2015-07-22

Bali Tour: Pantai Pandawa


Saat di kantor, berbincang dengan bos dan rekan kerja yang merencanakan liburan, kami bertiga pun menatap lekat-lekat foto-foto yang terpampang di google image. Itulah awal kemunculan rasa penasaranku terhadap Gunung Payung. Selama di Malang mendengar kata  Payung itu sudah pasti tempat wisata di tempat tinggi, puncaknya Batu, semacam itulah yang terbayang. Namun di Bali, awalnya kukira sama, itu nama gunung, ternyata bukan. Itu nama pantai di bagian Selatan pulau ini.

Sore itu, tanggal 9 Mei, bersama temanku, aku pun meluncur ke arah Kuta Selatan, melewati tol Bali Mandara. Tol di atas laut yang amazing. Berharap bisa berhenti menikmati pemandangan yang ada, sayang itu tol, jadi pastinya nggak boleh. Namun setidaknya aku tak menyetir, jadi aku masih bisa melihat kanan kiri di saat angin begitu kencang seperti itu.

Sampailah kami pada sebuah persimpangan jalan. Kami menikung tajam ke kiri mengikuti panah penunjuk jalan bertuliskan Gunung Payung.
“Kamu tahu jalannya kan?”tanyaku pada Rahman saat mulai cemas karena jalannya begitu sepi, dan penuh lahan kosong, rumah penduduknya sangat jarang.
“Hm..sepertinya kita kesorean, lain kali aja kalau pagi kesini.” Sahutnya. Kami pun putar balik. “Mau ke Pandawa?”lanjutnya.


Sebelumnya aku sudah pernah mendengar tentang Pantai Pandawa dari beberapa orang. Kata ibuku tempatnya sangat keren. Kata teman-temanku wonderful. Aku pun penasaran bagaimana kalau melihatnya langsung. Jadi tak masalah mau ke Gunung Payung atau pun Pandawa. Oh ya, saat perjalanan temanku sekilas menunjuk ke sebuah tempat, disana 5 jenis tempat ibadah berjajar. Masjid, gereja katholik, gereja protestan, vihara dan pura berbaris rapi. Akhirnya aku melihat langsung apa yang diceritakan ibuku satu tahun yang lalu.

Perjalanan berlanjut. Perbukitan kapur yang tinggi bertebing-tebing jelas menjadi tanda kami sudah dekat. Untuk perjalanan kemari kami sudah tak butuh lagi GPS seperti beberapa waktu sebelumnya, sebab rekan perjalananku sudah beberapa kali datang kemari. Tak lama kemudian, aku sudah tak lagi di atas sepeda motor. Aku sudah mendarat. Terpampang di depanku tulisan besar “Pantai Pandawa” – tulisan ini mengingatkanku pada tulisan Hollywood yang biasa kulihat di film, mengarah ke posisi pantai berada, jauh di bawah sana.

Pada sisi yang sama dengan tulisan besar, dinding alam itu terukir rapi dan patung-patung terbentuk dengan detail menjadi superstar yang diajak berfoto ria oleh pengunjung, termasuk aku. Setelah foto-foto kami berjalan turun mengikuti jalur yang ada menuju pantai. Setelah cukup jauh berjalan, barulah kami sadar, kenapa tak bawa motor saja sekalian, toh di bawah juga ada lahan parkir. Tapi ya sudahlah. Itung-itung olahraga sore.
 

Bus-bus, mobil, dan kendaraan lain begitu banyak. Rombongan anak sekolah yang kami temui membuatku merindukan masa sekolah dulu. Toko-toko dan restoran bisa dibilang lengkap. Saat tiba disana aku bisa melihat beragam aktifitas. Di kejauhan tengah laut sana para turis berselancar, menikmati senja dengan kano, berenang, di area pasir pun mereka bisa sekedar duduk, bermain volley, dan juga nikahan ^-^




Setelah hari menjelang gelap, sekitar jam enam lebih, kami pun beranjak pulang. Berjuang kembali ke parkiran di atas. Olahraga yang sempurna untuk hari ini, khususnya untuk temanku yang di pagi hari berlari-lari menemaniku bersepeda, dan kini sore harinya harus mendayung, di tambah mendaki bukit saat pulang. Beruntung persediaan air minum masih ada ^-^

Dalam perjalanan pulang kami mampir ke masjid yang bertetangga dengan gereja dan tempat ibadah umat agama lain di kawasan Puja Mandala. Setelah memarkir sepeda motor kami pun memasuki pelataran masjid. Sesaat kami bengong menatap masjid di depan kami. Mencoba mereka-reka dimana tempat wudlu-nya. Ternyata ada di sisi kiri kami. Temanku pun menuju tempat wudlu pria dan aku tempat wudlu wanita. Di pintu masuknya aku kembali bengong.

Ini tempat yang benar kan? Tanyaku dalam hati. Ruang itu kosong. Baru kali ini aku mengunjungi sebuah masjid dengan tempat wudlu dan toilet yang benar-benar sepi. Setelah selesai, aku berjalan kembali ke masjid, melintasi anak tangga yang cukup banyak – mungkin se-level dengan tangga menuju lantai 2,  untuk sampai di tempat sholat.

Masih kembali bengong, kemana aku harus bergerak? Aku tak melihat sosok wanita satu pun, hanya ada pria dimana-mana. Jadi dimana tempat wanita sembayang? Dimana aku bisa meminjam mukena? No idea.  Sesaat hampir turun lagi untuk bertanya pada bapak-bapak di lantai dasar. Namun mendadak sebuah lemari yang jaraknya kurang lebih 15 meter di seberangku, terbuka dengan sendirinya, memamerkan jajaran mukena yang tergantung pada hanger masing-masing.

Aku pun berjalan mendekat kesana. Mengambil satu stel mukena. Di samping lemari itu terdapat jendela yang menampilkan ruang sholat wanita – kusimpulkan begitu sebab aku melihat sisi belakang seorang wanita bermukena sedang duduk di dalam. Sungguh petunjuk yang unik. Aku pun langsung memasuki ruang tersebut melalui pintu yang tak jauh dari “lemari ajaib” itu.

Setelah selesai, kami langsung meluncur pulang. Kembali melintasi jalan tol Bali-Mandara. Lagi-lagi ingin bisa berhenti. Apalagi saat melihat kerlipan lampu kapal di kejauhan. Hingga tiba-tiba melintaslah sebuah pesawat di atas kami membuyarkan anganku. Jarak pesawat itu begitu dekat. Kerlip lampu dan bunyi kerasnya pun mengingatkanku pada mimpiku di malam sebelumnya.

Orang lain mungkin merasa aku aneh, atau menganggapku berlebihan. Tapi aku memang pemimpi yang tak bisa mengabaikan begitu saja mimpi yang muncul saat aku tidur. Pada mimpi seri ke delapan dari mimpi serial yang aku alami, aku sudah melihat pesawat itu sebelumnya. Dalam mimpiku memang tak jelas itu jalan tol atau apa. Tapi yang kuingat jelas adalah pesawat itu, laut, traffic cone, portal, dan orang-orang berseragam seperti yang sedang bertugas di sekitar loket masuk jalan bebas hambatan itu.
Namun bagaimana pun, lagi-lagi aku hanya bisa menyimpulkan itu kebetulan yang sangat kebetulan.


Photos by Asq

No comments:

Post a Comment