Ada From Bandung With Love, ada pula From Paris With
Love, Bagaimana dengan From Eindhoven With Love?
“Kalau aku berkata jangan
diterima, apakah kau akan menurutinya?”
“Ha?”Riendra
tercengang mendapat komentar seperti itu.
“Kalau
aku berkata aku tak suka melihat kau dan Rei menjalin hubungan, apakah kau akan
menolaknya?”
“Mm..apa
maksudmu? Aku tak cocok dengannya??”tanya Rien lagi dengan rauh muka yang
sangat serius.
sedangkan
Asha justru tersenyum kemudian, bahkan perlahan menahan tawanya sendiri. Rien
pun semakin bingung.
“Jika
kau menyukainya terima saja. Untuk urusan itu kau tak perlu perhatikan pendapat
orang. Cocok atau tidak itu bukan orang lain yang melihat, tapi kau sendiri
yang merasakannya. Lagi pula meski kita bersahabat, tak mungkin, kan, kau akan
bersamaku sampai mati. Bisa-bisa kau tak laku. Kau juga butuh pasangan hidup
untuk berbagi kasih sayang.” goda Asha.
“Hei,
aku bukan barang dagangan! Bilang saja kalau kau yang takut tak laku!”protes
Riendra mendadak kesal, lalu kembali serius. “Mm..masalahnya, aku tak tahu, aku
menyukainya atau tidak..”
“Hm..kalau
begitu kenapa tak kau coba saja dulu berjalan di sampingnya? Bukankah ia sangat
baik padamu selama ini. Bahkan sepertinya dia lebih baik dari pada aku. Dia
selalu mampu menyediakan waktu untuk membantumu, berbeda denganku yang
seringkali tak bisa membantumu.”Asha kembali membuka bukunya.
“Begitukah
menurutmu?”
“Kita
takkan pernah tahu jika tak mencoba. Sama halnya dengan ‘Kita takkan pernah
tahu arti kata kehilangan tanpa mengenal kata pertemuan’. Jika kau tak
mencobanya, aku khawatir nantinya kau akan menyesal, saat sadar ia adalah orang
yang benar-benar baik, tapi kau sudah tak bisa lagi bersamanya karena ia sudah
menyukai orang lain. Jadi terima saja dirinya, dan nikmatilah September Ceria
bersama!”tutur Asha tampak bijak namun tetap dengan nada bicara yang santai,
khasnya.
Riendra
pun termenung mendengarnya. Melihat air muka Asha dan cara pemuda itu
berkata-kata, gadis itu pun akhirnya menyadari sesuatu. Sekarang aku mengerti, aku hanya seorang sahabat di matamu, begitu pula
aku, yang kini harus memandangmu demikian. Selamanya kita akan seperti ini,
kan?
From Eindhoven With Love, is just the past dream..
@@@
Kembali
ke sebuah malam di permulaan tahun 2011. Di dataran tinggi perbatasan
Malang-Batu.
“Apakah
tak lebih baik kita pulang sekarang?”tanya Rei sambil melihat lagi rolex-nya. “Sudah jam setengah 12
sekarang. Tak baik di cuaca dingin seperti ini kau masih di luar.”imbuhnya.
Riendra pun tersenyum. Matanya meninggalkan pemandangan malam lampu-lampu kota
di hadapannya.
“Baiklah,
ayo masuk. Kita pulang sekarang.” Sahutnya. Mereka berdua pun kembali ke mobil.
Gadis itu pun segera mengucap selamat tinggal pada Arjuna tanpa suara.
“Kudengar
Asha menerima beasiswa kuliah S2 ke Utrecht, apa itu benar?”tanya Rei yang
beranjak menjalankan mobil.
“Ya.
Ia di terima di Utrecht School of the
Arts. Bukankah itu keren?”
“Hm..ya,
itu memang keren.”
“Bagaimana
menurutmu, apakah kita perlu cari beasiswa juga, sehingga kita bisa ke luar
negeri?”
“Mm..mengenai
itu.. kurasa ide bagus untukmu melakukannya. Dengan begitu mungkin kita tak
perlu berjauhan.”sahut Rei dengan mimik yang mendadak suram.
“Apa
maksudmu?”
“Aku
minta maaf, untuk mengatakan ini secara tiba-tiba. Sebenarnya.. ayahku
menyuruhku ke Jepang. Aku harus melanjutkan kuliah disana.” aku Rei. Seketika
Riendra tercengang.
“Jepang?”tanya
gadis itu memastikan. Rei mengangguk. Rien pun menyeringai.
“Wow,
Jepang! Tempat yang.. wow?! Dan kau tak pernah bilang apa-apa padaku?
Sepertinya ayahmu menyuruhmu secara mendadak, benar, kan?”
“Sebenarnya..
sebenarnya itu sudah direncanakan sejak awal. Maaf aku tak pernah mengatakan
ini padamu. Tapi, kau tak keberatan akan hal itu, kan?” Rei tampak sangat
merasa bersalah.
“Apa
hakku untuk keberatan? Mana mungkin aku akan menghancurkan masa depan cerahmu
begitu saja. Aku justru sangat mendukungmu!”sahut Riendra jelas tak keluar dari
hatinya.
“Mm..sekali
lagi aku minta maaf. Aku pun tak berharap kita harus menjalani hubungan long distance. Tapi kita masih bisa
komunikasi dengan telepon, skype dan email. Kau mau menungguku, kan?”
Riendra
hanya termenung.
“Apa
kau marah?” tanya Rei lagi.
“Apa
kau..apa kau yakin itu akan berhasil?”balas gadis itu lirih. Saat bersama saja
gadis itu sudah ingin pergi dari Rei, apalagi jika Rei pergi. Ia tak yakin bisa
tetap mencintai laki-laki itu.
“Apakah..
dua tahun itu terlalu lama bagimu?”
“Maaf,
jika aku bukan kekasih yang baik untukmu. Tapi apakah kau tak berpikir, banyak
hal yang bisa terjadi dalam dua tahun? Kau pun tak tahu, kan, jika mungkin kau
akan jatuh cinta pada orang lain di sana?”
“Apakah..
kau tak percaya padaku? Jika aku akan tetap menyukaimu bahkan setelah aku
kembali? Kau tak mau jika kita hanya berkomunikasi lewat internet?”tanya Rei
sangat tak suka mendengar kata-kata Riendra hingga menghentikan lagi mobilnya
di tengah jalan.
“Aku
tak tahu..jadi jangan bertanya seperti itu.. Soal skype atau lainnya, tentu saja kita akan melakukannya..Aku tak
keberatan akan hal itu..tapi..” Riendra tertunduk merasa bersalah.
“Atau..
mungkinkah, selama ini kaulah yang sudah jatuh cinta pada orang lain? Tanpa
kuketahui?” tanya Rei mulai curiga. Riendra hanya terdiam. “Atau.. bahkan
sebenarnya kau tak pernah menyukaiku sejak awal sampai detik ini? Sehingga kau
merasa dua tahun itu akan sangat lama?”
Gadis
itu menghela napasnya, lalu menatap Rei dengan penuh hati-hati.
“Kita takkan pernah tahu seberapa besar nilai
seseorang bagi kita, kecuali saat kita berpisah darinya.. Jadi bisakah kau
menanyakan semua itu lagi setelah kau kembali? Jika sampai akhir kau memiliki
perasaan yang sama dengan detik ini, aku janji untuk kembali bersamamu. Namun
jika sebelum tiba saatnya kau pulang, kau sudah merasakan hal yang berbeda,
jangan ragu untuk memberitahuku..”
@@@
Kalender
di dinding kamar Riendra telah berganti dua kali. Bahkan sudah memasuki bulan
ke sepuluh. Di bawah kalender itulah terdapat sebuah meja kerja lebar yang
menjadi penopang Riendra yang ketiduran. Ternina bobo oleh melodi Violin Sonata No 5 Op 24, movement 1 milik Beethoven, yang dikumandangkan
oleh laptop di samping kiri kepalanya. Gadis itu terlelap hingga playlist musik itu terputar habis.
Di
monitor laptop itu tampak halaman utama media sosial Facebook yang memajang sebuah foto. Potret sepasang kekasih yang
sedang berbahagia di suatu tempat, berlatarkan gunung Arashiyama. Memamerkan
kemesraan mereka, Rei bersama kekasih barunya. Tak lama kemudian gadis itu
terperanjat bangun oleh irama musik Lenka
– We Will Not Grow Old yang menyeruak dari ponsel yang ada di samping
laptop.
“Hai! Apa kau sudah
berangkat? Kau tak lupa, kan, jika kau harus ke Galnas hari ini?”seru
seorang laki-laki lewat telepon. Riendra langsung melihat ke jendela di
seberang pintu kamarnya. Langit sudah terang, cahayanya menembus vitrage menerangi sebagian ruangan.
“Ah,
Firas! Aku ketiduran. Mm..tapi kau tenang saja, aku akan tiba disana setengah jam
lagi.”sahut Rien cepat-cepat membereskan meja. Meraih handuk sesusai menutup
panggilan, bergegas ke kamar mandi.
Empat
puluh menit kemudian ia sudah berada di gedung A, ruang pamer temporer Galeri Nasional
Indonesia.
“Maaf
aku terlambat! Trouble di detik
terakhir perjalanan.”
“Hm..
Apa kau mandi?”sambut Firas teman kuliahnya dulu yang kini juga menjadi rekan
kerjanya sebagai pengelola galeri.
“Tentu
saja!”
“Lalu
masih sempat berdandan?”
“Di
taksi.”
“Tapi
pasti belum sarapan, kan?”
“Sudah
pasti. Tapi itu tak penting sekarang.” sahut Rien saat melintasi lukisannya
sendiri yang terpajang di satu sudut ruang pamer. Sebuah gambar analogus
kombinasi biru dan ungu, yang berjudul Dancing
Water dengan permainan garis bergelombang dan leburan gradasi warna yang
sangat halus. Unity yang sempurna,
itu kata orang-orang.
@@@
Angka
jam digital ponsel sudah berubah-ubah beberapa kali. Kini angka 12 terpampang,
memberikan kelegaan bagi Riendra yang pada akhirnya bisa sedikit luang untuk
makan. Kali ini Firas menemaninya makan bersama di sebuah kafe tak jauh dari
tempat kerja mereka. Sampai pada akhirnya jam makan mereka disela oleh nada suara
Lenka, ringtone ponsel Riendra yang
tak pernah digantinya sejak masa kuliah. Sebuah panggilan dari nomor tak
dikenal masuk menunggu jawaban.
“Halo?”sapa
Rien seraya meletakkan garpu di piring steaknya.
“Hai, Rien! Ini aku
Asha.”
“Asha?!
Wah, kukira kau sudah lupa denganku!”
“Hm..kebetulan saja
tiba-tiba aku ingat. Kudengar kau barusaja mendapatkan kenaikan jabatan di Galnas.
Selamat untukmu! Juga untuk karyamu yang dipamerkan di Galnas juga..”
“Ah,
terimakasih banyak. Tapi itu bukan naik jabatan, hanya pindah bagian. Ah, tapi
kau tahu darimana soal itu? Kukira malah kau tak tahu jika satu setengah tahun
ini aku kerja di Galnas”
“Firas yang
memberitahuku, kalau kau bekerja dengannya.”
“Ah,
jadi begitu. Ada tukang gosip rupanya” Sahut Riendra seraya menatap Firas.
Pemuda di hadapannya hanya tersenyum jenaka. “Mm..tapi bagaimana denganmu
sendiri? Sudah lama kau tak ada kabar.”
“Hm..aku baik-baik
saja. Selama kuliah, aku juga mendapatkan pekerjaan sambilan disini. Oh ya,
bagaimana kabar hubunganmu dengan Rei?”
“Ah,
kami sudah melewati jalan yang berbeda.”
“Hm..sayang sekali..”
“Sudahlah.
Jangan bahas itu! Oh ya, apakah Utrecht menyenangkan? Apakah kau juga
berkeliling Belanda? Ngomong-ngomong kau sedang apa sekarang?”
“Semua tempat di negeri
kincir angin ini cukup menyenangkan menurutku. Tapi saat ini aku hanya minum
kopi di kamar, di tempat tinggal baruku di Eindhoven.. Ada seorang kenalan dari
Design Academy Eindhoven mengajakku bekerja sama dengannya.”
“Tempat
tinggal baru? Eindhoven? Kau bekerja disana? Kau tak kembali ke Indonesia?!”
“Tentu saja aku akan
pulang. Ada beberapa hal yang perlu kuurus, termasuk surat ijin bekerja di luar.”
“Aish,
kau benar-benar keterlaluan! Selama dua tahun kau tak beri kabar apa-apa. Kini
saatnya kau pulang, kau hanya menelepon untuk pamer kalau kau kerja disana?!
Kau benar-benar teman yang buruk.”tukas Riendra menyembunyikan perasaan
kecewanya yang sesungguhnya.
Setelah
ia putus dari Rei, ia merasa baik-baik saja. Namun saat ia teringat tentang
Asha, ia selalu merasa gelisah. Kini ia menyadari arti dari sebuah kehilangan.
Ia sadar betapa berharganya Asha dalam hidupnya. Setelah cukup lama ditemani
Asha pada masa kuliah, dua tahun tanpa pemuda itu, rasanya sangat sepi. Baginya
tak ada orang lain yang lebih baik dari pemuda itu. Hanya Asha yang bisa
memahaminya dengan baik. Kini ia tak tahu lagi sampai kapan perasaan itu akan
hilang. Cinta bukanlah goresan pensil yang mudah dihapus.
“Maafkan aku..”pinta
Asha kemudian.
“Hm..kalau
begitu kapan kau akan menceritakan Eindhoven padaku?”
“Ah, itu.. Kau menagih
janji, ya? Tapi sayangnya aku sendiri belum lama disini. Belum banyak yang bisa
kuceritakan. Mm..tapi kurasa aku bisa sedikit cerita tentang kamar yang baru
kusewa ini.”
“Benarkah?
Kalau begitu ceritakan padaku! Apakah itu tempat yang nyaman?
“Hm..sebenarnya tak
jauh beda dengan rumah-rumah lain di kota-kota lain di Belanda. Rumah ini
terdiri atas tiga lantai termasuk ruangku ini, dan dari semua tempat yang kusukai
adalah tempat tidurnya!” kata pemuda itu sambil
terkekeh di saat terakhir. Tawa renyah khasnya yang sudah sangat lama
dirindukan Riendra.
“Sepertinya
itu tak perlu diceritakan. Disini pun tempat favoritmu adalah tempat tidur, kan!”
“Hei, seperti kau tak
hobi tidur saja! Tapi serius, disini tempat tidurnya sangat bagus posisinya. Ya
meski mungkin untuk teori interior sedikit kurang. Tempat tidurnya berada di
sudut ruang di sisi dinding yang miring. Di sisi miring itu terdapat jendela
yang sudah pasti mengarah ke langit. Di samping tempat tidur terdapat meja
nakas kayu yang menyatu dengan lemari. Kau pasti merasa sangat nyaman disini.”
“Wah,
jendela diagonal menghadap langit? Sejak dulu aku ingin memilikinya.. Mm..lalu
saat ini apakah di tempatmu masih gelap?”
“Hm..
di sini sekarang jam setengah tujuh tapi masih gelap. Waktu fajar.”
“Oh,
jadi saat ini pagi-pagi kau sudah meneleponku?”
“Mm..kupikir
kau hanya bisa santai jam segini.. dan aku ingin mengobrol dengan sedikit
santai. Jadi kusempatkan mengucap selamat untukmu kali ini.”
“Waah..aku
jadi merasa tersanjung!” tawa Rien lalu melanjutkan kegiatan makannya sambil
menelepon.
“Kau
sedang makan sekarang?”
“Ya,
ini aku sedang makan siang bersama Firas. Oh ya, apakah tempat tinggalmu
lengkap dengan dapur juga?”
“Ah, pikiranmu selalu
saja tak lepas dari dapur dan makanan.. Disini disediakan juga dapur kecil di
sudut lain. Hm.. jadi ruangku ini memiliki luas 27m2, Dua sisinya
berupa dinding miring. Kalau di urutkan,
dari pojok tempat tidur yang membujur dari selatan ke utara, di ujungnya ada
dinding miring yang diberi cekungan
menjorok keluar dan dipasangi jendela-jendela kecil. Di bawah jendela itu ada
meja kecil dengan laci-laci penyimpanan dan juga ada TV disebelahnya yang
menghadap ke selatan, ke area duduk. Area duduk itu berupa sofa kecil menghadap
ke timur dengan meja kayu di depannya, lalu ada tambahan dua buah kursi kayu mengahadap ke sofa. Nah,
di sebelah sofa itulah area dapur. Dapurnya berbentuk leter L dengan meja makan
kecil di dekatnya. Disitu disediakan kursi makan untuk dua orang. Lalu di
samping meja makan itu ada parapet yang menuju railing tangga turun. Di sisi
timur sebelum tangga turun itu ada pintu ke kamar mandi. Ya, jadi bisa dibilang
kamar mandi itu adalah sekat antara tempat tidur dan ruang makan. Apa bisa
dibayangkan?”
“Hm..ya,
ya..sepertinya aku paham.”
“Baguslah jika kau bisa
membayangkannya. Di Mauritstraat ini lingkungannya sangat tenang meski berada
di pusat kota. Ya, nanti untuk lebih jelasnya akan kutunjukkan foto-fotonya
sesampainya aku di Jakarta. Akan kuusahakan mampir ke tempatmu sebelum ke
Malang.”
“Memangnya
kapan kau akan pulang, ha? Apa kau bilang kau sedang menyuruhku menunggumu?!
Bukankah ada email dan media sosial?! Kau bahkan tak pernah membukanya!”
“Ah, maaf, aku memang
sangat sibuk dua tahun terakhir ini. Tapi akhir minggu ini aku pulang. Aku juga
ingin melihat seperti apa karyamu, yang akhirnya berhasil masuk ruang pamer di Galnas untuk pertama kali.”
“Hm..begitukah?
Kalau begitu baiklah, akan kutagih foto-foto dan ceritamu nanti!”sahut Rien
tegas. Asha hanya tertawa.
Di
waktu yang sama, di tempat yang berbeda, Asha tak benar-benar sedang di
kamarnya. Ia tengah berkelana di jalanan, menyusuri jalur pedestrian di area
persimpangan jalan yang menghubungkan jalan Hoogstraat
dengan Mauritstraat dan Edenstraat. Detik itu Asha tengah
berdiri di depan sebuah bangunan modern, sebuah kantor studio bertuliskan Jacobs
Architekten yang berada tepat di seberang utara
gedung simetris setinggi tiga lantai, Fortis
Bank. Dari situ ia bisa melihat berkas cahaya yang terpancar dari sebagian jendela-jendela
bangunan di sisi barat Mauritstraat,
sebuah rental studio dan apartemen yang memungkinkan menyimpan beberapa orang yang
sibuk mengejar deadline pekerjaannya.
“Lalu apakah kau menemukan calon pemilik
biola kacamu disana?Atau jangan-jangan kau sudah memberikannya pada seseorang?”
“Wah,
kau masih ingat hal itu?! Hm..lukisan itu ada di rumah. Aku hanya punya fotonya
disini. Jadi aku belum bisa memberikannya pada orang yang kusukai.”jelas Asha.
“Hmm, jadi kau sudah
punya calon.. Ah, tapi kau bilang lukisan itu tak boleh difoto! Lalu kau
sendiri dengan sesukamu menyimpan fotonya?”
“Kan,
aku pemiliknya, jadi tak masalah..”
“Aish..terserah kau
sajalah! Kau memang orang yang aneh.”
Asha lagi-lagi hanya tertawa. “Oh ya,
apakah dia berambut pirang? Lalu apakah orang itu sudah tahu perasaanmu??”susul
Rien.
“Belum.
Aku butuh waktu yang tepat. Ia baru saja putus dari kekasihnya. Selain itu aku
juga ingin menyelesaikan satu lukisan yang khusus untuknya lebih dulu. Mm..dia
sama sepertiku, Indonesian.” Terang Asha seraya berjalan ke barat laut
mengikuti alur trotoar tersebut. Skyline
menurun, dengan sebuah bangunan di kanannya terlihat lebih lokal, dengan rona
merah bata. Atap miringnya memunculkan tonjolan-tonjolan jendela yang khas.
“Hm..orang Indonesia,
ya.. Kau sangat tak kreatif! Ngomong-ngomong soal lukisan khusus, lukisan apa
lagi?”
“Sesuatu
yang hanya bisa dipahami dengan baik olehnya, meski tanpa kujelaskan.” jawab
pemuda itu kemudian hening. “Mm..Rien, apa kau masih disana?”panggilnya pada
lawan bicaranya saat tak mendapat respon sama sekali.
“Ah, ya, maaf.”sahut Rien terdengar
sedikit parau. “Mm..kalau begitu
kuucapkan semoga kau berhasil!” Kali ini suara gadis itu kembali sedikit normal.
Sesaat, Ashalah yang berbalik merenung. Tapi hanya sebentar. Mereka pun segera
mengakhiri obrolan.
“Akan
kutelepon lagi sesampainya aku di Jakarta!”
“Baiklah. Akan
kutunggu.”
“Ya
sudah, kalau begitu, sampai jumpa lagi!”
“Ya, sampai jumpa!”
Pemuda
itu menyimpan lagi ponselnya ke dalam saku mantelnya seusai mengakhiri
perbincangannya dengan Riendra. Dilintasinya halaman rumah studio desain produk
yang memajang nama Tekin Design di
atas jendelanya. Sesaat ia menoleh ke barat, ditemukannya sebuah toko besar
berkaca lebar, tempat yang tepat untuk membeli lampu hias yang beragam dan
beberapa perlengkapan dekorasi rumah. Saat aktif, sinar-sinar lampu yang
menembus keluar tak jarang seperti kedipan mata penggoda. Tak terlalu lama Asha
mengamati pemandangan itu. Ia hanya berlalu menyeberangi jalan Willem de Zwijgerstraat di timur
perempatan yang lengang tersebut. Dipercepat langkahnya sembari menggosokan
kedua telapak tangannya yang dingin, bergegas masuk ke rumahnya yang tak jauh
dari perempatan itu.
@@@
Kali
ini kalender sudah berganti lagi satu kali dan satu setengah bulan menjelang
terbitnya kalender edisi berikutnya. Tepat di saat Eindhoven mendekati musim
dinginnya. Siang itu Riendra barusaja menyelesaikan pekerjaannya. Sisa waktu
yang dimilikinya itu digunakannya untuk berjalan-jalan. Detik ini ia berdiri
tepat di halaman Van Abbemuseum
Eindhoven. Seperti barusaja memenangkan lotere, mendapat kesempatan melihat
negeri kincir angin adalah hal paling istimewa bagi Riendra.
Sebelumnya
ia pernah melihat museum ini, tapi hanya lewat foto di internet. Tak mengira
bangunan tua yang dikombinasi dengan gedung perluasan futuristik itu akan
tampak sangat hebat. Taman yang dipangkas rapi, memberi kesan lebih modern pada
pelataran depan museum yang berbentuk simetris seperti huruf ‘T’ terbalik itu.
Dari situ, nuansa kelabu batuan persegi bangunan baru tampak mengintip di belakang
bangunan lama yang mengekspose warna merah bata.
Lebih
takjub lagi ketika ia telah berada di dalam. Dunia yang berbeda menyambut.
Berbagai instalasi menghiasi galeri. Peperangan antar lukisan menyeruak
memperebutkan perhatian tiap manusia yang hadir. Setelah mengutamakan untuk
melihat karya pelukis legendaris Picasso, Kandinsky, Mondrian dan beberapa
lainnya, barulah ia beranjak kembali mengamati karya seniman pendatang baru
yang tak kalah mempesona secara lebih detail. Kebanyakan karya diambil dari orang-orang
yang berjaya di akademi desain dan seni di kota itu.
Saat
berada di gedung baru, perasaannya seperti longgar. Bukaan berkaca lebar
menjulang tinggi memberikan kesan bebas. Perairan yang mengelilingi gedung dan
kafe museum memberi kesan tersendiri. Sesaat ia terpaku, termenung, seakan
termagnet kilatan jendela. Memutar memori otak ke masa lalu. Lalu menatap
ponselnya. Menanti sesuatu. Itu yang dilakukannya setiap saat. Hingga mulai detik
itu pula lah ia memutuskan untuk menyerah.
Riendra
segera beralih kembali pada karya-karya yang terpamer di galeri temporer. Seulas
senyum kembali menghiasi raut wajahnya. Hingga mendadak gadis itu tergetar
hatinya pada sebuah lukisan yang tak jauh darinya. Jika dibandingkan dengan
karya lainnya, mungkin itu tak terlalu mencolok keindahan atau keunikannya.
Namun saat pertama kali melihatnya, ia merasa tak asing. Perlahan dahinya
berkerut, heran, menyaksikan lukisan yang dirasa sedikit mirip dengan lukisan
yang pernah digambarnya. Meski ia sadar dengan pasti itu berbeda. Gayanya
berbeda, warna yang berbeda. Semuanya jelas beda, akan tetapi mampu
mengingatkannya pada satu karya di masa lalu. Riendra pun melangkah mendekat.
Semakin
jelaslah, rona lukisan itu. Dengan sentuhan warna dominan biru dan putih, sebuah
pemandangan musim dingin bersalju sangatlah terasa. Garis-garis bercabang
seakan menunjukkan ranting-ranting pohon di tengah hutan. Menaungi dua orang yang
saling berhadapan di bawah sebuah shelter.
"
Now You See Me
2013 – 100cm x 60cm
Oil
on Canvas
-Seperti bumi yang ditakdirkan berotasi,
begitu pula takdir sebuah pertemuan..
Jika pada suatu hari lukisan yang
terbalik itu tak bisa lagi berputar 1800, janganlah menangis.. kan
kugantikan dengan satu yang baru di Karpendonkse Plas Eindhoven Winter..
Saat kau menapak di tanah Mauritsstraat,
berjalan ke timur laut, 5 Km, mendekatlah di sana, kini kau dapat melihatku..
-As the destiny of rotated earth, as the
destiny of meeting..
If one day that rotated painting can’t
be turning back to 1800, please don’t cry.. I‘ll replace it with the new one at
Karpendonkse Plas Eindhoven Winter..
When you step on the ground of Mauritstraat,
just walking to the north-east, 5 km, come closer, and now you see me..
– Asharry Giola –”
Seketika
itu tubuh Riendra melemah. Tangannya meremas bagian krah rebah mantel merahnya,
menahan sakitnya dada yang menyesak. Serasa tak sanggup bernapas. Tubuhnya serasa
mengkristal. Perlahan ia pun mengumpulkan kekuatan, meraih ponselnya dan
memotret lukisan itu. Dengan hati-hati ia membalik foto lukisan itu. Sebuah
mata.
Ia
tahu benar Asharry adalah nama depan milik Asha. Melihat judul lukisan itu, isi
dari lukisan itu, label yang menyertai, ia pun yakin bahwa itu adalah buatan
Asha. Apabila itu benar Asha, maka harusnya yang tertulis disitu adalah Asharry
Garudhea. Namun Giola? Ia tak pernah kenal nama itu. Hanya sekali ia pernah
mengetahui nama itu, tanpa pernah melihat pemiliknya. Giola, nama seorang
apresiator yang telah membeli lukisannya di Galnas. Sebuah lukisan karya Rien yang
pertama kali dipajang dalam pameran sungguhan, di galeri besar itu, Di masa
lalu.
Asha, mengapa kau lakukan semua ini?
@@@
Matahari
sedang tidur. Udara sangat membekukan bagi Riendra. Namun perlahan akhirnya
meleleh oleh keindahan lampu-lampu warna yang menghiasi Sint Catharinakerk, katedral yang
tampak megah dengan dua menara runcingnya.
Glow Festival malam itu terlalu indah untuk dinikmatinya. Detik ini gadis itu
tengah duduk di sebuah bangku kafe di seberang kanan katedral tersebut. Ia
duduk di bangku outdoor, dibawah
payung lebar berwarna hitam. Dengan begitu ia bisa menikmati dengan leluasa
pergerakan orang-orang tinggi yang memadati pelataran Sint Catharinakerk, berfoto ria mengabadikan setiap momen yang
tercipta, di antara instalasi cahaya yang selalu tampil unik di tiap
pertengahan November.
Aroma
muffin dan kopi yang menguap di
depannya membuatnya merasa lebih nyaman. Sekelilingnya begitu ramai oleh
beberapa meja dengan gerombolan-gerombolan yang saling berbagi tawa. Perlahan Riendra
menyesap kopinya, sembari mengamati logo kafe yang tergambar di kaca-kaca
penyelubung bangunan. Bentuknya yang melingkar memagari sesuatu yang menyerupai
terompet atau speaker. Bentukan yang
sama, yang tergambar pada kaos hitam para pelayan kafe tersebut. Lalu ia kembali
meletakkan cangkirnya, mengeluarkan ponsel dari tasnya. Merogoh saku mantel,
meraih secarik kertas kecil berisi barisan angka. Ia pun membuat sebuah
panggilan., dan menunggu panggilan itu tersambung.
“..The number you’re calling is not answer.
Please try call again or leave your message after the beep..”
Riendra
segera memutuskan panggilan lalu menekan tombol redial. Ia pun mendapatkan jawaban yang sama. Akan tetapi kali ini
ia masih menunggu hingga bunyi beep itu terdengar.
“Halo,
Asha? Bagaimana kabarmu? Ini aku Rien. Tak terasa sudah lama kita tak
mengobrol. Terakhir kali hanya siang itu, setahun lalu melalui telepon. Beberapa
kali aku mencoba menghubungimu. Tapi sepertinya kau sudah tak lagi memakai
nomor yang sama.. Sebenarnya aku ingin bertanya, kenapa kau sama sekali tak
menghubungiku ketika kau kembali ke Indonesia. Namun jika kau memang tak ingin
menjelaskannya, tak masalah bagiku. Aku pun tahu hidup kita sudah sangatlah
berbeda..” Kata Riendra kemudian mengambil jeda. Menghirup udara dalam-dalam.
Kini nadanya lebih ceria saat ia kembali bicara.
“Apa
kau tahu, alasanku meneleponmu? Sebab aku di Eindhoven sekarang! Seorang
kurator di tempat kerjaku memintaku membantunya mengurus transaksi sebuah barang
dan sebuah lukisan dengan seseorang di daerah Bergen.. Mm.. hari ini aku
berkunjung ke Van Abbemuseum. Karena lokasinya yang tak jauh dari Bergen,
aku mampir kesana sebentar.. dan aku sama sekali tak mengira, jika aku bisa
dapatkan nomor teleponmu dari kantor pengelola disana..”ungkap Rien seraya
memandang ke arah anak-anak kecil berbaju hangat berlarian di Catharina Square
itu.
“..Melihat
lukisanmu terpajang disana, sepertinya kau hidup sangat baik disini.. tapi aku
yakin kau pasti menjadi lebih sibuk sekarang, dibandingkan dulu.. Mm.. membaca
label karyamu, aku menjadi semakin tertarik untuk menikmati Eindhoven secara
langsung, apalagi sepertinya kau benar-benar lupa menceritakan pemandangan
Eindhoven padaku..”lanjut Rien kemudian kembali hening. Matanya mulai berkaca-kaca.
Hatinya menjadi sama sekali tak tenang. Ingin sekali dirinya bertemu teman
lamanya itu, meski ia sudah terabaikan. Seharusnya saat itu menjadi malam yang
menyenangkan jika mereka bisa bersama.
“Mm..
tapi tak apa jika kau lupa. Toh, sekarang aku bisa melihatnya sendiri. Aku pun tinggal
di sebuah rumah di Mauritstraat. Atasanku
memiliki teman disini yang bisa memberiku tumpangan. Mungkinkah kau juga masih
tinggal di Mauritstraat? Tentangnya,
kau benar sekali, Mauritstraat
sangatlah tenang tapi juga tak jauh dari keramaian, dan Eindhoven benar-benar City of Lights yang indah.. dan.. Glow Festival ini seperti negeri
dongeng..” lanjut Rien seraya mengusap air mata yang menitik di pipinya. “..Sayangnya
aku hanya punya malam ini saja untuk jalan-jalan, ya, mungkin sebentar untuk
besok pagi. Besok siang aku harus kembali ke Jakarta. Kerena itu, meski udara
sangat dingin, kusempatkan untuk berjalan-jalan. Sebenarnya aku berharap bisa
bertemu dengan teman lama disini. Tapi aku sadar kondisimu.. Oh ya, sekarang
aku punya sanggar seni di rumah. Jika kau kembali ke Indonesia, mampirlah! Mm..kurasa
itu saja yang ingin kuceritakan. Kuharap.. kita bertemu lagi suatu hari!”
@@@
Kini
matahari terbangun, meski dengan keceriaan yang tak terlalu tampak. Pagi itu, Riendra telah
sampai dan berdiri di sebuah persimpangan jalan tak jauh dari Technische Universiteit Eindhoven. Tepatnya
di sisi timur kampus itu. Gadis itu tersenyum sendiri tatkala membaca plat-plat
penunjuk nama jalan yang dilaluinya. Nama pulau-pulau di negaranya bermunculan
di kawasan itu. Jika ke timur ia akan melewati Javalaan, namun ia hanya ke utara melewati Insulindelaan dan kemudian bertemu Sumatralaan.
Sungai Dommel yang ditemuinya di dekat Van
Abbemuseum rupanya berlanjut sampai di area ini, mengalir tenang di
sepanjang barat laut jalan itu.
Riendra
menatap langit dengan sendu. Matanya menangkap pepohonan tanpa helaian daun yang
berdiri di sisi kanannya. Beberapa
memang masih memiki daun-daunnya, tapi semua sudah terimbas suhu udara yang
sangat rendah menjelang musim dingin. Bisa dibayangkanlah bagaimana nantinya
tempat itu jika diselimuti salju. Karpendonkse
Plas Eindhoven Winter. Empat kata itu masih melekat erat diingatannya.
Mungkin setelah melihat langsung pemandangan tempat itu, ia takkan pernah
melupakannya sampai mati.
Tak
ada shelter lengkung memang. Belum ada salju pula. Namun keindahan cabang
ranting pepohonan tinggi, air danau yang mengkilat, di antara rona putih
kebiruan langit, semua itu membuat Rien merasa telah memasuki lukisan itu.
Lukisan yang Asha ciptakan. Ia pun memasuki lebih dalam hutan taman itu. Melihat
danau Karpendonk secara lebih dekat. Orang-orang tinggi besar berkulit pucat
tampak bahagia, bersantai di tepian perairan
luas itu. Riendra kembali menggenangkan air mata. Berharap ia tak sendirian
disana. Berharap ia bisa seperti orang-orang itu. Tertawa bersama keluarga,
anak-anak atau pun sang kekasih. Namun yang bisa dilakukannya hanya menghampiri
sebuah bangku taman kosong dan terduduk di sana dengan kenangan pedihnya.
Kenangan indah yang tak bisa terulang adalah kepedihan terbesar baginya.
“Ngomong-ngomong,
teringat tentang film, bagaimana menurutmu dengan From Eindhoven With Love?”
“From Eindhoven With
Love??”
“Ya. Ada From Russia
With Love, From Bandung With Love, ada pula From Paris With Love, Bagaimana
dengan From Eindhoven With Love?Apa yang akan kau lakukan jika kau jadi tokoh
utamanya?”
“Kau ada-ada saja!”seru Rien menertawakan. “Namun
menurutku, jika itu memang ada, aku tak ingin jadi pengkhianat, aku akan jadi
wanita yang setia sejak awal hingga akhir, bukan mata-mata atau agen rahasia
apa pun, dan tanpa misi rahasia apa pun. Aku ingin itu menjadi sebuah dongeng
romantis! Ah, tapi Eindhoven ya? Sepertinya aku hanya bisa bermimpi menjadi
tokohnya.”papar Rien menjadi tampak sedikit murung.
“Kenapa nada bicaramu
begitu? Apakah kau tak tahu jika hidup ini adalah dongeng buatan Tuhan? Selain
itu, bukankah mimpi adalah sesuatu yang tercipta untuk dituju? Selama kita
percaya pada Tuhan bahwa mimpi itu bisa terwujud, pasti Tuhan takkan pernah
mengecewakan kita.. kini aku pun memutuskan untuk mempercayai kemungkinan
positif itu! Termasuk memiliki sanggar seni denganmu, seperti katamu tadi..kita
ciptakan dunia kita sendiri!”tawa Asha.
“Aish..kau ini selalu
saja seperti ini! Kau pasti lupa jika kau adalah pelupa!”desis gadis itu lagi
mengingat sifat Asha yang seringkali lupa dengan kata-katanya sendiri.
“Meski aku pun telah mencoba
mempercayainya, sepertinya itu tetaplah sekedar dongeng. Waktuku tak lama lagi untuk tinggal di kota ini, tapi aku pun tak menemukan apa-apa
selain cinta gemerlapnya malam. Rupanya hanya From Eindhoven Without Love yang cocok menjadi judul kisahku..”gumam
Rien pada dirinya sendiri merasa putus asa. Ia kembali menatap ponselnya. Saat
itu, sudah kesekian kalinya ia menatap benda itu sejak semalam. Ia bahkan
nyaris tak bisa tidur memikirkannya. Keputusannya di Van Abbemuseum ditundanya karena temuannya di dalam gedung itu. Semalaman
ia berharap mendengar deringnya. Namun semua hanya harapan kosong baginya. Akhirnya
ia hanya memanggil sebuah nomor telepon berawalan +62 untuk menghibur diri.
“Halo, Ibu? Apakah aku
mengganggu ibu?”
“Ah, Rien! Sama sekali
tak mengganggu! Ada apa? Tumben menelepon?Kenapa tak SMS saja? Bagaimana kabarmu di Holland”
“Aku
baik-baik saja. Aku hanya kangen suara ibu saja. Sekarang aku sedang
jalan-jalan di Karpendonkse plas. Aku
bisa melihat danau dengan pemandangan cukup indah disini! Siang ini aku akan
berangkat pulang. Bagaimana kabar rumah?”
“Orang-orang di rumah
baik-baik saja. Semua muridmu pun dihandle ayahmu dengan materi yang kau
berikan, tapi ya begitulah, ujung-ujungnya ayahmu lebih banyak mendongeng
dengan beragam filsafat. Oh ya, sore tadi ada kiriman untukmu.”
“Kiriman?
Dari siapa? Apakah itu dari Jannie Janssen?”
“Mm..ntahlah, dari
siapa. Tadi adikmu yang menerimanya.”
“Apakah
itu sebuah lukisan?”
“Dari cara mengemasnya,
sepertinya itu lukisan.”
“Wah,
tak kusangka kirimannya datang secepat ini. Ah, kalau itu benar dari Jannie
Janssen, berarti aku harus segera menghubungi Pak An agar ia bisa segera
mengambilnya.”
“Hm..begitu.
Ngomong-ngomong apa pekerjaanmu di sana sulit?”
“Mm..tak
terlalu sulit. Aku malah lebih banyak berjalan-jalan disini. Ya, mungkin
masalahnya hanya sedikit pada faktor keuangan. Semuanya terasa sedikit mahal
disini. Oh ya, aku juga memotret banyak tempat. Semalam ada Glow Festival yang sangat keren. Intalasi
lampu yang menghiasi bangunan ada dimana-mana. Kota ini benar-benar pemilik Philips sejati!”
“Ya sudah, baguslah
kalau kau merasa senang berada di sana. Nanti berhati-hatilah saat pulang. Jaga
dirimu baik-baik!”
“Iya,
Bu. Jangan khawatirkan aku! Mm, ya sudah, kalau begitu. Aku tutup teleponnya
sekarang, ya!”
“Ok. Sampai jumpa di
rumah!”
Riendra
pun menyimpan lagi ponselnya. Setelah bicara dengan ibunya, ia merasa lebih
baik. Ibunya tak pernah gagal untuk membuatnya sedikit lebih tenang. Namun
tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh bunyi tanda pesan masuk dari ponselnya.
“Apakah
ada yang lupa disampaikannya?”pikir Rien yang mengira itu SMS dari ibunya. Akan tetapi yang muncul adalah sebuah nomor tak
dikenal.
“Nice to see you again!”
Jantung
Rien seakan berhenti seketika. Apakah ini
Asha?Mungkinkah ia?
Gadis
itu mendongak. Melesatkan pandangan ke segala penjuru. Namun tak ada sosok yang
dikenalnya. Hanya orang-orang berkulit pucat yang ditemuinya. Mencoba mencari
siapa yang memegang ponsel. Tapi tak satu pun di antara mereka melakukannya.
“Sorry, who are you? Are
you Asha?”balas Rien penuh harap. Tak lama
kemudian sebuah pesan masuk lagi.
Kali
ini bukan pesan teks. Hanya sebuah potret. Satu potret yang sudah sangat
dikenalnya. Sesuatu yang sudah lama tak dilihatnya. Satu yang paling berharga
bagi pengirimnya. Rien pun langsung ternganga dibuatnya. Jantungnya kini
berdebar sangat cepat. Seperti detik waktu bom yang nyaris meledak. Perasaannya
bercampur aduk tak menentu. Ia pun bergegas bangkit dan matanya mencari lagi dengan
lebih teliti. Hingga akhirnya ada sosok di kejauhan, dari arah restoran di sisi
barat danau itu, berjalan ke arahnya. Seorang Asha tersenyum lebar dari
kejauhan, membuat Rien tanpa sadar melinangkan air matanya.
Di
detik yang sama, sebuah pesan baru menyusul masuk ke dalam inbox-nya. Namun kali ini dari nomor ibunya. “Barusan ibu lihat, kiriman itu bukan dari Jannie Janssen, bahkan tak
ada alamat pengirimnya. Yang ada hanya inisial AG.”
Rien
pun cepat-cepat melihat lagi ke arah Asha dengan tatapan kaget. Penuh tanda
tanya. Pemuda itu hanya tersenyum lembut dengan kasih sayang di pancaran
matanya ketika akhirnya mereka tepat berhadapan. Mata mereka akhirnya bertemu
kembali setelah sekian lama. Tanpa kata. Hanya saling memandang haru. Keduanya
pun tersenyum lebar dalam tangis bahagia Riendra.
*Now You See Me *
Malang,
18 Desember 2014
The
events, character, illustration and firms depicted in this story are
fictitious. Any similarity to actual persons, living or dead, or actual firms
is coincidental.
No comments:
Post a Comment