2015-01-02

From Eindhoven With Love (part 2)





Ada From Bandung With Love, ada pula From Paris With Love, Bagaimana dengan From Eindhoven With Love?

                “Kalau aku berkata jangan diterima, apakah kau akan menurutinya?”
“Ha?”Riendra tercengang mendapat komentar seperti itu.
“Kalau aku berkata aku tak suka melihat kau dan Rei menjalin hubungan, apakah kau akan menolaknya?”
“Mm..apa maksudmu? Aku tak cocok dengannya??”tanya Rien lagi dengan rauh muka yang sangat serius.
sedangkan Asha justru tersenyum kemudian, bahkan perlahan menahan tawanya sendiri. Rien pun semakin bingung.
“Jika kau menyukainya terima saja. Untuk urusan itu kau tak perlu perhatikan pendapat orang. Cocok atau tidak itu bukan orang lain yang melihat, tapi kau sendiri yang merasakannya. Lagi pula meski kita bersahabat, tak mungkin, kan, kau akan bersamaku sampai mati. Bisa-bisa kau tak laku. Kau juga butuh pasangan hidup untuk berbagi kasih sayang.” goda Asha.
“Hei, aku bukan barang dagangan! Bilang saja kalau kau yang takut tak laku!”protes Riendra mendadak kesal, lalu kembali serius. “Mm..masalahnya, aku tak tahu, aku menyukainya atau tidak..”
“Hm..kalau begitu kenapa tak kau coba saja dulu berjalan di sampingnya? Bukankah ia sangat baik padamu selama ini. Bahkan sepertinya dia lebih baik dari pada aku. Dia selalu mampu menyediakan waktu untuk membantumu, berbeda denganku yang seringkali tak bisa membantumu.”Asha kembali membuka bukunya.
“Begitukah menurutmu?”
“Kita takkan pernah tahu jika tak mencoba. Sama halnya dengan ‘Kita takkan pernah tahu arti kata kehilangan tanpa mengenal kata pertemuan’. Jika kau tak mencobanya, aku khawatir nantinya kau akan menyesal, saat sadar ia adalah orang yang benar-benar baik, tapi kau sudah tak bisa lagi bersamanya karena ia sudah menyukai orang lain. Jadi terima saja dirinya, dan nikmatilah September Ceria bersama!”tutur Asha tampak bijak namun tetap dengan nada bicara yang santai, khasnya.
Riendra pun termenung mendengarnya. Melihat air muka Asha dan cara pemuda itu berkata-kata, gadis itu pun akhirnya menyadari sesuatu. Sekarang aku mengerti, aku hanya seorang sahabat di matamu, begitu pula aku, yang kini harus memandangmu demikian. Selamanya kita akan seperti ini, kan?
From Eindhoven With Love, is just the past dream..
@@@
Kembali ke sebuah malam di permulaan tahun 2011. Di dataran tinggi perbatasan Malang-Batu.
“Apakah tak lebih baik kita pulang sekarang?”tanya Rei sambil melihat lagi rolex-nya. “Sudah jam setengah 12 sekarang. Tak baik di cuaca dingin seperti ini kau masih di luar.”imbuhnya. Riendra pun tersenyum. Matanya meninggalkan pemandangan malam lampu-lampu kota di hadapannya.
“Baiklah, ayo masuk. Kita pulang sekarang.” Sahutnya. Mereka berdua pun kembali ke mobil. Gadis itu pun segera mengucap selamat tinggal pada Arjuna tanpa suara.
“Kudengar Asha menerima beasiswa kuliah S2 ke Utrecht, apa itu benar?”tanya Rei yang beranjak menjalankan mobil.
“Ya. Ia di terima di Utrecht School of the Arts. Bukankah itu keren?”
“Hm..ya, itu memang keren.”
“Bagaimana menurutmu, apakah kita perlu cari beasiswa juga, sehingga kita bisa ke luar negeri?”
“Mm..mengenai itu.. kurasa ide bagus untukmu melakukannya. Dengan begitu mungkin kita tak perlu berjauhan.”sahut Rei dengan mimik yang mendadak suram.
“Apa maksudmu?”
“Aku minta maaf, untuk mengatakan ini secara tiba-tiba. Sebenarnya.. ayahku menyuruhku ke Jepang. Aku harus melanjutkan kuliah disana.” aku Rei. Seketika Riendra tercengang.
“Jepang?”tanya gadis itu memastikan. Rei mengangguk. Rien pun menyeringai.
“Wow, Jepang! Tempat yang.. wow?! Dan kau tak pernah bilang apa-apa padaku? Sepertinya ayahmu menyuruhmu secara mendadak, benar, kan?”
“Sebenarnya.. sebenarnya itu sudah direncanakan sejak awal. Maaf aku tak pernah mengatakan ini padamu. Tapi, kau tak keberatan akan hal itu, kan?” Rei tampak sangat merasa bersalah.
“Apa hakku untuk keberatan? Mana mungkin aku akan menghancurkan masa depan cerahmu begitu saja. Aku justru sangat mendukungmu!”sahut Riendra jelas tak keluar dari hatinya.
“Mm..sekali lagi aku minta maaf. Aku pun tak berharap kita harus menjalani hubungan long distance. Tapi kita masih bisa komunikasi dengan telepon, skype dan email. Kau mau menungguku, kan?”
Riendra hanya termenung.
“Apa kau marah?” tanya Rei lagi.
“Apa kau..apa kau yakin itu akan berhasil?”balas gadis itu lirih. Saat bersama saja gadis itu sudah ingin pergi dari Rei, apalagi jika Rei pergi. Ia tak yakin bisa tetap mencintai laki-laki itu.
“Apakah.. dua tahun itu terlalu lama bagimu?”
“Maaf, jika aku bukan kekasih yang baik untukmu. Tapi apakah kau tak berpikir, banyak hal yang bisa terjadi dalam dua tahun? Kau pun tak tahu, kan, jika mungkin kau akan jatuh cinta pada orang lain di sana?”
“Apakah.. kau tak percaya padaku? Jika aku akan tetap menyukaimu bahkan setelah aku kembali? Kau tak mau jika kita hanya berkomunikasi lewat internet?”tanya Rei sangat tak suka mendengar kata-kata Riendra hingga menghentikan lagi mobilnya di tengah jalan.
“Aku tak tahu..jadi jangan bertanya seperti itu.. Soal skype atau lainnya, tentu saja kita akan melakukannya..Aku tak keberatan akan hal itu..tapi..” Riendra tertunduk merasa bersalah.
“Atau.. mungkinkah, selama ini kaulah yang sudah jatuh cinta pada orang lain? Tanpa kuketahui?” tanya Rei mulai curiga. Riendra hanya terdiam. “Atau.. bahkan sebenarnya kau tak pernah menyukaiku sejak awal sampai detik ini? Sehingga kau merasa dua tahun itu akan sangat lama?”
Gadis itu menghela napasnya, lalu menatap Rei dengan penuh hati-hati.
 “Kita takkan pernah tahu seberapa besar nilai seseorang bagi kita, kecuali saat kita berpisah darinya.. Jadi bisakah kau menanyakan semua itu lagi setelah kau kembali? Jika sampai akhir kau memiliki perasaan yang sama dengan detik ini, aku janji untuk kembali bersamamu. Namun jika sebelum tiba saatnya kau pulang, kau sudah merasakan hal yang berbeda, jangan ragu untuk memberitahuku..”
@@@
Kalender di dinding kamar Riendra telah berganti dua kali. Bahkan sudah memasuki bulan ke sepuluh. Di bawah kalender itulah terdapat sebuah meja kerja lebar yang menjadi penopang Riendra yang ketiduran. Ternina bobo oleh melodi Violin Sonata No 5 Op 24, movement 1 milik Beethoven, yang dikumandangkan oleh laptop di samping kiri kepalanya. Gadis itu terlelap hingga playlist musik itu terputar habis.
Di monitor laptop itu tampak halaman utama media sosial Facebook yang memajang sebuah foto. Potret sepasang kekasih yang sedang berbahagia di suatu tempat, berlatarkan gunung Arashiyama. Memamerkan kemesraan mereka, Rei bersama kekasih barunya. Tak lama kemudian gadis itu terperanjat bangun oleh irama musik Lenka – We Will Not Grow Old yang menyeruak dari ponsel yang ada di samping laptop.
“Hai! Apa kau sudah berangkat? Kau tak lupa, kan, jika kau harus ke Galnas hari ini?”seru seorang laki-laki lewat telepon. Riendra langsung melihat ke jendela di seberang pintu kamarnya. Langit sudah terang, cahayanya menembus vitrage menerangi sebagian ruangan.
“Ah, Firas! Aku ketiduran. Mm..tapi kau tenang saja, aku akan tiba disana setengah jam lagi.”sahut Rien cepat-cepat membereskan meja. Meraih handuk sesusai menutup panggilan, bergegas ke kamar mandi.
Empat puluh menit kemudian ia sudah berada di gedung A, ruang pamer temporer Galeri Nasional Indonesia.
“Maaf aku terlambat! Trouble di detik terakhir perjalanan.”
“Hm.. Apa kau mandi?”sambut Firas teman kuliahnya dulu yang kini juga menjadi rekan kerjanya sebagai pengelola galeri.
“Tentu saja!”
“Lalu masih sempat berdandan?”
“Di taksi.”
“Tapi pasti belum sarapan, kan?”
“Sudah pasti. Tapi itu tak penting sekarang.” sahut Rien saat melintasi lukisannya sendiri yang terpajang di satu sudut ruang pamer. Sebuah gambar analogus kombinasi biru dan ungu, yang berjudul Dancing Water dengan permainan garis bergelombang dan leburan gradasi warna yang sangat halus. Unity yang sempurna, itu kata orang-orang. 
@@@
Angka jam digital ponsel sudah berubah-ubah beberapa kali. Kini angka 12 terpampang, memberikan kelegaan bagi Riendra yang pada akhirnya bisa sedikit luang untuk makan. Kali ini Firas menemaninya makan bersama di sebuah kafe tak jauh dari tempat kerja mereka. Sampai pada akhirnya jam makan mereka disela oleh nada suara Lenka, ringtone ponsel Riendra yang tak pernah digantinya sejak masa kuliah. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal masuk menunggu jawaban.
“Halo?”sapa Rien seraya meletakkan garpu di piring steaknya.
“Hai, Rien! Ini aku Asha.”
“Asha?! Wah, kukira kau sudah lupa denganku!”
“Hm..kebetulan saja tiba-tiba aku ingat. Kudengar kau barusaja mendapatkan kenaikan jabatan di Galnas. Selamat untukmu! Juga untuk karyamu yang dipamerkan di Galnas juga..”
“Ah, terimakasih banyak. Tapi itu bukan naik jabatan, hanya pindah bagian. Ah, tapi kau tahu darimana soal itu? Kukira malah kau tak tahu jika satu setengah tahun ini aku kerja di Galnas”
“Firas yang memberitahuku, kalau kau bekerja dengannya.”
“Ah, jadi begitu. Ada tukang gosip rupanya” Sahut Riendra seraya menatap Firas. Pemuda di hadapannya hanya tersenyum jenaka. “Mm..tapi bagaimana denganmu sendiri? Sudah lama kau tak ada kabar.”
“Hm..aku baik-baik saja. Selama kuliah, aku juga mendapatkan pekerjaan sambilan disini. Oh ya, bagaimana kabar hubunganmu dengan Rei?”
Ah, kami sudah melewati jalan yang berbeda.”
“Hm..sayang sekali..”
“Sudahlah. Jangan bahas itu! Oh ya, apakah Utrecht menyenangkan? Apakah kau juga berkeliling Belanda? Ngomong-ngomong kau sedang apa sekarang?”
“Semua tempat di negeri kincir angin ini cukup menyenangkan menurutku. Tapi saat ini aku hanya minum kopi di kamar, di tempat tinggal baruku di Eindhoven.. Ada seorang kenalan dari Design Academy Eindhoven mengajakku bekerja sama dengannya.”
“Tempat tinggal baru? Eindhoven? Kau bekerja disana? Kau tak kembali ke Indonesia?!”
“Tentu saja aku akan pulang. Ada beberapa hal yang perlu kuurus, termasuk surat ijin bekerja di luar.”
“Aish, kau benar-benar keterlaluan! Selama dua tahun kau tak beri kabar apa-apa. Kini saatnya kau pulang, kau hanya menelepon untuk pamer kalau kau kerja disana?! Kau benar-benar teman yang buruk.”tukas Riendra menyembunyikan perasaan kecewanya yang sesungguhnya.
Setelah ia putus dari Rei, ia merasa baik-baik saja. Namun saat ia teringat tentang Asha, ia selalu merasa gelisah. Kini ia menyadari arti dari sebuah kehilangan. Ia sadar betapa berharganya Asha dalam hidupnya. Setelah cukup lama ditemani Asha pada masa kuliah, dua tahun tanpa pemuda itu, rasanya sangat sepi. Baginya tak ada orang lain yang lebih baik dari pemuda itu. Hanya Asha yang bisa memahaminya dengan baik. Kini ia tak tahu lagi sampai kapan perasaan itu akan hilang. Cinta bukanlah goresan pensil yang mudah dihapus.
“Maafkan aku..”pinta Asha kemudian.
“Hm..kalau begitu kapan kau akan menceritakan Eindhoven padaku?”
“Ah, itu.. Kau menagih janji, ya? Tapi sayangnya aku sendiri belum lama disini. Belum banyak yang bisa kuceritakan. Mm..tapi kurasa aku bisa sedikit cerita tentang kamar yang baru kusewa ini.”
“Benarkah? Kalau begitu ceritakan padaku! Apakah itu tempat yang nyaman?
“Hm..sebenarnya tak jauh beda dengan rumah-rumah lain di kota-kota lain di Belanda. Rumah ini terdiri atas tiga lantai termasuk ruangku ini, dan dari semua tempat yang kusukai adalah tempat tidurnya!” kata pemuda itu sambil terkekeh di saat terakhir. Tawa renyah khasnya yang sudah sangat lama dirindukan Riendra.
“Sepertinya itu tak perlu diceritakan. Disini pun tempat favoritmu adalah tempat tidur, kan!”
“Hei, seperti kau tak hobi tidur saja! Tapi serius, disini tempat tidurnya sangat bagus posisinya. Ya meski mungkin untuk teori interior sedikit kurang. Tempat tidurnya berada di sudut ruang di sisi dinding yang miring. Di sisi miring itu terdapat jendela yang sudah pasti mengarah ke langit. Di samping tempat tidur terdapat meja nakas kayu yang menyatu dengan lemari. Kau pasti merasa sangat nyaman disini.”
“Wah, jendela diagonal menghadap langit? Sejak dulu aku ingin memilikinya.. Mm..lalu saat ini apakah di tempatmu masih gelap?”
“Hm.. di sini sekarang jam setengah tujuh tapi masih gelap. Waktu fajar.”
“Oh, jadi saat ini pagi-pagi kau sudah meneleponku?”
“Mm..kupikir kau hanya bisa santai jam segini.. dan aku ingin mengobrol dengan sedikit santai. Jadi kusempatkan mengucap selamat untukmu kali ini.”
“Waah..aku jadi merasa tersanjung!” tawa Rien lalu melanjutkan kegiatan makannya sambil menelepon.
“Kau sedang makan sekarang?”
“Ya, ini aku sedang makan siang bersama Firas. Oh ya, apakah tempat tinggalmu lengkap dengan dapur juga?”
“Ah, pikiranmu selalu saja tak lepas dari dapur dan makanan.. Disini disediakan juga dapur kecil di sudut lain. Hm.. jadi ruangku ini memiliki luas 27m2, Dua sisinya berupa dinding miring.  Kalau di urutkan, dari pojok tempat tidur yang membujur dari selatan ke utara, di ujungnya ada dinding miring  yang diberi cekungan menjorok keluar dan dipasangi jendela-jendela kecil. Di bawah jendela itu ada meja kecil dengan laci-laci penyimpanan dan juga ada TV disebelahnya yang menghadap ke selatan, ke area duduk. Area duduk itu berupa sofa kecil menghadap ke timur dengan meja kayu di depannya, lalu ada tambahan  dua buah kursi kayu mengahadap ke sofa. Nah, di sebelah sofa itulah area dapur. Dapurnya berbentuk leter L dengan meja makan kecil di dekatnya. Disitu disediakan kursi makan untuk dua orang. Lalu di samping meja makan itu ada parapet yang menuju railing tangga turun. Di sisi timur sebelum tangga turun itu ada pintu ke kamar mandi. Ya, jadi bisa dibilang kamar mandi itu adalah sekat antara tempat tidur dan ruang makan. Apa bisa dibayangkan?”
“Hm..ya, ya..sepertinya aku paham.”
“Baguslah jika kau bisa membayangkannya. Di Mauritstraat ini lingkungannya sangat tenang meski berada di pusat kota. Ya, nanti untuk lebih jelasnya akan kutunjukkan foto-fotonya sesampainya aku di Jakarta. Akan kuusahakan mampir ke tempatmu sebelum ke Malang.”
“Memangnya kapan kau akan pulang, ha? Apa kau bilang kau sedang menyuruhku menunggumu?! Bukankah ada email dan media sosial?! Kau bahkan tak pernah membukanya!”
“Ah, maaf, aku memang sangat sibuk dua tahun terakhir ini. Tapi akhir minggu ini aku pulang. Aku juga ingin melihat seperti apa karyamu, yang akhirnya berhasil masuk ruang pamer di Galnas untuk pertama kali.”
“Hm..begitukah? Kalau begitu baiklah, akan kutagih foto-foto dan ceritamu nanti!”sahut Rien tegas. Asha hanya tertawa.
Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda, Asha tak benar-benar sedang di kamarnya. Ia tengah berkelana di jalanan, menyusuri jalur pedestrian di area persimpangan jalan yang menghubungkan jalan  Hoogstraat dengan Mauritstraat dan Edenstraat. Detik itu Asha tengah berdiri di depan sebuah bangunan modern, sebuah kantor studio bertuliskan Jacobs Architekten yang berada tepat di seberang utara gedung simetris setinggi tiga lantai, Fortis Bank. Dari situ ia bisa melihat berkas cahaya yang terpancar dari sebagian jendela-jendela bangunan di sisi barat Mauritstraat, sebuah rental studio dan apartemen yang memungkinkan menyimpan beberapa orang yang sibuk mengejar deadline pekerjaannya.
Lalu apakah kau menemukan calon pemilik biola kacamu disana?Atau jangan-jangan kau sudah memberikannya pada seseorang?”
“Wah, kau masih ingat hal itu?! Hm..lukisan itu ada di rumah. Aku hanya punya fotonya disini. Jadi aku belum bisa memberikannya pada orang yang kusukai.”jelas Asha.
“Hmm, jadi kau sudah punya calon.. Ah, tapi kau bilang lukisan itu tak boleh difoto! Lalu kau sendiri dengan sesukamu menyimpan fotonya?”
Kan, aku pemiliknya, jadi tak masalah..”
“Aish..terserah kau sajalah! Kau memang orang yang aneh.” Asha lagi-lagi hanya tertawa. “Oh ya, apakah dia berambut pirang? Lalu apakah orang itu sudah tahu perasaanmu??”susul Rien.
“Belum. Aku butuh waktu yang tepat. Ia baru saja putus dari kekasihnya. Selain itu aku juga ingin menyelesaikan satu lukisan yang khusus untuknya lebih dulu. Mm..dia sama sepertiku, Indonesian.” Terang Asha seraya berjalan ke barat laut mengikuti alur trotoar tersebut. Skyline menurun, dengan sebuah bangunan di kanannya terlihat lebih lokal, dengan rona merah bata. Atap miringnya memunculkan tonjolan-tonjolan jendela yang khas.
“Hm..orang Indonesia, ya.. Kau sangat tak kreatif! Ngomong-ngomong soal lukisan khusus, lukisan apa lagi?”
Sesuatu yang hanya bisa dipahami dengan baik olehnya, meski tanpa kujelaskan.” jawab pemuda itu kemudian hening. “Mm..Rien, apa kau masih disana?”panggilnya pada lawan bicaranya saat tak mendapat respon sama sekali.
Ah, ya, maaf.”sahut Rien terdengar sedikit parau. “Mm..kalau begitu kuucapkan semoga kau berhasil!” Kali ini suara gadis itu kembali sedikit normal. Sesaat, Ashalah yang berbalik merenung. Tapi hanya sebentar. Mereka pun segera mengakhiri obrolan.
“Akan kutelepon lagi sesampainya aku di Jakarta!”
“Baiklah. Akan kutunggu.”
Ya sudah, kalau begitu, sampai jumpa lagi!”
“Ya, sampai jumpa!”
Pemuda itu menyimpan lagi ponselnya ke dalam saku mantelnya seusai mengakhiri perbincangannya dengan Riendra. Dilintasinya halaman rumah studio desain produk yang memajang nama Tekin Design di atas jendelanya. Sesaat ia menoleh ke barat, ditemukannya sebuah toko besar berkaca lebar, tempat yang tepat untuk membeli lampu hias yang beragam dan beberapa perlengkapan dekorasi rumah. Saat aktif, sinar-sinar lampu yang menembus keluar tak jarang seperti kedipan mata penggoda. Tak terlalu lama Asha mengamati pemandangan itu. Ia hanya berlalu menyeberangi jalan Willem de Zwijgerstraat di timur perempatan yang lengang tersebut. Dipercepat langkahnya sembari menggosokan kedua telapak tangannya yang dingin, bergegas masuk ke rumahnya yang tak jauh dari perempatan itu.
@@@
Kali ini kalender sudah berganti lagi satu kali dan satu setengah bulan menjelang terbitnya kalender edisi berikutnya. Tepat di saat Eindhoven mendekati musim dinginnya. Siang itu Riendra barusaja menyelesaikan pekerjaannya. Sisa waktu yang dimilikinya itu digunakannya untuk berjalan-jalan. Detik ini ia berdiri tepat di halaman Van Abbemuseum Eindhoven. Seperti barusaja memenangkan lotere, mendapat kesempatan melihat negeri kincir angin adalah hal paling istimewa bagi Riendra.
Sebelumnya ia pernah melihat museum ini, tapi hanya lewat foto di internet. Tak mengira bangunan tua yang dikombinasi dengan gedung perluasan futuristik itu akan tampak sangat hebat. Taman yang dipangkas rapi, memberi kesan lebih modern pada pelataran depan museum yang berbentuk simetris seperti huruf ‘T’ terbalik itu. Dari situ, nuansa kelabu batuan persegi bangunan baru tampak mengintip di belakang bangunan lama yang mengekspose warna merah bata.
Lebih takjub lagi ketika ia telah berada di dalam. Dunia yang berbeda menyambut. Berbagai instalasi menghiasi galeri. Peperangan antar lukisan menyeruak memperebutkan perhatian tiap manusia yang hadir. Setelah mengutamakan untuk melihat karya pelukis legendaris Picasso, Kandinsky, Mondrian dan beberapa lainnya, barulah ia beranjak kembali mengamati karya seniman pendatang baru yang tak kalah mempesona secara lebih detail. Kebanyakan karya diambil dari orang-orang yang berjaya di akademi desain dan seni di kota itu.
Saat berada di gedung baru, perasaannya seperti longgar. Bukaan berkaca lebar menjulang tinggi memberikan kesan bebas. Perairan yang mengelilingi gedung dan kafe museum memberi kesan tersendiri. Sesaat ia terpaku, termenung, seakan termagnet kilatan jendela. Memutar memori otak ke masa lalu. Lalu menatap ponselnya. Menanti sesuatu. Itu yang dilakukannya setiap saat. Hingga mulai detik itu pula lah ia memutuskan untuk menyerah.
Riendra segera beralih kembali pada karya-karya yang terpamer di galeri temporer. Seulas senyum kembali menghiasi raut wajahnya. Hingga mendadak gadis itu tergetar hatinya pada sebuah lukisan yang tak jauh darinya. Jika dibandingkan dengan karya lainnya, mungkin itu tak terlalu mencolok keindahan atau keunikannya. Namun saat pertama kali melihatnya, ia merasa tak asing. Perlahan dahinya berkerut, heran, menyaksikan lukisan yang dirasa sedikit mirip dengan lukisan yang pernah digambarnya. Meski ia sadar dengan pasti itu berbeda. Gayanya berbeda, warna yang berbeda. Semuanya jelas beda, akan tetapi mampu mengingatkannya pada satu karya di masa lalu. Riendra pun melangkah mendekat.
Semakin jelaslah, rona lukisan itu. Dengan sentuhan warna dominan biru dan putih, sebuah pemandangan musim dingin bersalju sangatlah terasa. Garis-garis bercabang seakan menunjukkan ranting-ranting pohon di tengah hutan. Menaungi dua orang yang saling berhadapan di bawah sebuah shelter.

"  Now You See Me
   2013 – 100cm x 60cm
    Oil on Canvas
-Seperti bumi yang ditakdirkan berotasi, begitu pula takdir sebuah pertemuan..
Jika pada suatu hari lukisan yang terbalik itu tak bisa lagi berputar 1800, janganlah menangis.. kan kugantikan dengan satu yang baru di Karpendonkse Plas Eindhoven Winter..
Saat kau menapak di tanah Mauritsstraat, berjalan ke timur laut, 5 Km, mendekatlah di sana,  kini kau dapat melihatku..
-As the destiny of rotated earth, as the destiny of meeting..
If one day that rotated painting can’t be turning back to 1800, please don’t cry..  I‘ll replace it with the new one at Karpendonkse Plas Eindhoven Winter..
When you step on the ground of Mauritstraat, just walking to the north-east, 5 km, come closer, and now you see me..
Asharry Giola –

Seketika itu tubuh Riendra melemah. Tangannya meremas bagian krah rebah mantel merahnya, menahan sakitnya dada yang menyesak. Serasa tak sanggup bernapas. Tubuhnya serasa mengkristal. Perlahan ia pun mengumpulkan kekuatan, meraih ponselnya dan memotret lukisan itu. Dengan hati-hati ia membalik foto lukisan itu. Sebuah mata.
Ia tahu benar Asharry adalah nama depan milik Asha. Melihat judul lukisan itu, isi dari lukisan itu, label yang menyertai, ia pun yakin bahwa itu adalah buatan Asha. Apabila itu benar Asha, maka harusnya yang tertulis disitu adalah Asharry Garudhea. Namun Giola? Ia tak pernah kenal nama itu. Hanya sekali ia pernah mengetahui nama itu, tanpa pernah melihat pemiliknya. Giola, nama seorang apresiator yang telah membeli lukisannya di Galnas. Sebuah lukisan karya Rien yang pertama kali dipajang dalam pameran sungguhan, di galeri besar itu, Di masa lalu.
Asha, mengapa kau lakukan semua ini?
@@@
Matahari sedang tidur. Udara sangat membekukan bagi Riendra. Namun perlahan akhirnya meleleh oleh keindahan lampu-lampu warna yang menghiasi Sint Catharinakerk, katedral yang tampak megah dengan dua menara runcingnya. Glow Festival malam itu terlalu indah untuk dinikmatinya. Detik ini gadis itu tengah duduk di sebuah bangku kafe di seberang kanan katedral tersebut. Ia duduk di bangku outdoor, dibawah payung lebar berwarna hitam. Dengan begitu ia bisa menikmati dengan leluasa pergerakan orang-orang tinggi yang memadati pelataran Sint Catharinakerk, berfoto ria mengabadikan setiap momen yang tercipta, di antara instalasi cahaya yang selalu tampil unik di tiap pertengahan November.
Aroma muffin dan kopi yang menguap di depannya membuatnya merasa lebih nyaman. Sekelilingnya begitu ramai oleh beberapa meja dengan gerombolan-gerombolan yang saling berbagi tawa. Perlahan Riendra menyesap kopinya, sembari mengamati logo kafe yang tergambar di kaca-kaca penyelubung bangunan. Bentuknya yang melingkar memagari sesuatu yang menyerupai terompet atau speaker. Bentukan yang sama, yang tergambar pada kaos hitam para pelayan kafe tersebut. Lalu ia kembali meletakkan cangkirnya, mengeluarkan ponsel dari tasnya. Merogoh saku mantel, meraih secarik kertas kecil berisi barisan angka. Ia pun membuat sebuah panggilan., dan menunggu panggilan itu tersambung.
“..The number you’re calling is not answer. Please try call again or leave your message after the beep..”
Riendra segera memutuskan panggilan lalu menekan tombol redial. Ia pun mendapatkan jawaban yang sama. Akan tetapi kali ini ia masih menunggu hingga bunyi beep itu terdengar.
“Halo, Asha? Bagaimana kabarmu? Ini aku Rien. Tak terasa sudah lama kita tak mengobrol. Terakhir kali hanya siang itu, setahun lalu melalui telepon. Beberapa kali aku mencoba menghubungimu. Tapi sepertinya kau sudah tak lagi memakai nomor yang sama.. Sebenarnya aku ingin bertanya, kenapa kau sama sekali tak menghubungiku ketika kau kembali ke Indonesia. Namun jika kau memang tak ingin menjelaskannya, tak masalah bagiku. Aku pun tahu hidup kita sudah sangatlah berbeda..” Kata Riendra kemudian mengambil jeda. Menghirup udara dalam-dalam. Kini nadanya lebih ceria saat ia kembali bicara.
“Apa kau tahu, alasanku meneleponmu? Sebab aku di Eindhoven sekarang! Seorang kurator di tempat kerjaku memintaku membantunya mengurus transaksi sebuah barang dan sebuah lukisan dengan seseorang di daerah Bergen.. Mm.. hari ini aku berkunjung ke Van Abbemuseum.  Karena lokasinya yang tak jauh dari Bergen, aku mampir kesana sebentar.. dan aku sama sekali tak mengira, jika aku bisa dapatkan nomor teleponmu dari kantor pengelola disana..”ungkap Rien seraya memandang ke arah anak-anak kecil berbaju hangat berlarian di Catharina Square itu.  
“..Melihat lukisanmu terpajang disana, sepertinya kau hidup sangat baik disini.. tapi aku yakin kau pasti menjadi lebih sibuk sekarang, dibandingkan dulu.. Mm.. membaca label karyamu, aku menjadi semakin tertarik untuk menikmati Eindhoven secara langsung, apalagi sepertinya kau benar-benar lupa menceritakan pemandangan Eindhoven padaku..”lanjut Rien kemudian kembali hening. Matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya menjadi sama sekali tak tenang. Ingin sekali dirinya bertemu teman lamanya itu, meski ia sudah terabaikan. Seharusnya saat itu menjadi malam yang menyenangkan jika mereka bisa bersama.
“Mm.. tapi tak apa jika kau lupa. Toh, sekarang aku bisa melihatnya sendiri. Aku pun tinggal di sebuah rumah di Mauritstraat. Atasanku memiliki teman disini yang bisa memberiku tumpangan. Mungkinkah kau juga masih tinggal di Mauritstraat? Tentangnya, kau benar sekali, Mauritstraat sangatlah tenang tapi juga tak jauh dari keramaian, dan Eindhoven benar-benar City of Lights yang indah.. dan.. Glow Festival ini seperti negeri dongeng..” lanjut Rien seraya mengusap air mata yang menitik di pipinya. “..Sayangnya aku hanya punya malam ini saja untuk jalan-jalan, ya, mungkin sebentar untuk besok pagi. Besok siang aku harus kembali ke Jakarta. Kerena itu, meski udara sangat dingin, kusempatkan untuk berjalan-jalan. Sebenarnya aku berharap bisa bertemu dengan teman lama disini. Tapi aku sadar kondisimu.. Oh ya, sekarang aku punya sanggar seni di rumah. Jika kau kembali ke Indonesia, mampirlah! Mm..kurasa itu saja yang ingin kuceritakan. Kuharap.. kita bertemu lagi suatu hari!”
@@@
Kini matahari terbangun, meski dengan keceriaan yang tak  terlalu tampak. Pagi itu, Riendra telah sampai dan berdiri di sebuah persimpangan jalan tak jauh dari Technische Universiteit Eindhoven. Tepatnya di sisi timur kampus itu. Gadis itu tersenyum sendiri tatkala membaca plat-plat penunjuk nama jalan yang dilaluinya. Nama pulau-pulau di negaranya bermunculan di kawasan itu. Jika ke timur ia akan melewati Javalaan, namun ia hanya ke utara melewati Insulindelaan dan kemudian  bertemu Sumatralaan. Sungai Dommel yang ditemuinya di dekat Van Abbemuseum rupanya berlanjut sampai di area ini, mengalir tenang di sepanjang barat laut jalan itu.
Riendra menatap langit dengan sendu. Matanya menangkap pepohonan tanpa helaian daun yang berdiri di sisi kanannya. Beberapa memang masih memiki daun-daunnya, tapi semua sudah terimbas suhu udara yang sangat rendah menjelang musim dingin. Bisa dibayangkanlah bagaimana nantinya tempat itu jika diselimuti salju. Karpendonkse Plas Eindhoven Winter. Empat kata itu masih melekat erat diingatannya. Mungkin setelah melihat langsung pemandangan tempat itu, ia takkan pernah melupakannya sampai mati.
Tak ada shelter lengkung memang. Belum ada salju pula. Namun keindahan cabang ranting pepohonan tinggi, air danau yang mengkilat, di antara rona putih kebiruan langit, semua itu membuat Rien merasa telah memasuki lukisan itu. Lukisan yang Asha ciptakan. Ia pun memasuki lebih dalam hutan taman itu. Melihat danau Karpendonk secara lebih dekat. Orang-orang tinggi besar berkulit pucat tampak bahagia, bersantai di tepian  perairan luas itu. Riendra kembali menggenangkan air mata. Berharap ia tak sendirian disana. Berharap ia bisa seperti orang-orang itu. Tertawa bersama keluarga, anak-anak atau pun sang kekasih. Namun yang bisa dilakukannya hanya menghampiri sebuah bangku taman kosong dan terduduk di sana dengan kenangan pedihnya. Kenangan indah yang tak bisa terulang adalah kepedihan terbesar baginya. 

“Ngomong-ngomong, teringat tentang film, bagaimana menurutmu dengan From Eindhoven With Love?”
“From Eindhoven With Love??”
“Ya. Ada From Russia With Love, From Bandung With Love, ada pula From Paris With Love, Bagaimana dengan From Eindhoven With Love?Apa yang akan kau lakukan jika kau jadi tokoh utamanya?”
 “Kau ada-ada saja!”seru Rien menertawakan. “Namun menurutku, jika itu memang ada, aku tak ingin jadi pengkhianat, aku akan jadi wanita yang setia sejak awal hingga akhir, bukan mata-mata atau agen rahasia apa pun, dan tanpa misi rahasia apa pun. Aku ingin itu menjadi sebuah dongeng romantis! Ah, tapi Eindhoven ya? Sepertinya aku hanya bisa bermimpi menjadi tokohnya.”papar Rien menjadi tampak sedikit murung.
“Kenapa nada bicaramu begitu? Apakah kau tak tahu jika hidup ini adalah dongeng buatan Tuhan? Selain itu, bukankah mimpi adalah sesuatu yang tercipta untuk dituju? Selama kita percaya pada Tuhan bahwa mimpi itu bisa terwujud, pasti Tuhan takkan pernah mengecewakan kita.. kini aku pun memutuskan untuk mempercayai kemungkinan positif itu! Termasuk memiliki sanggar seni denganmu, seperti katamu tadi..kita ciptakan dunia kita sendiri!”tawa Asha.
“Aish..kau ini selalu saja seperti ini! Kau pasti lupa jika kau adalah pelupa!”desis gadis itu lagi mengingat sifat Asha yang seringkali lupa dengan kata-katanya sendiri.

                “Meski aku pun telah mencoba mempercayainya, sepertinya itu tetaplah sekedar dongeng.  Waktuku tak lama lagi untuk tinggal di  kota ini, tapi aku pun tak menemukan apa-apa selain cinta gemerlapnya malam. Rupanya hanya From Eindhoven Without Love yang cocok menjadi judul kisahku..”gumam Rien pada dirinya sendiri merasa putus asa. Ia kembali menatap ponselnya. Saat itu, sudah kesekian kalinya ia menatap benda itu sejak semalam. Ia bahkan nyaris tak bisa tidur memikirkannya. Keputusannya di Van Abbemuseum ditundanya karena temuannya di dalam gedung itu. Semalaman ia berharap mendengar deringnya. Namun semua hanya harapan kosong baginya. Akhirnya ia hanya memanggil sebuah nomor telepon berawalan +62 untuk menghibur diri.
                “Halo, Ibu? Apakah aku mengganggu ibu?”
“Ah, Rien! Sama sekali tak mengganggu! Ada apa? Tumben menelepon?Kenapa tak SMS saja?  Bagaimana kabarmu di Holland”
“Aku baik-baik saja. Aku hanya kangen suara ibu saja. Sekarang aku sedang jalan-jalan di Karpendonkse plas. Aku bisa melihat danau dengan pemandangan cukup indah disini! Siang ini aku akan berangkat pulang. Bagaimana kabar rumah?”
“Orang-orang di rumah baik-baik saja. Semua muridmu pun dihandle ayahmu dengan materi yang kau berikan, tapi ya begitulah, ujung-ujungnya ayahmu lebih banyak mendongeng dengan beragam filsafat. Oh ya, sore tadi ada kiriman untukmu.”
“Kiriman? Dari siapa? Apakah itu dari Jannie Janssen?”
“Mm..ntahlah, dari siapa. Tadi adikmu yang menerimanya.”
“Apakah itu sebuah lukisan?”
“Dari cara mengemasnya, sepertinya itu lukisan.”
“Wah, tak kusangka kirimannya datang secepat ini. Ah, kalau itu benar dari Jannie Janssen, berarti aku harus segera menghubungi Pak An agar ia bisa segera mengambilnya.”
“Hm..begitu. Ngomong-ngomong apa pekerjaanmu di sana sulit?”
“Mm..tak terlalu sulit. Aku malah lebih banyak berjalan-jalan disini. Ya, mungkin masalahnya hanya sedikit pada faktor keuangan. Semuanya terasa sedikit mahal disini. Oh ya, aku juga memotret banyak tempat. Semalam ada Glow Festival yang sangat keren. Intalasi lampu yang menghiasi bangunan ada dimana-mana. Kota ini benar-benar pemilik Philips sejati!”
“Ya sudah, baguslah kalau kau merasa senang berada di sana. Nanti berhati-hatilah saat pulang. Jaga dirimu baik-baik!”
“Iya, Bu. Jangan khawatirkan aku! Mm, ya sudah, kalau begitu. Aku tutup teleponnya sekarang, ya!”
“Ok. Sampai jumpa di rumah!”
Riendra pun menyimpan lagi ponselnya. Setelah bicara dengan ibunya, ia merasa lebih baik. Ibunya tak pernah gagal untuk membuatnya sedikit lebih tenang. Namun tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh bunyi tanda pesan masuk dari ponselnya.
“Apakah ada yang lupa disampaikannya?”pikir Rien yang mengira itu SMS dari ibunya. Akan tetapi yang muncul adalah sebuah nomor tak dikenal.
“Nice to see you again!
Jantung Rien seakan berhenti seketika. Apakah ini Asha?Mungkinkah ia?
Gadis itu mendongak. Melesatkan pandangan ke segala penjuru. Namun tak ada sosok yang dikenalnya. Hanya orang-orang berkulit pucat yang ditemuinya. Mencoba mencari siapa yang memegang ponsel. Tapi tak satu pun di antara mereka melakukannya.
“Sorry, who are you? Are you Asha?”balas Rien penuh harap. Tak lama kemudian sebuah pesan masuk lagi.
Kali ini bukan pesan teks. Hanya sebuah potret. Satu potret yang sudah sangat dikenalnya. Sesuatu yang sudah lama tak dilihatnya. Satu yang paling berharga bagi pengirimnya. Rien pun langsung ternganga dibuatnya. Jantungnya kini berdebar sangat cepat. Seperti detik waktu bom yang nyaris meledak. Perasaannya bercampur aduk tak menentu. Ia pun bergegas bangkit dan matanya mencari lagi dengan lebih teliti. Hingga akhirnya ada sosok di kejauhan, dari arah restoran di sisi barat danau itu, berjalan ke arahnya. Seorang Asha tersenyum lebar dari kejauhan, membuat Rien tanpa sadar melinangkan air matanya.
Di detik yang sama, sebuah pesan baru menyusul masuk ke dalam inbox-nya. Namun kali ini dari nomor ibunya. “Barusan ibu lihat, kiriman itu bukan dari Jannie Janssen, bahkan tak ada alamat pengirimnya. Yang ada hanya inisial AG.”
Rien pun cepat-cepat melihat lagi ke arah Asha dengan tatapan kaget. Penuh tanda tanya. Pemuda itu hanya tersenyum lembut dengan kasih sayang di pancaran matanya ketika akhirnya mereka tepat berhadapan. Mata mereka akhirnya bertemu kembali setelah sekian lama. Tanpa kata. Hanya saling memandang haru. Keduanya pun tersenyum lebar dalam tangis bahagia Riendra.

*Now You See Me    *
Malang, 18 Desember 2014






The events, character, illustration and firms depicted in this story are fictitious. Any similarity to actual persons, living or dead, or actual firms is coincidental.




No comments:

Post a Comment