2013-03-05

DIMENSIONS: 2.HARI – HARI DI SEKOLAH


7 Oktober 2019. Pagi telah tiba. Tampak Andrea yang tengah sibuk bersiap ke SMUnya. Kaca jendela masih basah oleh hujan yang barusaja mereda. Hari tak terlihat cerah seperti biasanya. Musim hujan kini mulai berkuasa kembali setelah beberapa tahun ini jarang datang. Termasuk menguasai pikiran Rea yang selalu saja gelisah akan mimpi-mimpinya yang tiada henti mendatanginya dengan gambaran aneh.

            “Andre, Sarapannya sudah siap. Kakakmu sudah menunggu di bawah, jadi lekaslah.”sapa Ny.Ema Holtz, ibu Rea.
“Baik, aku akan turun sebentar lagi.”jawab Rea lirih  seraya membereskan alat riasnya.
“Apa kau baik2 saja?”
“Ya. Kenapa ibu tiba2 tanya seperti itu?”  balas Rea
“Ah, tak apa, hanya saja ibu lihat kau kurang bersemangat akhir2 ini.”
“Sudahlah, ibu tenang saja. Jangan khawatirkan aku. Aku hanya sedikit lelah karena tugas sekolah. Itu saja.”
“Kau yakin?”
Yes, I’m
“Ya sudahlah kalau begitu.” Jawab ibunya lantas meninggalkan Rea.
Rea kembali termenung. Terduduk dan tersandar pada kursinya di depan meja rias. Ia pun mencoba menenangkan diri. Ditutupnya kedua kelopak matanya. Terpejam di antara nuansa putih syfon kamarnya.
“Braakk!” Tiba2 daun pintu jendela terbuka keras disusul angin cukup kencang meniup vitrage jendela kamar yang setengah terbuka.
Gadis itu tetap berusaha untuk tetap tenang. Menutup kembali daun jendela lalu mengambil tasnya dan bergegas ke ruang makan setelah mengunci pintu kamar mezaninnya.
Beberapa detik setelah Rea tinggalkan kamarnya, daun jendela pun terka kembali secara perlahan, diiringi tiupan angin berbisik yang menggoyangkan lagi vitrage dan curtain di hadapnya.
            Őude meirran zawñ
@@@
“Pagi!” sapa Rea pada kakak laki-lakinya seraya duduk di hadapan kakaknya.
“Apa saja yang kau lakukan? Apa kau tak bisa lebih cepat sedikit?”sahut Andra, kakak Rea tsb.
“Kenapa kau tanya seperti itu? Seolah itu adalah kesalahan besar.”
“Itu memang kesalahan, aku bias terlambat hanya karena menunggumu, si turtle.”
“Bukankah aku sudah berkali-kali berkata aku bukan turtle!” protes Rea.
“Hei sudah!Ibu tak ingin ada perdebatan lagi di tiap pagi!”sela Ny.Ema memotong.
“Turtle!”bisik Andra tetap menggoda adiknya.  Rea hanya mendengus kesal.
Mereka pun akhirnya menikmati sarapan bertiga. Ya, hanya bertiga, tanpa seorang ayah. Tn Edward Holtz, ayah Andre dan Andra telah meninggal sejak Rea berusia 10 th, di tahun kelima dimana mereka menempati rumah di Indonesia.
@@@
Andra Zachary Holtz tengah sibuk mengemudikan mobilnya melintasi jalanan menuju kampusnya seusai mengantarkan Andrea ke sekolahnya. Di sisi lain Andrea sendiri kini sudah memasuki gerbang Kharist. Melewati pedestrian di tepi lapangan taman rumput luas dengan beberapa perdunya. Terus berjalan ke Utara hingga ia memasuki gerbang kedua, di saat sebuah sepeda motor Tiger hampir menyerempetnya.
Dilewati juga lapangan parkir dimana ia melihat sosok sepeda yang membuatnya kesal, terutama pemiliknya, seorang pemuda berjaket kulit coklat tua yang detik itu tengah berjalan. Jelas sekali tatapan tajam diantara keduanya. Andrea tajam oleh rasa kesal, pemuda itu tajam penuh ketidakpedulian. Gadis itu pun segera mengalihkan pandangannya saat menyadarinya.
Ni hao ma!” sapa Lilyan yang tiba-tiba muncul di belakang Rea.
Ni hao.”sahut Rea singkat.
“Pasti kau sedang melamun!”
“Ah, tidak” elak Rea
“Hm.. terserahlah jika kau tak mau mengaku.” Sahut Lee, ”Hei, bukankah itu Zavis?Sejak kapan ia naik motor? Kupikir si Brown Jacket itu takkan pernah meninggalkan Aventadornya.” Tambah Lee seraya menyisir poninya dengan jari.
@@@
Dari gerbang 2 mereka menikung ke kanan dan menuruni tangga teras kelas 3 Ilmu Sosial lalu langsung ke kiri menuju kelas sastra Inggris.
Good morning everyone!” sapa Miss Vina, guru sastra tsb saat masuk kelas hendak memulai pelajaran.
“Good morning!” balas seluruhnya termasuk Rea yang tengah memainkan dan memutar-putar bolpoinnya di sela-sela jemarinya.
Masing-masing dari mereka pun mengeluarkan Hi-Lapcomp ataupun I-pad dan semacamnya untuk mendapat transfer materi dari ms Vina.
Rea pun langsung memusatkan perhatian ke arah Hi-lapcompnya. Membuka materi. Namun sesaat perhatiannya terpecah pada icon kecil disudut kanan atas yang berkedip, tanda saat seseorang mengirim pesan untuk chatting atau email.
“(I-Prince):Hai, Apa ada masalah? Kau nampak gelisah hari ini.”
Setelah membaca pesan itu Rea pun menoleh ke deret 4 di kirinya, tepatnya di baris paling belakang. Rea sendiri yang saat itu ada di baris 3 deret 3 itu pun melihat sosok pemuda berkulit putih yang tampan yang kemudian melempar senyum padanya. Andrea pun membalasnya dengan senyum simpul yang sedikit dipaksakan. Lalu gadis itu kembali pada materi kelas.
“(I-Prince):Tak ingin menjawab pertanyaanku?”
Rea kembali menghela napas dan mulai mengetikkan beberapa kata.
“(A-Holtz):I’m fine. Sepertinya lbh baik jk kita kembali ke materi.”
“(I-Prince):begitukah?”
“(A-Holtz):I don’t wanna see her being angry”
“(I-Prince):I think won’t. Selama she doesn’t know.”
“(A-Holtz):Sudahlah Sam, jgn skrg, kita sudah terlalu sering seperti ini.
 “(I-Prince):Allright then. Oh ya, You looks more beautiful when you’re smiling”
@@@
Keesokan harinya. Saat bel istirahat bordering. Hampir seluruh siswa berhambur keluar kelas. Begitu pula Rea, Irene dan Lilyan. Mereka segera menuju tempat favorit mereka di kantin.
Tampak tergesa-gesa Lilyan membuka tasnya dan mengambil sesuatu, lantas meletakkan benda itu di atas meja seluas 1 m2 itu.
“Kau kenapa Lee?” Tanya Irene seraya mulai meminum orange squashnya
“Ada hal penting yang ingin kuceritakan.” Ujar Lee sambil membuka buku yang baru diambilnya.
“Bukankah itu buku yang kemarin?”sahut Rea
“Ya, aku baru menemukan sesuatu..”kata Lilyan terputus oleh kedatangan Isam.
“Hai semuanya.”sapa Isam
“Hai Sam.”
“Re, aku ingin bicara denganmu, sebentar saja.”
“Tentang apa?”
“Ikutlah denganku.”pinta Itsamuel Mahatma, pemuda asal Sunda-Manado.
@@@
“Apa ada hal penting, Sam?” Tanya Rea sedikit enggan untuk bicara dengan Isam. Isam pun menyandar pada tiang penyamgga jaring kawat pembatas di samping lapangan basket.
“Ntahlah, ini penting atau tidak bagimu. Aku hanya merasa sedikit terganggu.”
“Apa itu?”sahut Rea sedikit tak acuh.
“Semalam aku bermimpi..”
“Semua orang yang tidur pasti akan bermimpi semalam.”
“Masalahnya aku memimpikanmu semalam.”
“Aku?!”sahut Rea heran
“Disitu kau terlihat berbeda. Kulihat kau memakai gaun putih dengan  rambut tergerai dan berponi. Sebuah penampilan yang tak pernah kulihat sebelumnya..”
“Lalu?” sahut Rea mulai tak menggubris.
“..saat itu kau tengah terkapar lemah..”
“Apa? Terkapar?” Rea pun menjadi tersentak mendengarnya.
“..dan kau katakana sebuah kata padaku.. dan masalahnya aku lupa..kata apa itu, aku tak bias mendengarnya dengan jelas, suara itu terlalu lirih.”
“Kau tak ingat sama sekali?!”
“Ntahlah, namun sepertinya  semacam kata ‘plaeis’ ya, seperti itu!”
“Ah, kau ini ada2 saja, bukankah itu berarti aku meminta tolong padamu saat aku sekarat di mimpi itu?” ujar Rea kemudian, meyakinkan dirinya itu bukan hal penting meskipun ia sedikit cemas.
“Ya..mungkin..Ah, ntahlah.. Seperti yang kukatakan tadi, terserah padamu menganggap ini penting atau tidak.”
“Ah, ya sudah kalau begitu. Janagn terlalu serius memikirkan bunga tidur!” ujar Rea kemudian pergi meninggalkan Isam yang masih terdiam dalam kebingungannya.
“Okey..”sahut Isam tanpa ada orang lain yang mendengar, kemudian berbalik badan dan pergi melintasi pagar jarring kawat pembatas lapangan basket outdoor.
@@@
Rea berjalan melintasi koridor ke arah kantin. Dalam langkahnya ia kembali teringat akan kata-kata dalam mimpinya kemarin yang hingga saat ini semuanya tak diketahui juga maksudnya. Di tengah lamunannya itu ia segera tersadar. Ia berusaha untuk melupakan hal itu dan teringat pada Lilyan. Dengan segera di percepatlah langkah kakinya.
Di saat ia terburu-buru, tiba-tiba ia kembali melambat tanpa kesadaran penuh, memperhatikan sosok Zavis Arya Mighellan yang tengah berjalan bersama sahabatnya Edwin, Zave, pemuda itu, yang sempat melirik sinis padanya. Gadis itu pun memicingkan mata dengan heran dan turut terus menatapnya. Ia Rea pun tak sadar sebuah tiang besi menjulang tinggi dihadapnya. Ia pun menabraknya.
“Shit!” gerutu Rea kesal ditambah dengan ketidaksukaannya pada senyum ledekan dari Zave.
@@@
“Ada apa?” Tanya Irene yang paham dengan ekspresi Rea.
“Apa Isam membuatmu kesal?” tambah Lee.
“Bukan tentangnya, tapi tiang besi di tikungan koridor dan American itu.”
“Zave? Atau Bryan?” sahut Irene
“Siapa lagi orang yang paling menyebalkan di sekolah ini. Tentu saja itu Zave.”
“Memang ada apa kau dengannya?”
“Ntahlah, aku juga tak tahu. Dia selalu menatapku dengan aneh dan sinis. Seperti itulah tadi yang ia lakukan, membuatku heran dan membalasnya dengan tatapan tajam, dan tiba-tiba tiang besi itu memukul kepalaku.” Jelas Rea membuat Irene hampir tertawa karena membayangkannya.”I hope nobody laugh for me!” susul Rea cepat.
“Ok, well. Kita kembali saja ke topic awal kita sebelum ada pria-pria pengacau itu datang. Ini, Aku telah menemukan kata-kata yang kedengarannya mirip dengan kata-kata dalam mimpimu.” Sahut Lilyan seraya menyodorkan buku yang sudah mereka ketahui.
“Apa kau yakin?”
“Ntahlah, aku hanya merasa itu cukup membuatku tertarik untuk meyakininya.”
  ̿Rein ȑaeise ẽn cyvo ́breivę kheyr dathӑ  ̲riesein ̿Aesthӑ  ̲Julie.”
“Then, how about ‘Rhu’?”
“Masalahnya disini jarang ditemukan. Pernah ada di kata-kata kutipan, mm.. sepertinya ini buku cerita, di beberapa percakapan disini tertulis Routh, R-O-U-T-H mungkin bisa saja itu dibaca rhu, yang ada kata rha.”
“Begitukah?”
“Aku juga tak tahu, aku hanya merasa buku ini menarik. Sepertinya menceritakan suatu hal atau peristiwa yang mendebarkan, Ada beberapa nama tokoh rupanya, namun aku juga tak tahu pasti, Yang paling sering keluar adalah tokoh bernama Lortfa Hera, Lortfa Ariestha dan beberapa Agaёsha. Nampaknya Agaёsha atau Lortfa adalah nama marga atau sapaan.”terang Lilyan
“Ah, Lee, tak perlulah kau ceritakan itu. Kau bahkan tak tahu pasti, bagaimana jika itu juga kata dengan arti tertentu. Masalahnya sudah jelas, kenalanmu yang ahli bahasa asing saja tak tahu.” Sahut Irene.
“Sudahlah teman-teman, lupakan hal tak penting itu. My dreams’re just nothing.”
“But..”sahut Lee
“I wanna forget it!” potong Rea cepat.
@@@
Seusai kegiatan sekolahnya berakhir, Rea langsung berjalan menuju gerbang untuk menunggu taksi.  Baru tiba di depan pos penjaga lapangan parkir di dekat gerbang dalam, seorang pemuda yang sudah lima tahun tinggal di Sidney itu tiba-tiba menghentikan Rea.
“Hai ,Re!” serunya menyapa Rea dari dalam red ferrarynya. Gadis itu pun menoleh dan mengrenyit merapatkan alis.
“Hai,.”balasnya singkat.
“Mau pulang?”
“Indeed.”
“Sekalian pulang denganku?”
“Ah, no, thanks. Tak perlu repot-repot untuk pulang memutari kota hanya untuk mengantarku lebih dulu.”
“Ah, no! It’s no prob. Kebetulan aku akan ke rumah temanku, jalannya searah denganmu. So, come on! I won’t kill you.”
“Allright then.” jawab Rea kemudian.
“Nah, begitu kan lebih baik. Setidaknya kau bisa menghemat uang taksi.” Sahut Isam setelah itu,dan  Rea hanya tersenyum. Mobil pun kembali di jalankan.
Rea mengalihkan pandanganya keluar jendela. Tampaklah Zavis yang tengah berdiri disamping motornya di kejauhan, menatap tajam pada gadis itu, yang kemudian segera berlalu saat mobil Isam benar-benar meluncur meninggalkan area sekolah.
@@@
Tanpa terasa Andrea telah tiba di depan rumahnya setelah sekitar 10 menit melakukan perjalanan.
“Thanks ,Sam!”
“That’s okay.”
“Oh ya, aku minta maaf jika mungkin ada kata-kataku yang kurang baik saat istirahat tadi.”
“Ah, never mind. Yang terpenting adalah kau selalu baik-baik saja.” Jawab Isam. Rea pun mengangguk, lantas keluar dari mobil.
“Terimakasih sekali lagi.” Ucapnya
“Ok. Kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa besok!”
“Ok, see you!”balas Rea.
@@@

No comments:

Post a Comment