2015-11-29

Pernikahan, Keluarga dan . .


Apa yang kau pikir tentang pernikahan?
Seketika otakku nge-hang. Blank. No idea. Aku heran mengapa topik beberapa minggu ini - bulanan bahkan, adalah pernikahan. Bahkan ayahku yang ngecat tembok teras rumah saja ditanya tetangga “Badhe mantu, Pak?” Apa karena sedang musim nikahan? Mungkin.
Bukannya tak suka atau tak ingin menikah, (meski dulu memang sempat berniat tidak), tapi aku bingung, mengapa satu topik itu begitu diributkan. Temanku si A bercerita tentang permasalahan rencana pernikahannya yang disebabkan perbedaan kasta. Orangtua mereka menentang dan membuat mereka berpikir untuk nikah lari. Si B lain lagi, ia sudah menghitung banyaknya warisan pohon jati yang kira-kira akan diterima tunangannya nanti. Lalu si C yang masih jomblo memikirkan tentang tipe calon suaminya, termasuk daftar ketentuan yang akan dimasukkan ke dalam kontrak perjanjian pranikah (dia bisnis oriented banget).
Lalu aku? Masih tak mengerti apa pun di saat mereka memikirkan tentang rumah idaman bersama suami. Di otakku masih terlalu penuh dengan kakak, ibu dan ayahku. Dibandingkan berpikir untuk membuat keluarga, sepertinya aku masih terlalu sibuk dengan keluarga yang kumiliki saat ini. Kalau pun berbicara tentang rumah idaman, tentu punya keinginan, entah bersama orangtua atau suami nanti yang penting ada halaman untuk berkebun + ada ayunannya, tak perlu bangunan yang besar megah mewah, ntar malas bersihinnya ^-^
Mungkin karena aku tak pernah hidup sebagai mereka, sehingga aku tak tahu jalan pikir mereka. Aku pun tak mengerti seberapa jahat orang tua atau keluarga mereka saat ini yang membuat mereka menjadi seperti itu. Bisa jadi aku yang memang tak pintar mengatur keuangan. Sejak lulus kuliah dan memasuki tempatku yang sekarang aku sungguh masuk dunia yang berbeda.
“Aku kesal dengan ayahku, aku kuliah nenekku yang membayar, ia tak peduli bagaimana aku sekolah, dia pikir memberi makan saja cukup? Sekarang setelah aku bekerja ia minta uang padaku, katanya untuk bayar hutang, lucu sekali! Padahal aku, kan, ingin nabung untuk nikah dan beli rumah nanti.”keluhan si A sebagai opening obrolan makan siang membuatku tercengang.
“Benarkah? Aku lho paling tak suka jika ada orang tua minta uang ke anaknya, seperti temanku, masa’ ayahnya minta uang ke temanku?! Hina sekali. Herannya, temanku kok mau ngasih.”komentar si C. Kali ini aku nyaris tersedak.
“Jangan maulah harusnya. Apalagi untuk bayar hutang. Untung aku tak pernah seperti itu. Jika orangtuamu seperti itu bilang saja uangmu sudah habis untuk kos dan makan serta ini itu, dan kalau kau punya tabungan jangan sampai dia tahu.”tambah si B.
“Iya benar, orang tua macam apa yang minta uang ke anaknya?!” sahut C lagi.
Ini pertama kalinya aku mendengar percakapan semacam ini, jadi aku cukup terkejut (sangat sih tepatnya).
“Terus ya, tembok rumahku, kan, belum diplester, masa’ aku yang suruh bayarin, beli semen, pasir ini itu?! Iya memang, ayahku kontraktor tanpa proyek apa pun sekarang, pengangguran, tapi tak bisakah dia usaha sendiri?!” protes si A lagi membuatku langsung kenyang (seperti kesindir cz kemarin baru ngehitung kebutuhan semen untuk mlester dinding kamar). “Kalau begitu caranya bagaimana bisa aku nikah nanti?”lanjut A.
“Yaa, anggap saja kau bayar hutang ke ayahmu, sejak lahir  sampai sekolah setidaknya kau masih diberi makan olehnya, kan?” sahutku mulai jemu mendengarnya. Membuat semua orang menatapku aneh. “Mm..mungkin saja orangtuamu sedang terpaksa. Sekali membantu kupikir tak masalah. Kalau untuk orangtua yang sudah melahirkanmu saja kau tak bisa toleransi, bagaimana nanti kalau kau menikah dengan suamimu, dengan posisi suamimu seperti ayahmu? Anggap saja kau sedang belajar! Dunia dan nasib dapat berubah kapan saja, banyak kemungkinan bisa terjadi.”
“Hm..karena terpaksa ya..”renung si C kemudian, “Bisa jadi sih..ya, mungkin karena selama ini hidupku terlalu nyaman, dengan orangtua yang selalu memenuhi keinginanku, jadi aku tak bisa mengerti.”
“Seandainya orangtuamu bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, mana mungkin ia mengganggumu. Toh, masalah rumah, kau yang memperbaiki, ujungnya pun kau yang memiliki nanti, bukankah kau anak tunggal? Seperti dirimu yang memikirkan pernikahan, rumah, agar keluargamu, anakmu sejahtera, pasti orangtuamu juga berpikir begitu. Hanya saja mungkin detik ini mereka kurang beruntung. Tanpa mereka kau takkan pernah ada, jika kau tak pernah ada, jelas takkan bisa menghasilkan uang seperti sekarang.”
“Benar juga sih, tapi kau terlalu puitis!” komentar si B padaku. Sedangkan si A hanya terdiam.
Aku tak tahu kata-kataku puitis atau tidak. Aku sendiri bisa melakukannya atau tidak. Sesabar itu atau tidak aku belum tahu. Namun memang itu yang kupikirkan, alasanku dulu tak ingin menikah, aku tak ingin menambah satu atau lebih orang lain, suami atau anak kandung atau pun anak angkat, yang akan susah karenaku, jika aku tak bisa menjadi orang yang baik. Ntah ini harapan aneh atau terdengar sok-sokan atau apa, tapi aku sedang fokus pada kakakku yang juga berstatus sebagai anak.
Beberapa orang di sekitarku sering bertanya, bahkan bosku sering tanya, kapan beli motor? Kapan nabung? Gajimu kemana saja? Kalau nggak nabung kalau mau nikah nanti bagaimana? Kau mau hidup miskin? Aku pun hanya nyengir. Dalam hati menjawab, aku masih suka membuat kakakku dan keluargaku tersenyum.
Toh, tak ada gunanya cemas, Tuhan pasti akan memberi rejeki lagi besok selama kita ada usaha dan doa. Di Al-Quran pun sudah jelas tertulis semua diciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, jadi bagaimana pun pasti ada jalan untuk menikah (kalau tak di dunia ya di akhiratlah, tergantung takdirnya bagaimana ^-^). Selain itu, Allah memang menjadikan orang tertawa dan menangis. Namun Dia tak pernah menyebutkan kata miskin. Yang ada hanya memberikan kekayaan dan kecukupan. Jadi tak perlu takut kekurangan.
(Paragraf terakhir inilah yang membuatku berubah pikiran, penenang paling puitis yang menjawab semua kecemasan dan keluhan manusia).

dan.. barangkali aku dapatkan pangeran seperti Cinderella ^-^ (lupakan ini! :P)

No comments:

Post a Comment