2015-11-04

Alice in Wonder Town: Di Bawah Atap Miring



Well, hari itu adalah hari pertama aku kerja di bawah “atap miring”, karena kebanyakan orang di area itu menyebutnya begitu, “Oh, kantor yang atapnya miring itu!” (dalam hatiku berkata, perasaan atap-atap rumah orang disini juga miring). Namun memang itu yang terlihat. Dibandingkan bangunan sekitarnya memang yang paling mencolok perbedaannya adalah bagian atapnya. Sederhana, namun pantas dicurigai sebagai kantor designer.
Beberapa hari sebelumnya, sempat aku diantar temanku mencari lokasi kantor Wastu Design. Kami pun menyusuri jalanan Renon, khususnya  Ciungwanara The Series – jalan Ciungwanara I-V. Kami pun berputar-putar di gang yang rupanya nyaris sama. Beralih dan kembali ke tempat yang sama. Mencari nomor 25 tapi tak ketemu juga. Yang seharusnya bernomor 25 justru yang mencolok adalah kebun tanah kosong. Namun ada satu bangunan yang sempat menarik perhatian, rumah beratap miring  dengan fasad dominasi bata dan batu alam, berjendela jalusi, tanpa pintu. Pintunya ada di sisi samping bangunan, kalau mau masuk harus menyeberangi taman rumput bertaburkan bunga kamboja yang jatuh dari pohonnya, lantas melewati selasar berpagar pepohonan bambu kecil.
Setelah bertanya pada seorang pemilik kios di dekat situ, kami pun tahu jika itu memang kantor Wastu.
“Itu yang atapnya miring, yang pintunya menghadap ke tanah kosong.” Tunjuk pemilik  kios itu. Just like destiny, I’ve ended up there. Dengan menyesal + berat hati yang sangat-sangat aku bilang maaf nggak jadi kepada Pak Magat, principal Khatulistiwa. Semakin nyesel lagi pas bapaknya komen,
“Emang kalau di tempat lain kamu nggak perlu ngekos? Di sini atau di Wastu kan sama aja ngekos. Kalau kamu disini kan bisa bareng Rahman, banyak juga temen lainnya yang bisa barengin ngantor..” – yah ini efek aku terlalu jujur atau terlalu bodoh, terus terang nggak jadi kerja di sana karena susah cari kos yang deket.
Tapi hal yang paling konyol adalah ketika aku barusaja selesai interview di Khatulistiwa, waktu itu Pak Magat tahu aku masih harus menunggu jemputan pamanku, jadi dibiarin dah aku nunggu di studionya. Nggak lama kemudian waktunya istirahat. Aku pun pamit dan keluar bersama temanku untuk makan siang – dan niatnya minta jemput di tempat makan. Namun keadaan tak mendukung. In the end, aku balik lagi ke studio Khatulistiwa, ngobrol dengan staf Khatulistiwa yang juga senior dari kampus yang sama denganku.  Alhasil, Pak Magat yang baru datang setelah makan siang dengan tunangannya pun kaget, aku nongol lagi di studionya padahal tadi udah pamitan. Sungguh detik itu rasanya pingin banget pakai topeng.  
Kembali ke bawah atap miring, Wastu, secara visual detik itu studionya terasa lebih cozy. Namun setelah lihat stafnya, hm.. Karena dulu datang interview kepagian, interview selesai sebelum jam kerja, jadi nggak tahu macam apa staf yang ada sebelumnya. Akhirnya begitu ketemu berasa salah kostum. Nggak ngira kalau yang kerja disana cece-cece berkulit putih mata sipit. Mayoritas anak Petra Surabaya. Stafnya nggak banyak. Waktu itu di studio hanya enam orang termasuk aku. Yang senior-senior pada buka usaha sendiri, terus yang selevel denganku kebanyakan nggak betah. Why?
Nggk perlu nunggu lama untuk tahu jawabannya. Beberapa menit kemudian Red Queen pun datang. Principalnya Wastu Design, wanita yang sudah pernah kutemui saat interview. Bedanya, kali ini suaranya melengking. Orang admin udah di maki pagi-pagi dan suaranya bikin jantungan.  Lebih shock lagi saat udah mulai dijelasin soal proyek. Saat terdengar kata Royal Tower, pikiranku udah was-was, banyak dong yang mesti aku kerjain interiornya, soalnya pasti lebih dari satu lantai. Benar rupanya proyek Royal Tower yang dimaksud adalah proyek renovasi Aston Hotel Kuta yang bertingkat enam. Keluarlah penjelasan tentang pembongkaran ini itu, lalu pintu soundproof, Korean Airlines, China Airlines, dan sebagainya. Karena aku memang nggak pinter loadingnya lama. Apaan airlines? Ini ngomongin pesawat atau hotel? Tanpa banyak instruksi tahu-tahu sudah suruh bikin desain 3D pakai 3D Max.
Setelah lihat berkas baru ngeh itu hotel bisnis, yang kerjasama dengan maskapai penerbangan dan pahamlah apa yang harus kulakukan. Tapi.. 3D Max? Seumur hidup nggak pernah kenalan. Begitu buka programnya berasa buta dan lumpuh. Udah backgroundnya item, tambah gelap lagi pikiranku. Akhirnya aku coba tanya ke cece di sebelahku, dia satu-satunya yang paling dekat. Sial! Dia jutek abis. Kalau temanku bilang di Khatulistiwa dia suka ngomong sama tembok, ini mah nggak jauh beda, aku bakal sohiban sama jendela di belakang monitor PC-ku!
Tak lama kemudian Red Queen datang lagi memperlihatkan dokumen yang telah menanti untuk kugarap selain Royal Tower ini selesai. Shock plus-plus.  Ada lahan kosong, sketsa layout sebuah hotel, masterplan semacam desa wisata, dan rencana titik kolom struktur proyek yang lain lagi. Ini apa? Baru tahu ini bukan konsultan interior saja. Namun juga arsitektural. Kutatap isi dokumen-dokumen itu. Aston sendiri hotel  enam lantai (it’s okay lah orang tinggal renovasi), ada juga Quest Hotel Cikarang (ini pun interiornya saja, bangunannya Alera Architect yang mikirin), tapi yang lainnya, tujuh lantai dan sembilan lantai. Lalu satu lagi sifatnya urban, Kampong Melayu di kawasan Malaka yang terdiri atas banyak masa meski kecil-kecil tapi berbagai tipe.  Aku harus mikir hal begituan, for real?? Dari struktur, arsitektural sampai interior? Dengan orang-orang jutek seperti ini? Dengan bos killer macam itu? Dengan kondisi buta 3D Max? Am I in the right place? Aku bisa mati sungguhan sih..
“..jadi kamu harus bisa kerja cepet, soalnya semuanya ini bakal jalan di waktu yang sama, siap-siap aja babak belur, kalau nggak mau kamu boleh kok keluar dari sekarang.” Kata Red Queen memberi peringatan di awal.
Di sisi lain, aku berharap ini hanya “ospek”.

No comments:

Post a Comment