namun aku juga tak
tahu pasti, Yang paling sering keluar adalah tokoh bernama Lortfa Hera, Lortfa
Ariestha dan beberapa Agaёsha. Nampaknya Agaёsha atau Lortfa adalah nama marga
atau sapaan.”terang Lilyan
“Ah, Lee, tak
perlulah kau ceritakan itu. Kau bahkan tak tahu pasti, bagaimana jika itu juga
kata dengan arti tertentu. Masalahnya sudah jelas, kenalanmu yang ahli bahasa
asing saja tak tahu.” Sahut Irene.
“Sudahlah
teman-teman, lupakan hal tak penting itu. My dreams’re just nothing.”
“But..”sahut Lee
“I wanna forget
it!” potong Rea cepat.
@@@
Seusai kegiatan
sekolahnya berakhir, Rea langsung berjalan menuju gerbang untuk menunggu taksi.
Baru tiba di depan pos penjaga lapangan
parkir di dekat gerbang dalam, seorang pemuda yang sudah lima tahun tinggal di
Sidney itu tiba-tiba menghentikan Rea.
“Hai ,Re!”
serunya menyapa Rea dari dalam red ferrarynya. Gadis itu pun menoleh dan
mengrenyit merapatkan alis.
“Hai,.”balasnya
singkat.
“Mau pulang?”
“Indeed.”
“Sekalian pulang
denganku?”
“Ah, no, thanks.
Tak perlu repot-repot untuk pulang memutari kota hanya untuk mengantarku lebih
dulu.”
“Ah, no! It’s no
prob. Kebetulan aku akan ke rumah temanku, jalannya searah denganmu. So, come
on! I won’t kill you.”
“Allright then.”
jawab Rea kemudian.
“Nah, begitu kan
lebih baik. Setidaknya kau bisa menghemat uang taksi.” Sahut Isam setelah
itu,dan Rea hanya tersenyum. Mobil pun
kembali di jalankan.
Rea mengalihkan
pandanganya keluar jendela. Tampaklah Zavis yang tengah berdiri disamping
motornya di kejauhan, menatap tajam pada gadis itu, yang kemudian segera
berlalu saat mobil Isam benar-benar meluncur meninggalkan area sekolah.
@@@
Tanpa terasa
Andrea telah tiba di depan rumahnya setelah sekitar 10 menit melakukan
perjalanan.
“Thanks ,Sam!”
“That’s okay.”
“Oh ya, aku
minta maaf jika mungkin ada kata-kataku yang kurang baik saat istirahat tadi.”
“Ah, never mind.
Yang terpenting adalah kau selalu baik-baik saja.” Jawab Isam. Rea pun
mengangguk, lantas keluar dari mobil.
“Terimakasih sekali
lagi.” Ucapnya
“Ok. Kalau
begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa besok!”
“Ok, see you!”balas
Rea.
@@@
No comments:
Post a Comment