Cinta
itu ibarat violin dan bow-nya, keduanya saling membutuhkan..
Rei membelokkan mobilnya ke kiri,
naik, memasuki kompleks hunian itu dan kemudian memutar kembali menurun.
Dihentikannya mobil di sudut tikungan jalan masuk perumahan tersebut. Saat
berhenti, tepat dihadapan mereka berdua terpapar kelipan lampu-lampu Malang
Raya dari ketinggian. Perumahan Graha Dewata bergaya bangunan ala Bali yang dihiasi
ukiran-ukiran khas itu sudah sepi dan tenang, hanya angin malam sedingin air es
yang ada, berbisik berhembus. Meski malam hari, siluet Arjuna masih dapat
sedikit terlihat dengan terangnya purnama dan bintang.
Riendra merapikan frills bagian bawah rok semi-kloknya yang berbahan georgette itu, lantas beralih menutup kaca mobil dan kemudian turun keluar. Berhenti,
menyandar di moncong jeep itu.
Dirapatkannya ritsleting jaketnya hingga menutup leher saat Rei menyusul
berdiri di sampingnya.
“Hmm.. ini sangat nyaman.. Tapi
malam ini terasa sangat dingin...” Riendra mengangguk seraya menggosok kedua telapak
tangannya agar merasa sedikit hangat. “..Lebih dingin dari biasanya.”tambahnya.
Rei mengintip jam yang bersembunyi di balik manset lengan kemejanya. Pemuda itu
sendiri tak terlalu tertarik dengan pemandangan itu. Ia sudah terlalu sering
menyaksikannya.
“Mungkin karena ini sudah hampir
tengah malam. Sekarang sudah jam sebelas.” kata pemuda itu.
“Apa? Jam sebelas?” Riendra
tersentak. Sejak karaoke bersama teman-temannya seusai pesta yudisium, ia
memang sama sekali tak membuka ponsel – satu-satunya penunjuk waktu yang
dibawanya, dan ia tak mengira semua berjalan sangat cepat.
“Ya, kenapa memangnya? Apakah kau
ingin segera pulang?”
“Ah, bukan begitu, hanya tak
mengira ini sudah larut.”sahutnya kemudian hening. “Aku masih ingin
disini.”lanjutnya.
“Hm..tapi sebaiknya jangan terlalu
lama. Lebih baik kau pakai waktumu malam ini untuk segera istirahat.” Riendra
tak merespon komentar Rei itu. Tak peduli, meski ia tahu benar sikap Rei yang
sangat menghargai waktu. “Kau tak seperti biasanya, apakah ada masalah?”tanya
Rei kemudian.
“Tak ada. Aku baik-baik saja.” sahut
gadis itu lirih. Aku baik-baik saja,
kuharap begitu.
Gadis itu pun menyimpan tangannya ke dalam saku
jaket.
Rei
menatap wajah gadis itu lekat. Ia sadar, kekasihnya tak baik-baik saja. Meski
tiupan angin menerbangkan rambut panjang gadis itu ke depan, sesekali ia masih
bisa melihat sorot mata Riendra yang kosong. Bisa dipastikan gadis itu
memikirkan hal yang tak bisa dilihatnya detik ini.
“Jika
kau memang baik-baik saja, kenapa wajahmu seperti itu, tersenyumlah! Ini
seharusnya jadi malam yang menyenangkan.”
“Malam ini memang malam yang
indah.. bahkan terlalu indah untuk berakhir..”desah Riendra sambil menyisipkan poni
panjangnya ke belakang telinga. Aku takut ini akan menjadi malam perpisahan.
Antara aku dan dia, Asha. Maafkan aku, Rei. Jika aku baru sadar, bahwa aku
belum sanggup berjalan seutuhnya di sampingmu.
@@@
Sekitar setengah tahun yang lalu. Di
suatu malam pertengahan Mei 2010. Perpustakaan kota telah sepi. Di ruang itu
hanya tersisa lima orang yang bergeming di bangkunya, tersebar dalam tiga
bagian. Empat orang lainnya sibuk menghadap buku-buku dan beberapa lembar
catatan. Satu tertidur pulas di samping seorang rekannya. Mereka berdua
terpisah dari tiga lainnya yang tak mereka kenal.
“Riendra, bangun! Ayo
pulang!”panggil seorang pemuda berjaket kelabu pada gadis yang tidur di
sampingnya. “Rien!”panggilnya lagi sambil menepuk punggung Riendra. Gadis itu
pun terperanjat.
“Ah, sudah selesai?”
“Ya. Cepat bereskan barangmu!”sahut
Asha sambil merapikan lembaran-lembaran HVS miliknya.
Riendra merapikan kuncir rambutnya tatkala
Asha beranjak bangun mengembalikan buku ke dalam rak yang tak jauh dari mereka
duduk. Gadis itu pun langsung memakai lagi jaket merahnya, meraih pena dan buku
catatan miliknya lantas meninggalkan bangku saat Asha sudah siap untuk pergi.
“Ah, aku lapar..” rengek gadis itu
saat melintasi pintu keluar gedung perpustakaan kuning tersebut.
“Kau mau makan dimana setelah ini?”tanya
pemuda yang selama ini telah dikagumi oleh Riendra sejak lama, yang bahkan
dikagumi banyak orang, pria atau wanita, karena kecerdasan dan ketangkasannya. Asha
memang bukan sosok yang sangat tampan, namun ia memiliki tubuh yang tinggi
ideal bagi Rien dan selalu berpenampilan
santai tapi rapi.
“Ntahlah, mm..ayo makan pangsit!”
“Pangsit?”
“Ya, tiba-tiba aku ingin mie pangsit
yang ada di dekat rumah kontrakanmu.”
“Hm..baiklah.”
Setelah berjalan melewati sebuah jembatan besar, terpampanglah gedung-gedung tinggi bernuansa biru
dan glossy , kompleks gedung kuliah Politeknik
Negeri Malang yang dirasa
sudah tak asing lagi
saat itu. Jalanan padat, meski ini bukan ibu kota Jakarta atau pun Surabaya, namun kemacetan
total lumayan sering berkunjung. Apalagi saat orang-orang
dari apartemen di persimpangan jalan itu sedang sibuk
menyelesaikan proyeknya.
Asha
meyelinap ke tepi jalan untuk menghindari mobil-mobil besar yang menghambatnya.
Merapat ke samping jalan pedestrian di halaman jajaran kedai makan, distro pakaian, kafe, dan ruko yang
benar-benar merebak berbaris di sepanjang
jalan. Angkutan
umum bertuliskan ABG warna biru yang antri di depan Politeknik itu pun tak mau
kalah memenuhi
bahu jalan, ditemani
penjual jajanan kaki lima,
atau penjual binatang yang
meramaikan trotoar
memamerkan kucing dan
anjing ratusan ribu.
Tak lama kemudian, sepeda motor
yang dikendarai Asha dan Riendra itu mengular ke celah-celah kendaraan lain menuju
lajur kanan, memutari pembatas jalur, putar balik. Lalu menikung ke kiri jalan.
Sekitar 50 meter melintas, ada kedai mie yang cukup laris di kiri jalan
Semanggi Timur tersebut. Tak lama kemudian, motor mereka terparkir, disambut
dengan dendangan musik hiphop yang
terlontarkan dari kafe studio tari di bagian kanan belakang kedai itu. Dari
situ terlihat pula pintu kaca studio yang memperlihatkan samar-samar gerakan
latihan para dancer.
“Tak mau berkunjung?”tanya Asha pada
Riendra sambil melirik ke studio.
“Untuk apa? Aku bukan dancer lagi. Lagi pula aku hanya ingin
makan sekarang.”sahut Rien tak acuh langsung berjalan masuk ke dalam warung mie
itu.
“Sekarang jam berapa?”tanya
Riendra pada Asha tatkala pesanan mereka tiba.
“Tujuh
lebih dua puluh.”
“Hm..sepertinya
sudah banyak orang yang kembali ke aula jam segini.”
“Harusnya
mereka semua sudah kumpul, bahkan mungkin sudah mulai melanjutkan dekor.”komentar
Asha dengan santai menuang saus ke dalam mangkuknya.
“Apakah
tak apa kita terlambat?”
“Ah,
tak masalah..”
“Bukankah
kau penanggungjawabnya?”balas Rien lalu melahap makanannya.
“Itu
bukan hal yang perlu dikhawatirkan! Tapi kalau kau memang khawatir, selesaikan
saja makanmu dengan cepat.”
“Ya..aku
mengerti.”
“Mm..ngomong-ngomong, kenapa kau
tak menari lagi?” tanya Asha. Riendra mendesah.
“Menguras tenaga. Meski aku
sangat mencintai tari, aku tetap tak bisa melakukannya. Aku bukan pengatur
waktu yang baik”jawab gadi itu lalu melahap makanannya.
“Jika
kau suka tari, kenapa tak ambil jurusan seni tari? Kenapa justru seni rupa?”
“Apakah
tak boleh??”tukas Rien
“Bukan
masalah boleh atau tak boleh. Aku hanya tanya saja.”
“Hm..dunia
ini, kita butuh sesuatu untuk dikorbankan dibakar, agar lentera bisa
menyinari..”
“Apa
maksudmu?”
“Maksudku,
kau tahu kan, ibuku adalah penari dan ayahku seorang guru sastra yang suka pada
seni rupa tapi tak terlalu berbakat, mereka ingin menjadi keluarga yang lengkap
dengan seniman rupa dan musik..dan akulah yang disuruh terjun ke seni rupa
sebab adikku sudah lebih dulu menyukai musik. Jadi aku harus menerima nasib
ini, demi menyenangkan hati keluargaku. Lagipula aku tak perlu masuk jurusan
tari untuk belajar, aku bisa berguru pada ibuku.”
“Ah,
jadi begitu..”
“Mm..ngomong-ngomong,
menurutmu, apakah aku memang terlihat tak cocok di jurusan ini?”
“Hm..bagaimana
ya, dalam seni lukis menurutku kau cukup berbakat, tapi dalam seni memahat, menurutku
tak lama lagi kau akan dapat hadiah piring cantik..”papar Asha dengan wajah
meledek.
“Piring
cantik??”
“Ya,
bukankah biasanya produk yang dijual di pasaran memakai piring cantik sebagai
hadiah? ‘Beli 2 bonus 1 piring cantik!’
Sedangkan kau sudah menjadi pelanggan setia handsaplast
selama ini, jadi mungkin setelah ini kau akan dapat hadiah piring cantik!”
“Aish..!”desis
Rien mendengus kesal.
“Tapi
baguslah kau masuk seni rupa, dengan begitu kita bisa berteman, kan?”kata Asha
kemudian. Membuat Rien hanya bisa terdiam, termenung.
@@@
Riendra
dan Asha kini sudah tak lagi di jalanan. Mereka sudah sibuk di dalam ruangan
seluas 700 m2 bergaya kontemporer tersebut. Perpaduan unsur klasik dan
modern menyatu dalam interior aula pamer yang siap memajang beberapa karya
dwimatra dan trimatra, yang berupa lukisan kanvas, lukisan kaca, keramik, dan
beberapa sculpture.
“Hei,
kenapa tiba-tiba diam saja disitu? Ayo bantu aku mengatur panel!”tegur Rien
pada Asha yang hanya berdiri di depan sebuah lukisan.
“Ini
buatanmu, kan?”sahut Asha tak acuhkan perintah Rien.
“Mm..memangnya
kenapa?”
“Ntahlah,
kurasa aku menyukainya. Eye Shelter!”
“Aish,
sudah, jangan beromong kosong! Ayo cepat bantu aku!”pinta Rien sambil menarik
lengan kaos Asha. Akan tetapi justru tangannyalah yang kalah, ditarik oleh Asha.
“Disinilah sebentar!”suruh Asha
kemudian melepas pergelangan tangan Riendra.
“Untuk
apa? Mendengarkanmu menghina lukisanku?!”
“Saat yang kau lihat adalah sebuah mata, disitulah
kita kan bertemu.. Ketika kau melihat sebuah shelter di tengah hutan, maka kau pun akan
melihat seorang gadis kecil bernaung di bawahnya. Jika kau mampu melihat semua itu,
maka ingatlah satu sosok itu, satu aku yang menunggumu..”eja Asha
membaca label karya Riendra. “Apa maksudnya itu? Maaf jika selama ini aku tak
terlalu memperhatikannya saat evaluasi di kelas.”lanjut Asha sambil
memperhatikan lukisan yang terdiri atas rangkaian garis-garis bercabang,
membentuk gambar yang menyerupai sebuah
mata beserta pembuluh-pembuluh kecil di sudut-sudutnya. Perpaduan warna maroon
berintensitas rendah, hitam, putih dan sedikit warna olive pada bagian iris
memberi kesan tersendiri bagi Asha.
“Maksudnya? Ya itu maksudnya.. Apakah kata-kata itu
kurang jelas? Hmm..jadi begini, kau lihat, kan, gambar mata itu? Mata itu
ibarat sebuah pertemuan. Setiap orang dikatakan bertemu jika mereka bisa
melihat mata lawannya. Lalu jika lukisan itu di balik 1800 maka yang
terlihat adalah gambar yang menyerupai sebuah shelter di tengah hutan, hutan
itu ditunjukkan oleh garis-garis bercabang itu, garis yang menyerupai cabang
pepohonan yang juga menyerupai cabang pembuluh darah yang biasa terlihat di
bola mata..”terang Rien membuat Asha mengangguk-angguk mulai mengerti. “..dibawah
shelter berbentuk lengkung itu kugambarkan rakitan garis yang menyerupai sosok
seorang gadis, bisa kau bayangkan?”
“Ya, ya.. aku mengerti..”
“Ya sudah, jika kau bisa menangkap gambar shelter dan
gadis itu, kau bisa anggap itu adalah seorang gadis yang sedang menunggu
sesuatu atau kedatangan seseorang.” pungkas Rien.
“Hmm..jadi
begitu..mm..ngomong-ngomong, kau sedang menunggu siapa hingga membuat lukisan teka-teki
seperti ini?”goda Asha.
“Aku
menunggumu bekerja memasang frame di
panel!”sentak Riendra seraya memukul kepala Asha lalu berjalan pergi. Laki-laki
itu hanya tertawa.
@@@
“Ah,
akhirnya selesai!”Asha menghela napasnya lega. “Terimakasih semuanya,
terimakasih sudah saling membantu!”serunya pada teman-temannya yang mulai
menghambur keluar aula. Setelah ruang itu bersih dari manusia, Asha pun turut
keluar dan mengunci pintu aula bersiap pulang. “Rien!” alihnya pada Riendra
yang masih setia menunggunya di bangku teras aula pamer.
“Apa?”sahut
gadis itu.
“Kau
sudah simpan semua data dari perpustakaan itu, kan? Jangan lupa mengetiknya dan
bawa besok pagi. Kita harus mencetaknya dan memasangnya besok, sebagai
informasi di zona pamer historis.”tutur Asha saat mereka mulai berjalan menuju
keluar gedung.
“I know that!”sahut Riendra saat Asha
tiba tepat di sampingnya.
“Hm..apakah
ini pameran terakhir kita di kampus?”tanya pemuda itu tiba-tiba.
“Kenapa
kau tanya begitu?”
“Ntahlah,
rasanya semua ini berlalu sangat cepat. Waktu kita yang tersisa tak lebih dari satu
tahun lagi, beberapa sudah siap dengan skripsi dan mungkin hanya butuh setengah
tahun untuk bertahan disini. Terlalu cepat berakhir. Setiap semester kita
seperti ini, menyelenggarakan pameran bersama-sama. Rasanya pasti aneh saat
kita semua sudah lulus dan menjalani hidup masing-masing, di kota
masing-masing, dunia masing-masing..kalau mungkin membuka pameran, pastilah
sendiri-sendiri..dengan keahlian mereka sendiri-sendiri.”
“Mm..kau
benar juga. Kalau begitu, kenapa kita tak buka saja sendiri dunia kita?”
“Apa
maksudmu?”
“Mm..semacam
membuka sanggar seni, studio untuk kita berbagi, bersama anak-anak kecil, lalu
membuat pameran..”
“Itu
ide cemerlang, tapi apakah itu mungkin?”
“Ntahlah.”sahut
Rien kemudian tertawa. “Aku juga hanya bercanda. Aku juga yakin, kau pasti tak
mau melakukannya, sebab kau sudah bosan bertemu denganku yang sangat merepotkan
ini.”
“Jika
aku berniat bosan, mungkin kita sudah tak saling bicara detik ini!”sahut Asha terlihat
tak suka kemudian berjalan lebih dulu menghampiri motornya. Sedangkan Riendra
sendiri justru memperlambat langkahnya, kalut dengan pikirannya sendiri.
Apa sebenarnya hubungan
kita? Teman? Sahabat?Kekasih? Kau selalu bersikap seperti ini padaku, dan
kata-katamu.. Apa sebenarnya aku bagimu? Dan apa artinya dirimu bagiku
sesungguhnya?Kenapa aku merasa aku lebih takut akan perpisahan itu?Aku takut
kaulah yang akan melupakan kata-katamu sendiri, dan meninggalkanku,
satu-satunya yang akan merasa kehilangan momen itu.
“Hei,
kenapa bengong? Apa kau tak ingin pulang?!”seru Asha yang sudah siap menjalankan
motornya. Rien segera berlari menghampiri. Pemuda itu pun menyodorkan helm ungu
milik gadis itu. Tak lama kemudian keduanya meluncur.
“Oh
ya, jam berapa sekarang?”
“Jam
setengah dua belas.”jawab Asha yang masih mengemudi.
“Apa?!
Setengah dua belas?! Sial! Aku lupa bilang pada kakak kosku, pasti gerbangnya
sudah dikunci.”
“Ya
sudah, telepon seseorang saja nanti, untuk buka pintunya.”
“Ya.
Itu pasti.”
“Mm..ngomong-ngomong
bagaimana besok ya, apakah menurutmu pamerannya akan ramai?”
“Aku
tak tahu, semoga saja ramai.”
“Ya,
semoga juga banyak karya yang terjual, lumayan untuk kas angkatan.” Sahut Asha.
“Oh
ya, Asha, mengenai lukisanmu, kau bilang itu lukisan berharga, bagaimana kalau
ada seseorang yang ingin membelinya?”
“Bukankah
aku sudah bilang, aku tak menjualnya.”
“Kenapa?
Bukankah lukisanmu itu sangat bagus, harusnya bisa terjual dengan harga tinggi!
Itu bisa jadi pemasukan besar untukmu dan himpunan! Semua dosen bahkan
menyukainya, sudah jelas, kan, ada kemungkinan seseorang akan tertarik
membelinya.. kalau aku punya banyak uang saja aku pasti akan membelinya, atau
mungkin kalau kau mau memberikannya padaku secara gratis, pasti dengan senang
hati aku akan menyimpankannya untukmu hehe..”
“Mm..
Tapi rasanya aku masih tak rela jika harus kehilangannya. Kau tahu, kan, makna
lukisanku?”
“Hm..maknanya,
ya?” sahut Rien seraya mengingat lukisan Asha yang memiliki paduan warna
maroon, abu-abu, hitam dan putih. Digambarkan dengan gaya semi-ekspresionisme menyerupai mozaik warna membentuk sebuah biola kaca. “..Lukisanmu itu berjudul The Fidelity, disitu kau gambarkan biola
kaca sebagai simbol fidelity, intinya
tentang kesetiaan, kepercayaan dan sesuatu yang berharga. Hanya itu yang
kuingat.”
“Biola
Kaca adalah penggambaran ‘The Fidelity’,
kesetiaan, ketepatan, dan kepercayaan. Sesuatu yang sangat berharga. bow-nya adalah lambang
kesetiaan. Biola ibarat seseorang, musik yang dimiliki, yang dikeluarkan biola
ketika dimainkan merupakan penggambaran potensi atau sesuatu yang membuat orang
terkesan, semua tergantung ketepatan pergerakan tongkat yang menyentuhnya. Keduanya
saling membutuhkan. Kaca yang sangat indah saat terkena cahaya tapi mudah rapuh
adalah sesuatu yang berharga yang perlu dijaga sebaik-baiknya. Biola kaca
adalah sesuatu yang tak bisa diberikan dan dimiliki sembarang orang, sebab dalam
hal itu dibutuhkan adanya sebuah kepercayaan. Bagiku, lukisan biola kaca itu
juga simbol dari cinta, yang tak bisa kita bagikan pada siapa saja.”ungkap
Asha.
“Ah,
jadi begitu. Dengan kata lain pikiranmu mengatakan cinta itu ibarat violin dan bow, keduanya saling membutuhkan..dan keduanya tak boleh
terpisahkan. Lalu karena biola kacamu itu adalah lambang cintamu, kau tak bisa
menjual cintamu begitu saja pada orang lain??”
“Karena
itu adalah lambang dari sesuatu yang berharga, dan paling utama, menggambar
lukisan satu itu tak mudah bagiku, jadi aku hanya akan memberikannya pada orang
yang berarti.”
“Wah,
orang yang berarti? Yang kau cintai?!”seru Rien tak mengira. “Tak kusangka kau
punya pikiran yang romantis semacam itu! Benar-benar alasan yang lucu!”komentar
gadis itu menertawakan temannya.
“Berhentilah
tertawa!”
“Mm..tapi
untuk memotretnya boleh, kan? Aku akan mencetaknya nanti dan memajangnya di
kamarku!”goda gadis itu.
“Hei,
itu sama saja dengan mencuri! Satu potretan saja itu juga penting! Tak beda
jauh dengan meminjamkannya. Sama seperti penari ritual, aura sakralnya akan
hilang jika ia difoto sebelum pertunjukan!”protes Asha.
“Aish!
Kau pelit sekali pada teman! Kau bahkan belum jadi pelukis terkenal! Bagaimana
nanti jika sudah profesional, dengan sebutan Asharry Garudhea The Master of Art?! Kau pasti akan jadi seniman
angkuh yang tak kenal aku lagi!”
“Apa
kau tak paham soal hukum hak cipta? Memotret lalu mencetak ulang, sama saja
dengan copy paste yang ilegal. Selain
itu jika gambarku tersebar luas, bukankah akhirnya hanya jadi karya pasaran?”
“Hei!
Van Gogh, Da Vinci, Picasso, Kandinsky, Affandi, Raden Saleh, Monet, dan semua
pelukis di dunia ini juga memiliki banyak lukisan yang potretnya tersebar luas
tapi karya mereka juga tak tampak pasaran!”
“Kalau
begitu aku tanya, apa kau bisa dapatkan semua potret lukisan Affandi di
internet atau buku? Tidak, kan? Jika kau ingin melihatnya, orang pasti akan
berkata ‘Lihatlah sendiri di galeri, lihatlah di museumnya!’ Lalu saat kau
datang ke museumnya, kau masih harus bayar tiket masuk dan pajak membawa
kamera! Sudah jelas, kan, tak semua karya bebas di foto dan dipublikasikan!”
“Hm..aku
kan, tak bilang akan mempublikasikannya, lagi pula memangnya orang seperti apa
yang kau cintai, ha? Yang akan kau beri kepercayaan menyimpan biola kacamu yang
sangat sangat dan sangat berharga itu?!”tukas Riendra.
“Untuk
itu, aku juga belum tahu.”sahut Asha dan tertawa sendiri seraya memperlambat
laju motornya menjelang 50 meter menuju rumah kos Riendra.
Jalanan malam di utara kampus Brawijaya mulai
lengang. Hanya beberapa warung makan dan mini market yang masih buka. Sisanya,
cukup lampu-lampu di sepanjang pagar pembatas kampus yang semarak menerangi
jalanan Dinoyo, berbaris tak rapi membatasi bangunan yang selubungnya serupa
dengan susunan bata ekspose beratap semi-joglo, menghiasi kampus tematik ala
Kerajaan Majapahit tersebut.
“Apakah
diangkat?”tanya Asha pada Riendra yang kini berdiri di depan pintu pagar, memasang
ponsel ke telinganya. Gadis itu mematikan panggilan. Meringis.
“Pulsaku
habis..”rengeknya.
“Ah,
tunggu sebentar kalau begitu.”sahut Asha lalu merogoh saku celananya. “Oh sial!
Bateraiku habis ternyata.”pekiknya kemudian menunjukkan ponselnya yang tak menyala.
“Hm..ya
sudah, kalau begitu aku harus menekan bel.”sahut Rien lalu beranjak mendekati
tombol bel.
“Hei,
jangan!”cegah Asha “Apa kau tak takut orang-orang akan mengomelimu?”
“Paling
mereka hanya akan marah dalam sehari saja. Setelah itu takkan menyinggungnya.”
“Ayo
cari pulsa saja! Cepat naik! Kita ke Indomart
sekarang dan beli pulsa disana.”
“Sudahlah,
tak apa. Aku tak mau kau repot lagi. Kau sendiri pasti sudah capek dan ingin
segera pulang.”bantah Riendra sambil menekan bel rumah.
“Oh!
Kau memang keras kepala rupanya. Oke kalau begitu terserah padamu saja!”sahut
Asha hendak menjalankan motornya untuk pergi, tapi diurungkannya.
“Kenapa
tak jadi pergi?”
“Kutunggu
sampai kau masuk. Setelah ada seseorang yang membuka pintu, aku pergi.”
Rien
pun hanya membiarkannya. Sampai beberapa saat menunggu dan kembali menekan bel.
Tak seorang pun keluar.
“Sepertinya
mereka sudah tidur. Atau malas membuka pintu untukmu.”komentar Asha. Riendra
mendesah menyerah.
“Kau
mau bantu aku panjat pagar?”tanya gadis itu kemudian.
“Aku
hanya bisa memberikan dua bantuan untukmu, memberimu ruang di kontrakanku, atau
mengantarkanmu mencari pulsa.” Riendra pun dengan terpaksa kembali mendekat
pada Asha meraih helmnya, memakainya, dan naik ke motor Asha.
“Aku
pilih yang kedua!”seru Riendra diikuti meluncurnya motor Asha.
Dingin
mendera menyerang. Beruntunglah minimarket itu tak lebih dari 100 meter. Semua
bisa segera berakhir.
“Maaf, untuk isi pulsanya sekarang masih trouble.”ungkap pelayan toko itu
mematahkan semangat Riendra.
“Ya
sudah kalau begitu. Terimakasih.”sahut gadis itu lalu berjalan keluar toko.
“Seingatku
di dekat UIN ada minimarket juga. Ayo kesana.” ajak Asha. “Sayang sekali disini
tak ada penjual pulsa 24 jam selain minimarket ya..”
“Sudahlah,
kita kembali saja. Aku panjat pagar saja.”
“Hei,
apa kau ingin dikatai sebagai pencuri? Sudahlah, ayo kuantar. Aku juga masih
ingin jalan-jalan.”
“Jalan-jalan?
Jam segini?”
“Saat
aku bosan, aku tak kenal waktu untuk jalan-jalan.”tukas Asha saat Riendra
akhirnya mau naik lagi ke motornya. “Kau pasti tak pernah, kan?”
“Bagaimana
mungkin? Kosku dikunci jam sebelas. Dirumah pun tak mungkin orang tuaku
mengijinkanku gentayangan tengah malam.”ungkap Rien saat motor kembali melaju.
“Hm..padahal
jalan-jalan jam segini adalah saat yang paling menyenangkan. Semua sangat
tenang.” Kata Asha mengiringi pergerakan mereka ke arah Barat, area yang
semakin sunyi seperti kota mati.
“Jakarta
bukanlah kota yang sangat amat dan tentram seperti disini.”sanggah Riendra.
“Ah,
ya, kau benar juga.. kalau begitu kau menetap saja disini..”goda Asha.
Riendra
tak menjawab. Hanya memejamkan matanya. Menikmati angin yang mendinginkan
wajahnya. Berharap waktu dapat berhenti.
“Apa kau tidur?”tegur Asha yang
tak mendapatkan respon.
“Tidak,
aku hanya sedang menikmati suasana ini. Rasanya sangat menyegarkan pikiranku.
Andai aku bisa, aku ingin tetap di kota ini. dan menikmati malam seperti ini.
Setiap saat. Setiap aku menginginkannya.”
“Mm..ngomong-ngomong,
kau tak kedinginan?”
“Tidak
sama sekali. Lampu-lampu kecil, dan bulan yang bersinar terang rasanya
menghangatkan. Padahal lampu-lampu itu hanya berbentuk begitu-begitu saja, jauh
sederhana dibandingkan lampu penghias ibu kota. Tapi saat seperti ini, semua
terlihat indah.”
“Ya,
itu benar. Ada saat kita perlu menjadi gelap agar setitik lentera dapat berguna
tampak indah. Benar, kan?”
“Hm..aku
jadi penasaran, apakah City of Lights
benar-benar indah?”
“Eindhoven?”
“Ya.
Apakah akan menyenangkan jika kita tinggal disana?”
“Hm..mungkin..aku
belum pernah kesana, jadi aku tak tahu. Jika suatu hari aku bisa sampai sana,
akan kuberitahu.”
“Jika
kau kesana, mungkinkah kau akan ingat aku? Kau bahkan mungkin tak ingat namaku
lagi karena hanya ada wajah kekasihmu di pikiranmu.”
“Hm..kau
benar juga.. Kalau begitu, kau harus ingatkan aku!”sahut Asha melepas tawanya
kemudian menikung ke kiri jalan.
“Alfamart rupanya.”kata Asha saat
berhenti di depan toko swalayan yang hendak ditutup.
"Wah, pulsanya
sedang ada trouble.."
"Trouble lagi?!?"teriak Rien dalam hati. "Oh, ya sudah, mas, terimakasih!"
"Sama-sama, mbak! Coba saja ke Indomart
di Tlogomas."
"Oh iya, terimakasih!"sahut
Asha yang tak lama
kemudian sudah mengantarkan Riendra ke jalanan. Kembali ke utara, lalu berbelok
ke barat lagi. Mengunjungi Indomart
lainnya, dan mendapati trouble lagi.
“Sepertinya
takdir hanya menyuruh kita jalan-jalan saja malam ini.”ujar Asha menertawakan
diri mereka sendiri selama perjalan kembali.
“Kenapa
kau malah gembira?”
“Ya,
karena ini perjalanan yang menyenangkan. Tengah malam untuk pertama kalinya aku
tak sendirian..”pemuda itu kembali tertawa.
“Dasar!”
“Lalu
apa yang akan kau lakukan sekarang? Panjat pagar? Tekan bel lagi? Atau menginap
di kontrakanku?”
“Sudah
tak ada pekerjaan di kontrakanmu, jadi tak ada alasan untuk menginap di
tempatmu.”
“Hm..jadi
kau hanya mau menginap kalau ada tugas kelompok atau persiapan dekorasi saja
ya, tapi itu bukan berarti tak ada pekerjaan untukmu. Coret-coretanmu
tertinggal di gulingku, jadi kau bisa mencucinya kalau ke tempatku. Atau
mungkin kau mau menonton film From Paris
With Love lagi seperti kemarin?”
“Lalu
membiarkan tetangga pengintip jendela kamarmu itu mengomel lagi?”
“Biar
saja dia mengintip sesukanya, toh dia akan bosan sendiri jika tak menemukan
adegan porno di tempatku. Aku masih ingin tertawa kalau ingat kemarin, saat
Naufal kaget, tiba-tiba harus ber-ci-lu-ba tanpa sengaja dengan orang itu di jendela
kamar.” pemuda
itu kembali terbahak. “Sungguh, aku tak mengira akan punya tetangga yang suka
panjat pohon mangga, hanya untuk mengawasiku dan teman-temanku.”
Riendra
pun akhirnya turut tertawa saat mengingat kejadian yang juga dilihatnya.
“Ya,
mungkin ia tak tahu, jika kalian akan selalu lapor pada ketua RT tiap kali
membawa rekan kerja perempuan menginap.”
“Ya,
sepertinya begitu. Eh, Rien,”panggil Asha tiba-tiba.
“Apa?”
“Ngomong-ngomong,
teringat tentang film, bagaimana menurutmu dengan From Eindhoven With Love?”
@@@
123
hari seusai kegiatan pameran seni rupa digelar…
“Apa
yang ingin kau tanyakan?”tanya Asha tanpa melihat ke Riendra yang duduk di
seberang meja. Tetap fokus ke arah bukunya. Di dalam perpustakaan kampus, sudah
satu jam mereka habiskan bersama siang itu. Gadis itu sesaat terdiam seraya
menatap keluar jendela yang tepat di sampingnya.
“Mm..menurutmu,
Rei itu, apakah aku terlihat cocok jika aku jadi kekasihnya?”
“Kenapa
kau tiba-tiba tanya begitu? Kukira kau akan tanyakan sesuatu tentang skripsi..
Mm..apakah dia melamarmu?”akhirnya pemuda itu mendongak.
“Mm..semalam
ia mengaku jika ia menyukaiku, dan memintaku menjadi kekasihnya.”sahut Rien
lirih.
“Ahaha,
jadi begitu!”seru Asha langsung tertawa, tapi segera terhenti mengingat mereka
masih di dalam ruang perpustakaan zona label merah dengan bacaan berat, dan
sebagian besar pengunjungnya adalah orang-orang yang sedang sangat serius.
Pemuda itu pun perlahan kembali serius. Terdiam sesaat setelah membalik halaman
bukunya. Namun akhirnya ia hanya menutup buku tersebut. “Kalau aku berkata
jangan diterima, apakah kau akan menurutinya?”tanyanya kemudian.
No comments:
Post a Comment