2015-01-02

From Eindhoven With Love




Cinta itu ibarat violin dan bow-nya, keduanya saling membutuhkan..

Rei membelokkan mobilnya ke kiri, naik, memasuki kompleks hunian itu dan kemudian memutar kembali menurun. Dihentikannya mobil di sudut tikungan jalan masuk perumahan tersebut. Saat berhenti, tepat dihadapan mereka berdua terpapar kelipan lampu-lampu Malang Raya dari ketinggian. Perumahan Graha Dewata bergaya bangunan ala Bali yang dihiasi ukiran-ukiran khas itu sudah sepi dan tenang, hanya angin malam sedingin air es yang ada, berbisik berhembus. Meski malam hari, siluet Arjuna masih dapat sedikit terlihat dengan terangnya purnama dan bintang.
Riendra merapikan frills bagian bawah rok semi-kloknya yang berbahan georgette itu, lantas beralih  menutup kaca mobil dan kemudian turun keluar. Berhenti, menyandar di moncong jeep itu. Dirapatkannya ritsleting jaketnya hingga menutup leher saat Rei menyusul berdiri di sampingnya.
“Bagaimana menurutmu? Apakah ini cukup tenang?”
“Hmm.. ini sangat nyaman.. Tapi malam ini terasa sangat dingin...” Riendra mengangguk seraya menggosok kedua telapak tangannya agar merasa sedikit hangat. “..Lebih dingin dari biasanya.”tambahnya. Rei mengintip jam yang bersembunyi di balik manset lengan kemejanya. Pemuda itu sendiri tak terlalu tertarik dengan pemandangan itu. Ia sudah terlalu sering menyaksikannya.
“Mungkin karena ini sudah hampir tengah malam. Sekarang sudah jam sebelas.” kata pemuda itu.
“Apa? Jam sebelas?” Riendra tersentak. Sejak karaoke bersama teman-temannya seusai pesta yudisium, ia memang sama sekali tak membuka ponsel – satu-satunya penunjuk waktu yang dibawanya, dan ia tak mengira semua berjalan sangat cepat.
“Ya, kenapa memangnya? Apakah kau ingin segera pulang?”
“Ah, bukan begitu, hanya tak mengira ini sudah larut.”sahutnya kemudian hening. “Aku masih ingin disini.”lanjutnya.
“Hm..tapi sebaiknya jangan terlalu lama. Lebih baik kau pakai waktumu malam ini untuk segera istirahat.” Riendra tak merespon komentar Rei itu. Tak peduli, meski ia tahu benar sikap Rei yang sangat menghargai waktu. “Kau tak seperti biasanya, apakah ada masalah?”tanya Rei kemudian.
“Tak ada. Aku baik-baik saja.” sahut gadis itu lirih. Aku baik-baik saja, kuharap begitu.
Gadis itu pun menyimpan tangannya ke dalam saku jaket.
                Rei menatap wajah gadis itu lekat. Ia sadar, kekasihnya tak baik-baik saja. Meski tiupan angin menerbangkan rambut panjang gadis itu ke depan, sesekali ia masih bisa melihat sorot mata Riendra yang kosong. Bisa dipastikan gadis itu memikirkan hal yang tak bisa dilihatnya detik ini.
                “Jika kau memang baik-baik saja, kenapa wajahmu seperti itu, tersenyumlah! Ini seharusnya jadi malam yang menyenangkan.”
“Malam ini memang malam yang indah.. bahkan terlalu indah untuk berakhir..”desah Riendra sambil menyisipkan poni panjangnya ke belakang telinga.  Aku takut ini akan menjadi malam perpisahan. Antara aku dan dia, Asha. Maafkan aku, Rei. Jika aku baru sadar, bahwa aku belum sanggup berjalan seutuhnya di sampingmu.
@@@
Sekitar setengah tahun yang lalu. Di suatu malam pertengahan Mei 2010. Perpustakaan kota telah sepi. Di ruang itu hanya tersisa lima orang yang bergeming di bangkunya, tersebar dalam tiga bagian. Empat orang lainnya sibuk menghadap buku-buku dan beberapa lembar catatan. Satu tertidur pulas di samping seorang rekannya. Mereka berdua terpisah dari tiga lainnya yang tak mereka kenal.
“Riendra, bangun! Ayo pulang!”panggil seorang pemuda berjaket kelabu pada gadis yang tidur di sampingnya. “Rien!”panggilnya lagi sambil menepuk punggung Riendra. Gadis itu pun terperanjat.
“Ah, sudah selesai?”
“Ya. Cepat bereskan barangmu!”sahut Asha sambil merapikan lembaran-lembaran HVS miliknya.
Riendra merapikan kuncir rambutnya tatkala Asha beranjak bangun mengembalikan buku ke dalam rak yang tak jauh dari mereka duduk. Gadis itu pun langsung memakai lagi jaket merahnya, meraih pena dan buku catatan miliknya lantas meninggalkan bangku saat Asha sudah siap untuk pergi.
“Ah, aku lapar..” rengek gadis itu saat melintasi pintu keluar gedung perpustakaan kuning tersebut.
“Kau mau makan dimana setelah ini?”tanya pemuda yang selama ini telah dikagumi oleh Riendra sejak lama, yang bahkan dikagumi banyak orang, pria atau wanita, karena kecerdasan dan ketangkasannya. Asha memang bukan sosok yang sangat tampan, namun ia memiliki tubuh yang tinggi ideal bagi Rien dan  selalu berpenampilan santai tapi rapi.
“Ntahlah, mm..ayo makan pangsit!”
“Pangsit?”
“Ya, tiba-tiba aku ingin mie pangsit yang ada di dekat rumah kontrakanmu.”
“Hm..baiklah.”
Setelah berjalan melewati sebuah jembatan  besar,  terpampanglah gedung-gedung  tinggi  bernuansa  biru  dan  glossy  ,  kompleks gedung kuliah Politeknik Negeri Malang yang dirasa sudah tak asing lagi saat itu. Jalanan padat, meski ini bukan ibu kota Jakarta atau pun Surabaya, namun  kemacetan  total lumayan sering  berkunjung.  Apalagi  saat  orang-orang dari apartemen di persimpangan jalan itu sedang sibuk menyelesaikan proyeknya.
Asha meyelinap ke tepi jalan untuk menghindari mobil-mobil besar yang menghambatnya. Merapat ke samping jalan pedestrian di halaman jajaran kedai makan, distro pakaian, kafe, dan ruko yang benar-benar merebak berbaris  di sepanjang  jalan.  Angkutan umum bertuliskan ABG warna biru yang antri di depan Politeknik itu  pun  tak mau  kalah  memenuhi bahu jalan, ditemani penjual jajanan kaki lima, atau penjual binatang yang meramaikan  trotoar  memamerkan  kucing dan anjing ratusan ribu.  
                Tak lama kemudian, sepeda motor yang dikendarai Asha dan Riendra itu mengular ke celah-celah kendaraan lain menuju lajur kanan, memutari pembatas jalur, putar balik. Lalu menikung ke kiri jalan. Sekitar 50 meter melintas, ada kedai mie yang cukup laris di kiri jalan Semanggi Timur tersebut. Tak lama kemudian, motor mereka terparkir, disambut dengan dendangan musik hiphop yang terlontarkan dari kafe studio tari di bagian kanan belakang kedai itu. Dari situ terlihat pula pintu kaca studio yang memperlihatkan samar-samar gerakan latihan para dancer.
                “Tak mau berkunjung?”tanya Asha pada Riendra sambil melirik ke studio.
                “Untuk apa? Aku bukan dancer lagi. Lagi pula aku hanya ingin makan sekarang.”sahut Rien tak acuh langsung berjalan masuk ke dalam warung mie itu.
                “Sekarang jam berapa?”tanya Riendra pada Asha tatkala pesanan mereka tiba.
“Tujuh lebih dua puluh.”
“Hm..sepertinya sudah banyak orang yang kembali ke aula jam segini.”
“Harusnya mereka semua sudah kumpul, bahkan mungkin sudah mulai melanjutkan dekor.”komentar Asha dengan santai menuang saus ke dalam mangkuknya.
“Apakah tak apa kita terlambat?”
“Ah, tak masalah..”
“Bukankah kau penanggungjawabnya?”balas Rien lalu melahap makanannya.
“Itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan! Tapi kalau kau memang khawatir, selesaikan saja makanmu dengan cepat.”
                “Ya..aku mengerti.”
                “Mm..ngomong-ngomong, kenapa kau tak menari lagi?” tanya Asha. Riendra mendesah.
                “Menguras tenaga. Meski aku sangat mencintai tari, aku tetap tak bisa melakukannya. Aku bukan pengatur waktu yang baik”jawab gadi itu lalu melahap makanannya.
“Jika kau suka tari, kenapa tak ambil jurusan seni tari? Kenapa justru seni rupa?”
“Apakah tak boleh??”tukas Rien
“Bukan masalah boleh atau tak boleh. Aku hanya tanya saja.”
“Hm..dunia ini, kita butuh sesuatu untuk dikorbankan dibakar, agar lentera bisa menyinari..”
“Apa maksudmu?”
“Maksudku, kau tahu kan, ibuku adalah penari dan ayahku seorang guru sastra yang suka pada seni rupa tapi tak terlalu berbakat, mereka ingin menjadi keluarga yang lengkap dengan seniman rupa dan musik..dan akulah yang disuruh terjun ke seni rupa sebab adikku sudah lebih dulu menyukai musik. Jadi aku harus menerima nasib ini, demi menyenangkan hati keluargaku. Lagipula aku tak perlu masuk jurusan tari untuk belajar, aku bisa berguru pada ibuku.”
“Ah, jadi begitu..”
“Mm..ngomong-ngomong, menurutmu, apakah aku memang terlihat tak cocok di jurusan ini?”
“Hm..bagaimana ya, dalam seni lukis menurutku kau cukup berbakat, tapi dalam seni memahat, menurutku tak lama lagi kau akan dapat hadiah piring cantik..”papar Asha dengan wajah meledek.
“Piring cantik??”
“Ya, bukankah biasanya produk yang dijual di pasaran memakai piring cantik sebagai hadiah? ‘Beli 2 bonus 1 piring cantik!’ Sedangkan kau sudah menjadi pelanggan setia handsaplast selama ini, jadi mungkin setelah ini kau akan dapat hadiah piring cantik!”
“Aish..!”desis Rien mendengus kesal.
“Tapi baguslah kau masuk seni rupa, dengan begitu kita bisa berteman, kan?”kata Asha kemudian. Membuat Rien hanya bisa terdiam, termenung.
@@@
Riendra dan Asha kini sudah tak lagi di jalanan. Mereka sudah sibuk di dalam ruangan seluas 700 m2 bergaya kontemporer tersebut. Perpaduan unsur klasik dan modern menyatu dalam interior aula pamer yang siap memajang beberapa karya dwimatra dan trimatra, yang berupa lukisan kanvas, lukisan kaca, keramik, dan beberapa sculpture.
“Hei, kenapa tiba-tiba diam saja disitu? Ayo bantu aku mengatur panel!”tegur Rien pada Asha yang hanya berdiri di depan sebuah lukisan.
“Ini buatanmu, kan?”sahut Asha tak acuhkan perintah Rien.
“Mm..memangnya kenapa?”
“Ntahlah, kurasa aku menyukainya. Eye Shelter!
“Aish, sudah, jangan beromong kosong! Ayo cepat bantu aku!”pinta Rien sambil menarik lengan kaos Asha. Akan tetapi justru tangannyalah yang kalah, ditarik oleh Asha.
“Disinilah sebentar!”suruh Asha kemudian melepas pergelangan tangan Riendra.
Untuk apa? Mendengarkanmu menghina lukisanku?!”
Saat yang kau lihat adalah sebuah mata, disitulah kita kan bertemu..  Ketika kau melihat sebuah shelter di tengah hutan, maka kau pun akan melihat seorang gadis kecil bernaung di bawahnya. Jika kau mampu melihat semua itu, maka ingatlah satu sosok itu, satu aku yang menunggumu..”eja Asha membaca label karya Riendra. “Apa maksudnya itu? Maaf jika selama ini aku tak terlalu memperhatikannya saat evaluasi di kelas.”lanjut Asha sambil memperhatikan lukisan yang terdiri atas rangkaian garis-garis bercabang, membentuk gambar yang menyerupai  sebuah mata beserta pembuluh-pembuluh kecil di sudut-sudutnya. Perpaduan warna maroon berintensitas rendah, hitam, putih dan sedikit warna olive pada bagian iris memberi kesan tersendiri bagi Asha.
“Maksudnya? Ya itu maksudnya.. Apakah kata-kata itu kurang jelas? Hmm..jadi begini, kau lihat, kan, gambar mata itu? Mata itu ibarat sebuah pertemuan. Setiap orang dikatakan bertemu jika mereka bisa melihat mata lawannya. Lalu jika lukisan itu di balik 1800 maka yang terlihat adalah gambar yang menyerupai sebuah shelter di tengah hutan, hutan itu ditunjukkan oleh garis-garis bercabang itu, garis yang menyerupai cabang pepohonan yang juga menyerupai cabang pembuluh darah yang biasa terlihat di bola mata..”terang Rien membuat Asha mengangguk-angguk mulai mengerti. “..dibawah shelter berbentuk lengkung itu kugambarkan rakitan garis yang menyerupai sosok seorang gadis, bisa kau bayangkan?”
“Ya, ya.. aku mengerti..”
“Ya sudah, jika kau bisa menangkap gambar shelter dan gadis itu, kau bisa anggap itu adalah seorang gadis yang sedang menunggu sesuatu atau kedatangan seseorang.” pungkas Rien.
“Hmm..jadi begitu..mm..ngomong-ngomong, kau sedang menunggu siapa hingga membuat lukisan teka-teki seperti ini?”goda Asha.
“Aku menunggumu bekerja memasang frame di panel!”sentak Riendra seraya memukul kepala Asha lalu berjalan pergi. Laki-laki itu hanya tertawa.
@@@
“Ah, akhirnya selesai!”Asha menghela napasnya lega. “Terimakasih semuanya, terimakasih sudah saling membantu!”serunya pada teman-temannya yang mulai menghambur keluar aula. Setelah ruang itu bersih dari manusia, Asha pun turut keluar dan mengunci pintu aula bersiap pulang. “Rien!” alihnya pada Riendra yang masih setia menunggunya di bangku teras aula pamer.
“Apa?”sahut gadis itu.
“Kau sudah simpan semua data dari perpustakaan itu, kan? Jangan lupa mengetiknya dan bawa besok pagi. Kita harus mencetaknya dan memasangnya besok, sebagai informasi di zona pamer historis.”tutur Asha saat mereka mulai berjalan menuju keluar gedung.
I know that!”sahut Riendra saat Asha tiba tepat di sampingnya.
“Hm..apakah ini pameran terakhir kita di kampus?”tanya pemuda itu tiba-tiba.
“Kenapa kau tanya begitu?”
“Ntahlah, rasanya semua ini berlalu sangat cepat. Waktu kita yang tersisa tak lebih dari satu tahun lagi, beberapa sudah siap dengan skripsi dan mungkin hanya butuh setengah tahun untuk bertahan disini. Terlalu cepat berakhir. Setiap semester kita seperti ini, menyelenggarakan pameran bersama-sama. Rasanya pasti aneh saat kita semua sudah lulus dan menjalani hidup masing-masing, di kota masing-masing, dunia masing-masing..kalau mungkin membuka pameran, pastilah sendiri-sendiri..dengan keahlian mereka sendiri-sendiri.”
“Mm..kau benar juga. Kalau begitu, kenapa kita tak buka saja sendiri dunia kita?”
“Apa maksudmu?”
“Mm..semacam membuka sanggar seni, studio untuk kita berbagi, bersama anak-anak kecil, lalu membuat pameran..”
“Itu ide cemerlang, tapi apakah itu mungkin?”
“Ntahlah.”sahut Rien kemudian tertawa. “Aku juga hanya bercanda. Aku juga yakin, kau pasti tak mau melakukannya, sebab kau sudah bosan bertemu denganku yang sangat merepotkan ini.”
“Jika aku berniat bosan, mungkin kita sudah tak saling bicara detik ini!”sahut Asha terlihat tak suka kemudian berjalan lebih dulu menghampiri motornya. Sedangkan Riendra sendiri justru memperlambat langkahnya, kalut dengan pikirannya sendiri.
Apa sebenarnya hubungan kita? Teman? Sahabat?Kekasih? Kau selalu bersikap seperti ini padaku, dan kata-katamu.. Apa sebenarnya aku bagimu? Dan apa artinya dirimu bagiku sesungguhnya?Kenapa aku merasa aku lebih takut akan perpisahan itu?Aku takut kaulah yang akan melupakan kata-katamu sendiri, dan meninggalkanku, satu-satunya yang akan merasa kehilangan momen itu.
“Hei, kenapa bengong? Apa kau tak ingin pulang?!”seru Asha yang sudah siap menjalankan motornya. Rien segera berlari menghampiri. Pemuda itu pun menyodorkan helm ungu milik gadis itu. Tak lama kemudian keduanya meluncur.
“Oh ya, jam berapa sekarang?”
“Jam setengah dua belas.”jawab Asha yang masih mengemudi.
“Apa?! Setengah dua belas?! Sial! Aku lupa bilang pada kakak kosku, pasti gerbangnya sudah dikunci.”
“Ya sudah, telepon seseorang saja nanti, untuk buka pintunya.”
“Ya. Itu pasti.”
“Mm..ngomong-ngomong bagaimana besok ya, apakah menurutmu pamerannya akan ramai?”
“Aku tak tahu, semoga saja ramai.”
“Ya, semoga juga banyak karya yang terjual, lumayan untuk kas angkatan.” Sahut Asha.
“Oh ya, Asha, mengenai lukisanmu, kau bilang itu lukisan berharga, bagaimana kalau ada seseorang yang ingin membelinya?”
“Bukankah aku sudah bilang, aku tak menjualnya.”
“Kenapa? Bukankah lukisanmu itu sangat bagus, harusnya bisa terjual dengan harga tinggi! Itu bisa jadi pemasukan besar untukmu dan himpunan! Semua dosen bahkan menyukainya, sudah jelas, kan, ada kemungkinan seseorang akan tertarik membelinya.. kalau aku punya banyak uang saja aku pasti akan membelinya, atau mungkin kalau kau mau memberikannya padaku secara gratis, pasti dengan senang hati aku akan menyimpankannya untukmu hehe..”
“Mm.. Tapi rasanya aku masih tak rela jika harus kehilangannya. Kau tahu, kan, makna lukisanku?”
“Hm..maknanya, ya?” sahut Rien seraya mengingat lukisan Asha yang memiliki paduan warna maroon, abu-abu, hitam dan putih. Digambarkan dengan gaya semi-ekspresionisme menyerupai mozaik warna membentuk  sebuah biola kaca. “..Lukisanmu itu berjudul The Fidelity, disitu kau gambarkan biola kaca sebagai simbol fidelity, intinya tentang kesetiaan, kepercayaan dan sesuatu yang berharga. Hanya itu yang kuingat.”
“Biola Kaca adalah penggambaran ‘The Fidelity’, kesetiaan, ketepatan, dan kepercayaan. Sesuatu yang sangat berharga. bow-nya adalah lambang kesetiaan. Biola ibarat seseorang, musik yang dimiliki, yang dikeluarkan biola ketika dimainkan merupakan penggambaran potensi atau sesuatu yang membuat orang terkesan, semua tergantung ketepatan pergerakan tongkat yang menyentuhnya. Keduanya saling membutuhkan. Kaca yang sangat indah saat terkena cahaya tapi mudah rapuh adalah sesuatu yang berharga yang perlu dijaga sebaik-baiknya. Biola kaca adalah sesuatu yang tak bisa diberikan dan dimiliki sembarang orang, sebab dalam hal itu dibutuhkan adanya sebuah kepercayaan. Bagiku, lukisan biola kaca itu juga simbol dari cinta, yang tak bisa kita bagikan pada siapa saja.”ungkap Asha.
“Ah, jadi begitu. Dengan kata lain pikiranmu mengatakan cinta itu ibarat violin dan bow, keduanya saling membutuhkan..dan keduanya tak boleh terpisahkan. Lalu karena biola kacamu itu adalah lambang cintamu, kau tak bisa menjual cintamu begitu saja pada orang lain??”
“Karena itu adalah lambang dari sesuatu yang berharga, dan paling utama, menggambar lukisan satu itu tak mudah bagiku, jadi aku hanya akan memberikannya pada orang yang berarti.”
“Wah, orang yang berarti? Yang kau cintai?!”seru Rien tak mengira. “Tak kusangka kau punya pikiran yang romantis semacam itu! Benar-benar alasan yang lucu!”komentar gadis itu menertawakan temannya.
“Berhentilah tertawa!”
“Mm..tapi untuk memotretnya boleh, kan? Aku akan mencetaknya nanti dan memajangnya di kamarku!”goda gadis itu.
“Hei, itu sama saja dengan mencuri! Satu potretan saja itu juga penting! Tak beda jauh dengan meminjamkannya. Sama seperti penari ritual, aura sakralnya akan hilang jika ia difoto sebelum pertunjukan!”protes Asha.
“Aish! Kau pelit sekali pada teman! Kau bahkan belum jadi pelukis terkenal! Bagaimana nanti jika sudah profesional, dengan sebutan Asharry Garudhea The Master of Art?! Kau pasti akan jadi seniman angkuh yang tak kenal aku lagi!”
“Apa kau tak paham soal hukum hak cipta? Memotret lalu mencetak ulang, sama saja dengan copy paste yang ilegal. Selain itu jika gambarku tersebar luas, bukankah akhirnya hanya jadi karya pasaran?”
“Hei! Van Gogh, Da Vinci, Picasso, Kandinsky, Affandi, Raden Saleh, Monet, dan semua pelukis di dunia ini juga memiliki banyak lukisan yang potretnya tersebar luas tapi karya mereka juga tak tampak pasaran!”
“Kalau begitu aku tanya, apa kau bisa dapatkan semua potret lukisan Affandi di internet atau buku? Tidak, kan? Jika kau ingin melihatnya, orang pasti akan berkata ‘Lihatlah sendiri di galeri, lihatlah di museumnya!’ Lalu saat kau datang ke museumnya, kau masih harus bayar tiket masuk dan pajak membawa kamera! Sudah jelas, kan, tak semua karya bebas di foto dan dipublikasikan!”
“Hm..aku kan, tak bilang akan mempublikasikannya, lagi pula memangnya orang seperti apa yang kau cintai, ha? Yang akan kau beri kepercayaan menyimpan biola kacamu yang sangat sangat dan sangat berharga itu?!”tukas Riendra.
“Untuk itu, aku juga belum tahu.”sahut Asha dan tertawa sendiri seraya memperlambat laju motornya menjelang 50 meter menuju rumah kos Riendra.
Jalanan  malam di utara kampus Brawijaya mulai lengang. Hanya beberapa warung makan dan mini market yang masih buka. Sisanya, cukup lampu-lampu di sepanjang pagar pembatas kampus yang semarak menerangi jalanan Dinoyo, berbaris tak rapi membatasi bangunan yang selubungnya serupa dengan susunan bata ekspose beratap semi-joglo, menghiasi kampus tematik ala Kerajaan Majapahit tersebut.
“Apakah diangkat?”tanya Asha pada Riendra yang kini berdiri di depan pintu pagar, memasang ponsel ke telinganya. Gadis itu mematikan panggilan. Meringis.
“Pulsaku habis..”rengeknya.
“Ah, tunggu sebentar kalau begitu.”sahut Asha lalu merogoh saku celananya. “Oh sial! Bateraiku habis ternyata.”pekiknya kemudian menunjukkan ponselnya yang tak menyala.
“Hm..ya sudah, kalau begitu aku harus menekan bel.”sahut Rien lalu beranjak mendekati tombol bel.
“Hei, jangan!”cegah Asha “Apa kau tak takut orang-orang akan mengomelimu?”
“Paling mereka hanya akan marah dalam sehari saja. Setelah itu takkan menyinggungnya.”
“Ayo cari pulsa saja! Cepat naik! Kita ke Indomart sekarang dan beli pulsa disana.”
“Sudahlah, tak apa. Aku tak mau kau repot lagi. Kau sendiri pasti sudah capek dan ingin segera pulang.”bantah Riendra sambil menekan bel rumah.
“Oh! Kau memang keras kepala rupanya. Oke kalau begitu terserah padamu saja!”sahut Asha hendak menjalankan motornya untuk pergi, tapi diurungkannya.
“Kenapa tak jadi pergi?”
“Kutunggu sampai kau masuk. Setelah ada seseorang yang membuka pintu, aku pergi.”
Rien pun hanya membiarkannya. Sampai beberapa saat menunggu dan kembali menekan bel. Tak seorang pun keluar.
“Sepertinya mereka sudah tidur. Atau malas membuka pintu untukmu.”komentar Asha. Riendra mendesah menyerah.
“Kau mau bantu aku panjat pagar?”tanya gadis itu kemudian.
“Aku hanya bisa memberikan dua bantuan untukmu, memberimu ruang di kontrakanku, atau mengantarkanmu mencari pulsa.” Riendra pun dengan terpaksa kembali mendekat pada Asha meraih helmnya, memakainya, dan naik ke motor Asha.
“Aku pilih yang kedua!”seru Riendra diikuti meluncurnya motor Asha.
Dingin mendera menyerang. Beruntunglah minimarket itu tak lebih dari 100 meter. Semua bisa segera berakhir.
 “Maaf, untuk isi pulsanya sekarang masih trouble.”ungkap pelayan toko itu mematahkan semangat Riendra.
“Ya sudah kalau begitu. Terimakasih.”sahut gadis itu lalu berjalan keluar toko.
“Seingatku di dekat UIN ada minimarket juga. Ayo kesana.” ajak Asha. “Sayang sekali disini tak ada penjual pulsa 24 jam selain minimarket ya..”
“Sudahlah, kita kembali saja. Aku panjat pagar saja.”
“Hei, apa kau ingin dikatai sebagai pencuri? Sudahlah, ayo kuantar. Aku juga masih ingin jalan-jalan.”
“Jalan-jalan? Jam segini?”
“Saat aku bosan, aku tak kenal waktu untuk jalan-jalan.”tukas Asha saat Riendra akhirnya mau naik lagi ke motornya. “Kau pasti tak pernah, kan?”
“Bagaimana mungkin? Kosku dikunci jam sebelas. Dirumah pun tak mungkin orang tuaku mengijinkanku gentayangan tengah malam.”ungkap Rien saat motor kembali melaju.
“Hm..padahal jalan-jalan jam segini adalah saat yang paling menyenangkan. Semua sangat tenang.” Kata Asha mengiringi pergerakan mereka ke arah Barat, area yang semakin sunyi seperti kota mati.
“Jakarta bukanlah kota yang sangat amat dan tentram seperti disini.”sanggah Riendra.
“Ah, ya, kau benar juga.. kalau begitu kau menetap saja disini..”goda Asha.
Riendra tak menjawab. Hanya memejamkan matanya. Menikmati angin yang mendinginkan wajahnya. Berharap waktu dapat berhenti.
                “Apa kau tidur?”tegur Asha yang tak mendapatkan respon.
“Tidak, aku hanya sedang menikmati suasana ini. Rasanya sangat menyegarkan pikiranku. Andai aku bisa, aku ingin tetap di kota ini. dan menikmati malam seperti ini. Setiap saat. Setiap aku menginginkannya.”
“Mm..ngomong-ngomong, kau tak kedinginan?”
“Tidak sama sekali. Lampu-lampu kecil, dan bulan yang bersinar terang rasanya menghangatkan. Padahal lampu-lampu itu hanya berbentuk begitu-begitu saja, jauh sederhana dibandingkan lampu penghias ibu kota. Tapi saat seperti ini, semua terlihat indah.”
“Ya, itu benar. Ada saat kita perlu menjadi gelap agar setitik lentera dapat berguna tampak indah. Benar, kan?”
“Hm..aku jadi penasaran, apakah City of Lights benar-benar indah?”
“Eindhoven?”
“Ya. Apakah akan menyenangkan jika kita tinggal disana?”
“Hm..mungkin..aku belum pernah kesana, jadi aku tak tahu. Jika suatu hari aku bisa sampai sana, akan kuberitahu.”
“Jika kau kesana, mungkinkah kau akan ingat aku? Kau bahkan mungkin tak ingat namaku lagi karena hanya ada wajah kekasihmu di pikiranmu.”
“Hm..kau benar juga.. Kalau begitu, kau harus ingatkan aku!”sahut Asha melepas tawanya kemudian menikung ke kiri jalan.
Alfamart rupanya.”kata Asha saat berhenti di depan toko swalayan yang hendak ditutup.
"Wah, pulsanya sedang ada trouble.."
"Trouble lagi?!?"teriak Rien dalam hati. "Oh, ya sudah, mas, terimakasih!"
"Sama-sama, mbak! Coba saja ke Indomart di Tlogomas."
"Oh iya, terimakasih!"sahut  Asha yang tak lama kemudian sudah mengantarkan Riendra ke jalanan. Kembali ke utara, lalu berbelok ke barat lagi. Mengunjungi Indomart lainnya, dan mendapati trouble lagi.
“Sepertinya takdir hanya menyuruh kita jalan-jalan saja malam ini.”ujar Asha menertawakan diri mereka sendiri selama perjalan kembali.
“Kenapa kau malah gembira?”
“Ya, karena ini perjalanan yang menyenangkan. Tengah malam untuk pertama kalinya aku tak sendirian..”pemuda itu kembali tertawa.
“Dasar!”
“Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Panjat pagar? Tekan bel lagi? Atau menginap di kontrakanku?”
“Sudah tak ada pekerjaan di kontrakanmu, jadi tak ada alasan untuk menginap di tempatmu.”
“Hm..jadi kau hanya mau menginap kalau ada tugas kelompok atau persiapan dekorasi saja ya, tapi itu bukan berarti tak ada pekerjaan untukmu. Coret-coretanmu tertinggal di gulingku, jadi kau bisa mencucinya kalau ke tempatku. Atau mungkin kau mau menonton film From Paris With Love lagi seperti kemarin?”
“Lalu membiarkan tetangga pengintip jendela kamarmu itu mengomel lagi?”
“Biar saja dia mengintip sesukanya, toh dia akan bosan sendiri jika tak menemukan adegan porno di tempatku. Aku masih ingin tertawa kalau ingat kemarin, saat Naufal kaget, tiba-tiba harus ber-ci-lu-ba tanpa sengaja dengan orang itu di jendela kamar.pemuda itu kembali terbahak. “Sungguh, aku tak mengira akan punya tetangga yang suka panjat pohon mangga, hanya untuk mengawasiku dan teman-temanku.”
Riendra pun akhirnya turut tertawa saat mengingat kejadian yang juga dilihatnya.
“Ya, mungkin ia tak tahu, jika kalian akan selalu lapor pada ketua RT tiap kali membawa rekan kerja perempuan menginap.”
“Ya, sepertinya begitu. Eh, Rien,”panggil Asha tiba-tiba.
“Apa?”
“Ngomong-ngomong, teringat tentang film, bagaimana menurutmu dengan From Eindhoven With Love?”
@@@
123 hari seusai kegiatan pameran seni rupa digelar…
“Apa yang ingin kau tanyakan?”tanya Asha tanpa melihat ke Riendra yang duduk di seberang meja. Tetap fokus ke arah bukunya. Di dalam perpustakaan kampus, sudah satu jam mereka habiskan bersama siang itu. Gadis itu sesaat terdiam seraya menatap keluar jendela yang tepat di sampingnya.
“Mm..menurutmu, Rei itu, apakah aku terlihat cocok jika aku jadi kekasihnya?”
“Kenapa kau tiba-tiba tanya begitu? Kukira kau akan tanyakan sesuatu tentang skripsi.. Mm..apakah dia melamarmu?”akhirnya pemuda itu mendongak.
“Mm..semalam ia mengaku jika ia menyukaiku, dan memintaku menjadi kekasihnya.”sahut Rien lirih.
“Ahaha, jadi begitu!”seru Asha langsung tertawa, tapi segera terhenti mengingat mereka masih di dalam ruang perpustakaan zona label merah dengan bacaan berat, dan sebagian besar pengunjungnya adalah orang-orang yang sedang sangat serius. Pemuda itu pun perlahan kembali serius. Terdiam sesaat setelah membalik halaman bukunya. Namun akhirnya ia hanya menutup buku tersebut. “Kalau aku berkata jangan diterima, apakah kau akan menurutinya?”tanyanya kemudian.

No comments:

Post a Comment