The Moon Gravity. Itu adalah judul sebuah cerita fiktif yang
kutulis pada awal tahun 2014, yang tak pernah dibaca orang lain selain aku.
Jika cerita itu dicetak mungkin bisa seperti novel. Tapi bukan novel yang bagus, mungkin buat
orang yang sudah paham dunia menulis akan merasa jalan cerita itu terlalu
memaksa untuk ada dan tak masuk akal. Mungkin juga terlalu mudah ditebak.
Cerita itu
berkisah tentang seorang gadis bernama Alice yang barusaja lulus dan
mendapatkan gelar Sarjana Teknik dari jurusan arsitektur. Ia pun bekerja
dalam sebuah tim desainer interior bidang hospitality. Keadaan
pun mengharuskannya menyeberangi laut ke pulau tetangga dua tahun setelah
itu. Dari pulau Osai ke pulau Seu. Alice tinggal bersama sahabatnya.
Suatu malam, gadis itu baru saja keluar dari sebuah minimarket. Namun
dalam perjalanan pulangnya ia tersesat dan berakhir pada sebuah rumah yang
dirasanya adalah rumahnya. Ia pun bertemu seorang pemuda, yang sesaat kaget dan
merasa ada yang aneh dengan Alice, yang kemudian memberitahu kemana ia harus
pergi untuk pulang. Alice pun meminta maaf karena kemampuan spasialnya mengenai
jalan sangatlah lemah di malam hari.
Esok harinya saat menunggu jemputan Rie, sahabatnya, Alice bertemu anak
kecil yang tersesat. Alice pun mengantar anak itu pulang dengan taksi menuju
alamat yang disebutkan anak itu.
Keadaan pun mempertemukan Alice dengan pemuda yang kemarin. Seseorang
bernama Ariuka Aru, yang juga memiliki profesi
sebagai arsitek. Pemuda itu pun pernah tinggal di Osai untuk menyelesaikan
kuliah S2-nya.
Satu bulan kemudian, tanpa sengaja Aru melihat Alice yang tengah berbicara
dengan seorang pria tua. Sesaat setelah Alice pergi pria tua itu
menggerutu dengan keras membuat Aru merasa penasaran. Ia pun tahu jika Alice
barusaja menanyakan jalan, menuju rumahnya. Aru pun mengrenyit, satu bulan
telah berlalu, dan hari itu langit masih terang.
Beralih pada sebuah kamar di rumah sakit. Alice terbangun dan heran
mendapati dirinya disana. Seketika kaget saat Rie bercerita bahwa ia baru saja
pingsan dan pemuda yang bernama Aru barusaja pergi setelah menolongnya. Lebih
kaget lagi saat tahu bahwa Aru telah mengetahui kedaannya yang memiliki masalah
disorientasi. Serta
memiliki satu masalah lain yaitu sakit kepala hebat dirasakan Alice saat
mendengar suara pecahan gelas dan kaleng yang terbanting.
Dalam perjalanan Aru masih merasa heran dengan keadaan Alice. Disorientasi,
sesuatu yang terdengar mustahil. Karena sebuah kecelakaan di hari kelulusannya
gadis itu berakhir seperti itu, bahkan kabarnya kini kelainan itu semakin
parah. Kecelakaan yang memiki
kasus benturan di kepala itu biasanya mengakibatkan amnesia, tapi ini tidak, yang terlupa hanyalah
arah jalan. Arsitek adalah seseorang yang memiliki kemampuan spasial tinggi,
tapi kenapa bisa masih saja tersesat? Berulang kali Aru mencoba mencari celah
logisnya. Namun tetap saja banyak hal membuat Aru terganggu.
Waktu terus berlalu. Seperti sebuah takdir, Alice dan Aru menjadi sering
bertemu karena event-event yang melibatkan mereka sebagai arsitek. Keduanya pun
semakin dekat sejak perusahaan mereka bekerja sama. Mau tak mau Aru pun seperti
memiliki tanggung jawab sebagai pelindung Alice. Perlahan Alice pun menjadi
sangat bergantung pada Aru yang selalu datang di saat yang tepat, bahkan saat
gadis itu tak menduga sedikit pun tentang kedatangan Aru. Tiap kali Alice tersesat selalu
saja ia menemukan jalan yang akhirnya mempertemukannya dengan Aru.
Empat bulan berlalu. Akhirnya Alice pun mengetahui alasan Aru yang selalu
bersikap baik padanya. Pemuda itu memang tak menjelaskan secara rinci. Namun intinya di masa lalu Aru pernah menyukai seseorang yang ia pikir
tak menyukainya, meski pada akhirnya ia tahu bahwa ternyata gadis itu
menyukainya. Sayangnya semua sudah terlambat. Saat itu ia merasa seperti pengecut, ia terlalu cepat
menyerah dan memilih mengabaikan gadis itu. Ia abaikan semua bahkan di saat harusnya ia
tak mengabaikan gadis itu. Jika malam itu ia sedikit peduli
harusnya gadis itu tak terluka.
“Seandainya, hari itu tak berubah menjadi pelupa..dan
juga tak menjadi pengecut..seandainya aku punya keberanian mengetuk pintu
rumahnya setelah kejadian itu dan mengucap maaf, mungkin semua tak seperti sekarang..”sesal Aru. Ia bahkan hanya mengingat nomorku tapi aku masih bisa bersikap tak peduli. "Saat itu aku hanya berpikir, perasaan suka terhadapnya hanyalah sesaat, lalu akan hilang begitu saja seperti yang kualami sebelum-sebelumnya. Aku takut jika aku tak bisa menyukainya seperti caranya menyukaiku.."
"Apa kau masih
menyukainya?"Tanya Alice.
"Ya, tapi kurasa gadis itu
sudah tak lagi. Ia sepertinya sudah melupakanku."
"Pernah bertemu lagi setelah
kejadian itu?"
"Pernah. Belum lama ini. Tapi
ia tak mengenaliku."
"Apa kau tak ingin ia
kembali?"
"Aku tak tahu caranya."
"Jika kau sungguh ingin, kau
tak perlu pikirkan cara. Cukup menjadi dirimu yang benar-benar
menyayanginya."
"Begitukah?"
"Seorang wanita akan
mengerti itu."
"Tapi apa gunanya, ia bahkan
tak ingat padaku."
"Kalau begitu cukup kau
ingatkan ia sedikit demi sedikit tentang hal-hal indah yang pernah kalian
lakukan bersama. Seorang wanita yang benar menyayangi seseorang takkan mudah
melupakan orang yang pernah disayanginya, jika ia masih lupa setelah kau
mengingatkannya, mungkin ia mencintaimu tak sebanyak kasih sayangmu
untuknya."
Beranjak meninggalkan minggu pertama bulan kelima ia di Seu, Alice mulai
sibuk membicarakan bisnis properti yang diusulkan Aru. Mereka berdua berencana
me-redesain sebuah perumahan di sebuah daerah yang cukup berpotensi bagus. Hari
itu mereka bekerja hingga malam. Namun tiba-tiba Aru menghentikan kegiatan dan
menarik Alice menuju rooftop apartemen barunya.
“Kenapa kita kemari?”tanya Alice heran. Aru tak
menjawab dan hanya menunjuk ke langit timur. Pemuda itu pun kini hanya
membiarkan Alice yang tercengang mendekat ke parapet. “Wah, ini..ini
benar-benar keren! Bulannya benar-benar terlihat sangat indah disini!”seru
Alice dengan senyuman penuh kebahagian. “Sejak dulu aku penasaran dengan tempat
tinggi seperti ini, pasti sangat menyenangkan melihat langit di ketinggian
seperti ini.”
“Kau suka?”
“Ya, sangat menyukainya,..”sahut Alice lirih dan
perlahan memudarkan senyumnya.
“Mm..ada apa? Alice? Apa kau baik-baik saja?”tanya Aru
cemas saat Alice mendadak terlihat menahan dadanya, seperti kesakitan.
“Entahlah, tiba-tiba saja melihat bulan itu aku merasa
ada yang aneh. Seperti sesak.”
“Apa kau perlu pergi ke dokter? Mungkin kau tak cocok
dengan anginnya?”
“Tidak! Ini bukan itu.”sahut Alice dengan mata
berkaca-kaca. Ia pun kemudian seperti memaksakan sebuah tawa. “Sepertinya ini
hanya karena aku terlalu senang. Untuk pertama kalinya mendapatkan momen
seperti ini.”
“Begitukah?”
“Ya. Aru..terimakasih!”ucap Alice begitu bersyukur.
Aru hanya bergeming di posisinya. Suaranya seakan tercekat tak bisa keluar.
Hanya sedikit mengangguk, itu yang bisa ia lakukan. Ia telah terjebak dalam kekalutannya sendiri yang entah apa itu.
Dua hari kemudian, malam itu Aru begitu panik saat mendengar dari Rie bahwa
Alice belum juga pulang tetapi tak ada di kantornya, ponselnya pun mati. Jika
ponselnya mati lagi itu tandanya bisa-bisa dia tersesat lagi, tak ada GPS yang
membantunya, dan juga tak ada GPS yang terpasang di mobil.
“Hari ini dia pakai baju apa?”tanya Aru pada Rie lewat
telepon.
“Baju coklat dan flatshoes merahnya.
Hari ini dia bawa mobilku juga. Kau masih ingat nomornya kan?”
Aru pun dengan seksama mengamati sudut kota sampai akhirnya
ia pun melihat mobil Alice yang terparkir di tepi jalan kompleks pertokoan itu.
Akan tetapi ia tak merasa lega, sebab sebuah kecelakaan terjadi di sekitar
sana. Penuh harap-harap cemas ia segera menepikan mobil. Mencari sosok Alice
yang tak terlihat sama sekali di sekitar mobilnya.
“Tidak! Tak mungkin itu dia.” Desis Aru saat
mendekat pada keramaian untuk mengintip korban kecelakaan tabrak lari itu. Ia
tak melihat utuh saat korban itu dibawa masuk ke ambulan, tapi ia melihat
sekilas flatshoes merah yang dikenalnya. “Tidak! Ini tak mungkin!”seketika
itu tubuhnya melemah.
“Aru?”panggil seseorang tiba-tiba menepuk pundak
pemuda itu. “Oh, kau disini juga? Mm..apa korbannya masih hidup?”
“Mm..Alice? Kau Alice?”
“Mm..Ya, ada apa denganmu?”tanya Alice menjadi
bingung. “Mm..kenapa kau pucat se..”kata-kata gadis itu pun terpotong saat Aru
tiba-tiba memeluknya.
“Oh, syukurlah kau baik-baik saja.”ucap Aru lirih
kemudian melepas Alice. “Kupikir aku akan kehilangan kau lagi..”
“Apa maksudmu?”
“Kau membuat Rie cemas, ia memintaku membantu
mencarimu. Lalu melihat orang tadi memiliki flatshoes merah sepertimu, kupikir
itu kau..”
“Ah..maafkan aku..ponselku mati. Tapi harusnya kau tak
khawatir seperti ini, kau kan tahu sendiri, aku sudah membaik akhir-akhir ini,
aku sudah jarang tersesat.”
“Ya, sudahlah, memangnya apa yang kau lakukan sampai
jam segini, ha?”
“Mm..sebenarnya aku akan memberikannya besok, tapi
karena aku bisa bertemu denganmu sekarang jadi ini hal bagus.”kata Alice seraya
menyodorkan sebuah paperbag kecil. “Selamat ulang tahun! Maaf jika aku
tak tahu kau ulang tahun hari ini. Mm..masih belum jam 12 kan, jadi aku belum
terlambat.” Aru pun mendesah mendengarnya.
“Kau benar-benar ya!”
Sampai pada suatu malam, Aru dan Alice pergi ke sebuah pantai yang indah.
Di kejauhan terlihat pantulan cahaya lampu kapal dan perkotaan begitu indah.
Bulan pun bersinar terang. Mereka berbagi banyak cerita. Aru pun akhirnya
mengatakan bahwa ia menyukai Alice. Akan tetapi Alice sendiri belum yakin
dengan perasaannya sendiri. Bukan karena ia tak menyukai Aru, namun karena ia
tak yakin jika yang Aru cintai bukanlah dirinya, tetapi gadis masa lalu Aru.
Selama bersama Aru, ia selalu mendengar kata “lagi” dari mulut pemuda itu, kata
“lagi” untuk hal yang tak pernah dipahaminya. Semua sudah menjelaskan bahwa di
otak Aru bukanlah dia, Aru selalu terjebak pada ingatannya seakan tak mampu
membedakan antara Alice dan gadis masa lalu itu. Alice sadar jika Aru baik
padanya sebagai penebusan dosa yang tak bisa dilakukannya pada gadis yang masih
dicintainya.
“Jika kau menyukaiku? Apa itu berarti kau sungguh sama
sekali tak menyukai gadis itu lagi?”
“Aku..aku juga tak tahu..”jawab Aru lirih penuh dengan
penyesalan.
Waktu semakin berlalu. Hari itu Alice berlibur dan kembali ke rumahnya di
Osai. Siang itu ayahnya tengah membereskan gudang dan menemukan kotak ajaib
yang selama ini Alice pikir hilang. Sebenarnya ia membutuhkannya sejak lama,
namun tak terlalu masalah pula jika ia kehilangan, itu pikirnya. Akhirnya ia
temukan lagi buku harian lama miliknya dari jamansemester awal perkuliahannya.
Beberapa foto terselip di dalamnya. Foto saat ia bersama teman-teman kuliahnya,
hingga sesuatu seperti berubah dari ingatannya. Dalam otaknya tak pernah
terekam memori semacam itu. Namun apa yang dilihatnya pun tak mungkin salah.
Dalam foto itu ia berdiri di samping seseorang, Ariuka Aru.
Dengan cepat Alice pun beralih memindai buku hariannya, cukup banyak nama
Aru tersebar di beberapa halaman. Kini otaknya berpikir keras. Apa sebenarnya
yang terjadi padanya. Catatan-catatan itu tak terlalu jelas. Tapi ia bisa
melihat jika orang bernama Aru itu adalah orang yang berarti. Namun kenapa
hanya pemuda itu satu-satunya yang ia lupakan? Kini ia paham kenapa Aru cukup
sering bertanya “Tapi kau benar tak terkena amnesia, kan?” Bahkan untuk
kata “lagi” yang tak ia mengerti, kini ia mulai memahaminya. Ia sadari perasaan sesak itu selalu muncul saat pemuda itu berkata "lagi". Saat itu ia mengira itu adalah kecemburuan, tapi mungkin sesungguhnya itu ada ingatan yang disimpan jiwanya. Tapi tetap saja,
bagaimana bisa otaknya melupakan Aru?
Di masa lalu, pada sebuah malam seusai acara pesta perpisahan untuk
merayakan kelulusan, Alice tak bisa mengikuti acara itu hingga akhir. Ibunya
yang sebulan ini baru sembuh dari setahun sakit, mendadak kembali kambuh. Gadis
itu pun harus pulang lebih awal, namun angkutan umum sangat jarang di sekitar
lokasi acara. Alice tak punya banyak teman laki-laki yang bisa mengantarnya dan
tak banyak teman perempuan yang berani mengantarnya. Sempat ia hendak meminta tolong
pada Aru, tapi saat itu Aru yang menjadi ketua acara sedang sibuk berurusan
dengan manager restoran. Selain itu ia yang datang bersama adik perempuannya
pun sepertinya sulit untuk mengganggunya, ia harus mengantar adiknya pulang
awal karena adiknya harus ke sekolah esok paginya.
Alice pun bukan tipe orang yang dengan mudahnya meminta bantuan orang lain.
Ia tak suka merepotkan orang lain dan memilih pergi berjalan sendiri menuju
halte terdekat. Akan tetapi dalam perjalanannya ia bertemu segerombol orang
aneh yang akhirnya mengganggunya. Gadis itu pun berusaha menghindar, mencoba
menghubungi seseorang namun ponselnya mendadak mati. Melalui telepon umum
akhirnya ia mencoba menghubungi nomor keluarganya, namun tak ada yang menjawab.
Ia pun segera menelepon Aru. Hanya nomor orang di rumah dan nomor ponsel Aru
yang terekam di memori otaknya.
“Maaf, sepertinya sekarang aku tak
bisa, tapi setelah ini aku akan minta pada Rendy untuk menjemputmu, sementara
carilah tempat yang ramai!”
Namun bagi Alice detik itu tak ada lagi waktu menunggu, ia tengah di kejar.
Ia ketakutan saat tiba-tiba orang-orang itu melemparkan botol dan kaleng bir
mereka yang sudah kosong. Alice berjalan cepat mencari keramaian tapi tetap
mereka mengikutinya. Terpaksa Alice pun berlari bersembunyi ke mana pun asalkan
mereka bisa sedikit sulit melihatnya. Akan tetapi semua tak ada gunanya,
kompleks industri malam itu sepi, tiap tikungan yang ada pun tak menunjukkan
adanya bantuan. Sampai akhirnya Alice berhasil kembali sampai pada keramaian, ia
pun segera menyeberang jalan menjauh.
Semua mendadak gelap, ia tak tahu apa yang telah terjadi. Namun Alice sadar
ia terkapar di tengah jalan. Tak mampu bergerak. Pandangannya kabur melihat
keramaian yang mengelilinginya. Tak ada yang dikenalnya, hanya sekilas satu
yang tak asing, pengemudi sebuah motor yang sempat melintas, yang tak sempat
melihat ke arahnya, Aru. Malam itu hari kelulusannya, harusnya menjadi malam
yang indah, tapi semua begitu suram, seperti bulan sendu yang terhalangi awan
malam itu.
Hm..lalu
kenapa aku menuliskan cerita itu di sini? Kenapa menceritakannya? Entahlah,
hanya ingin. Mungkin karena ada kejadian-kejadian kecil beberapa bulan ini yang
membuatku teringat kembali pada cerita ini. Mungkin mood curhat tak penting
belum bisa berhenti.
No comments:
Post a Comment