Jenuh. Setelah berhari-hari menunda,
akhirnya keengganan berhasil kutepis. Melepas penat, aku kembali mendapatkan
udara malam yang menyegarkan.
Kuhabiskan menit-menit awalku untuk
duduk di depan minimarket itu, mengamati orang berlalu lalang di koridor Jalan
Raya Puputan, seraya mendapatkan pemandangan statis menara Bajra Sandhi yang
tampak eksotis kebiru-unguan oleh sorot lampu. Kulihat pula seorang pemuda di
meja sebelah yang sibuk menghabiskan mie instannya, sama sibuknya denganku yang
tengah menghabiskan ice cream
coklatku. 10 menit terlewati, baru ada dua angkutan umum warna hijau yang
melintas. Meski sama hijaunya namun beda tempat beda kebiasaan. Kalau di Malang
dalam satu menit bisa dua sampai tiga mikrolet, namun di daerah Denpasar,
angkutan jalur GOR Ngurah rai-Renon itu sepertinya 10 menit adalah jeda paling singkat.
Sore itu gelap langit makin pekat. Namun
lapangan di sekitar menara yang berlekuk-lekuk itu masih sangat ramai. Aku berjalan
meninggalkan tempatku, melempar bungkus ice cream ke tempat sampah, lantas
menyeberang jalan. Saat memasuki gerbang utamanya, masih saja tempat itu tak
berbeda dari pagi atau siangnya. Banyak orang bernarsis ria dengan kamera. Tak terlalu
kupikir, aku hanya berlalu, belok ke kanan melintasi track yang sudah sering kulewati.
Selama melintasi sepenggal jalan
itu, ingatanku kembali pada masa lalu. Dari sekian banyak tempat wisata, ini
adalah tempat yang paling sering kukunjungi. Jaman dulu aku melihat Monumen
Bajra Sandhi ini tampak sangat keren dan istimewa, namun lama-lama aku merasa
bangunan ini terlihat biasa saja – tapi bukan berarti ia tak lagi istimewa.
Tempat ini menjadi biasa saja jika terus dilihat, tapi ketika kita
merasakannya, tempat ini adalah sesuatu yang menyimpan banyak makna, yang
takkan mudah terhapus dari ingatan. Monumen ini adalah penanda sejarah.
Menyimpan berjuta kisah sejarah, sejarah rakyat Bali, dan sejarah hidupku ^-^ Dulu
saat tahun 2011, sepulang dari Studi Ekskursi aku sangat menyesal karena tak
masuk ke dalam bangunan utamanya saat kami berkunjung di sana. Aku hanya
terlalu sibuk membuat sketsa karakter eksterior tempat ini.
Arsitektur museum ini pastinya penuh dengan filosofi. Tapi yang aku mengerti hanyalah soal anak tangga. Di pintu utama berjumlah 17. Di dalam monumen ini ada 8 tiang besar yang katanya biasa disebut Tiang Agung. Kemudian bagian tengah monumen yang menjulang ini tingginya 45 meter. Angka-angka itu sama dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945. Lalu ada pula tangga putar setinggi 10 meter bernama tangga Tapak Dara.
Arsitektur museum ini pastinya penuh dengan filosofi. Tapi yang aku mengerti hanyalah soal anak tangga. Di pintu utama berjumlah 17. Di dalam monumen ini ada 8 tiang besar yang katanya biasa disebut Tiang Agung. Kemudian bagian tengah monumen yang menjulang ini tingginya 45 meter. Angka-angka itu sama dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945. Lalu ada pula tangga putar setinggi 10 meter bernama tangga Tapak Dara.
Memasuki penggal jalan berikutnya, yaitu
jalan menikung ke kiri. Pada siku tikungan ini terdapat pohon beringin besar,
dia adalah penanda titik start aku
menaiki sepedaku, tahap-tahap awal mencoba meluncur langsung di jalan yang
sebenarnya. Kulihat ke arah kanan. Selokan itu samar dalam gelap malam,
biasanya begitu jelas terlihat, apalagi saat aku nyaris terjun kesana. Orang-orang
di sekelilingku mulai memperlambat langkahnya. Bahkan hampir semuanya
menghentikan lari kecilnya. Masih, aku tak hiraukan mereka. Otakku fokus pada
irama gendhing khas Bali yang muncul dari kejauhan.
Diantara
semua kegelapan, kini kulihat satu lagi titik terang selain menara Bajra Sandhi
itu sendiri. Terlihat olehku sebuah panggung kecil yang dihiasi oleh
penari-penari wanita berpakaian keemasan lengkap dengan aksesorisnya. Di sekeliling
panggung itu, orang-orang serba merah dan hampir semuanya ber-udeng. Ingin aku mendekat pada keramaian
di sana, tapi saat teramati hanya penuh dengan orang laki-laki, kuurungkan
niatku. Aku lanjutkan perjalananku.
Beringin
di siku kedua jalan kutemui lagi sudah. Beringin itu adalah penanda aku mulai
memperlambat sepedaku. Di kiriku lapangan rumput jelas masih begitu luas. Di tanah
lapang itulah aku dulu aku berkelok-kelok nyaris jatuh, berlecet ria, dan..
sempet juga diusir bapak-bapak rese’ nggak jelas. Beringin itu pula penanda
saat kemudian aku menoleh ke belakang dan menyaksikan temanku yang terlihat
kelelahan mengikutiku. Pada penggal jalan ini aku biasanya sudah menuntun
sepedaku dan bersiap mengangkatnya bersama temanku. Menaiki tangga pendek di
ujung jalan.
Area
berikutnya adalah.. hm..aku menyebutnya lapangan upacara. Ada tiang bendera
disana. Area berpaving yang rapi, jalan berbatu sikat yang sangat tertata, ini
adalah spot favorit. Berusaha keras belajar untuk berbelok. Tempat dimana
guruku mengamatiku dan berpikir keras mencari solusi untuk memperbaiki
kesalahanku. Biasanya aku tak keluar batas, tapi kali ini aku keluar gerbang. Aku
meninggalkan area lapangan Puputan Margarana dan menyeberang jalan. Seperti
laron, aku mendekat pada sumber cahaya.
Aku
merapat pada pagar besi di depanku. Sesuatu begitu terang di depanku. Dari beton yang tersinari?
Aku tak memikirkan yang ini. bentukan lambang daerah membuatku merasa
kecantikannya berkurang. Fokusku lebih pada sesuatu di belakangnya. Kerlipan lampu
kecil warna-warni menyebar di seluruh pelataran itu. Ingin aku melompati pagar
dan masuk. Tapi tentu saja takkan diijinkan. Aku berjalan, berharap menemukan sesuatu
yang dapat membuatku bisa mengakses halaman indah itu. tapi yang ada pagarnya
tertutup. Pos security penuh dengan empat orang berseragam. Aku pun menyerah untuk melihat pekarangan kantor gubernur itu.
Aku
kembali masuk ke lapangan puputan melewati jalan di satu sudut terdekat. Beringin
di siku ketiga. Kini aku ada di sisi barat monumen. Tak jauh dari menara itu,
kulihat ada panggung yang serupa. Tapi apa yang ditunjukkan jelas berbeda. Aku berhenti
mengamati orang-orang yang ada di sana. Lebih banyak orang umum di sana. Aku pun
turut mengambil tempat dan duduk di bawah pohon. Ludruk, seketika itu pikirku
saat menyaksikan pagelaran seni puputan margarana itu.
Komedi dan musik tradisional
dipadukan hangat, memancing gelak tawa penonton. Jujur aku tak bisa ikut
tertawa, aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan dengan bahasa daerah itu.
Namun aku sangat terhibur. Perlahan sesekali aku mampu tertawa. Terkadang
mereka juga memakai bahasa Indonesia. Bahkan semakin lama, meski masih penuh
dengan bahasa Bali, mungkin karena terbiasa meski aku tak mengerti detailnya,
aku bisa memahami pembicaraan mereka.
Lama-lama aku sadar, orang-orang di
sekeliling kebanyakan berpasang-pasangan, dan kebanyakan mereka sibuk sendiri.
Tertawa sendiri, ngomel-ngomel sendiri, dan bermanja ria sendiri, yang tak ada kaitannya dengan
pertunjukkan. Lalu aku, aku juga akhirnya sibuk sendiri dengan ponselku, dengan
bintang yang sangat banyak, dan dengan “UFO”.
Pukul 19.13 acara berakhir. Break lebih tepatnya. Pagelaran masih akan
dilanjutkan lagi pukul 20.00 nanti. Semua pun berhambur pergi. Begitu pula
aku. Perjalanan pulang kulalui, lapangan basket yang pernah kupakai, yang harusnya ada beberapa meter di kiriku, sejak tadi tak terlihat dalam gelap. Dari awal aku tak menemukannya dimana-mana. Hingga aku
sudah kembali di gerbang utama monumen ini, di sisi Selatan, titik awal aku
masuk. Kali ini aku tak langsung pergi seperti di awal. Aku mengamatinya lebih
seksama dari biasanya. Berharap aku punya kamera berresolusi tinggi dan
mengabadikan pemandangan ini. Hm..mungkin sebelumnya aku juga pernah melakukan
pengamatan yang cukup lama seperti detik itu. Yaitu saat kunjungan keduaku.
Kunjungan kedua, kunjungan yang
sesungguhnya, yang akhirnya aku masuk ke dalam bangunan utamanya. Kunjungan itu
serasa reward, aku masuk gratis. Aku tak tahu kalau harus bayar tiket masuk.
Kebetulan sekali saat itu ada rombongan anak SMA datang. Aku masuk bersama
mereka yang pastinya tinggal masuk saja. Baru setelah kunjungan ke..entah aku
lupa, pokoknya ketika aku masuk bersama temanku, detik itulah aku tahu kalau
kami harus bayar tiket ^-^.
Dalam kehikmatan menatap lampu
penghias monumen, dengan angin yang sejuk, aku kembali merasakan bagaimana
tenangnya berada di puncak sana, melihat penjuru lapangan dan kota di ketinggian. Terdengar
ulang pula olehku bagaimana lembutnya gemericik air kolam di lantai dasarnya.
Finally, I went home for real, tapi kuambil jalur memutar. Aku tak mau lagi bertemu lima anjing norak yang sebegitu hebohnya tiap kali bertemu orang lewat. Selain itu aku sengaja ingin melewati sebuah kedai kecil yang cantik, yang dihiasi lampu-lampu gemerlap warna-warni di sekitarnya. Sebuah kedai kopi di seberang kafe internet langganan temanku. Jika ia masih tinggal di sini, pasti ia akan berada di dalamnya karena hari ini adalah hari Jumat ^-^. Jadwal tetapnya mengunjungi kafe Majesty itu.
No comments:
Post a Comment