Kaira terdiam di samping kotak ajaibnya. Mematung di
antara foto-foto yang berserakan bersama buku catatan hariannya. Namun bukan
berarti pandangannya kosong sepenuhnya seperti boneka mati. Bola matanya lurus
ke arah sebuah potret, keadaan ketika ia tertawa bersama di samping
kawan-kawannya. Baik teman perempuan maupun laki-laki.
Masih ditatapnya foto pemuda berkemeja denim itu. Seribu
pertanyaan muncul jika dihitung. Seakan ia tak pernah memiliki catatan apa pun
bahkan ingatan apa pun tentang orang itu. Berhari-hari, berbulan-bulan malah,
ia seperti orang amnesia. Tak menyadari jika sebagian peristiwa yang hilang
dari catatannya itu disebabkan perbuatannya sendiri. Ia tak murni kehilangan
bagian itu, tetapi kini ia ingat jika ia memang merobeknya dan melemparnya masuk keranjang sampah.
Sempat ia bertanya, tentang bagaimana semuanya
terjadi dengan tiba-tiba. Namun sesungguhnya tak ada yang tiba-tiba, tak ada yang
tak disadarinya. Semua prosesnya itu hanya terhapus dari helaian buku catatan
tersebut. Ia sendiri yang menghilangkan proses itu. Detail proses perasaan itu
muncul. Saat itu Kaira hanya ingin menyembunyikannya dari para mata-mata yang
mungkin muncul. Ia tak ingin mengulang kesalahan. Selain itu, salah satunya
karena ia terlalu cepat menyerah. Ingin segera mengakhiri proses yang berjalan
itu, ketika ada proses tak menyenangkan masuk menyerempet kehidupannya, ketika ia merasa kesalahpahaman kembali hadir.
Dalam keheningan Kaira menyadari, meski buku-buku
dari periode-periode itu, yang hilang itu, kembali ditemukan, tetap saja proses
itu takkan pernah dilihatnya tertulis di sana. Sebab sekarang ingatannya telah
pulih, beberapa bagian itu sengaja dibuangnya. Karena catatan itu hanya akan
mengingatkannya pada fantasi tentang perasaan menyimpan ulat dalam raga. Sulit memuntahkannya.
Catatan-catatan yang penuh pertentangan hingga peperangan. Catatan dengan
jutaan pertanyaan akan suatu misteri yang hanya bisa dilihatnya sendiri.
Beruntung, ia mampu mengingat semuanya, saat jawaban-jawaban
atas misteri yang terlupa itu kini datang dengan sendirinya. Bahkan proses awal ia mengenal nama itu, sejak kisah tentang cincin bengkok itu muncul, memipih karena seseorang
bersabuk hitam. Ia ingat pula bagaimana detik-detik daun-daun padi itu menari,
saat kupu-kupu mencoba menarik perhatian semua orang agar menjadikannya foto
model. Ia kembali melihat apa yang tak dilihatnya dengan jelas di masa lalu.
Kebekuan di wajah
gadis itu pun memudar. Satu penggal kenangan itu memulas senyum di wajahnya. Saat ia
sadar, pernah menyembunyikan kisah dari orang yang kini dipamerinya dengan
segala ceritanya.
“Hei, sedang apa kau? Kenapa senyum-senyum sendiri?”tegur
seorang laki-laki di ambang pintu ruangan Kaira.
“Tak ada, aku hanya merasa aku menyukai foto ini.”kata
Kaira sambil menunjukkan sebuah foto senyuman lebar hasil jepretannya beberapa waktu lalu. Foto ala paparazzi
amatir yang menampilkan seorang pemuda berwajah sama dengan pemuda berkemeja
denim tadi, dan sama pula dengan orang di depannya kini.
“Memangnya kenapa dengan fotoku yang itu?”sahut Aska,
pemuda itu.
“Kurasa aku benar menyukai orangnya.” aku Kaira manja
dengan senyuman mata berbinar. Ada saat
aku belum yakin, tapi sekarang, kurasa aku memang menyukainya.
“Hm..begitu ya, aku juga suka foto itu,” sahut Aska
santai sembari meraih foto itu dan mengamatinya, “..tapi aku lebih suka fotografernya, Kai.”alih Aska menatap lembut mata Kaira.
“Aish..”desis Kaira tersipu malu. Keduanya pun
tertawa. Aska, terimakasih, sudah membuatkan kisah baru yang lebih menyenangkan untukku
mengisi buku catatan ini.
No comments:
Post a Comment