Tujuan utama perjalanan ini tak tahu
yang mana. Hanya saja saat itu aku dan seorang temanku memang ada tujuan
menghadiri Technical Meeting
sayembara desain yang diadakan Universitas Gajah Mada. Pertemuannya tak terlalu
lama tapi kami di Yogyakarta tinggal sedikit lebih lama dari itu.
Pagi itu aku dan Rica berangkat dari
kos menuju terminal Landungsari. Sesampainya disana kami langsung pindah ke dalam bus menuju Kediri. Bertujuan
untuk naik kereta dari stasiun Kediri menuju Yogyakarta. Kakak Rica sudah
menyiapkan tiketnya disana. Jadi ketika sampai di Kediri kami berdua tinggal
duduk manis menanti jam keberangkatan kereta.
Berbeda dengan Rica yang sudah
berulangkali naik kereta api, ini pertama kalinya aku menempuh perjalanan
dengan alat transportasi ini. Benar rupanya, terasa lebih menyenangkan. Lebih
banyak pemandangan alami dibanding pemandangan saat menempuh perjalanan dengan
bus. Kami bertujuan turun di stasiun Lempuyangan. Aku yang saat itu tak tahu
apa-apa soal kereta dan stasiun hanya mengikuti alur. Bahkan ketika tiba di
stasiun tujuan pun aku tak sadar.
“Apa
kita sudah sampai?”
“Nggak
tahu.”jawab Rica.” Kita sampai mana sih sekarang?”
“Ntahlah.”sahutku.
Kami berdua pun sama-sama memandang ke
luar jendela mencari sesuatu semacam tulisan, yang mungkin bisa memberitahu
kami tentang lokasi kami sekarang. Oh
sial!
Kami pun bergegas turun saat menyadari adanya jajaran
hurus yang berbunyi “Lempuyangan”. Sedikit bingung harus kemana meski aku sudah
membuat janji bertemu pamanku.
Akhirnya
kami ke musholla lebih dulu sambil menunggu pamanku datang. Setelah menemani
Rica sholat, kami berdua duduk di depan pos menanti kabar selanjutnya dari pamanku
yang hendak menjemput kami. Aku menunggu sambil menghabiskan bekalku. Orem-orem
gosong buatanku yang tinggal satu bungkus. Sampai kemudian akhirnya pamanku
datang juga. Kami pun meninggalkan stasiun.
Pamanku
datang bersama temannya. Karena pamanku hanya memiliki sebuah sepeda motor,
jadi untuk menjemput dua orang ia butuh bantuan orang lain. Tak terlalu lama
kami di parkiran stasiun. Dalam sejenak kami sudah meluncur di jalanan malam
kota Jogja. Sangat melegakan kami sudah sampai di kota tujuan.
Jogjakarta
tak jauh berbeda dengan Malang. Meski ini baru kedua kalinya aku ke kota ini,
bagiku semua terasa sangat familiar. Padahal kunjungan pertamaku pun itu sudah
lama saat aku SMP kelas 2. Suasana di kota ini sangat menyenangkan. Meski ini
bukan kota kelahiranku, tapi aku merasa seperti barusaja pulang ke rumahku.
Semua terasa ramah, perpaduan antara kesejukan dan perasaan hangat.
Sesampainya
di daerah Pogung, tepatnya di sebuah kompleks mes pengrajin batik di Jalan Pandega
Marta, di samping galeri di blok A-1 itu ada sebuah rumah tempat tinggal
pamanku. Sebuah mes yang cukup bersih dengan beberapa orang tinggal bersama. Di
dalam rumah itu ada semacam ‘innercourt’ untuk
jemuran. Ya semacam rumah kos pada umumnya. Rumah itu ditempati oleh para
bujangan dan gadis-gadis yang belum menikah, yang mayoritas adalah pelajar yang
sedang praktek kerja. Di antara semua, pamanku adalah yang tertua dan
satu-satunya tinggal bersama keluarga utuh. Paman dan bibiku menjadi
penanggungjawab isi rumah itu.
Di
teras kamar-kamar yang menghadap ke ‘innercourt’ itu ada sebuah televisi dan
kursi kayu berukir untuk penghuni rumah itu berkumpul. Innercourt yang ada bentuknya memanjang, menjadi pembatas antara
area laki-laki dan perempuan. Kedua area
terhubung di ujung, disatukan oleh area servis (dapur dan kamar mandi). Sedangkan area di mana aku berada (teras
ruang pamanku) adalah area paling luas. Di area ini terdapat rak-rak untuk
peralatan membatik teknik cap, ada pula beberapa gawangan dan kompor-kompor
kecil. Ada pula sebuah meja kerja kecil dengan beberapa tumpukan kertas, yang
biasanya dipakai pamanku untuk merancang motif batik.
Setelah
sejenak beristirahat dan mengobrol dengan paman dan bibiku – Mm..biasanya
kupanggil mereka dengan sebutan om dan bulik, bulikku pun mengajak aku dan Rica
jalan-jalan sekalian mencari lalapan untuk makan malam. Kami juga pergi bersama
Silvy dan Vicky, dua orang sepupuku yang masih kecil. Karena kompleks ini tak
terlalu jauh dari Universitas Gadjah Mada, ada banyak rumah kos dan kontrakan
mahasiswa, yang otomatis banyak juga kedai makanan yang khas lingkungan kosan.
Ramai oleh muda-mudi. Sejenak kami mampir ke minimart, lalu pulang, makan
malam, dan istirahat.
Pagi-pagi
kami sudah bangun. Aku menemani bulikku beli sarapan. Katanya beli makanan
lebih murah daripada memasak. Dan benar, makanan disana sangat murah. Aku
sangat menikmati perjalanan pagi itu. Lingkungan yang benar-benar bersih dan
menyegarkan. Semua orang pun sangatlah ramah.
Setelah
sarapan, dan sedikit bersantai, aku, Rica, bulik dan si 3 tahun Silvy, jalan
kaki menuju Monumen Jogja Kembali yang cukup dekat dari tempat tinggal kami.
Vicky yang saat itu masih SD tak bisa ikut karena harus sekolah di antar oleh
pamanku. Gaya arsitektural kampung ini benar-benar Jogja sekali. Ini liburan
yang menyenangkan. Apalagi saat tiba di Monjali yang masih sepi, saat itu jam 10 pagi. Meski menjadi terasa horor tapi
kami bisa bebas disini dan bisa lebih hikmat lagi menikmati petualangan di
dalamnya.
Monumen Jogja Kembali yang berbentuk
gunung ini mulai dibangun pada tanggal 29 Juni 1985. Pembangunan monumen ini
ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan
Sri Paduka Paku Alam VIII. Dalam upacara peletakan batu pertama ini diadakan
upacara tradisional penanaman kepala kerbau. Empat tahun kemudian, tepatnya
pada tanggal 6 Juli 1989, monumen setinggi 31,8 meter ini selesai dibangun.
Kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto. Monumen Yogya Kembali terletak di
Jalan Lingkar Utara, dusun Jongkang, desa Sariharjo, Kecamatan Ngaglik,
kabupaten Sleman, Yogyakarta. Didirikan di atas lahan seluas 49.920 m2.
Pada halaman area masuk dituliskan
sejumlah 422 nama pahlawan yang gugur di daerah Wehrkreise III (RIS) antara
tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan 29 Juni 1949. Denah museum ini memiliki
bentuk dasar paduan antara lingkaran dan persegi. Bentuk keseluruhan menyerupai
piramid atau gunung. Seperti Museum Brawijaya, bangunan inti monumen ini
dikelilingi oleh kolam, yang dibagi oleh empat jalan menuju bangunan utama.
Jalan barat dan timur menghubungkan dengan pintu masuk lantai satu. Sementara
itu jalan utara dan selatan terhubung dengan tangga menuju lantai dua.
Pada lantai satu terdapat 4 buah
Ruang Pamer, Ruang Pemandu, Ruang Tata Usaha, Perpustakaan, Ruang Kepala BPMYK,
dan Ruang Serbaguna yang berada tepat di tengah dengan diameter sekitar 25
meter. Terdapat pula area servis di
dekat Museum 4. Di area luar terdapat beberapa patung dan foto-foto bersejarah
di pasang di dinding luar ruang serbaguna. Ada sedikitnya 1.000 koleksi di lantai 1 tersebut memamerkan peritiwa Satu
Maret, perjuangan sebelum kemerdekaan hingga Kota Yogyakarta menjadi ibukota
RI. Kemudian seragam Tentara Pelajar dan kursi tandu Panglima Besar Jenderal Sudirman
yang masih tersimpan rapi di sana. Di samping itu, ada juga ruang Sidang Utama,
yang letaknya di sebelah ruang museum I.
Saat awal perasaan ini santai-santai
aja. Foto-foto di sana-sini. Pas di luar pun dengan cerianya foto di bawah ‘Jamur’.
Sampai akhirnya saat masuk ruang pamer museum perasaan mulai berubah. Kami
masuk secara tak urut, hanya suka-suka dari museum satu lompat ke sana lalu
balik kesini lagi karena waktu itu sempet agak bingung ntah karena apa. Tak ada
orang lain selain petugas di pintu masuk. Yang ada hanya kami berempat. Sedikit
merinding saat lihat suasana jaman dulu di suasana remang-remang. Patung-patung
menjadi terlihat horor, apalagi saat lihat rambut patung wanita berbaju putih.
Tapi untungnya ada patung mas-mas cakep dengan sepeda ontelnya. Tapi horor lagi
kalau lihat tempat tidur serba putih di atas karpet merah.
Kami tak terlalu lama, segera
beralih untuk foto bareng dengan torsonya Soekarno-Hatta di samping naskah
proklamasi yang gede, bendera warna-warni, kapal-kapal cantik, senapan-senapan,
granat, alat komunikasi jadul, keris, tombak dan lain-lain. Ngeri lagi pas
tiba-tiba lihat tandunya Panglima Sudirman. Apalagi pas itu bulik sama Silvy
ntah kemana. Hanya ada aku dan Rica berdua di ruang itu sampai kemudian kami
harus lari secara tiba-tiba karena dengar suara aneh pas asyik-asyiknya
foto-foto.
Dilantai dua ada diorama yang kalau
dipotret terasa real banget. Sumpah dah keren. Ada 10 diorama disini melingkari
bangunan yang menggambarkaan rekaan situasi saat Belanda menyerang Maguwo pada
tanggal 19 Desember 1948, SU Satu Maret, Perjanjian Roem Royen, hingga
peringatan Proklamasi 17 Agustus 1949 di Gedung Agung Yogyakarta. Sedangkan
diluar, di dindingnya yang terukir 40 relief yang menggambarkan peristiwa
perjuangan bangsa mulai dari 17 Agustus 1945 hingga 28 Desember 1949. Sejumlah
peristiwa sejarah seperti perjuangan fisik dan diplomasi sejak masa Proklamasi
Kemerdekaan, kembalinya Presiden dan Wakil Persiden ke Yogyakarta hingga
pembentukan Tentara Keamanan Rakyat.
Namun sebelum keluar melihat relief,
kami sempat naik ke lantai 3. Ruang untuk mengheningkan cipta. Ruang itu
berbentuk dasar melingkar, dilengkapi dengan tiang bendera yang dipasangi
bendera merah putih di tengah ruangan. Saat melihat ke atas ada relief gambar
tangan yang menggambarkan perjuangan fisik pada dinding barat dan perjuangan
diplomasi pada dinding timur. Ruangan bernama Garbha Graha itu berfungsi
sebagai tempat mendoakan para pahlawan dan merenungi perjuangan mereka.
Menurut ceritanya, monumen ini
dibangun di satu garis sumbu imajiner Laut Selatan – Kraton – Tugu – Merapi,
dan posisi titik temunya tepat di tempat tiang bendera berdiri. Lokasi monumen
ini ditetapkan oleh Sri Paduka Hamengku Buwono IX dengan alternatif diantaranya
terletak digaris poros antara gunung Merapi – Monumen Yogya Kembali – Tugu Pal
Putih – Kraton – Panggung Krapyak – Laut Selatan.
No comments:
Post a Comment