Asha
masih terpaku di tempatnya. Menatap setiap pergerakan sosok itu dengan tak
percaya. Apakah ia sedang berhalusinasi karena kerinduannya pada gadis
itu? Ataukah itu nyata? Ia ingin
memastikannya. Ia ingin melihat dengan lebih jelas, lebih dekat. Perlahan ia
mengurangi jaraknya terhadap punggung gadis bermantel merah itu. Berharap semua
itu bukan hanya mimpi, bukan ilusi sesaat.
“Hei,
Asha!”seru David mendadak muncul. “Kemarilah! Kurator yang ingin bertemu denganmu sudah datang!”
“Mm..tapi
aku..”
“Ayo
cepat! Dia sudah menunggumu!”seret David membuat Asha terpaksa meninggalkan
keinginannya sendiri.
Setelah
menyelesaikan segala urusannya. Asha bergegas kembali menuju ruang pamer, di
tempat ia melihat sosok Riendra. Namun gadis itu sudah menghilang dan
meninggalkan rasa penasaran yang semakin menghujam benak Asha. Hash! Sial! Seharusnya aku tak pergi tadi!
Asha
membanting diri ke tempat tidur dengan penuh keresahan. Ditatapnya langit malam
diluar jendela yang ada di atasnya. Semua hanya kegelapan baginya. Ia pun
berpaling menghadap dinding, lantas menyembunyikan diri di bawah bantalnya.
“Apa
kau tak ingin keluar? Bukankah biasanya kau yang paling bersemangat setiap Glow
Festival diselenggarakan.”tanya David.
“Aku
tak peduli dengan itu. Hari ini aku lelah, aku hanya ingin istirahat. Jadi
maaf, kuharap kau bisa tinggalkan aku sendiri?”
“Hm..Alright.”sahut David pasrah lantas
beranjak keluar kamar. Namun terhenti saat melihat ponsel Asha di atas meja
mendadak menyala. “Asha, ada yang meneleponmu.”
“Biarkan
saja.”sahut Asha parau.
“Kau
yakin? Mungkin ini telepon penting.”ujar David seraya membawa ponsel Asha dan
memberikannya pada pemiliknya. Asha hanya meraihnya dan kemudian meletakkannya
lagi di atas meja nakas.
“Aish..
Semoga kau bisa dengan cepat menjernihkan pikiranmu.”ujar David lagi lalu
benar-benar berlalu.
Tak
lama kemudian, suara getaran telepon seluler Asha kembali mengusik Asha. Namun
tetap saja dibiarkannya hingga keheningan kembali membuat ketenangan. Sampai
kemudian muncullah nada penanda pesan
suara masuk. Perlahan Asha pun penasaran. Merasa mungkin itu memang penting
hingga pemanggil itu meninggalkan pesan suara. Sebuah nomor tak dikenal
terpampang jelas. Pemuda itu pun mulai mendengarkan isi pesan tersebut.
@@@
Asha
bergegas meraih mantelnya dan berlari keluar tanpa mengunci ruangannya. Meraih
sepeda anginnya dengan cepat. Seperti seorang polisi yang tengah mengejar
pencuri, secepat mungkin ia berusaha menerobos keramaian kota yang dihiasi
indahnya kerlipan lampu Glow Festival malam itu. Tak peduli apa pun lagi, entah
orang-orang yang melihatnya aneh atau ia seperti pengganggu, bahkan meski ia
hampir kehabisan napas, ia hanya menggunakan segala cara untuk secepatnya tiba
di Catharina Square.
Masih
tersengal, saat ia akhirnya memutuskan berhenti di depan katredal itu. Matanya
mencari ke sekeliling. Perasaannya penuh harap. Ia pun berlanjut memecah laut
manusia, mencoba mengamati setiap orang. Sampai akhirnya ia kembali tertawa
pada dirinya sendiri. Terlalu banyak orang, Bukan
berarti kau berlari kesini bisa pasti bertemu dengannya..
Kini
pemuda itu terhuyung lemah, menghampiri sebuah bangku di kafe yang tak jauh
dari tempatnya. Mendesah. Mengatur sirkulasi udara dalam raganya. Hingga
mendadak ponselnya kembali tergetar, dan dengan cepat ia menjawab.
“Halo?
Rien??”serunya
“Ah, maaf, ini aku Firas,”
“Firas?”
“Hai, Asha, jadi kau sudah tahu Rien ke
Eindhoven? Kau sudah bertemu dengannya?”
@@@
“Beberapa kali aku mencoba menghubungimu tapi
nomormu tak aktif. Kau pun begitu, kenapa tak pernah menghubungiku atau pun
Rien?”
“Maaf, ponselku hilang. Aku kehilangan kontak semua
orang.”
“Ah, jadi begitu, tapi syukurlah jika akhirnya
sekarang kita bisa berkomunikasi lagi. Untunglah Rien berhasil mendapatkan
nomor barumu. Apa kau sudah meneleponnya balik? Tadi ia bilang nomormu sibuk.”
“Belum, aku baru melihat ponselku saat kau
menelepon. Mm..Firas, apakah kau tahu dimana Rien tinggal selama di Eindhoven?”
Asha
terdiam menggenggam ponselnya dalam kebisuan. Hanya ada keraguan saat ia
berdiri detik itu. Pandangannya terus menatap ke atas, ke arah sebuah jendela
rumah yang ia terpaku di depannya. Gadis itu tak melihatnya saat kemudian ia
menutup tirai putihnya. Membuat Asha terpaksa berhenti untuk bergerak. Ingin
sekali ia memanggil Riendra keluar, akan tetapi logikanya masih memaksanya
berpikir bahwa mungkin itu akan mengganggunya. Kali itu ia tak tahu apa-apa,
seandainya ia punya keberanian mengangkat ponselnya dan memanggil nomor
Riendra, yang ada ia tetap tak tahu apa yang harus diucapkannya. Malam itu, ia
pun hanya berlalu. Berharap pagi akan membawa keberuntungan untuknya. Pemuda
itu pun berbalik, meluncur menyeberangi jalan lalu dengan lesu memasuki
rumahnya yang hanya beberapa meter dari sana.
@@@
Yang
dinantinya semalaman akhirnya tiba. Pagi. Malam itu ia tak banyak tidur, namun
ia masih memiliki semangat untuk mengayuh sepedanya ke suatu tempat, dan
berhenti di sana, di seberang jalan, di hadapan sebuah rumah yang tak lama
kemudian mengeluarkan sesosok gadis dengan mantel merahnya. Gadis itu tak
melihatnya sama sekali. Ia hanya sibuk menyusuri jalan pedestrian yang ada.
Asha kembali bergerak. Mengayuh sepedanya pelan, tak terlalu jauh di belakang
gadis itu. Mengikutinya diam-diam. Pemuda itu pun berhenti tatkala gadis yang
diikutinya itu terhenti di Grote Berg, menaiki sebuah bus jalur 19.
Puluhan
menit berlalu. Meski mereka di bus yang sama, meski Asha hanya beberapa meter
di belakangnya, gadis itu masih saja belum menyadarinya. Bisa saja pemuda itu
memnggilnya. Namun kali ini ia mengamati tiap detail Riendra yang lama tak
dijumpainya. Ia memilih menatap gadis itu diam-diam, sebab ia tahu tak mungkin
ia bisa melakukannya setelah keduanya bertemu. Ia merasa tak memiki keberanian
itu. Dalam pikirannya ia masih teringat bagian akhir pesan telepon Riendra tadi malam. Tiap
kali teringat, tiap itu pula ia merasa bodoh.
“Mm.. tapi tak apa jika
kau lupa. Toh, sekarang aku bisa melihatnya sendiri. Aku pun tinggal di sebuah rumah
di Mauritstraat. Atasanku memiliki teman disini yang bisa memberiku tumpangan. Mungkinkah
kau juga masih tinggal di Mauritstraat? Tentangnya, kau benar sekali, Mauritstraat
sangatlah tenang tapi juga tak jauh dari keramaian, dan Eindhoven benar-benar City
of Lights yang indah.. dan.. Glow Festival ini seperti negeri dongeng.. Sayangnya
aku hanya punya malam ini saja untuk jalan-jalan, ya, mungkin sebentar untuk
besok pagi. Besok siang aku harus kembali ke Jakarta. Kerena itu, meski udara
sangat dingin, kusempatkan untuk berjalan-jalan. Sebenarnya aku berharap bisa
bertemu dengan teman lama disini. Tapi aku sadar kondisimu.. Oh ya, sekarang
aku punya sanggar seni di rumah. Jika kau kembali ke Indonesia, mampirlah! Mm..kurasa
itu saja yang ingin kuceritakan. Kuharap.. kita bertemu lagi suatu hari!”
Asha
menatap langit pagi itu. Melihat ke arah langit yang sama yang kini dipandangi
gadis itu, yang kini terduduk di bangku taman, di tepi danau Karpendonkse.
Sejenak Asha ingin mendekat, sejenak ia ragu. Mulai memikirkan apa yang harus
dikatakannya. Namun ia sadar waktunya tak banyak. Ia harus melakukan sesuatu
sebelum gadis itu pergi. Akhirnya ia memutuskan untuk mengirim pesan teks.
“Nice to see you again!”
Asha pun merasakan harap-harap
cemas. Berpikir, mungkinkah Riendra akan menyadari itu adalah dirinya, lalu
apakah gadis itu akan merasa dirinya adalah orang aneh. Lengkaplah perasaan
serba salah dalam benaknya. Terutama saat melihat dari kejauhan gadis itu
kebingungan melihat ke sekelilingnya. Lantas kembali ke monitor ponselnya. Tak
lama kemudian pesan masuk menggetarkan ponsel Asha.
“Sorry, who are you? Are you Asha?”
Nyaris,
pemuda itu tertawa sendiri saking senangnya. Iya pun segera mengetikan sebuah balasan.
“Ya..ini aku..maaf..”belum
selesai ia mengetik ia menghapusnya lagi. Ia termenung, memikirkan balasan yang
tepat. Mencoba mengetikan sebuah kata lagi, tapi dihapusnya lagi. Asha pun
mendesah menyerah. Ia berniat mendatangi langsung gadis itu. Tapi kemudian ia
terhenti sesaat. Membuka lagi folder dalam ponsel dan membuka sebuah gambar.
Biola
kaca yang berkilau, berlatarkan bidang acak berona merah maroon. Potret lukisan
yang dibuatnya pada masa kuliah, yang benda aslinya mungkin sudah tiba di rumah
gadis yang dirindukannya itu. Kurasa ini
cukup mampu memberitahunya.
Kali ini Asha melangkah dengan
lebih mantab. Sudah berkali-kali ia terhenti, dan hal itu tak ingin diulanginya
sebelum gadis itu sendiri yang ada tepat dihadapannya untuk membuatnya
berhenti.
Riendra
kembali mengamati sekelilingnya. Gadis itu bahkan terlalu serius hingga tak
sadar bola matanya membasah, bahkan nyaris meluap saat akhirnya ia menemukan sosok
yang tak asing baginya. Perlahan Asha semakin jelas melihat bola mata gadis
itu. Pemuda it hanya mampu tersenyum, meski dalam hati ia ingin berteriak,
menyerukan nama Riendra, dan berkata “Hei, aku sangat merindukanmu!” Sesekali
matanya berkedip, menyimpan lagi cairan di pelupuk matanya. Gadis itu tersenyum
lebar, begitu juga dirinya. Dirinya yang akhirnya benar-benar di hadapan
Riendra. Dirinya yang kini mampu melihat bayangan raganya di manik hitam gadis
itu.
Detik
terus berjalan, tapi keduanya masih terbungkam. Hanya saling menatap. Ada
percakapan tersendiri yang hanya mereka berdua yang mengetahuinya. Sampai
akhirnya.. mungkin ada yang lucu dalam percakapan rahasia itu yang akhirnya
membuat keduanya tertawa. Mereka tahu jika keduanya sangat bahagia. Namun tawa
itu perlahan mereda, mengikuti air muka Asha yang kembali serius. Sejenak
pemuda itu tertunduk mengumpulkan seluruh daya untuk bersuara.
“Maaf..
Maaf jika aku telah..”
“Sudahlah,
lupakan soal maaf!”potong Rien tiba-tiba. “Karena akhirnya aku bisa bertemu
denganmu, mm.. adakah sesuatu yang bagus yang bisa kau ceritakan padaku? Kau
masih ingat janjimu, kan, jika..”belum selesai Riendra berkata-kata, gantian
Asha yang menghentikannya dengan tawanya.
“Bagaimana
jika kutunjukkan saja langsung?”tanya pemuda itu seraya meraih pergelangan
tangan Riendra, kemudian membawa gadis itu berlari ke arah kafe tempat ia
mengintai Riendra sejak tadi.
“Hei,
mau kemana?”
Asha
masih tak memberikan jawaban sampai akhirnya ia meraih sebuah sepeda.
“Sepedamu?”
“Bukan.
Punya temanku yang bekerja di dalam sana. Ayo naiklah!” sahut Asha. Perasaannya
kali ini lebih bebas. Ia bisa kembali menjadi dirinya. Kekakuan itu perlahan
luntur oleh semua respon Riendra yang ternyata tak beralih membencinya.
“Kau
yakin memboncengku? Aku berat.”
“Sudah
cepat! Kau tak punya banyak waktu di sini, kan?!”desak Asha. Riendra pun
akhirnya menurut.
“Sudah.”kata
Riendra memberitahu jika ia telah naik. Namun Asha masih saja belum menjalankan
sepeda kayuh itu. “Ada apa? Mm..apa aku benar-benar berat?”tanya Rien kemudian.
“Tidak.
Bukan hal itu. Mm..apa kau tak dengar sesuatu?”
“Dengar
apa?”
“Suara
bisikan.”
“Bisikan
apa?”Rien benar-benar heran. “Siapa memangnya yang berbisik? Jangan bercanda!”
“Aku
tak bercanda, memang ada yang berbisik barusan.”
“Bisikan
apa?!”
Asha tampak serius, dan
mencondongkan kepalanya ke arah Rien, lantas berbisik,
“Bisikan
Eindhoven. Eindhoven berkata, now you see
me! So congrats for you!”
“Aish!”seketika
Rien langsung memukul punggung Asha. “Agh, kukira apa!”
Asha hanya tertawa dan kemudian
meluncurkan sepedanya. Menembus angin Eindhoven.
“Asha..terimakasih..
Juga untuk biola kacanya..”ucap Riendra terdengar penuh hati-hati.
“Terimakasih
juga.. untuk menjadi satu sosok yang telah bersedia menungguku..”
-The End-
Related:
From Eindhoven With Love
Now You See Me (part1)
No comments:
Post a Comment