2015-11-14

Tanpa Judul, Tanpa Nama


Kring..kriing..” Ailin memutar balik sepedanya kemudian menyelip para pejalan kaki di pesisir Sanur. Gadis berkaos merah itu pun menikung ke arah matahari di balik bale bengong yang tengah menyimpan seseorang. Diparkirlah sepedanya di samping sebuah sepeda kayuh yang ada. Lantas gadis itu pun berlari turut duduk di samping gadis berjaket hijau.
“Hei, aku mencarimu! Ternyata kau bengong di sini.”seru Ailin pada Nana teman kuliahnya yang sekarang juga sekantor dengannya.
“Ah, sory. Aku capek. Jadi terhenti di sini.” sahut Nana.
“Setidaknya kau beri tahu aku!”balas Ailin tanpa respon lagi dari Nana. “Sepertinya kau sedang banyak pikiran, apakah ada masalah?”
“Tak ada. Lagipula apa yang harus kupikirkan.” jawab Nana lalu meneguk teh botolnya. “Mau minum?”tawarnya pada Ailin setelah itu.
“Tentu saja mau. Aku juga capek.” Ailin pun meraih botol teh yang isinya tinggal sepertiga tersebut. Sedangkan Nana kembali fokus pada kilauan air laut yang kadang meletup-letup karena lompatan entah apa, ikan atau serangga air yang tak jelas. Satu yang pasti percikan airnya membasahi kepiting kecil yang merayap di bebatuan itu.
“Morning sun has arise
And we’re  singing along
With the same song
Underneath the same sky
Where we were dancing
Where you were laughing
Where the fireworks sparkling at night..”

Sand, wind, stars, moonlight
Stone, steps, touch, delight
When we’re together
This heart song was so clear
And now I wish you were here.. “ lantun Nana kembali menyanyikan sepenggal lagu favoritnya.
“Sampai sekarang aku masih merasa aneh dengan namanya,”sahut Ailin tiba-tiba. “Moringa (baca: moringga), moringaceae, daun kelor. Kesannya seperti orang tuanya adalah pemilik perkebunan kelor yang sedemikian terobsesi hingga anaknya dinamai Moringa?” lanjut Ailin yang mengetahui jika lagu tak berjudul yang disenandungkan Nana adalah ciptaan sahabat gadis itu. Sahabat dan idola Nana sejak kuliah, yang bernama Moringa Askari.
Hm..Moringa, the name of a magical tree, yang katanya mampu menyembuhkan berbagai penyakit bahkan menghilangkan pengaruh sihir. Mungkin saja orang tuanya berharap anaknya sehebat daun kelor itu.”
“Begitukah?”
“Ya, mungkin, meski kenyataannya dia justru membuatku seperti tersihir, haha..”sahut Nana seraya menertawakan diri sendiri.
“Kau bilang dia penyelamatmu?”
“Ya, kau benar, bagaimana pun dia adalah penyelamatku..”ucap Nana merenungi masa lalunya.
“Lalu, sampai kapan kau akan menyukainya secara sepihak seperti ini? Apa kau tak ingin ia mengetahui perasaanmu? Atau kau masih betah menjadi pengagum rahasianya? Tidakkah lebih baik kau berhenti? Beralih pada Arsa, belajar menyukainya, orang yang menyukaimu sejak dulu?”
“Ah..entahlah.”desah Nana pasrah. “Oh ya, nanti malam kau jadi datang, kan, melihat pertunjukan bandnya?”
“Ya, tentu. Mm..ngomong-ngomong, mengenai keyboardisnya yang meninggal itu, apa benar ia bunuh diri?”
“Mengenai Sherry, aku juga tak tahu. Sebagian bilang begitu, sebagian lagi bilang ia dibunuh. Aku hanya tahu satu yang pasti, Moringalah yang paling kehilangan..”
@@@
"Hujan pertama tengah malam November
Beradu bergulat lonceng dreamcatcher
Aroma pantai lenyap dalam peti mati
Tanah basah menguap aroma memori
Ku bukan penerka, bukan pecinta
Ku berkata entah pada kata kapan
Dimensi keempat masih kutanya
Namun November ini ku masih pengagummu

By Tanpa Nama untuk Moringa"  

Pemuda berkaos hitam itu segera mencabut catatan tersebut dari stang motornya, lalu menyimpannya ke dalam saku ransel coklatnya. Tak lama kemudian ia sudah melesat meninggalkan kawasan Monkey Forest yang dihiasi toko-toko perak dan kafe-kafe penuh bule.  
@@@


No comments:

Post a Comment