“Ke Utara atau Selatan?”
“Kalau ke Utara?”
“Kalau ke Utara ke Tanah Lot. Kalau ke Selatan ke
Gunung Payung.”
“Hm..Terserah, tapi kalau ke Selatan,sepertinya kita
kesorean lagi..”
“Hm..oke, berarti ke Tanah Lot.”
Melanjutkan penjelajahan, kami kembali menjajal
pantai lainnya. Sebenarnya kami sama-sama sudah pernah ke Tanah Lot. Tapi tetap
saja penasaran, sebab kunjungan itu sudah lama di masa lalu,di waktu yang
berbeda, bersama orang yang berbeda. Hitung-hitung kali ini kami mengisi hari
libur kami (14 Mei) dengan sesuatu yang menarik.
Tak disangka jalanan macet luar biasa. Mendekati
penginapan Pasific Pan harapan
melihat Sunset hilang sudah. Sudah
bisa dipastikan kami kemalaman untuk sampai ke tempat tujuan karena berjam-jam
macet. Jalanan penuh dengan mobil-mobil dan bus-bus pariwisata yang juga
memiliki tujuan yang sama.
Begitu sampai, meski aku sudah pernah ke tempat
wisata satu ini rasanya seperti baru pertama kali kemari. Keadaannya jauh
berbeda dari beberapa tahun lalu. Tanah Lot yang sekarang seperti lautan manusia.
Jajaran toko kerajinan dan rumah makan, rombongan wisatawan dari berbagai
penjuru dunia, semua itu membuatku nyaris benar-benar pusing.
Pantai yang berada di Desa Beraban, Kec.Kediri,
Kab.Tabanan ini terkenal dengan keberadaan pura yang posisinya menjorok ke laut
itu. Seperti yang diulas di beberapa artikel Pura Tanah Lot ini merupakan
bagian dari Pura Kahyangan Jagat di Bali, yaitu tempat pemujaan kepada dewa
penjaga laut. Gua kecilnya pun terkenal dengan keberadaan ular laut yang
dianggap suci, yaitu jelmaan dari selendang seorang Brahmana dari Jawa, Dang
Yang Nirartha, yang kemudian mendirikan pura tersebut. Kemudian ular itu pun
dianggap sebagai penjaga pura. Katanya sih warna ularnya blaster gitu, tapi
entah ingatanku yang buruk atau penglihatanku yang jelek, saat aku melihatnya –
waktu itu aku masih SD, yang kulihat ularnya polos gitu aja. Atau mungkin aku
salah lihat ular?? Entahlah..
Menurut cerita om Wiki, sekitar tahun 1980, batuan
dimana pura itu terbangun sempat rusak dan area di sekitarnya menjadi
berbahaya. Oleh karena itu akhirnya pemerintah Jepang memberikan pinjaman
sebesar Rp 800 M untuk proyek renovasi, membangun batu buatan.
Sore itu laut tampak sedang pasang. Karena padat
pengunjung dimana-mana akhirnya kami hanya memutuskan untuk duduk-duduk saja di
gazebo, dan menikmati pemandangan laut dari sana. Sebuah pemandangan menarik,
saat tiba-tiba muncul burung-burung kecil menyerbu langit dengan jumlah tak
terhingga. Seperti tak ada habis-habis binatang kecil itu terbang berkelompok.
Kami hanya berdiam disana. Menyaksikan kegiatan
piknik orang-orang, menikmati semilir angin, melihat sesi pemotretan prewed,
sampai matahari benar-benar tenggelam dan hari menjadi gelap menyisakan
bintang-bintang yang.. tiba-tiba bergerak.. Oh, bukan bintang ternyata, itu
pesawat. Perlahan semua lampu taman pun menyala. Sekeliling kami pun menjadi
sepi. Semua bergerak meninggalkan pantai ini. Termasuk kami.
Sebenarnya sih betah untuk stay di sana, Tanah Lot ini tampak menarik di malam hari. Apalagi
saat melihat banyaknya bintang terhambur, pantulan sinar lampu di perairan, dan
merasakan aroma angin laut yang khas. Sayangnya besok paginya kami harus
bekerja, so, we had to save our energy.
No comments:
Post a Comment