2015-08-29

INDIRECT LETTER (part 3)


 
Kaira duduk manis di sofa ruang tengahnya. Menyaksikan dengan tenang buket-buket bunga dan kado-kado kecil dari kawan-kawannya di meja. Namun rangkaian besar bunga gerbera yang begitu cantik menjadi sorotan utama. Shima yang duduk di seberang meja hanya menatap dengan kebingungan.
“Serius? Sama sekali tak ada kartu apa pun?”
“Ya, tak ada sama sekali. Saat aku bertanya pada orang yang meingrimkannya, orang itu tak tahu dan memintaku menghubungi langsung ke tokonya, lalu mereka bilang anak kecil yang  memesannya.”
“Anak kecil lagi? Setelah sekian lama, sekarang ada yang datang lagi?”
A boy from heaven.. Haruskah aku mempercayai itu? Di usia ini, apa kau kira aku masih bisa mempercayainya?
“I know, it’s difficult.”
“Hm.. ya sudahlah, siapa pun itu, entah orang tuaku di surga seperti kata anak itu, entah anak kecil itu sendiri, atau orang lain yang bersembunyi di balik semua itu, terimakasih,  sudah mengirim bunga di hari kelulusanku..” oceh Kaira pada entah siapa. Ia pun tersenyum getir.
@@@

Kaira kembali ke kamarnya. Diraihnya sebuah buku tebal. Catatan harian tuanya. Sebuah buku pemberian ibunya yang selalu diisinya dengan kisah momen terbaik dalam hidupnya. Dibuka pula olehnya, pada bagian yang menebal, sesuatu terselip di antara lembaran-lembaran itu. Terpampanglah setangkai bunga kering. Bunga gerbera pertama yang ia terima di hari pemakaman orang tuanya. Di balik lembar berikutnya, terdapat jenis yang sama, bunga gerbera kedua yang mendadak muncul di bangku kelas Kaira saat Kaira berulang tahun yang ke delapan. Lembar-lembar berikutnya masih menyimpan bunga kering serupa, tiga tangkai gerbera yang hadir setiap tahun hingga Kaira berusia 11 tahun.
“Kaira!”seru pamannya tiba-tiba membuyarkan lamunan Kaira.
“Ya?”
"Ada telepon dari temanmu, Askari dia bilang.”
“Oh, oke. Terimakasih paman.” Gadis itu pun bergegas keluar menuju foyer ruang tengah, meraih gagang telepon di ruang itu. “Halo..”sapa Kaira.
“Hai, Kai. Aku hubungi ponselmu dari tadi sulit sekali, jadi aku telepon kemari.”
“Oh, iya! Aku lupa! Ponselku mati sejak di kampus tadi. Memangnya ada perlu apa?”
Hm..jadi begitu.. Tak ada sih, hanya ingin ucapkan selamat saja, akhirnya kau berhasil. Mm..tapi maaf tak bisa datang atau kirim hadiah apa pun padamu.”
Ah, bukan masalah. Kau menelepon begini saja aku sudah sangat senang. Terimakasih banyak!”
Percakapan singkat itu pun segera berakhir. Sesaat gadis itu merenung. Namun sejenak kemudian Kaira kembali ke kamarnya  dan bergerak mengisi daya ponselnya. Ia pun tersenyum lebar saat membuka pesan WhatsApp dari Askari, ada sebuah potret gambar buatan Aska yang menunjukkan gadis bertoga tersenyum bahagia berlatarkan menara rektorat kampus dan langit biru yang berseberangan dengan hamparan rumput hijau lapangan.

Hari ini, aku sangat bahagia. Terimakasih, Tuhan, terimakasih, ayah, ibu. Terimakasih, boy from heaven, terimakasih, Aska, dan semua orang yang ada untukku hari ini.

@@@
Bunga kamboja bertebaran dimana-mana. Pepohonanannya menari di sepanjang jalan yang dilaluinya menemani vegetasi lain yang tak kalah menarik. Udara pagi itu sangat menyegarkan. Sesekali terciumlah wewangian dupa dari pelinggih, tempat sembayang umat Hindu yang menghiasi tiap halaman rumah, seakan menjadi aroma terapi yang memberi ketenangan pada Kaira yang hendak menghadapi interview kerja untuk pertama kalinya, di pulau tetangga itu, Dewata. Gadis itu pun menatap ke langit. Ada bulan pagi di sana, mengingatkannya pada lagu berjudul Denpasar Moon. Sejak ia berada di sana, ia bertanya, apakah bulan akan tampak lebih indah di pulau itu. Ataukah akan menyedihkan. Perlahan ia tersenyum pahit, menyadari, meski ia menyaksikan bulan, takkan ada lagi yang bisa ia harapkan untuk terjadi setelah itu.
Sampailah ia di dalam  gedung yang menjadi tujuan utamanya. Proses interview dan tes pun terlewati dengan cukup lancar. Ada pun  saat-saat untuk mengenal perusahaan itu, Kaira pun di ajak melihat-lihat isi gedung tersebut, meeting room, perpustakaan, studio kerja, dan fasilitas penunjang lainnya. Ia pun berkenalan dengan beberapa orang yang bekerja di studio tersebut. Sebuah kejutan kecil pun di terimanya.
Askari? Kukira kau kembali ke Jakarta!?
Ingin gadis itu berseru demikian, namun yang bisa ia lakukan hanya menatap Aska penuh keheranan. Pemuda itu tersenyum dengan sorot mata tersendiri, seakan berkata, No, I’m here. Pemuda itu tak tampak terkejut sedikit pun. Sepertinya ia sudah tahu jika Kaira  melamar untuk bekerja di sana.
Tak ada perpisahan sejati, seperti inikah maksudnya? Kaira pun membalas senyuman itu dengan senyum yang lebih cerah lagi.
@@@

            Bulan Pagi

Bulan waktu dhuha, yang ada dan tiada. Si putih bulat dalam posisi antara tampak dan tak tampak di balik deretan bungur merah jambu, kini sedang menjadi sasaran Rendra sejak tadi. Gadis itu,  yang telah lama bertopang dagu pun segera menurunkan kaca mobil. Tak pedulikan Erni, sahabatnya yang menguasai kursi kemudi merasa terganggu dengan angin dingin yang mendadak mendobrak ketenangan. Rendra bahkan berteriak keluar seraya menatap si bulan pagi tajam-tajam.
     “Hei, kau! Kenapa tak turun sekalian? Kenapa tak pergi sekalian? Membuat orang bingung saja. Dari balik kaca, dari balik lempeng metal aku melaju, kau selalu mengikutiku. Kau pun mengawasiku yang berlari dengan roda. Kenapa tak kau panggil saja sekalian? Kenapa tak bersinar sekalian dengan terang, hentikan perjalanan? Toh matahari di Timur, kau di Barat. Jika memang kau tak bisa menang, katakan tak bisa! Jangan undang aku tuk mencarimu! Jangan hanya tersenyum sejenak lantas raib dibalik awan. Biar aku tak lagi berharap, pada yang samar, dirimu itu!”amuk Rendra memaki si bulan pagi, yang di dalam otaknya itu adalah wajah Ehan.
     "Ren! Jangan teriak-teriak! Orang bisa mengira kau gila." tegur Erni mendapati banyak orang di luar sana memandang aneh ke arah Rendra.
     "Kenapa? Kau malu punya teman orang gila?"
     "Bukannya begitu. Hanya saja kau terlihat menyedihkan."
     "Lalu apa yg harus kulakukan? Ini pertama kalinya aku merasa seperti ini. Rasanya sangat mengganggu."
     "Jadi kau benar-benar  jatuh cinta padanya?"
……
Kaira membaca lagi sebuah penggal cerita di laptopnya. Kejadian pagi tadi membuatnya teringat pada karangan yang pernah ditulisnya di masa lalu. Sebuah cerita yang terputus di tengah jalan. Perlahan jarinya pun mengetikkan beberapa paragraf untuk mengakhirinya. Tanpa peduli itu cerita yang bagus atau tidak. Entah orang lain yang membaca akan berpikir penulisnya adalah orang yang menyedihkan atau aneh atau bagaimana pun. Hanya untuk memenuhi hobinya, ia pun mengunggah cerita yang akhirnya tamat itu pada blognya. Tak lama kemudian ia sudah terlelap dalam istirahat malamnya.
@@@
Seminggu telah berlalu. Pagi itu Kaira penuh semangat meninggalkan rumah kosnya, mengunci pagar halaman yang di dekatnya terdapat banten, semacam media persembahan yang rutin dilakukan ibu kosnya. Hari ini adalah hari pertamanya untuk memasuki dunia kerja. Dunia nyatanya. Bukan dunia musik yang diam-diam menjadi penenangnya, bukan dunia menulis yang diam-diam menjadi kegemarannya. Hanya ada dunia arsitektur yang selama ini jelas ia pelajari di depan banyak mata manusia. Tak lama kemudian perlahan gadis itu melesat pergi bersama motornya.
Kini Kaira sudah berada di studio barunya. Bersama meja baru, komputer baru, suasana baru, senior baru, dan rekan-rekan barunya, tanpa Askari. Ya, tanpa teman lamanya, sebab memang itu bukan tempat ia berada, setelah melewati interview dan tes di beberapa kantor konsultan desain, akhirnya Kaira memilih sebuah tempat yang berbeda dari Askari. Beruntung ia memiliki kesempatan mendapat banyak pilihan. Gadis itu memiliki pemikirannya sendiri. Ia hanya ingin berhenti bergantung dan berharap. Jika ia kembali bertemu Askari setiap hari, ia khawatir ia tak mampu lagi bertahan menghadapi pemuda itu, ia hanya ingin melupakannya perlahan. Setidaknya mengurangi perasaannya terhadap Askari, yang kabarnya masih belum mampu melupakan dan melepaskan Raina, mantan kekasihnya.
Beruntung pula ia berhasil, sehari itu ia berhasil melupakan pemuda itu dengan kesibukannya. Yah, meski pada akhirnya saat ia pulang ia kembali teringat. Setelah mengisi ‘buku harian’-nya sebagai blogger, ia pun kembali bergerak menjadi pengintai yang mencari hiburan. Penasaran dengan artikel terbaru dari blog Askari. Berharap mungkin ada tutorial baru yang dapat berguna untuk pekerjaannya. Lantas seperti yang diharapkan, secara tak langsung Askari masih menjadi guru terbaiknya di bidang digital modeling. Hingga ia temukan sebuah posting yang ditulis Askari beberapa hari lalu.
24-07-2015
Bulan dikala Buta                                        
Hamparan pepohonan ketapang menari lembut, bisik angin sayup-sayup beradu di selah-selah dedaunan, tercium aroma air laut yang menyimpan penuh kenangan. Langit itu dihiasi serpihan bintang tiada terhitung, gemerlap dalam gelap heningnya malam, terpantul cahayanya di hamparan laut yang begitu tenang. Seorang pemuda cilik duduk dalam pangkuan, bersandar pada tubuh kecil, sesekali menengadah melihat wajah ibunya yang sedang bersenandung lembut. Lirih nan merdu suaranya, mengantar siapa pun ke negeri dongeng.
Teras rumah itu menjorok juga menjulang, indahnya malam terlihat utuh dari sana seolah menjadi sudut rahasia rumah mereka. Pemuda cilik itu harusnya terlelap tetapi tidak, sinar matanya masih memancarkan kesadaran utuh. Memandang lukisan langit malam itu penuh tanya.
“Bu, mengapa bulan tidak ada?” Tanya putranya penuh heran.
“Bulan selalu ada anakku” jawab sang ibu sejenak setelah menghentikan senandung merdunya.
Lalu kenapa aku tidak bisa melihatnya, Bu??” Tanya pemuda cilik itu semakin menjadi.
“Hari ini bulan sedang memasuki fase bulan baru, dimana ia tak Nampak dari wajah bumi ini, Ada saatnya bulan menunjukkan utuh cahayanya, ada saatnya ia tak Nampak seutuhnya, apakah kamu paham itu?” sang ibu mencoba menjelaskan penuh hati-hati.
“Tidak, Bu, apa bulan itu jahat, Bu? Kenapa harus muncul dan menghilang seperti pencuri?” Suara pemuda ini semakin lantang, lucu terdengar mengundang tawa ibunya.
“..Tidak anakku, bulan tidaklah jahat.. ia tidak datang ataupun pergi, ia tetap di sana, seperti inilah tarian sang rembulan. Kalau kau sanggup merasakannya, ia selalu menari. Untuk bumi dan segala isinya.” Jawab sang ibu mencoba menuangkan fenomena alam itu dalam bahasa yang mudah dimengerti.
“Aku tetap tidak mengerti, Bu, jika bulan harus muncul dan lenyap dalam tariannya, kenapa tidak berhenti saja, jadi aku bisa selalu melihatnya?” Tanya pemuda kecil ini membuat sang ibu kewalahan.
“Anakku, jika bulan itu berhenti menari, ia akan terlempar hancur, tidaklah ada batas jelas antara daratan dan lautan di bumi, kita mungkin tidak bisa duduk tenang di teras ini karena terendam air laut, kau mungkin tida bisa bersekolah dan bertemu kawan-kawanmu besok pagi karena pagi tak kunjung tiba, atau mungkin kita tidak bisa menikmati malam yang indah ini karena hari tak kunjung malam, semua itu bisa terjadi.. bahkan kita tidak bisa terlelap tidur karena harus terus berlari mencari tempat berlindung. Sebuah mimpi buruk kan?”. Jawab sang ibu sembari tersenyum lebar untuk mengurai gelisah.
Hehe.. aku tetap tidak mengerti, Bu, tapi kedengarannya bulan sangat penting untuk bumi?” jawab pemuda itu membuat heningnya malam terpecah dengan tawa mereka.
Kau benar anakku, begitu pun sebaliknya.. bumi dan bulan saling membutuhkan, tidakkah itu indah bagimu?” Tanya sang ibu sembari mengusap rambut putranya.
Iya, Buu..” jawab pemuda cilik itu penuh semangat.
“Jangan khawatirkan bulan yang tak tampak, kita hanya tak sanggup melihatnya sementara,. namun ia selalu melihat kita kemanapun perginya, tetap ada dan tak berpaling. Suatu saat kamu akan menemukan bulanmu dalam hidupmu.” ucap sang ibu berharap putranya dapat memahaminya.
Apakah ibu sudah menemukan bulan dalam hidup ibu?” Tanya pemuda cilik sembari memeluk ibunya.
“Tentu, ibu tidak melihatnya sekarang tapi ibu bisa merasakannya, tengoklah ia ada di belakang ibu” Pemuda cilik itu mengintip di balik punggung ibunya, senyum merekah dan tawa terkekeh tak terbendung, melihat sosok sang ayah duduk terkantuk-kantuk memeluk putri kecilnya.

***END***
Posted by ASQ at 17:03

 Setitik dua titik, tetesan air mata Kaira pun membasahi keyboard laptop gadis itu. Aska, Terimakasih..untuk menjadikan harapan ini layak untuk tetap hadir..




###Bersambung###






No comments:

Post a Comment