Aku sadar aku tak bisa disamakan dengan seorang Putu
Mahendra (udah jelas beda gender).
Meski sama-sama di Pulau Dewata, studio pertamaku ini memang tak sebesar studio
Bensley. Proyek-proyeknya pun mungkin tak se-WOW keluaran Bensley.
Well, barusan adalah opening tak terlalu penting sebab aku tak tahu
dari mana harus memulai cerita ini – yang nggak penting juga.
Beberapa tahun lalu, mungkin sudah tiga tahunan. Aku ingat hari itu
teman-temanku sibuk mondar- mandir menyiapkan acara kuliah tamu. Pembicaranya
pun ribet bawa gulungan yang di dalam otakku, emang berapa meter sih lebar banner-nya? Aku masih ingat arsitek yang
datang hari itu ada dua orang. Putu Mahendra dengan banner panjang + rambut gondrongnya itu dan Effan Adhiwira.
Bukan hal bagus atau pun jelek, tapi waktu itu aku
dan temanku sedang focus pada beberapa kata Putu Mahendra. Jujur, sampai sekarang
aku tak ingat, apa saja yang para arsitek itu bicarakan di kuliah tamu. Tapi
yang keinget justru yang nggak penting, beberapa kata itu, katanya Pak Mahendra
tak pernah mendapatkan proyek kecil sejak lulus kuliah, yang proyeknya itu
bersifat for public dan bukan yang
bersifat privat untuk perorangan.
“Serius nggak pernah dapat proyek kecil? Nggak dimulai
dari proyek rumah tinggal, ruko atau vila dan semacamnya?” tanyaku dan
teman-temanku dalam bisik-bisik sederetan. Saat itu bisa diakui kami masih
bodoh (sekarang juga masih sih cuma agak lebih pinter dikit). Di otak,
kami mengira semua yang lulus memulai proyek dari rumah atau ruko atau
semacamnya karena nggak berani langsung ke proyek besar. Jadi waktu dengar Pak
Putu Mahendra yang kenyang ngublek-ngublek wonderful
landscape terus ke big building
kami merasa WOW, hebat! Cuma orang pinter kayaknya yang bisa masuk ke
perusahaan besar dengan proyek besar. Sedangkan kami merasa termasuk golongan
yang kurang pinter.
Sekarang, aku baru lulus kuliah sekitar delapan bulan
lalu. Entah karena sadar emang bodoh, atau nggak pede, aku sama sekali nggak coba-coba kirim lamaran kerja ke
perusahaan besar dan terkenal seperti yang dilakukan teman-temanku yang lain. Hanya
mengandalkan aplikasi di jobstreet
dan sebangsanya. Hingga sampai nyasarlah aku ke Bali. Nggak nyasar banget sih,
udah diniati, hanya saja...
Hari itu akhirnya Surat Keterangan Lulus (SKL) keluar
juga dari dekanat. Aku pun langsung nemuin om google minta kerjaan. Aku kirim surat lamaran ke lima tempat. Dua perusahaan
di Bali, dua di Malang dan satu Tangerang. Hari itu hari Jumat. Aku pikir untuk
dapat panggilan interview bakal butuh waktu lama buat nunggu. Setelah
kirim-kirim itu aku menyiapkan list
kegiatan selama menanti dapat kerjaan, mulai dari belajar bikin batik lah,
ngelukis, belajar bikin baju model-model baru, sampai planning liburan ke Bali sambil
bantu-bantu di apotek omku. Ternyata list itu akhirnya cuma masuk tong sampah
nggak fungsi.
Hari minggu siang aku dapat email panggilan interview dari
Khatulistiwa Design di Bali. Saat itu
orang tuaku tak terlalu peduli, mereka masih menanti perusahaan di Malang untuk
memanggilku. Minggu malamnya aku mimpi debat dengan ayahku yang tak
mengijinkanku ke Bali. Di mimpi itu kemudian aku dapat email lagi, panggilan
juga dari Wastu Design, Bali.
Akhirnya ayahku membiarkanku ke Bali. Tak disangka esok paginya Wastu Design benar-benar mengirim panggilan
interview. Hm..karena nggak hanya satu tempat yang manggil, so, akhirnya berangkat juga ke Bali.
Kalau nggak keterima pun hitung-hitung
liburan.
Nggak ngira lagi kalau yang ada jadinya galau sampai tingkat
skyscraper. Panggilan interview dari perusahaan di Malang
masuk saat aku sudah di Bali. Sedangkan di Bali aku pun diterima di kedua
tempat tersebut. Wastu or Khatulistiwa?
Mikirnya bisa sampai gulung-gulung dah. Sialnya yang bikin galau itu nggak
penting banget, hanya karena aku nggak bisa nyetir sepeda motor!! Can you imagine it?!
Finally,
aku jadi Libra sejati, jadi timbangan yang bingung nggak berhenti-berhenti
mastiin mana yang lebih berat. Ingin kerja di Khatulistiwa, karena dari profil perusahaan dan proyek-proyeknya
punya style yang nggak jauh dari
pemikiran di otakku selama ini. Terus ada temanku juga di sana. Selain itu juga
scope-nya arsitektural, beda dengan Wastu yang scope-nya interior. BUT di Khatulistiwa
susah cari kos-kosan yang yang dekat di sekitarnya. Sedangkan di sekitar Wastu Design banyak banget kosan dan
lokasinya strategis banget buat hidup (buat pejalan kaki sih maksudnya).
Sebenarnya bisa aja aku nebeng temenku, tapi aku pikir panjang, saat itu dia akan
kuliah S2 di Surabaya, so kalau dia pergi gimana aku bisa hidup (mandiri sebagai
pejalan kaki)?! NAMUN aku nggak mau cuma interior aja, aku kuliah di arsitektur
jadi ya meski tahu itu susah aku ingin jadi arsitek yang nggak hanya desain
interiornya aja.. So where should I go?? –
mana white rabbit..?
No comments:
Post a Comment