Festival Malang Tempo Doeloe (MTD) yang
disebut juga sebagai Festival Malang Kembali adalah sesuatu yang sudah
berlangsung sejak tahun 2006, yang diadakan setiap pertengahan Mei sebagai
salah satu bentuk perayaan ulang tahun Kota Malang. Acara ini melibatkan
ratusan seniman, menyajikan berbagai
makanan/minuman tradisonal sedikitnya 50 jenis makanan khas malang, foto Malang
zaman dulu, barang-barang kuno, uang kuno, kendaraan kuno dan masih banyak hal-hal
kuno lainnya yang setidaknya akan menarik untuk dijadikan objek foto.
Event perdana dari MTD ini
menampilkan stand yang berisi koleksi foto-foto Kota Malang pada masa lampau.
MTD 2011 mengambil tema "Discovering
Heritage". Event ini dilaksanakan pada tanggal 19-22 Mei 2011 di
sepanjang Jalan Ijen, Kota Malang. Pada event ini ditampilkan berbagai hiburan
tradisional yang berasal dari Kota Malang. Pada tahun 2013 kegiatan ini ditiadakan dan
diadakan kembali tahun 2014. Rencananya festival ini tak lagi diselenggarakan
setiap tahun melainkan dua tahun sekali.
Dua paragraf di atas adalah
penjelasan mengenai Festival Malang Tempo Doeloe dari berbagai sumber. Secara
umum semua memandang festival itu menampilkan sejarah masa lalu, namun bagiku
festival itu adalah sebuah sejarah. Salah satu hal penting yang telah masuk ke
dalam buku sejarah hidupku. Menyimpan banyak cerita dan senyuman yang aku tak
pernah tahu, bisa terulang atau tidak. MTD itu seperti permen kapas yang
kutelan terlalu cepat. Sangat manis, namun hanya bisa kunikmati sesaat. MTD itu
gulali, sesuatu yang begitu manis yang melekat erat dalam memoriku.
Pada tahun 2011, itu adalah masa
untukku memasuki dunia perkuliahan. Aku memiliki banyak teman baru. Aku juga
mendapatkan banyak sahabat baru. Sampai pada pertengahan Mei 2011, sore itu aku
berkumpul bersama beberapa temanku di kampus. Lalu bersama-sama berangkat
menuju Jalan Ijen, tempat Festival Malang Tempo Doeloe berlangsung. Sesampainya
disana, kami memarkir motor di Jalan Jakarta dan kemudian berjalan kaki.
Suasana sangat ramai. Saat itu ada
beberapa orang bersamaku antara lain Bena, yang saat itu adalah orang
terdekatku. Lalu ada Aulya, Amel, Tika,
Imam, Randy, Maulana dan lain-lain. Hampir semua orang memakai batik atau kalau
tidak mereka memakai kaos khas yang dijual di sana. Imam juga salah satu orang
yang memakai kaos MTD saat itu. dalam perjalanan kami sempat foto-foto bersama.
Mengunjungi stan-stan unik yang ada, mengamati wayang, uang kuno, foto-foto
jadul, dan barang jadul, jajanan tradisional seperti kelepon, serabi, gethuk,
gulali, es dawet, es gandul dan banyak lainnya. Semua stan didekor penuh gaya
tradisional dengan bambu-bambu dan kayu serta jerami atau janur. Kerlipan
lampu-lampu warna-warni menyemarakkan suasana.
Hingga perlahan kami berpencar mengikuti
fokus kami sendiri-sendiri. Aku dan Bena kehilangan teman-teman kami. Berusaha
berkomunikasi lewat ponsel semakin lama semakin sulit seiring memadatnya area
itu dipenuhi pengunjung. Instalasi menyerupai kastil atau benteng di
persimpangan Semeru- Ijen- Wilis perlahan
tak jelas terlihat. Ijen boulevard menjadi lautan manusia dalam malam. Sejenak
kami beristirahat di mushola perpustakaan kota. Kami berdua pun akhirnya
bertemu dengan beberapa teman kuliah kami yang datang bersama rombongan lain.
Rupanya mereka juga terpisah dari kawanannya.
Setelah maghrib usai kami kembali
mencari teman-teman kami. Aku dan Bena sama-sama tak membawa kendaraan dan
hanya menebeng motor teman. Jadi kami harus bertemu teman-teman kami untuk
pulang. Tapi yang ada kami hanya bertemu rombongan lainnya di sebuah kedai
makan di seberang perpustakaan. Di area itu dekorasi stand terdesain sangat
indah sebab mayoritas yang menyewa tempat itu adalah orang-orang dari
hotel-hotel di Malang. Sesaat kami bersama-sama makan putu-cenil dan mengobrol
dengan Guruh, Naufal, Mita, Maulana, Edo, Sepa dan beberapa teman lainnya yang
kebetulan bertemu. Banyak yang berkumpul di sana, tapi teman yang motornya
ditebengi Bena atau aku tak ada.
Akhirnya kami berdua berjalan-jalan
bersama mereka. Membeli beberapa jajanan. Es gandul saat itu sangat menarik
perhatian Naufal. Ia pun membeli satu. Namun belum sampai ia memakannya, es itu
terjatuh ke tanah. Tentu saja semua orang menertawakannya. Berikutnya kami
membeli gulali. Naufal yang menraktir. Kami juga makan bersama, aku pun membeli soto
di warung lesehan. Aku yang menuang banyak kecap ke mangkokku membuat
teman-temanku berkata, “Sotonya berubah jadi rawon!”
Akan tetapi semua itu tak lama. Pada
akhirnya hanya tersisa aku, Bena dan Amel. Sungguh membingungkan tempat ini.
sampai akhirnya kami kehilangan harapan untuk mencari teman lagi dan memutuskan
untuk pulang dengan angkutan umum. Namun semuanya tak mudah. Kami tenggelam
dalam samudra manusia. Terjepit tak karuan. Sampai-sampai kami harus menerobos
stan orang untuk melarikan diri. Semakin buruk saat kami salah jalur dan
terpaksa melawan arus. Kami berjalan keluar di tengah kepadatan yang justru
bergerak masuk. Seandainya kami mengangkat kami meninggalkan tanah pun, yakin
sekali kami takkan jatuh. Tubuh kami tercengkeram erat oleh orang-orang di
sekeliling kami. Satu yang paling
menyebalkan adalah ketika di saat-saat mendesak seperti itu masih saja ada
orang yang sempat bermesraan dan cari kesempatan untuk berbuat mesum. Sungguh
berharap bisa menghajar mereka!
“Agh! Coba bisa terbang!”desis Amel
begitu ingin segera mengakhiri perjalanan.
Kami berusaha pergi dari lokasi itu
jam 8. Namun pada akhirnya kami baru bebas pada pukul 9.15 malam. Angkot tampak
jarang karena jalanan terganggu oleh festival itu. Kami bertiga pun terpaksa
berjalan kaki beberapa meter, dan sampailah di Jalan Bandung. Akhirnya kami pun
bertemu mikrolet LDG dan bisa langsung benar-benar bebas menuju Dinoyo. Kurasa
aku tak bisa melupakan peristiwa malam itu.
No comments:
Post a Comment