Well, hari
itu adalah hari pertama aku kerja di bawah “atap miring”, karena kebanyakan
orang di area itu menyebutnya begitu, “Oh, kantor yang atapnya miring itu!” (dalam
hatiku berkata, perasaan atap-atap rumah orang disini juga miring). Namun
memang itu yang terlihat. Dibandingkan bangunan sekitarnya memang yang paling
mencolok perbedaannya adalah bagian atapnya. Sederhana, namun pantas dicurigai
sebagai kantor designer.
Beberapa hari sebelumnya, sempat aku diantar temanku
mencari lokasi kantor Wastu Design. Kami pun menyusuri jalanan Renon, khususnya
Ciungwanara The Series – jalan Ciungwanara
I-V. Kami pun berputar-putar di gang yang rupanya nyaris sama. Beralih dan
kembali ke tempat yang sama. Mencari nomor 25 tapi tak ketemu juga. Yang seharusnya
bernomor 25 justru yang mencolok adalah kebun tanah kosong. Namun ada satu
bangunan yang sempat menarik perhatian, rumah beratap miring dengan fasad dominasi bata dan batu alam,
berjendela jalusi, tanpa pintu. Pintunya ada di sisi samping bangunan, kalau
mau masuk harus menyeberangi taman rumput bertaburkan bunga kamboja yang jatuh
dari pohonnya, lantas melewati selasar berpagar pepohonan bambu kecil.
Setelah bertanya pada seorang pemilik kios di dekat situ,
kami pun tahu jika itu memang kantor Wastu.
“Itu yang atapnya miring, yang pintunya menghadap ke
tanah kosong.” Tunjuk pemilik kios itu. Just like destiny, I’ve ended up there. Dengan
menyesal + berat hati yang sangat-sangat aku bilang maaf nggak jadi kepada Pak
Magat, principal Khatulistiwa.
Semakin nyesel lagi pas bapaknya komen,
“Emang kalau di tempat lain kamu nggak perlu ngekos? Di
sini atau di Wastu kan sama aja ngekos. Kalau kamu disini kan bisa bareng
Rahman, banyak juga temen lainnya yang bisa barengin ngantor..” – yah ini efek
aku terlalu jujur atau terlalu bodoh, terus terang nggak jadi kerja di sana
karena susah cari kos yang deket.
Tapi hal yang paling konyol adalah ketika aku
barusaja selesai interview di Khatulistiwa, waktu itu Pak Magat tahu aku masih
harus menunggu jemputan pamanku, jadi dibiarin dah aku nunggu di studionya. Nggak
lama kemudian waktunya istirahat. Aku pun pamit dan keluar bersama temanku
untuk makan siang – dan niatnya minta jemput di tempat makan. Namun keadaan tak
mendukung. In the end, aku balik lagi
ke studio Khatulistiwa, ngobrol dengan staf Khatulistiwa yang juga senior dari
kampus yang sama denganku. Alhasil, Pak
Magat yang baru datang setelah makan siang dengan tunangannya pun kaget, aku
nongol lagi di studionya padahal tadi udah pamitan. Sungguh detik itu rasanya
pingin banget pakai topeng.
Kembali ke bawah atap miring, Wastu, secara visual detik itu studionya terasa
lebih cozy. Namun setelah lihat
stafnya, hm.. Karena dulu datang interview kepagian, interview selesai sebelum
jam kerja, jadi nggak tahu macam apa staf yang ada sebelumnya. Akhirnya begitu
ketemu berasa salah kostum. Nggak ngira kalau yang kerja disana cece-cece
berkulit putih mata sipit. Mayoritas anak Petra Surabaya. Stafnya nggak banyak.
Waktu itu di studio hanya enam orang termasuk aku.
Yang senior-senior pada buka usaha sendiri, terus yang selevel denganku
kebanyakan nggak betah. Why?
Nggk perlu nunggu lama untuk tahu jawabannya. Beberapa
menit kemudian Red Queen pun datang.
Principalnya Wastu Design, wanita yang sudah pernah kutemui saat interview. Bedanya,
kali ini suaranya melengking. Orang admin udah di maki pagi-pagi dan suaranya
bikin jantungan. Lebih shock lagi saat
udah mulai dijelasin soal proyek. Saat terdengar kata Royal Tower, pikiranku
udah was-was, banyak dong yang mesti aku kerjain interiornya, soalnya pasti
lebih dari satu lantai. Benar rupanya proyek Royal Tower yang dimaksud adalah
proyek renovasi Aston Hotel Kuta yang bertingkat enam. Keluarlah penjelasan
tentang pembongkaran ini itu, lalu pintu soundproof,
Korean Airlines, China Airlines, dan sebagainya. Karena aku memang nggak pinter
loadingnya lama. Apaan airlines? Ini ngomongin pesawat atau hotel? Tanpa banyak
instruksi tahu-tahu sudah suruh bikin desain 3D pakai 3D Max.
Setelah lihat berkas baru ngeh itu hotel bisnis, yang kerjasama dengan maskapai penerbangan
dan pahamlah apa yang harus kulakukan. Tapi.. 3D Max? Seumur hidup nggak pernah
kenalan. Begitu buka programnya berasa buta dan lumpuh. Udah backgroundnya
item, tambah gelap lagi pikiranku. Akhirnya aku coba tanya ke cece di sebelahku,
dia satu-satunya yang paling dekat. Sial! Dia jutek abis. Kalau temanku bilang
di Khatulistiwa dia suka ngomong sama tembok, ini mah nggak jauh beda, aku
bakal sohiban sama jendela di belakang monitor PC-ku!
Tak lama kemudian Red Queen datang lagi
memperlihatkan dokumen yang telah menanti untuk kugarap selain Royal Tower ini
selesai. Shock plus-plus. Ada lahan kosong, sketsa layout sebuah hotel, masterplan
semacam desa wisata, dan rencana titik kolom struktur proyek yang lain lagi. Ini apa? Baru tahu ini bukan konsultan
interior saja. Namun juga arsitektural. Kutatap isi dokumen-dokumen itu. Aston
sendiri hotel enam lantai (it’s okay lah orang tinggal renovasi), ada juga Quest Hotel Cikarang (ini pun interiornya saja, bangunannya Alera Architect yang mikirin), tapi yang lainnya, tujuh
lantai dan sembilan lantai. Lalu satu lagi sifatnya urban, Kampong Melayu di
kawasan Malaka yang terdiri atas banyak masa meski kecil-kecil tapi berbagai tipe. Aku harus mikir hal begituan, for real?? Dari struktur, arsitektural sampai interior?
Dengan orang-orang jutek seperti ini? Dengan bos killer macam itu? Dengan kondisi buta 3D Max? Am I in the right place? Aku bisa
mati sungguhan sih..
“..jadi kamu harus bisa kerja cepet, soalnya semuanya
ini bakal jalan di waktu yang sama, siap-siap aja babak belur, kalau nggak mau
kamu boleh kok keluar dari sekarang.” Kata Red
Queen memberi peringatan di awal.
Di sisi lain, aku berharap ini hanya “ospek”.
No comments:
Post a Comment