2015-11-15

Tanpa Judul, Tanpa Nama 2



 “Kenapa kau ajak aku kesini?”tanya Nana sesaat setelah Moringa memarkir motornya di tepi jalan Pantai Sindu.
“Mm..hanya ingin jalan-jalan saja. Sudah lama kita tak kesini.”jawab Moringa santai. Keduanya pun berjalan ke arah Selatan melintasi beranda deretan kafe dan restoran yang penuh dengan berbagai bentuk lampion, lentera, lilin dan sebangsanya. Sampai akhirnya bermuara pada satu ujung yang tenang, beristirahat dalam naungan sebuah gazebo kayu.  “Ah, anginnya kencang sekali disini, apa kau tak dingin?”

“Ah, tidak. Jaketku cukup hangat.”sahut Nana sembari mengamati kerlipan lampu-lampu pesawat di langit yang barusaja melintas menembus bulan.
“Hm..baguslah kalau begitu.”
Kini keduanya hening. Menikmati sayup-sayup melodi “Love Me Like You Do” di kejauhan. Lagu yang sama yang terdengar samar tatkala mereka berdua terdiam di lapangan basket Puputan Margarana di masa lalu.
Nana berpaling menatap wajah tenang Moringa. Wajah yang tak benar-benar tenang.
“Langitnya bagus.”ujar pemuda itu. Nana pun mengangguk.
“Ya, malam yang bagus. Aku jadi merasa seperti River Elisabeth Wyles.. Di belakang sana sangat ramai  semacam carnival. Lalu ia mendapatkan tempat favorit yang sensasinya mungkin mirip seperti disini.”
“Hm..tapi sensasi yang terasa sekarang adalah anginnya terlalu dingin.”komentar Moringa.
“Mm..perlukah kita cari tempat yang lebih baik?”tawar Nana.
“Tidak. Aku suka di sini. Aku sangat menyukai tempat ini.” kata Moringa seraya meraih tangan Nana dan menggenggamnya bersamaan dengan bertaburnya kembang api yang menawan hati di langit.  Nana pun tersenyum bahagia menyaksikannya. Melihat malam yang mempesona di samping laki-laki yang selalu dirindukannya setiap saat. ”Meski aku tak tahu kapan kita bisa kembali kesini, menikmati pemandangan yang indah seperti ini.” lanjut Moringa menggugurkan senyuman gadis itu.
“Kenapa kau bicara seperti itu?”
“Aku.. “ucap Moringa penuh ragu, “..setelah ini aku..aku ingin kau pergi dariku.”
“Ringa?! Please, don’t say like that! I’ll be okay. Aku sudah bilang padamu, aku akan berbeda, aku akan baik-baik saja!
“Aku tak ingin kau terluka. Aku tak ingin kau seperti mereka. Kau sahabat terbaikku, dan aku tak ingin kehilanganmu seperti aku kehilangan mereka.”
“Ringa!”protes Nana menarik tangannya. “Aku bukan Elice, bukan Sherry, aku..”
“Maaf, Na, aku tak bisa menyukai siapa pun.. Termasuk.. kau.”
@@@
“Tok..tok..tok..!”
Ailin terbangun dari tidurnya. Dengan kepala yang masih terasa berat ia pun menyalakan bedside lamp dan dilihatnya jam waker masih menunjuk angka 3 dini hari.
“Tok..tok..tok..!”ketukan pintu kamar kosnya kembali terdengar membuat gadis itu cemas. Bimbang antara membukanya atau tidak. Gadis itu terdiam sesaat menormalkan rasa peningnya. Hingga akhirnya ia memberanikan diri membukanya. Berpikir bahwa itu mungkin teman sekosnya dari kamar sebelah.
Gadis itu melangkah gontai ke arah pintu. Namun ia berhenti bergerak saat hendak menyentuh handle pintunya. Terdengar olehnya keratan pendek berulang melukai daun pintunya dari luar. Mendadak kamar ber-AC itu menjadi jauh lebih dingin dari biasanya di saat detak jantung Ailin meningkat, sedangkan napasnya seakan terhenti.
Ailin masih terpaku di posisinya mematung. Bahkan setelah suara-suara aneh itu lenyap tak berbekas.  Perlahan gadis itu pun mengumpulkan daya meraih pisau di dapur kecilnya sebagai senjata, lantas penuh waspada kembali ke pintu. Memutar kunci dan membuka pintu dengan sangat hati-hati.
Tak ada siapa pun di teras.  Tak ada jejak apa pun di lantai. Hanya..

“He’s mine!”

Tulisan darah itu menghiasi sisi luar daun pintu kamar Ailin bersama secarik kertas. 
“Tanpa Judul
Apa kau tahu apa itu cinta? Ia adalah bekuan darah di raga. Darah pecinta yang panas, yang mengalir lantas terjebak di ruang dicinta. Jika kau mendapat cinta. Darah itu beku di tubuhmu. Maka akan kubantu mencongkelnya darimu. Akan kunyalakan api, agar kembali mencair. Mengalir. Hingga terhenti di bilikku.
By Tanpa Nama”

No comments:

Post a Comment