“Kenapa kau ajak aku kesini?”tanya Nana sesaat setelah
Moringa memarkir motornya di tepi jalan Pantai Sindu.
“Mm..hanya ingin jalan-jalan saja. Sudah lama kita
tak kesini.”jawab Moringa santai. Keduanya pun berjalan ke arah Selatan
melintasi beranda deretan kafe dan restoran yang penuh dengan berbagai bentuk
lampion, lentera, lilin dan sebangsanya. Sampai akhirnya bermuara pada satu ujung
yang tenang, beristirahat dalam naungan sebuah gazebo kayu. “Ah, anginnya kencang sekali disini, apa kau
tak dingin?”
“Ah, tidak. Jaketku cukup hangat.”sahut Nana sembari mengamati kerlipan lampu-lampu pesawat di langit yang barusaja melintas menembus bulan.
“Hm..baguslah kalau begitu.”
Kini keduanya hening. Menikmati sayup-sayup melodi “Love Me Like You Do” di kejauhan. Lagu
yang sama yang terdengar samar tatkala mereka berdua terdiam di lapangan basket
Puputan Margarana di masa lalu.
Nana berpaling menatap wajah tenang Moringa. Wajah yang
tak benar-benar tenang.
“Langitnya bagus.”ujar pemuda itu. Nana pun
mengangguk.
“Ya, malam yang bagus. Aku jadi merasa seperti River
Elisabeth Wyles.. Di belakang sana sangat ramai semacam carnival. Lalu ia mendapatkan tempat
favorit yang sensasinya mungkin mirip seperti disini.”
“Hm..tapi sensasi yang terasa sekarang adalah
anginnya terlalu dingin.”komentar Moringa.
“Mm..perlukah kita cari tempat yang lebih baik?”tawar Nana.
“Tidak. Aku suka di sini. Aku sangat menyukai tempat
ini.” kata Moringa seraya meraih tangan Nana dan menggenggamnya bersamaan
dengan bertaburnya kembang api yang menawan hati di langit. Nana pun tersenyum bahagia menyaksikannya. Melihat malam yang mempesona di samping laki-laki yang selalu dirindukannya setiap saat. ”Meski
aku tak tahu kapan kita bisa kembali kesini, menikmati pemandangan yang indah seperti
ini.” lanjut Moringa menggugurkan senyuman gadis itu.
“Kenapa kau bicara seperti itu?”
“Aku.. “ucap Moringa penuh ragu, “..setelah ini aku..aku
ingin kau pergi dariku.”
“Ringa?! Please,
don’t say like that! I’ll be okay. Aku sudah bilang padamu, aku akan
berbeda, aku akan baik-baik saja!”
“Aku tak ingin kau terluka. Aku tak ingin kau seperti
mereka. Kau sahabat terbaikku, dan aku tak ingin kehilanganmu seperti aku
kehilangan mereka.”
“Ringa!”protes Nana menarik tangannya. “Aku bukan
Elice, bukan Sherry, aku..”
“Maaf, Na, aku tak bisa menyukai siapa pun.. Termasuk..
kau.”
@@@
“Tok..tok..tok..!”
Ailin terbangun dari tidurnya. Dengan kepala yang
masih terasa berat ia pun menyalakan bedside
lamp dan dilihatnya jam waker
masih menunjuk angka 3 dini hari.
“Tok..tok..tok..!”ketukan pintu kamar kosnya kembali
terdengar membuat gadis itu cemas. Bimbang antara membukanya atau tidak. Gadis
itu terdiam sesaat menormalkan rasa peningnya. Hingga akhirnya ia memberanikan
diri membukanya. Berpikir bahwa itu mungkin teman sekosnya dari kamar sebelah.
Gadis itu melangkah gontai ke arah pintu. Namun ia
berhenti bergerak saat hendak menyentuh handle
pintunya. Terdengar olehnya keratan pendek berulang melukai daun pintunya dari
luar. Mendadak kamar ber-AC itu menjadi jauh lebih dingin dari biasanya di saat
detak jantung Ailin meningkat, sedangkan napasnya seakan terhenti.
Ailin masih terpaku di posisinya mematung. Bahkan setelah
suara-suara aneh itu lenyap tak berbekas. Perlahan gadis itu pun mengumpulkan daya
meraih pisau di dapur kecilnya sebagai senjata, lantas penuh waspada kembali ke pintu. Memutar kunci dan
membuka pintu dengan sangat hati-hati.
Tak ada siapa pun di teras. Tak ada jejak apa pun di lantai. Hanya..
“He’s mine!”
Tulisan darah itu menghiasi sisi luar daun pintu kamar Ailin bersama
secarik kertas.
“Tanpa Judul
Apa kau tahu apa itu cinta? Ia adalah bekuan
darah di raga. Darah pecinta yang panas, yang mengalir lantas terjebak di ruang
dicinta. Jika kau mendapat cinta. Darah itu beku di tubuhmu. Maka akan kubantu
mencongkelnya darimu. Akan kunyalakan api, agar kembali mencair. Mengalir. Hingga
terhenti di bilikku.
By Tanpa Nama”
No comments:
Post a Comment