2015-08-12

Now You See Me part 3 (End)

Asha masih terpaku di tempatnya. Menatap setiap pergerakan sosok itu dengan tak percaya. Apakah ia sedang berhalusinasi karena kerinduannya pada gadis itu?  Ataukah itu nyata? Ia ingin memastikannya. Ia ingin melihat dengan lebih jelas, lebih dekat. Perlahan ia mengurangi jaraknya terhadap punggung gadis bermantel merah itu. Berharap semua itu bukan hanya mimpi, bukan ilusi sesaat.
“Hei, Asha!”seru David mendadak muncul. “Kemarilah! Kurator yang ingin bertemu denganmu sudah datang!”
“Mm..tapi aku..”
“Ayo cepat! Dia sudah menunggumu!”seret David membuat Asha terpaksa meninggalkan keinginannya sendiri.
Setelah menyelesaikan segala urusannya. Asha bergegas kembali menuju ruang pamer, di tempat ia melihat sosok Riendra. Namun gadis itu sudah menghilang dan meninggalkan rasa penasaran yang semakin menghujam benak Asha. Hash! Sial! Seharusnya aku tak pergi tadi!
@@@

Asha membanting diri ke tempat tidur dengan penuh keresahan. Ditatapnya langit malam diluar jendela yang ada di atasnya. Semua hanya kegelapan baginya. Ia pun berpaling menghadap dinding, lantas menyembunyikan diri di bawah bantalnya.
“Apa kau tak ingin keluar? Bukankah biasanya kau yang paling bersemangat setiap Glow Festival diselenggarakan.”tanya David.
“Aku tak peduli dengan itu. Hari ini aku lelah, aku hanya ingin istirahat. Jadi maaf, kuharap kau bisa tinggalkan aku sendiri?”
“Hm..Alright.”sahut David pasrah lantas beranjak keluar kamar. Namun terhenti saat melihat ponsel Asha di atas meja mendadak menyala. “Asha, ada yang meneleponmu.”
“Biarkan saja.”sahut Asha parau.
“Kau yakin? Mungkin ini telepon penting.”ujar David seraya membawa ponsel Asha dan memberikannya pada pemiliknya. Asha hanya meraihnya dan kemudian meletakkannya lagi di atas meja nakas.
“Aish.. Semoga kau bisa dengan cepat menjernihkan pikiranmu.”ujar David lagi lalu benar-benar berlalu.
Tak lama kemudian, suara getaran telepon seluler Asha kembali mengusik Asha. Namun tetap saja dibiarkannya hingga keheningan kembali membuat ketenangan. Sampai kemudian muncullah nada penanda  pesan suara masuk. Perlahan Asha pun penasaran. Merasa mungkin itu memang penting hingga pemanggil itu meninggalkan pesan suara. Sebuah nomor tak dikenal terpampang jelas. Pemuda itu pun mulai mendengarkan isi pesan tersebut.
@@@
Asha bergegas meraih mantelnya dan berlari keluar tanpa mengunci ruangannya. Meraih sepeda anginnya dengan cepat. Seperti seorang polisi yang tengah mengejar pencuri, secepat mungkin ia berusaha menerobos keramaian kota yang dihiasi indahnya kerlipan lampu Glow Festival malam itu. Tak peduli apa pun lagi, entah orang-orang yang melihatnya aneh atau ia seperti pengganggu, bahkan meski ia hampir kehabisan napas, ia hanya menggunakan segala cara untuk secepatnya tiba di Catharina Square.
Masih tersengal, saat ia akhirnya memutuskan berhenti di depan katredal itu. Matanya mencari ke sekeliling. Perasaannya penuh harap. Ia pun berlanjut memecah laut manusia, mencoba mengamati setiap orang. Sampai akhirnya ia kembali tertawa pada dirinya sendiri. Terlalu banyak orang, Bukan berarti kau berlari kesini bisa pasti bertemu dengannya..
Kini pemuda itu terhuyung lemah, menghampiri sebuah bangku di kafe yang tak jauh dari tempatnya. Mendesah. Mengatur sirkulasi udara dalam raganya. Hingga mendadak ponselnya kembali tergetar, dan dengan cepat ia menjawab.
“Halo? Rien??”serunya
Ah, maaf, ini aku Firas,”
Firas?”
Hai, Asha, jadi kau sudah tahu Rien ke Eindhoven? Kau sudah bertemu dengannya?”
@@@
Beberapa kali aku mencoba menghubungimu tapi nomormu tak aktif. Kau pun begitu, kenapa tak pernah menghubungiku atau pun Rien?”
“Maaf, ponselku hilang. Aku kehilangan kontak semua orang.”
“Ah, jadi begitu, tapi syukurlah jika akhirnya sekarang kita bisa berkomunikasi lagi. Untunglah Rien berhasil mendapatkan nomor barumu. Apa kau sudah meneleponnya balik? Tadi ia bilang nomormu sibuk.”
“Belum, aku baru melihat ponselku saat kau menelepon. Mm..Firas, apakah kau tahu dimana Rien tinggal selama di Eindhoven?”
Asha terdiam menggenggam ponselnya dalam kebisuan. Hanya ada keraguan saat ia berdiri detik itu. Pandangannya terus menatap ke atas, ke arah sebuah jendela rumah yang ia terpaku di depannya. Gadis itu tak melihatnya saat kemudian ia menutup tirai putihnya. Membuat Asha terpaksa berhenti untuk bergerak. Ingin sekali ia memanggil Riendra keluar, akan tetapi logikanya masih memaksanya berpikir bahwa mungkin itu akan mengganggunya. Kali itu ia tak tahu apa-apa, seandainya ia punya keberanian mengangkat ponselnya dan memanggil nomor Riendra, yang ada ia tetap tak tahu apa yang harus diucapkannya. Malam itu, ia pun hanya berlalu. Berharap pagi akan membawa keberuntungan untuknya. Pemuda itu pun berbalik, meluncur menyeberangi jalan lalu dengan lesu memasuki rumahnya yang hanya beberapa meter dari sana.
@@@
Yang dinantinya semalaman akhirnya tiba. Pagi. Malam itu ia tak banyak tidur, namun ia masih memiliki semangat untuk mengayuh sepedanya ke suatu tempat, dan berhenti di sana, di seberang jalan, di hadapan sebuah rumah yang tak lama kemudian mengeluarkan sesosok gadis dengan mantel merahnya. Gadis itu tak melihatnya sama sekali. Ia hanya sibuk menyusuri jalan pedestrian yang ada. Asha kembali bergerak. Mengayuh sepedanya pelan, tak terlalu jauh di belakang gadis itu. Mengikutinya diam-diam. Pemuda itu pun berhenti tatkala gadis yang diikutinya itu terhenti di Grote Berg, menaiki sebuah bus jalur 19.
Puluhan menit berlalu. Meski mereka di bus yang sama, meski Asha hanya beberapa meter di belakangnya, gadis itu masih saja belum menyadarinya. Bisa saja pemuda itu memnggilnya. Namun kali ini ia mengamati tiap detail Riendra yang lama tak dijumpainya. Ia memilih menatap gadis itu diam-diam, sebab ia tahu tak mungkin ia bisa melakukannya setelah keduanya bertemu. Ia merasa tak memiki keberanian itu. Dalam pikirannya ia masih teringat bagian akhir pesan telepon Riendra tadi malam. Tiap kali teringat, tiap itu pula ia merasa bodoh.
“Mm.. tapi tak apa jika kau lupa. Toh, sekarang aku bisa melihatnya sendiri. Aku pun tinggal di sebuah rumah di Mauritstraat. Atasanku memiliki teman disini yang bisa memberiku tumpangan. Mungkinkah kau juga masih tinggal di Mauritstraat? Tentangnya, kau benar sekali, Mauritstraat sangatlah tenang tapi juga tak jauh dari keramaian, dan Eindhoven benar-benar City of Lights yang indah.. dan.. Glow Festival ini seperti negeri dongeng.. Sayangnya aku hanya punya malam ini saja untuk jalan-jalan, ya, mungkin sebentar untuk besok pagi. Besok siang aku harus kembali ke Jakarta. Kerena itu, meski udara sangat dingin, kusempatkan untuk berjalan-jalan. Sebenarnya aku berharap bisa bertemu dengan teman lama disini. Tapi aku sadar kondisimu.. Oh ya, sekarang aku punya sanggar seni di rumah. Jika kau kembali ke Indonesia, mampirlah! Mm..kurasa itu saja yang ingin kuceritakan. Kuharap.. kita bertemu lagi suatu hari!”
Asha menatap langit pagi itu. Melihat ke arah langit yang sama yang kini dipandangi gadis itu, yang kini terduduk di bangku taman, di tepi danau Karpendonkse. Sejenak Asha ingin mendekat, sejenak ia ragu. Mulai memikirkan apa yang harus dikatakannya. Namun ia sadar waktunya tak banyak. Ia harus melakukan sesuatu sebelum gadis itu pergi. Akhirnya ia memutuskan untuk mengirim pesan teks.
“Nice to see you again!
Asha pun merasakan harap-harap cemas. Berpikir, mungkinkah Riendra akan menyadari itu adalah dirinya, lalu apakah gadis itu akan merasa dirinya adalah orang aneh. Lengkaplah perasaan serba salah dalam benaknya. Terutama saat melihat dari kejauhan gadis itu kebingungan melihat ke sekelilingnya. Lantas kembali ke monitor ponselnya. Tak lama kemudian pesan masuk menggetarkan ponsel Asha.
“Sorry, who are you? Are you Asha?”
Nyaris, pemuda itu tertawa sendiri saking senangnya. Iya pun segera mengetikan sebuah balasan.
“Ya..ini aku..maaf..”belum selesai ia mengetik ia menghapusnya lagi. Ia termenung, memikirkan balasan yang tepat. Mencoba mengetikan sebuah kata lagi, tapi dihapusnya lagi. Asha pun mendesah menyerah. Ia berniat mendatangi langsung gadis itu. Tapi kemudian ia terhenti sesaat. Membuka lagi folder dalam ponsel dan membuka sebuah gambar.
Biola kaca yang berkilau, berlatarkan bidang acak berona merah maroon. Potret lukisan yang dibuatnya pada masa kuliah, yang benda aslinya mungkin sudah tiba di rumah gadis yang dirindukannya itu. Kurasa ini cukup mampu memberitahunya.
Kali ini Asha melangkah dengan lebih mantab. Sudah berkali-kali ia terhenti, dan hal itu tak ingin diulanginya sebelum gadis itu sendiri yang ada tepat dihadapannya untuk membuatnya berhenti.
                Riendra kembali mengamati sekelilingnya. Gadis itu bahkan terlalu serius hingga tak sadar bola matanya membasah, bahkan nyaris meluap saat akhirnya ia menemukan sosok yang tak asing baginya. Perlahan Asha semakin jelas melihat bola mata gadis itu. Pemuda it hanya mampu tersenyum, meski dalam hati ia ingin berteriak, menyerukan nama Riendra, dan berkata “Hei, aku sangat merindukanmu!” Sesekali matanya berkedip, menyimpan lagi cairan di pelupuk matanya. Gadis itu tersenyum lebar, begitu juga dirinya. Dirinya yang akhirnya benar-benar di hadapan Riendra. Dirinya yang kini mampu melihat bayangan raganya di manik hitam gadis itu.
                Detik terus berjalan, tapi keduanya masih terbungkam. Hanya saling menatap. Ada percakapan tersendiri yang hanya mereka berdua yang mengetahuinya. Sampai akhirnya.. mungkin ada yang lucu dalam percakapan rahasia itu yang akhirnya membuat keduanya tertawa. Mereka tahu jika keduanya sangat bahagia. Namun tawa itu perlahan mereda, mengikuti air muka Asha yang kembali serius. Sejenak pemuda itu tertunduk mengumpulkan seluruh daya untuk bersuara.
                “Maaf.. Maaf jika aku telah..”
“Sudahlah, lupakan soal maaf!”potong Rien tiba-tiba. “Karena akhirnya aku bisa bertemu denganmu, mm.. adakah sesuatu yang bagus yang bisa kau ceritakan padaku? Kau masih ingat janjimu, kan, jika..”belum selesai Riendra berkata-kata, gantian Asha yang menghentikannya dengan tawanya.
“Bagaimana jika kutunjukkan saja langsung?”tanya pemuda itu seraya meraih pergelangan tangan Riendra, kemudian membawa gadis itu berlari ke arah kafe tempat ia mengintai Riendra sejak tadi.
“Hei, mau kemana?”
Asha masih tak memberikan jawaban sampai akhirnya ia meraih sebuah sepeda.
“Sepedamu?”
“Bukan. Punya temanku yang bekerja di dalam sana. Ayo naiklah!” sahut Asha. Perasaannya kali ini lebih bebas. Ia bisa kembali menjadi dirinya. Kekakuan itu perlahan luntur oleh semua respon Riendra yang ternyata tak beralih membencinya.
“Kau yakin memboncengku? Aku berat.”
“Sudah cepat! Kau tak punya banyak waktu di sini, kan?!”desak Asha. Riendra pun akhirnya menurut.
“Sudah.”kata Riendra memberitahu jika ia telah naik. Namun Asha masih saja belum menjalankan sepeda kayuh itu. “Ada apa? Mm..apa aku benar-benar berat?”tanya Rien kemudian.
“Tidak. Bukan hal itu. Mm..apa kau tak dengar sesuatu?”
“Dengar apa?”
“Suara bisikan.”
“Bisikan apa?”Rien benar-benar heran. “Siapa memangnya yang berbisik? Jangan bercanda!”
“Aku tak bercanda, memang ada yang berbisik barusan.”
“Bisikan apa?!”
Asha tampak serius, dan mencondongkan kepalanya ke arah Rien, lantas berbisik,
“Bisikan Eindhoven. Eindhoven berkata, now you see me! So congrats for you!
“Aish!”seketika Rien langsung memukul punggung Asha. “Agh, kukira apa!”
Asha hanya tertawa dan kemudian meluncurkan sepedanya. Menembus angin Eindhoven.
“Asha..terimakasih.. Juga untuk biola kacanya..”ucap Riendra terdengar penuh hati-hati.
“Terimakasih juga.. untuk menjadi satu sosok yang telah bersedia menungguku..”


-The End-
Denpasar, 12 Agustus 2015


Related:
 From Eindhoven With Love
 Now You See Me (part1)

No comments:

Post a Comment