Catatan untuk Bulan Kala Hujan
Kenapa waktu berlalu begitu cepat
Baru kemarin kita bertemu, baru kemarin kita saling menyapa Belum lama bagi kita saling mengenal, tapi kenapa hari perpisahan datang terlalu cepat Saat langit malam cerah kita berjumpa untuk pertamakali Dibawah sinar bulan kau hapus air mata ini Meluruhkan semua kesedihan, menebar kehangatan Hingga perlahan gerimis menghampiri kita Menyiramkan kegelisahan baru Hari itu kita berteduh, di bawah pohon pinus Menanti pelangi senja bersama Menanti sinar bulan yang baru Menanti terbitnya purnama berbagi mimpi, berjuta fantasi yang harusnya kita bangun bersama tapi kenapa hari perpisahan datang terlalu cepat
Selamat tinggal,
tak ingin kuucapkan itu satu yang tak kuinginkan |
Tanpamu, langit ini kelam
tanpamu, dunia ini gelap dirimulah satu-satunya sinar bulan bagiku yang tak pernah padam meski hujan slalu mengingatkan luka namun ronamu yang terang bersinar abadi kaulah satu bulan kala hujan..
Selamat tinggal
tak ingin kuucapkan itu satu yang ingin kuhapuskan kan kunanti hari hingga hujan ini berhenti kan kunanti terbitnya lagi bulan dan berdoa waktu pun kan berhenti Tiada perpisahan, tiada kata selamat tinggal Meski hujan turun lagi Meski memori kelabu itu kan datang lagi kau kan tetap slalu ada, disini menjadi sinar bulan gemilang satu bulan kala hujan.. |
“Wah,
kau sedang galau sepertinya..”ujar Askari seusai membaca draft karangan Kaira yang ditemukannya secara tak sengaja. Dengan
cepat Kaira pun merebut secarik kertas itu dari tangan Askari.
“Jangan
banyak komentar!”tukas gadis itu seraya menyimpan bait-bait itu kembali ke
bindernya. Ia pun lantas beralih menyalakan musik player di komputernya.
“Memangnya
kemana kekasihmu itu sekarang?”tanya Askari bersamaan dengan teralunnya melodi
piano Yiruma yang berjudul Moonlight
itu.
“Tak
ada kekasih semacam itu, itu hanya karangan saja.”sanggah Kaira tak acuh, ia
masih sibuk meng-eject sebuah flashdisk dari PC-nya.
“Oh,
itu lagu yang kemarin aku kirim, kan?”
“Ya.”sahut
gadis itu lagi sambil menyodorkan flashdisk
yang baru dicabut itu kepada Askari.
“Filenya sudah ku-copy.. Image dan beberapa pembahasan juga.”
“Filenya sudah ku-copy.. Image dan beberapa pembahasan juga.”
“Hm..apa
tak ada karangan lainnya lagi? Sepertinya aku masih suka membaca karanganmu.”
“Tak
ada. Jadi pulang saja sana, pelajari laporanku dan bantu aku.”
"Mm..apa itu akan kau upload lagi di blog?"
"Bukan urusanmu"
"Mm..apa itu akan kau upload lagi di blog?"
"Bukan urusanmu"
“Hm..ya,
sudah kalau begitu. Aku pergi dulu. Setelah ini aku coba pelajari bahasan skripsimu, nanti jika
sekiranya aku bisa membantu, akan kukabari lagi.”ucap Askari seraya berjalan
keluar rumah Kaira.
“Oke.
Terimakasih sebelumnya.”
“Ya,
sudah, sampai jumpa besok!”
“Sampai
jumpa!”
Tak
lama setelah itu, pemuda itu pun perlahan lenyap bersama sepeda motornya
meninggalkan Kaira yang masih termenung di teras rumahnya. Kau bertanya, apa karena kau memang benar-benar tak mengerti? Sungguh
sama sekali tak peka!
@@@
Perpustakaan
siang itu cukup padat saat Kaira memasukinya. Semua orang tengah antri untuk
meminjam loker dan tas laptop. Mereka semua pun akhirnya kembali keluar karena
tak berhasil mendapatkan kunci.
“Penuh
ya, Pak?”tanya Kaira pada petugas perpustakaan tersebut.
“Iya,
sekarang penuh.”sahut pria tersebut seraya menyerahkan sebuah kunci bernomor
C27. Seketika Kaira pun tersenyum lebar. “Mana KTP?” pinta pak librarian tersebut, yang sudah hafal
dengan wajah Kaira, pengunjung setianya. Kaira pun dengan cepat menyerahkan
KTPnya.
“Terimakasih,
Pak!”seru gadis itu dibalas dengan senyum lebar pula.
“Dasar
anak SMP..”desis pria itu.
“Terserah
apa kata bapak dah!”balas Kaira seraya berlalu pergi menuju ruang loker.
Setelah mengganti tas laptopnya, gadis itu kemudian menuju lantai dua dan berjalan
memasuki ruang skripsi.
“Siang,
Pak!”sapa Kaira pada penjaga ruang itu.
“Siang!”balas
petugas perpustakaan itu saat Kaira kemudian terdiam memandang ke segala
penjuru ruang. “Ruang sebelah sana sepi, pakai power outlet disana saja.”ujar bapak tersebut seolah mampu membaca
pikiran Kaira. Gadis itu menyengir bahagia.
“Terimakasih,
Pak.”ucapnya lalu langsung mengambil tempatnya.
Saat
membuka laptopnya, keceriaan di wajahnya beralih tak berbekas. Fokusnya
berpindah pada analisis-analisis yang harus dijelaskannya dalam laporan
skripsinya.
Satu
jam pun berlalu. Kaira memukul sendiri wajahnya. Berusaha menyingkirkan
kejenuhannya. Menatap keluar jendela penuh harap menemukan pertolongan.
“Agh!!
Aku tak bisa berpikir apa-apa lagi..”desisnya seraya meraih ponselnya. Mencari
nomor Askari dan mengetikkan sesuatu. Namun dihapusnya lagi. Berencana meminta
pemuda itu datang membantunya, tapi masih ragu karena sudah seminggu itu ia tak
berkomunikasi dengan Askari. Ia merasa aneh sendiri dan mengurungkan niatnya.
“Hei!
Kau serius sekali?!”tegur seseorang membuat Kaira terperanjat. Dilihatlah
olehnya gadis bermata agak sipit, Shima, sepupunya yang tinggal serumah
dengannya, yang juga kuliah satu jurusan dengannya, .
“Aku
pusing, tak ada ide, bagaimana caranya aku menyelesaikan skripsiku, dan kalau
ini tak selesai aku tak tahu harus bicara apa pada ayahmu, kalau aku sampai
menambah semester.”
“Mm..kudengar
Askari sudah selesai, dan dia sedang membantu beberapa anak, apa kau tak minta
bantuannya juga?”
“Beberapa
waktu lalu aku sudah mencoba minta bantuannya, tapi dia bilang topikku sedikit
sulit, dan berkata akan mencoba memikirkannya. Aku coba tanyakan lagi, ia tak
terlalu banyak memberi masukan, bahkan sepertinya ia masih terlalu sibuk. Jadi
aku tak memintanya lagi. Seperti yang dikatakannya, aku pasti bisa
menyelesaikannya sendiri. Ia berpikir aku tak benar-benar butuh bantuannya,
jadi ya sudahlah. Kupikir akan percuma jika aku menghubunginya lagi.”
“Kau
yakin? Aku tak betah melihatmu seperti zombi terus. Kurasa kau harus dibantu
kali ini.”
“Tidak!
Aku tak butuh. Kau tak bisa membantuku, aku sendiri saja pusing, apalagi orang
lain. Semua ini hanya aku yang mampu. Kalau mereka semua mendapatkan bantuan,
aku akan menjadi yang berbeda. Kupikir juga Askari tak sehebat itu. Aku juga
takkan kalah darinya, jika ia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri dan masalah
teman-temannya, maka aku pasti juga bisa, setidaknya menyelesaikan masalahku
sendiri”
“Baiklah,
terserah kau saja, asalkan kau tak demam-demam lagi karena kecapekan.”
“Ya,
aku mengerti.”sahut Kaira seraya kembali menatap ke taman bunga di luar.
Menyaksikan tarian gerbera, yang membuatnya teringat pada hari pemakaman kedua
orang tuanya. Gerbera ungu pastel yang selalu mampu menghiburnya.
@@@
Siang itu Kaira kecil, yang baru
berusia tujuh tahun masih terisak di antara makam ayah dan ibunya. Semua orang
telah pergi, hanya tersisa dirinya dan pamannya. Paman Kaira telah mencoba
mengajak Kaira pulang, tapi gadis kecil itu masih bertahan untuk tinggal. Ia
merasa tak sanggup percaya jika kedua orang tuanya pergi. Penuh harap orang
akan membongkar tanah itu lagi dan ayah ibunya bisa kembali. Namun itu tidaklah
mungkin. Paman Kaira pun sedikit menjauh, membiarkan Kaira menenangkan diri,
dan menghampiri istrinya yang masih menunggu, menyuruh keluarganya untuk pulang
lebih dulu.
Saat Kaira ditinggal sejenak oleh
pamannya, muncullah seorang anak laki-laki seusia Kaira.
“Berhentilah
menangis! Ayah ibumu sedih jika melihatmu menangis.”
“Kau siapa? Kau tahu apa? Apa kau
tak lihat ayah ibuku di dalam sana, pastilah gelap dan menyeramkan di sana.”
“Tidak.
Mereka sudah di surga sekarang, mereka di tempat yang nyaman mengawasimu dan
ingin kau berhenti bersedih.”
“Jangan
bohong padaku!”
“Aku
tak bohong, karena mereka ingin memberikan ini padamu.”kata anak laki-laki itu
seraya menyodorkan setangkai bunga gerbera ungu pastel.
“Kau
bertemu ayah ibuku?”tanya Kaira seraya meraih gerbera itu. Anak laki-laki itu
mengangguk. “Bagaimana bisa? Apakah kau..dari surga?”tanya Kaira lagi. Anak
laki-laki itu kembali mengangguk lalu bergegas berlari pergi meninggalkan Kaira
kecil yang masih tercengang.
@@@
“Hei,
kau melamun lagi? Jika sudah tak fokus bagaimana kalau kita pergi saja? Kau
belum makan siang, kan?” tegur Shima membuat Kaira melepas pandangannya dari
jendela.
“Ah..aku
berharap malaikat itu datang lagi membantuku..”desah Kaira sambil membereskan
barangnya.
“Aish..kau
mulai mengkhayal lagi? Aku benar heran padamu, kau rajin menulis novel sampai
ratusan halaman, tapi bisa-bisanya pusing memikirkan kalimat untuk skripsi?!”
“Hei, itu dua hal yang
berbeda!”tukas Kaira sambil meninggalkan bangkunya, diikuti oleh Shima.
Setelah
meninggalkan gedung perpustakaan kampus, Kaira dan Shima pun meluncur ke sebuah
mall yang tak jauh dari kampus. Tanpa tertarik untuk window shopping mereka hanya langsung menuju food court. Akan tetapi bukan berarti mereka tak terhenti oleh apa
pun sama sekali.
“Hei,
Kai, apakah itu Raina?”tunjuk Shima.
“Ah,
ya, kau benar, itu Raina dan Dimas..”
“Mm..kenapa
mereka bisa disini?”tanya Shima lagi membicarakan dua orang yang dikenalnya
itu, yang saat itu melintas masuk ke Cinema XXI.
“Mm..memangnya
kenapa?”sahut Kaira sambil melanjutkan melangkah. “Mungkin mereka cari hiburan
karena jenuh sepertiku juga.”
“Tak
mungkin, dari kemarin kulihat mereka bersantai saja, kudengar mereka juga baru
dari taman bermain kemarin-kemarin.”
“Lalu
apa salahnya?”sahut Kaira tak acuh, ia hanya fokus pada beberapa stand di area food court itu.
“Oh..sepertinya dunia memang tak
adil. Jika seperti ini keadaannya seharusnya Askari tak membantunya. Seharusnya Askari membantumu yang saat ini
benar-benar sekarat.”
“Aku.. tak sesekarat itu juga kok.. Lagi
pula.. apa salahnya, jika ia membantu mantan kekasihnya..”kilah Kaira, yang bagaimana
pun akhirnya tak bisa bersembunyi lagi, nadanya tergetar tak nyaman. Pada
kenyataannya, ia juga terganggu oleh kenyataan yang mengelilinginya.
@@@
Askari
Sivan Q., begitulah pemuda itu biasa menuliskan namanya di tiap lembar
pekerjaannya. Seorang pemuda yang berasal dari kota yang berbeda dengan Kaira, yang dipertemukan dalam satu lingkungan bernama
kampus. Dalam dunia pergaulannya, mungkin keduanya adalah golongan yang
berbeda. Kelompok sepermainan Kaira lebih sering di sebut sebagai golongan orang
aneh, sedangkan Askari berada dalam golongan VVIP yang memiliki banyak
penggemar. Namun entah bagaimana prosesnya, Askari justru menjadi sahabat yang
baik bagi Kaira.
“Ah, itu dia pahlawan yang terlalu
baik, yang membantu semua orang, akhirnya dia menampakan diri juga.”kata
Hernita saat melihat kedatangan Askari yang melintasi pintu lobby, kemudian
berkumpul dengan golongan VVIP-nya. Kaira pun hanya melihat sekilas, sebelum
golongan VVIP itu kemudian pergi meninggalkan gedung.
“Hm.. Kenapa kalian berkata begitu? Apa
dia memang sungguhan baru menghilang?”tanya Kaira kemudian.
“Semacam itu,, sama sepertimu. Kau sendiri kenapa jarang ke
kampus?”sahut Leola.
“Aku sering ke kampus, tapi ke
perpustakaan.”Jawab Kaira.
“Ah, kau rajin sekali..”komentar
Hernita terputus, ia buru-buru berlari pergi bersama Leola. “Oh, itu bu Nuri! Kai,
kami pergi asistensi dulu ya..sampai nanti!”
“Sampai nanti!”balas Kaira yang
akhirnya harus sendirian menunggu dosen pembimbingnya datang.
Hingga tak lama kemudian muncullah
beberapa gadis turut duduk di dekatnya. Mereka dari golongan VVIP yang sama
sekali tak menghiraukan keberadaan Kaira. Namun gadis itu tak peduli, ia hanya
fokus pada sketchbook-nya memikirkan
konsep alternatif desain rumah sakit yang menjadi bahasan skripsinya. Mendadak
sebuah pesan masuk mengusik konsentrasi Kaira.
“Aish..sial!”desis Kaira saat
mendapat pemberitahuan dosennya akan terlambat sejam lagi. Sesaat Kaira melihat
ke arah golongan VVIP yang begitu heboh itu. Beberapa melihat aneh ke arahnya
seperti biasa, membuat Kaira jengah dan memutuskan untuk pergi.
Berlabuh pada bangku kosong di
kafetaria kampus. Ia duduk di pojok tempat makan itu. bersandingkan dengan
railing kayu bercat hijau. Kembali mencoret-coret bukunya, kembali menyerah
lelah. Membiarkan tangannya kosong, termenung. Berkutat pada pikirannya sendiri
di tengah keramaian kafetaria yang memadat. Lantas kembali meraih penanya yang
tergeletak, mencoreti lembar bukunya dengan sesuatu yang lain.
Siang itu pena
terdiam. Tergeletak di atas sebuah meja kosong. Membuat satu meja besar itu
benar kosong, sedang di sisi lain penuh sesak. Ia sendirian. Kepalanya berat.
Topinya yang kebesaran itu kekecilan.
Tak ada yang
menengok. Tak ada yang menjamahnya. Tak ada yang memanggilnya. Yang ada
mereka meninggalkannya. Satu detik. Dua detik. Satu menit. Dua menit. Satu
jam. Membisu.
Tak dapat
bergerak. Tertekan udara demam. Sinar matahari menyilaukannya. Matanya
berkunang. Ia terperangkap kekosongan. Telinganya tak dapat lagi memilah.
Terlalu rancu terlalu riuh dan ricuh. Hanya satu yang ia rindukan. Hanya satu
yang bisa mengisi.
|
Kaira meraih ponselnya, menatap
nomor Askari. Ingin memanggil pemuda itu. Namun semua hanya terhenti di sana.
Tak ada yang dilakukannya. Hanya berharap ponsel itu berdering dengan
sendirinya. Namun tetap. Tak ada yang terjadi. Kaira pun kembali membereskan
barangnya, hendak bergerak kembali ke gedung kuliah untuk menemui dosennya.
Akan tetapi ia harus berhenti.
“Hei, apa kau baik-baik saja? Kenapa menghilang dari kampus?”tanya Askari melalui layanan pesan singkat.
“I’m
fine. Kau saja yang tak melihatku.”
“Yakin
baik-baik saja?”
“Hm..sebenarnya
tidak. Aku sangat jenuh sekarang.”
“Butuh
hiburan?”
“Hibur
aku!”
“Sepertinya kau tak pernah buka email.. Aku kirim sesuatu beberapa
hari yang lalu.”
Kaira tak dapat langsung
mengeceknya, ia hanya bergegas menemui dosennya. Berusaha tak memikirkan
lainnya.
@@@
Hari sudah gelap saat gadis itu
sampai di depan rumahnya. Langit sangat jernih detik itu. Seulas senyum putih
pun tampak menghiasi malam. Tak tahu kenapa ia kembali teringat Askari. Gadis
itu tersenyum, seakan baru mendapat berita bahwa ia akan kembali bertemu Askari
esok.
Seusai makan malam bersama, Kaira
masuk ke kamarnya. Membuka lagi laporannya. Namun jeda muncul, saat ia teringat
pesan Askari. Email. Dibukalah kiriman sahabatnya itu, seketika ia pun
tersenyum. Menyaksikan gambar itu. Langit bertabur bintang, lautan yang
berkilau, terpapar sinar purnama yang begitu besar dan terang. Terbingkai oleh
sosok seorang gadis yang duduk di atas pohon ditemani seorang pemuda berdiri di
sampingnya. Sebuah pemandangan yang sangat indah. Senyum lebar pun terukir
diwajahnya.
Kaira meraih ponselnya yang
tergeletak di atas meja kaca. Memanggil nomor Askari untuk berterimakasih.
“Halo,
ada apa Rai?”sapa Askari jelas di telinga Kaira, menghapus senyum gadis itu
secara perlahan.
“Ini, aku Kai.”jawab Kaira lirih. Ini
bukan pertama kalinya terjadi, tapi masih saja berhasil membuat moodnya kembali
buruk.
“Ah, iya, ada apa, Kai?”sahut Askari
jelas baru tersadar ia telah salah berucap. “Mm..maaf, baru saja Raina
menelepon..jadi..”
“Ah, tak masalah,”potong Kaira, “..aku
hanya ingin bilang terimakasih, gambarmu sangat bagus..itu benar-benar gambar
yang keren! Jadi terimakasih banyak!”seru Kaira berusaha menampilkan nada
gembira.
“Hm..baguslah kalau kau suka.”
“Mm..ya sudah, hanya itu saja. Kalau
begitu aku tutup dulu teleponnya. Selamat lanjutkan aktivitasmu lagi!”kata
Kaira.
“Tunggu, Kai!”sahut Askari cepat.
“Mm..ada apa?”
^-^ The event, characters, and firms depicted in this picture
are fictitious. Any similarity to actual persons, living or dead, or actual
firms is coincidental ^-^
No comments:
Post a Comment