2015-11-18

Tanpa Judul, Tanpa Nama 3



                 “Kriiing!!”
Ailin terperanjat bangun dari tidurnya seakan baru terbebas dari kedalaman air laut.  Dimatikannya jam meja yang menunjuk pukul 6.30.
                “Tok..tok..tok..” Belum lepas benar, keterkejutannya kini bertambah. Seketika gadis itu kembali membeku. Sirkulasi udara tertahan, sedangkan darah bergerak cepat. Gadis itu seakan hendak meledak karena ketakutannya.
“Tok..tok..tok..”
                Ailin pun nekad bergerak cepat meraih pisau dan membuka pintu. Penuh siaga pisau di genggamannya siap menyerang.
“A..Ailin??”
Gadis di luar pintu itu perlahan melangkah mundur, tampak terkejut dan ketakutan.
“Nana?”sahut Ailin juga kaget. Namun ia bisa menghela napas penuh kelegaan. “Ah, syukurlah, itu hanya mimpi.”desah Ailin setelah melihat ke arah daun pintunya.
“Mm..Ada apa denganmu? Apa kau baik-baik saja? Mm..maaf aku mengganggu. Aku hanya khawatir padamu, jadi aku datang sepagi ini.”terang Nana yang menenteng sebuah tas plastik berisi rantang itu.
“It’s okay. Maaf mengagetkanmu. Masuklah! Aku barusaja mimpi buruk.” Ajak Ailin lalu menyimpan pisaunya.
“Ah, begitu. Tapi keadaanmu sudah membaik, kan? Tidak pusing atau apa lagi, kan?”
“Tidak untungnya.Mm..sedikit mual, itu saja.”
“Ini aku bawakan sup untukmu. Jam empat tadi aku terbangun, karena tak ada kerjaan, akhirnya aku memutuskan memasak. Kupikir kau tak akan terlalu berdaya untuk masak atau keluar rumah jadi sekalian kubuat untukmu juga.”
“Ah, terimakasih banyak, Na.”sahut Ailin seraya membantu Nana yang memindah sup dari rantangnya ke mangkuk Ailin.
“Kau mimpi apa memangnya?”
“Entahlah, mimpi aneh. Mungkin karena kemarin kita terlalu banyak membicarakan terror penggemar rahasia Moringa pada gadis-gadis yang kelihatan dekat dengan Moringa. Lalu tanpa sengaja aku sakit setelah pertunjukan Moringa semalam dan membuat sahabatmu itu mengantarku pulang, aku jadi takut sendiri tanpa alasan.” papar Ailin membuat Nana tertawa.
“Kau ini ada-ada saja.”
“Kau sendiri, kan, yang bilang, bahwa temanmu Sherry meninggal dengan aneh, setelah mendapat panggilan misterius yang kemudian ia ditemukan jatuh dari tebing. Lalu siapa lagi itu, Alice?”
“Elice.”
“Ya, si Elice itu, kekasih Moringa yang meninggal dengan dugaan asmanya kambuh, namun di buku hariannya ditemukan puisi karya Tanpa Judul Tanpa Nama yang misterius itu. Lantas semalam puisi aneh itu masuk mimpiku.”
“Soal puisi itu aku juga tak tahu. Tapi mengenai pembunuhan, itu hanya dugaan orang-orang, kan, belum tentu benar. Bisa saja itu kebetulan.”
“Entahlah, tetap saja menggangguku, apalagi saat kau bilang Sherry tak tampak punya masalah yang bisa membuatnya bunuh diri saat bertemu denganmu, yang merupakan saksi terakhirnya. Jadi aku berpikiran ia positif dibunuh seperti di film-film.”
@@@
Dear Moringa,
Yang kulihat sangatlah sibuk
Yang tak pernah biarkanku masuk
Maka bisakah kau keluar

Puding ini menjamur setengah
Beranda rindukan tapakmu melangkah
Sekian kalinya kau jengah
Kumohon kali ini kemarilah
Di bilik kayu Sindu
Di tepi Segara Ayu
Di bawah langit yang tak lagi biru
Di titik kau ciptakan laguku
Saat jarum menusuk angka tujuh

By Tanpa Nama untuk Moringa

Moringa menatap pesan itu di antara semua “surat-surat” dari Tanpa Nama, satu-satunya penggemar yang paling setia, yang pesannya masih disimpan lengkap oleh Moringa.
@@@
Nana mengetuk-ngetukan sepatunya ke tanah. Menikmati suara Taylor Swift dalam melodi Wildest Dream yang dimainkan ponselnya, yang tersalurkan memalui earphone di telinganya. Tersenyum getir menyaksikan kelipan lampu pesawat dan lampu bergerak di kejauhan, yang entah dari kapal atau mobil di daratan seberang sana. Sesekali gadis itu pun melirik jam tangannya. Sudah jam 7.48 pm, namun orang yang diharapkannya datang tak muncul juga. Perlahan hanya rintik hujan turun menghampiri.
“Say you’ll see me again.. Even if it’s just  pretend..”
@@@
Nana menghentikan penantiannya yang sudah lebih dari 90 menit. Dalam hujan ia melangkah pergi dalam hampa meski lampion-lampion kaca tetap semarak. Baginya semua hanyalah keheningan. Bahkan air hujan hanyalah seperti angin yang sekedar lewat. Orang-orang yang sempat menatapnya aneh sudah bukan hal asing lagi baginya. Ia tak peduli apa pun detik itu. Sampai sebuah payung hitam tiba-tiba menaunginya. Pemuda pemilik payung itu terlihat sendu air mukanya.
"Tak bisakah kau menyerah saja?"tanyanya parau.
"Arsa??"

No comments:

Post a Comment