“Kriiing!!”
Ailin terperanjat bangun dari tidurnya seakan baru terbebas dari
kedalaman air laut. Dimatikannya jam
meja yang menunjuk pukul 6.30.
“Tok..tok..tok..”
Belum lepas benar, keterkejutannya kini bertambah. Seketika gadis itu kembali
membeku. Sirkulasi udara tertahan, sedangkan darah bergerak cepat. Gadis itu
seakan hendak meledak karena ketakutannya.
“Tok..tok..tok..”
Ailin pun nekad
bergerak cepat meraih pisau dan membuka pintu. Penuh siaga pisau di genggamannya
siap menyerang.
“A..Ailin??”
Gadis di luar pintu itu perlahan melangkah mundur, tampak terkejut dan
ketakutan.
“Nana?”sahut Ailin juga kaget. Namun ia bisa menghela
napas penuh kelegaan. “Ah, syukurlah, itu hanya mimpi.”desah Ailin setelah
melihat ke arah daun pintunya.
“Mm..Ada apa denganmu? Apa kau baik-baik saja?
Mm..maaf aku mengganggu. Aku hanya khawatir padamu, jadi aku datang sepagi ini.”terang
Nana yang menenteng sebuah tas plastik berisi rantang itu.
“It’s okay. Maaf mengagetkanmu. Masuklah! Aku
barusaja mimpi buruk.” Ajak Ailin lalu menyimpan pisaunya.
“Ah, begitu. Tapi keadaanmu sudah membaik, kan?
Tidak pusing atau apa lagi, kan?”
“Tidak untungnya.Mm..sedikit mual, itu saja.”
“Ini aku bawakan sup untukmu. Jam empat tadi aku
terbangun, karena tak ada kerjaan, akhirnya aku memutuskan memasak. Kupikir kau
tak akan terlalu berdaya untuk masak atau keluar rumah jadi sekalian kubuat
untukmu juga.”
“Ah, terimakasih banyak, Na.”sahut Ailin seraya
membantu Nana yang memindah sup dari rantangnya ke mangkuk Ailin.
“Kau mimpi apa memangnya?”
“Entahlah, mimpi aneh. Mungkin karena kemarin kita
terlalu banyak membicarakan terror penggemar rahasia Moringa pada gadis-gadis
yang kelihatan dekat dengan Moringa. Lalu tanpa sengaja aku sakit setelah
pertunjukan Moringa semalam dan membuat sahabatmu itu mengantarku pulang, aku
jadi takut sendiri tanpa alasan.” papar Ailin membuat Nana tertawa.
“Kau ini ada-ada saja.”
“Kau sendiri, kan, yang bilang, bahwa temanmu Sherry meninggal
dengan aneh, setelah mendapat panggilan misterius yang kemudian ia ditemukan jatuh
dari tebing. Lalu siapa lagi itu, Alice?”
“Elice.”
“Ya, si Elice itu, kekasih Moringa yang meninggal
dengan dugaan asmanya kambuh, namun di buku hariannya ditemukan puisi karya
Tanpa Judul Tanpa Nama yang misterius itu. Lantas semalam puisi aneh itu masuk mimpiku.”
“Soal puisi itu aku juga tak tahu. Tapi mengenai pembunuhan, itu hanya dugaan orang-orang, kan, belum tentu
benar. Bisa saja itu kebetulan.”
“Entahlah, tetap saja menggangguku, apalagi saat kau
bilang Sherry tak tampak punya masalah yang bisa membuatnya bunuh diri saat
bertemu denganmu, yang merupakan saksi terakhirnya. Jadi aku berpikiran ia positif dibunuh seperti di film-film.”
@@@
Dear Moringa,
Yang kulihat
sangatlah sibuk
Yang tak pernah
biarkanku masuk
Maka bisakah
kau keluar
Puding ini
menjamur setengah
Beranda rindukan
tapakmu melangkah
Sekian kalinya
kau jengah
Kumohon kali
ini kemarilah
Di bilik kayu
Sindu
Di tepi Segara
Ayu
Di bawah langit
yang tak lagi biru
Di titik kau
ciptakan laguku
Saat jarum
menusuk angka tujuh
By Tanpa Nama
untuk Moringa
Moringa menatap pesan itu di antara semua “surat-surat”
dari Tanpa Nama, satu-satunya penggemar yang paling setia, yang pesannya masih
disimpan lengkap oleh Moringa.
@@@
Nana mengetuk-ngetukan sepatunya ke tanah. Menikmati suara
Taylor Swift dalam melodi Wildest Dream
yang dimainkan ponselnya, yang tersalurkan memalui earphone di telinganya. Tersenyum
getir menyaksikan kelipan lampu pesawat dan lampu bergerak di kejauhan, yang
entah dari kapal atau mobil di daratan seberang sana. Sesekali gadis itu pun
melirik jam tangannya. Sudah jam 7.48 pm, namun orang yang diharapkannya datang
tak muncul juga. Perlahan hanya rintik hujan turun menghampiri.
“Say you’ll see
me again.. Even if it’s just pretend..”
@@@
Nana menghentikan penantiannya yang sudah lebih dari 90 menit. Dalam hujan ia melangkah pergi dalam hampa meski lampion-lampion kaca tetap semarak. Baginya semua hanyalah keheningan. Bahkan air hujan hanyalah seperti angin yang sekedar lewat. Orang-orang yang sempat menatapnya aneh sudah bukan hal asing lagi baginya. Ia tak peduli apa pun detik itu. Sampai sebuah payung hitam tiba-tiba menaunginya. Pemuda pemilik payung itu terlihat sendu air mukanya.
"Tak bisakah kau menyerah saja?"tanyanya parau.
"Arsa??"
No comments:
Post a Comment