Apa yang kau pikir tentang pernikahan?
Seketika otakku nge-hang. Blank.
No idea. Aku heran mengapa topik beberapa minggu ini - bulanan bahkan, adalah
pernikahan. Bahkan ayahku yang ngecat tembok teras rumah saja ditanya tetangga “Badhe mantu, Pak?” Apa karena sedang
musim nikahan? Mungkin.
Bukannya tak suka atau tak ingin menikah, (meski dulu
memang sempat berniat tidak), tapi aku bingung, mengapa satu topik itu begitu
diributkan. Temanku si A bercerita tentang permasalahan rencana pernikahannya
yang disebabkan perbedaan kasta. Orangtua mereka menentang dan membuat mereka
berpikir untuk nikah lari. Si B lain lagi, ia sudah menghitung banyaknya warisan
pohon jati yang kira-kira akan diterima tunangannya nanti. Lalu si C yang masih
jomblo memikirkan tentang tipe calon suaminya, termasuk daftar ketentuan yang
akan dimasukkan ke dalam kontrak perjanjian pranikah (dia bisnis oriented
banget).
Lalu aku? Masih tak mengerti apa pun di saat mereka memikirkan
tentang rumah idaman bersama suami. Di otakku masih terlalu penuh dengan kakak,
ibu dan ayahku. Dibandingkan berpikir untuk membuat keluarga, sepertinya aku
masih terlalu sibuk dengan keluarga yang kumiliki saat ini. Kalau pun berbicara
tentang rumah idaman, tentu punya keinginan, entah bersama orangtua atau suami
nanti yang penting ada halaman untuk berkebun + ada ayunannya, tak perlu bangunan yang besar megah mewah, ntar malas bersihinnya ^-^
Mungkin karena aku tak pernah hidup sebagai mereka,
sehingga aku tak tahu jalan pikir mereka. Aku pun tak mengerti seberapa jahat
orang tua atau keluarga mereka saat ini yang membuat mereka menjadi seperti
itu. Bisa jadi aku yang memang tak pintar mengatur keuangan. Sejak lulus kuliah
dan memasuki tempatku yang sekarang aku sungguh masuk dunia yang berbeda.
“Aku kesal dengan ayahku, aku kuliah nenekku yang
membayar, ia tak peduli bagaimana aku sekolah, dia pikir memberi makan saja
cukup? Sekarang setelah aku bekerja ia minta uang padaku, katanya untuk bayar
hutang, lucu sekali! Padahal aku, kan, ingin nabung untuk nikah dan beli rumah
nanti.”keluhan si A sebagai opening
obrolan makan siang membuatku tercengang.
“Benarkah? Aku lho paling tak suka jika ada orang tua
minta uang ke anaknya, seperti temanku, masa’ ayahnya minta uang ke temanku?!
Hina sekali. Herannya, temanku kok mau ngasih.”komentar si C. Kali ini aku
nyaris tersedak.
“Jangan maulah harusnya. Apalagi untuk bayar hutang.
Untung aku tak pernah seperti itu. Jika orangtuamu seperti itu bilang saja
uangmu sudah habis untuk kos dan makan serta ini itu, dan kalau kau punya
tabungan jangan sampai dia tahu.”tambah si B.
“Iya benar, orang tua macam apa yang minta uang ke
anaknya?!” sahut C lagi.
Ini pertama kalinya aku mendengar percakapan semacam
ini, jadi aku cukup terkejut (sangat sih tepatnya).
“Terus ya, tembok rumahku, kan, belum diplester, masa’
aku yang suruh bayarin, beli semen, pasir ini itu?! Iya memang, ayahku
kontraktor tanpa proyek apa pun sekarang, pengangguran, tapi tak bisakah dia
usaha sendiri?!” protes si A lagi membuatku langsung kenyang (seperti kesindir
cz kemarin baru ngehitung kebutuhan semen untuk mlester dinding kamar). “Kalau
begitu caranya bagaimana bisa aku nikah nanti?”lanjut A.
“Yaa, anggap saja kau bayar hutang ke ayahmu, sejak
lahir sampai sekolah setidaknya kau
masih diberi makan olehnya, kan?” sahutku mulai jemu mendengarnya. Membuat semua
orang menatapku aneh. “Mm..mungkin saja orangtuamu sedang terpaksa. Sekali
membantu kupikir tak masalah. Kalau untuk orangtua yang sudah melahirkanmu saja
kau tak bisa toleransi, bagaimana nanti kalau kau menikah dengan suamimu,
dengan posisi suamimu seperti ayahmu? Anggap saja kau sedang belajar! Dunia dan
nasib dapat berubah kapan saja, banyak kemungkinan bisa terjadi.”
“Hm..karena terpaksa ya..”renung si C kemudian, “Bisa
jadi sih..ya, mungkin karena selama ini hidupku terlalu nyaman, dengan orangtua
yang selalu memenuhi keinginanku, jadi aku tak bisa mengerti.”
“Seandainya orangtuamu bisa memenuhi kebutuhannya
sendiri, mana mungkin ia mengganggumu. Toh, masalah rumah, kau yang
memperbaiki, ujungnya pun kau yang memiliki nanti, bukankah kau anak tunggal?
Seperti dirimu yang memikirkan pernikahan, rumah, agar keluargamu, anakmu
sejahtera, pasti orangtuamu juga berpikir begitu. Hanya saja mungkin detik ini
mereka kurang beruntung. Tanpa mereka kau takkan pernah ada, jika kau tak
pernah ada, jelas takkan bisa menghasilkan uang seperti sekarang.”
“Benar juga sih, tapi kau terlalu puitis!” komentar
si B padaku. Sedangkan si A hanya terdiam.
Aku tak tahu kata-kataku puitis atau tidak. Aku
sendiri bisa melakukannya atau tidak. Sesabar itu atau tidak aku belum tahu. Namun
memang itu yang kupikirkan, alasanku dulu tak ingin menikah, aku tak ingin
menambah satu atau lebih orang lain, suami atau anak kandung atau pun anak
angkat, yang akan susah karenaku, jika aku tak bisa menjadi orang yang baik. Ntah
ini harapan aneh atau terdengar sok-sokan atau apa, tapi aku sedang fokus pada
kakakku yang juga berstatus sebagai anak.
Beberapa orang di sekitarku sering bertanya, bahkan
bosku sering tanya, kapan beli motor? Kapan nabung? Gajimu kemana saja? Kalau
nggak nabung kalau mau nikah nanti bagaimana? Kau mau hidup miskin? Aku pun
hanya nyengir. Dalam hati menjawab, aku masih suka membuat kakakku dan keluargaku
tersenyum.
Toh, tak ada gunanya cemas, Tuhan pasti akan memberi
rejeki lagi besok selama kita ada usaha dan doa. Di Al-Quran pun sudah jelas tertulis
semua diciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan, jadi bagaimana pun
pasti ada jalan untuk menikah (kalau tak di dunia
ya di akhiratlah, tergantung takdirnya bagaimana ^-^). Selain itu, Allah
memang menjadikan orang tertawa dan menangis. Namun Dia tak pernah menyebutkan
kata miskin. Yang ada hanya memberikan kekayaan dan kecukupan. Jadi tak perlu
takut kekurangan.
(Paragraf terakhir inilah yang membuatku
berubah pikiran, penenang paling puitis yang menjawab semua kecemasan dan keluhan
manusia).
dan.. barangkali aku dapatkan pangeran seperti Cinderella ^-^ (lupakan ini! :P)
No comments:
Post a Comment