2015-08-15

At Monumen Bajra Sandhi



 
 Jenuh. Setelah berhari-hari menunda, akhirnya keengganan berhasil kutepis. Melepas penat, aku kembali mendapatkan udara malam yang menyegarkan.
Kuhabiskan menit-menit awalku untuk duduk di depan minimarket itu, mengamati orang berlalu lalang di koridor Jalan Raya Puputan, seraya mendapatkan pemandangan statis menara Bajra Sandhi yang tampak eksotis kebiru-unguan oleh sorot lampu. Kulihat pula seorang pemuda di meja sebelah yang sibuk menghabiskan mie instannya, sama sibuknya denganku yang tengah menghabiskan ice cream coklatku. 10 menit terlewati, baru ada dua angkutan umum warna hijau yang melintas. Meski sama hijaunya namun beda tempat beda kebiasaan. Kalau di Malang dalam satu menit bisa dua sampai tiga mikrolet, namun di daerah Denpasar, angkutan jalur GOR Ngurah rai-Renon itu sepertinya 10 menit adalah jeda paling singkat.

Sore itu gelap langit makin pekat. Namun lapangan di sekitar menara yang berlekuk-lekuk itu masih sangat ramai. Aku berjalan meninggalkan tempatku, melempar bungkus ice cream ke tempat sampah, lantas menyeberang jalan. Saat memasuki gerbang utamanya, masih saja tempat itu tak berbeda dari pagi atau siangnya. Banyak orang bernarsis ria dengan kamera. Tak terlalu kupikir, aku hanya berlalu, belok ke kanan melintasi track yang sudah sering kulewati.
Selama melintasi sepenggal jalan itu, ingatanku kembali pada masa lalu. Dari sekian banyak tempat wisata, ini adalah tempat yang paling sering kukunjungi. Jaman dulu aku melihat Monumen Bajra Sandhi ini tampak sangat keren dan istimewa, namun lama-lama aku merasa bangunan ini terlihat biasa saja – tapi bukan berarti ia tak lagi istimewa. Tempat ini menjadi biasa saja jika terus dilihat, tapi ketika kita merasakannya, tempat ini adalah sesuatu yang menyimpan banyak makna, yang takkan mudah terhapus dari ingatan. Monumen ini adalah penanda sejarah. Menyimpan berjuta kisah sejarah, sejarah rakyat Bali, dan sejarah hidupku ^-^ Dulu saat tahun 2011, sepulang dari Studi Ekskursi aku sangat menyesal karena tak masuk ke dalam bangunan utamanya saat kami berkunjung di sana. Aku hanya terlalu sibuk membuat sketsa karakter eksterior tempat ini.
Arsitektur museum ini pastinya penuh dengan filosofi. Tapi yang aku mengerti hanyalah soal anak tangga. Di pintu utama berjumlah 17. Di dalam monumen ini ada 8 tiang besar yang katanya biasa disebut Tiang Agung. Kemudian bagian tengah monumen yang menjulang ini tingginya 45 meter. Angka-angka itu sama dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945. Lalu ada pula tangga putar setinggi 10 meter bernama tangga Tapak Dara.

Memasuki penggal jalan berikutnya, yaitu jalan menikung ke kiri. Pada siku tikungan ini terdapat pohon beringin besar, dia adalah penanda titik start aku menaiki sepedaku, tahap-tahap awal mencoba meluncur langsung di jalan yang sebenarnya. Kulihat ke arah kanan. Selokan itu samar dalam gelap malam, biasanya begitu jelas terlihat, apalagi saat aku nyaris terjun kesana. Orang-orang di sekelilingku mulai memperlambat langkahnya. Bahkan hampir semuanya menghentikan lari kecilnya. Masih, aku tak hiraukan mereka. Otakku fokus pada irama gendhing khas Bali yang muncul dari kejauhan.
                Diantara semua kegelapan, kini kulihat satu lagi titik terang selain menara Bajra Sandhi itu sendiri. Terlihat olehku sebuah panggung kecil yang dihiasi oleh penari-penari wanita berpakaian keemasan lengkap dengan aksesorisnya. Di sekeliling panggung itu, orang-orang serba merah dan hampir semuanya ber-udeng. Ingin aku mendekat pada keramaian di sana, tapi saat teramati hanya penuh dengan orang laki-laki, kuurungkan niatku. Aku lanjutkan perjalananku.
                Beringin di siku kedua jalan kutemui lagi sudah. Beringin itu adalah penanda aku mulai memperlambat sepedaku. Di kiriku lapangan rumput jelas masih begitu luas. Di tanah lapang itulah aku dulu aku berkelok-kelok nyaris jatuh, berlecet ria, dan.. sempet juga diusir bapak-bapak rese’ nggak jelas. Beringin itu pula penanda saat kemudian aku menoleh ke belakang dan menyaksikan temanku yang terlihat kelelahan mengikutiku. Pada penggal jalan ini aku biasanya sudah menuntun sepedaku dan bersiap mengangkatnya bersama temanku. Menaiki tangga pendek di ujung jalan.
                Area berikutnya adalah.. hm..aku menyebutnya lapangan upacara. Ada tiang bendera disana. Area berpaving yang rapi, jalan berbatu sikat yang sangat tertata, ini adalah spot favorit. Berusaha keras belajar untuk berbelok. Tempat dimana guruku mengamatiku dan berpikir keras mencari solusi untuk memperbaiki kesalahanku. Biasanya aku tak keluar batas, tapi kali ini aku keluar gerbang. Aku meninggalkan area lapangan Puputan Margarana dan menyeberang jalan. Seperti laron, aku mendekat pada sumber cahaya.
                Aku merapat pada pagar besi di depanku. Sesuatu begitu terang di depanku. Dari beton yang tersinari? Aku tak memikirkan yang ini. bentukan lambang daerah membuatku merasa kecantikannya berkurang. Fokusku lebih pada sesuatu di belakangnya. Kerlipan lampu kecil warna-warni menyebar di seluruh pelataran itu. Ingin aku melompati pagar dan masuk. Tapi tentu saja takkan diijinkan. Aku berjalan, berharap menemukan sesuatu yang dapat membuatku bisa mengakses halaman indah itu. tapi yang ada pagarnya tertutup. Pos security penuh dengan empat orang berseragam. Aku pun menyerah untuk melihat pekarangan kantor gubernur itu.
                Aku kembali masuk ke lapangan puputan melewati jalan di satu sudut terdekat. Beringin di siku ketiga. Kini aku ada di sisi barat monumen. Tak jauh dari menara itu, kulihat ada panggung yang serupa. Tapi apa yang ditunjukkan jelas berbeda. Aku berhenti mengamati orang-orang yang ada di sana. Lebih banyak orang umum di sana. Aku pun turut mengambil tempat dan duduk di bawah pohon. Ludruk, seketika itu pikirku saat menyaksikan pagelaran seni puputan margarana itu.
Komedi dan musik tradisional dipadukan hangat, memancing gelak tawa penonton. Jujur aku tak bisa ikut tertawa, aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan dengan bahasa daerah itu. Namun aku sangat terhibur. Perlahan sesekali aku mampu tertawa. Terkadang mereka juga memakai bahasa Indonesia. Bahkan semakin lama, meski masih penuh dengan bahasa Bali, mungkin karena terbiasa meski aku tak mengerti detailnya, aku bisa memahami pembicaraan mereka.
Lama-lama aku sadar, orang-orang di sekeliling kebanyakan berpasang-pasangan, dan kebanyakan mereka sibuk sendiri. Tertawa sendiri, ngomel-ngomel sendiri, dan bermanja ria sendiri, yang tak ada kaitannya dengan pertunjukkan. Lalu aku, aku juga akhirnya sibuk sendiri dengan ponselku, dengan bintang yang sangat banyak, dan dengan “UFO”.
Pukul 19.13 acara berakhir. Break lebih tepatnya. Pagelaran masih akan dilanjutkan lagi pukul 20.00 nanti. Semua pun berhambur pergi. Begitu pula aku.  Perjalanan pulang kulalui, lapangan basket yang pernah kupakai, yang harusnya ada beberapa meter di kiriku, sejak tadi tak terlihat dalam gelap. Dari awal aku tak menemukannya dimana-mana. Hingga aku sudah kembali di gerbang utama monumen ini, di sisi Selatan, titik awal aku masuk. Kali ini aku tak langsung pergi seperti di awal. Aku mengamatinya lebih seksama dari biasanya. Berharap aku punya kamera berresolusi tinggi dan mengabadikan pemandangan ini. Hm..mungkin sebelumnya aku juga pernah melakukan pengamatan yang cukup lama seperti detik itu. Yaitu saat kunjungan keduaku.
Kunjungan kedua, kunjungan yang sesungguhnya, yang akhirnya aku masuk ke dalam bangunan utamanya. Kunjungan itu serasa reward, aku masuk gratis. Aku tak tahu kalau harus bayar tiket masuk. Kebetulan sekali saat itu ada rombongan anak SMA datang. Aku masuk bersama mereka yang pastinya tinggal masuk saja. Baru setelah kunjungan ke..entah aku lupa, pokoknya ketika aku masuk bersama temanku, detik itulah aku tahu kalau kami harus bayar tiket ^-^. 
 
 Dalam kehikmatan menatap lampu penghias monumen, dengan angin yang sejuk, aku kembali merasakan bagaimana tenangnya berada di puncak sana, melihat penjuru lapangan dan kota di ketinggian. Terdengar ulang pula olehku bagaimana lembutnya gemericik air kolam di lantai dasarnya.
 
 Finally, I went home for real, tapi kuambil jalur memutar. Aku tak mau lagi bertemu lima anjing norak yang sebegitu hebohnya tiap kali bertemu orang lewat. Selain itu aku sengaja ingin melewati sebuah kedai kecil yang cantik, yang dihiasi lampu-lampu gemerlap warna-warni di sekitarnya. Sebuah kedai kopi di seberang kafe internet langganan temanku. Jika ia masih tinggal di sini, pasti ia akan berada di dalamnya karena hari ini adalah hari Jumat ^-^. Jadwal tetapnya mengunjungi kafe Majesty itu.

No comments:

Post a Comment