2015-11-04

Alice in Wonder Town: Where Should I Go?


Aku sadar aku tak bisa disamakan dengan seorang Putu Mahendra (udah jelas beda gender). Meski sama-sama di Pulau Dewata, studio pertamaku ini memang tak sebesar studio Bensley. Proyek-proyeknya pun mungkin tak se-WOW keluaran Bensley.  
Well, barusan adalah opening tak terlalu penting sebab aku tak tahu dari mana harus memulai cerita ini – yang nggak penting juga.

Beberapa tahun lalu, mungkin sudah tiga tahunan. Aku ingat hari itu teman-temanku sibuk mondar- mandir menyiapkan acara kuliah tamu. Pembicaranya pun ribet bawa gulungan yang di dalam otakku, emang berapa meter sih lebar banner-nya? Aku masih ingat arsitek yang datang hari itu ada dua orang. Putu Mahendra dengan banner panjang + rambut gondrongnya itu dan Effan Adhiwira.
Bukan hal bagus atau pun jelek, tapi waktu itu aku dan temanku sedang focus pada beberapa kata Putu Mahendra. Jujur, sampai sekarang aku tak ingat, apa saja yang para arsitek itu bicarakan di kuliah tamu. Tapi yang keinget justru yang nggak penting, beberapa kata itu, katanya Pak Mahendra tak pernah mendapatkan proyek kecil sejak lulus kuliah, yang proyeknya itu bersifat for public dan bukan yang bersifat privat untuk perorangan.
“Serius nggak pernah dapat proyek kecil? Nggak dimulai dari proyek rumah tinggal, ruko atau vila dan semacamnya?” tanyaku dan teman-temanku dalam bisik-bisik sederetan. Saat itu bisa diakui kami masih bodoh (sekarang juga masih sih cuma agak lebih pinter dikit). Di otak, kami mengira semua yang lulus memulai proyek dari rumah atau ruko atau semacamnya karena nggak berani langsung ke proyek besar. Jadi waktu dengar Pak Putu Mahendra yang kenyang ngublek-ngublek wonderful landscape terus ke big building kami merasa WOW, hebat! Cuma orang pinter kayaknya yang bisa masuk ke perusahaan besar dengan proyek besar. Sedangkan kami merasa termasuk golongan yang kurang pinter.
Sekarang, aku baru lulus kuliah sekitar delapan bulan lalu. Entah karena sadar emang bodoh, atau nggak pede, aku sama sekali nggak coba-coba kirim lamaran kerja ke perusahaan besar dan terkenal seperti yang dilakukan teman-temanku yang lain. Hanya mengandalkan aplikasi di jobstreet dan sebangsanya. Hingga sampai nyasarlah aku ke Bali. Nggak nyasar banget sih, udah diniati, hanya saja...
Hari itu akhirnya Surat Keterangan Lulus (SKL) keluar juga dari dekanat. Aku pun langsung nemuin om google minta kerjaan. Aku kirim surat lamaran ke lima tempat. Dua perusahaan di Bali, dua di Malang dan satu Tangerang. Hari itu hari Jumat. Aku pikir untuk dapat panggilan interview bakal butuh waktu lama buat nunggu. Setelah kirim-kirim itu aku menyiapkan list kegiatan selama menanti dapat kerjaan, mulai dari belajar bikin batik lah, ngelukis, belajar bikin baju model-model baru, sampai planning liburan ke Bali sambil bantu-bantu di apotek omku. Ternyata list itu akhirnya cuma masuk tong sampah nggak fungsi.
Hari minggu siang aku dapat email panggilan interview dari Khatulistiwa Design di Bali. Saat itu orang tuaku tak terlalu peduli, mereka masih menanti perusahaan di Malang untuk memanggilku. Minggu malamnya aku mimpi debat dengan ayahku yang tak mengijinkanku ke Bali. Di mimpi itu kemudian aku dapat email lagi, panggilan juga dari Wastu Design, Bali. Akhirnya ayahku membiarkanku ke Bali. Tak disangka esok paginya Wastu Design benar-benar mengirim panggilan interview. Hm..karena nggak hanya satu tempat yang manggil, so, akhirnya berangkat juga ke Bali. Kalau nggak keterima pun  hitung-hitung liburan.
Nggak ngira lagi kalau yang ada jadinya galau sampai tingkat skyscraper. Panggilan interview dari perusahaan di Malang masuk saat aku sudah di Bali. Sedangkan di Bali aku pun diterima di kedua tempat tersebut. Wastu or Khatulistiwa? Mikirnya bisa sampai gulung-gulung dah. Sialnya yang bikin galau itu nggak penting banget, hanya karena aku nggak bisa nyetir sepeda motor!! Can you imagine it?!
Finally, aku jadi Libra sejati, jadi timbangan yang bingung nggak berhenti-berhenti mastiin mana yang lebih berat. Ingin kerja di Khatulistiwa, karena dari profil perusahaan dan proyek-proyeknya punya style yang nggak jauh dari pemikiran di otakku selama ini. Terus ada temanku juga di sana. Selain itu juga scope-nya arsitektural, beda dengan Wastu yang scope-nya interior. BUT di Khatulistiwa susah cari kos-kosan yang yang dekat di sekitarnya. Sedangkan di sekitar Wastu Design banyak banget kosan dan lokasinya strategis banget buat hidup (buat pejalan kaki sih maksudnya). Sebenarnya bisa aja aku nebeng temenku,  tapi aku pikir panjang, saat itu dia akan kuliah S2 di Surabaya, so kalau dia pergi gimana aku bisa hidup (mandiri sebagai pejalan kaki)?! NAMUN aku nggak mau cuma interior aja, aku kuliah di arsitektur jadi ya meski tahu itu susah aku ingin jadi arsitek yang nggak hanya desain interiornya aja.. So where should I go?? – mana white rabbit..?







No comments:

Post a Comment