2015-08-23

INDIRECT LETTER

 
Catatan untuk Bulan Kala Hujan

Kenapa waktu berlalu begitu cepat
Baru kemarin kita bertemu, baru kemarin kita saling menyapa
Belum lama bagi kita saling mengenal,
tapi kenapa hari perpisahan datang terlalu cepat

Saat langit malam cerah kita berjumpa untuk pertamakali
Dibawah sinar bulan kau hapus air mata ini
Meluruhkan semua kesedihan,
menebar kehangatan

Hingga perlahan gerimis menghampiri kita
Menyiramkan kegelisahan baru

Hari itu kita berteduh, di bawah pohon pinus
Menanti pelangi senja bersama
Menanti sinar bulan yang baru
Menanti terbitnya purnama
berbagi mimpi, berjuta fantasi
yang harusnya kita bangun bersama
tapi kenapa hari perpisahan datang terlalu cepat

Selamat tinggal,
tak ingin kuucapkan itu
satu yang tak kuinginkan
Tanpamu, langit ini kelam
tanpamu, dunia ini gelap
dirimulah satu-satunya sinar bulan bagiku
yang tak pernah padam
meski hujan slalu mengingatkan luka
namun ronamu yang terang bersinar abadi
kaulah satu bulan kala hujan..

Selamat tinggal
tak ingin kuucapkan itu
satu yang ingin kuhapuskan
kan kunanti hari hingga hujan ini berhenti
kan kunanti terbitnya lagi bulan
dan berdoa waktu pun kan berhenti
Tiada perpisahan,
tiada kata selamat tinggal
Meski hujan turun lagi
Meski memori kelabu itu kan datang lagi
kau kan tetap slalu ada, disini
menjadi sinar bulan gemilang
satu bulan kala hujan..

“Wah, kau sedang galau sepertinya..”ujar Askari seusai membaca draft karangan Kaira yang ditemukannya secara tak sengaja. Dengan cepat Kaira pun merebut secarik kertas itu dari tangan Askari.
“Jangan banyak komentar!”tukas gadis itu seraya menyimpan bait-bait itu kembali ke bindernya. Ia pun lantas beralih menyalakan musik player di komputernya.
“Memangnya kemana kekasihmu itu sekarang?”tanya Askari bersamaan dengan teralunnya melodi piano Yiruma yang berjudul Moonlight itu.
“Tak ada kekasih semacam itu, itu hanya karangan saja.”sanggah Kaira tak acuh, ia masih sibuk meng-eject sebuah flashdisk dari PC-nya.
“Oh, itu lagu yang kemarin aku kirim, kan?”
“Ya.”sahut gadis itu lagi sambil menyodorkan flashdisk yang baru dicabut itu kepada Askari.
“Filenya sudah ku-copy.. Image dan beberapa pembahasan juga.”
“Hm..apa tak ada karangan lainnya lagi? Sepertinya aku masih suka membaca karanganmu.”
“Tak ada. Jadi pulang saja sana, pelajari laporanku dan bantu aku.”
"Mm..apa itu akan kau upload lagi di blog?"
"Bukan urusanmu"
“Hm..ya, sudah kalau begitu. Aku pergi dulu. Setelah ini aku coba pelajari bahasan skripsimu, nanti jika sekiranya aku bisa membantu, akan kukabari lagi.”ucap Askari seraya berjalan keluar rumah Kaira.
“Oke. Terimakasih sebelumnya.”
“Ya, sudah, sampai jumpa besok!”
“Sampai jumpa!”
Tak lama setelah itu, pemuda itu pun perlahan lenyap bersama sepeda motornya meninggalkan Kaira yang masih termenung di teras rumahnya. Kau bertanya, apa karena kau memang benar-benar tak mengerti? Sungguh sama sekali tak peka!
@@@
Perpustakaan siang itu cukup padat saat Kaira memasukinya. Semua orang tengah antri untuk meminjam loker dan tas laptop. Mereka semua pun akhirnya kembali keluar karena tak berhasil mendapatkan kunci.
“Penuh ya, Pak?”tanya Kaira pada petugas perpustakaan tersebut.
“Iya, sekarang penuh.”sahut pria tersebut seraya menyerahkan sebuah kunci bernomor C27. Seketika Kaira pun tersenyum lebar. “Mana KTP?” pinta pak librarian tersebut, yang sudah hafal dengan wajah Kaira, pengunjung setianya. Kaira pun dengan cepat menyerahkan KTPnya.
“Terimakasih, Pak!”seru gadis itu dibalas dengan senyum lebar pula.
“Dasar anak SMP..”desis pria itu.
“Terserah apa kata bapak dah!”balas Kaira seraya berlalu pergi menuju ruang loker. Setelah mengganti tas laptopnya, gadis itu kemudian menuju lantai dua dan berjalan memasuki ruang skripsi.
“Siang, Pak!”sapa Kaira pada penjaga ruang itu.
“Siang!”balas petugas perpustakaan itu saat Kaira kemudian terdiam memandang ke segala penjuru ruang. “Ruang sebelah sana sepi, pakai power outlet disana saja.”ujar bapak tersebut seolah mampu membaca pikiran Kaira. Gadis itu menyengir bahagia.
“Terimakasih, Pak.”ucapnya lalu langsung mengambil tempatnya.
Saat membuka laptopnya, keceriaan di wajahnya beralih tak berbekas. Fokusnya berpindah pada analisis-analisis yang harus dijelaskannya dalam laporan skripsinya.
Satu jam pun berlalu. Kaira memukul sendiri wajahnya. Berusaha menyingkirkan kejenuhannya. Menatap keluar jendela penuh harap menemukan pertolongan.
“Agh!! Aku tak bisa berpikir apa-apa lagi..”desisnya seraya meraih ponselnya. Mencari nomor Askari dan mengetikkan sesuatu. Namun dihapusnya lagi. Berencana meminta pemuda itu datang membantunya, tapi masih ragu karena sudah seminggu itu ia tak berkomunikasi dengan Askari. Ia merasa aneh sendiri dan mengurungkan niatnya.
“Hei! Kau serius sekali?!”tegur seseorang membuat Kaira terperanjat. Dilihatlah olehnya gadis bermata agak sipit, Shima, sepupunya yang tinggal serumah dengannya, yang juga kuliah satu jurusan dengannya, .
“Aku pusing, tak ada ide, bagaimana caranya aku menyelesaikan skripsiku, dan kalau ini tak selesai aku tak tahu harus bicara apa pada ayahmu, kalau aku sampai menambah semester.”
“Mm..kudengar Askari sudah selesai, dan dia sedang membantu beberapa anak, apa kau tak minta bantuannya juga?”
“Beberapa waktu lalu aku sudah mencoba minta bantuannya, tapi dia bilang topikku sedikit sulit, dan berkata akan mencoba memikirkannya. Aku coba tanyakan lagi, ia tak terlalu banyak memberi masukan, bahkan sepertinya ia masih terlalu sibuk. Jadi aku tak memintanya lagi. Seperti yang dikatakannya, aku pasti bisa menyelesaikannya sendiri. Ia berpikir aku tak benar-benar butuh bantuannya, jadi ya sudahlah. Kupikir akan percuma jika aku menghubunginya lagi.”
“Kau yakin? Aku tak betah melihatmu seperti zombi terus. Kurasa kau harus dibantu kali ini.”
“Tidak! Aku tak butuh. Kau tak bisa membantuku, aku sendiri saja pusing, apalagi orang lain. Semua ini hanya aku yang mampu. Kalau mereka semua mendapatkan bantuan, aku akan menjadi yang berbeda. Kupikir juga Askari tak sehebat itu. Aku juga takkan kalah darinya, jika ia bisa menyelesaikan masalahnya sendiri dan masalah teman-temannya, maka aku pasti juga bisa, setidaknya menyelesaikan masalahku sendiri”
“Baiklah, terserah kau saja, asalkan kau tak demam-demam lagi karena kecapekan.”
“Ya, aku mengerti.”sahut Kaira seraya kembali menatap ke taman bunga di luar. Menyaksikan tarian gerbera, yang membuatnya teringat pada hari pemakaman kedua orang tuanya. Gerbera ungu pastel yang selalu mampu menghiburnya.
@@@
            Siang itu Kaira kecil, yang baru berusia tujuh tahun masih terisak di antara makam ayah dan ibunya. Semua orang telah pergi, hanya tersisa dirinya dan pamannya. Paman Kaira telah mencoba mengajak Kaira pulang, tapi gadis kecil itu masih bertahan untuk tinggal. Ia merasa tak sanggup percaya jika kedua orang tuanya pergi. Penuh harap orang akan membongkar tanah itu lagi dan ayah ibunya bisa kembali. Namun itu tidaklah mungkin. Paman Kaira pun sedikit menjauh, membiarkan Kaira menenangkan diri, dan menghampiri istrinya yang masih menunggu, menyuruh keluarganya untuk pulang lebih dulu.  
            Saat Kaira ditinggal sejenak oleh pamannya, muncullah seorang anak laki-laki seusia Kaira.
“Berhentilah menangis! Ayah ibumu sedih jika melihatmu menangis.”
            “Kau siapa? Kau tahu apa? Apa kau tak lihat ayah ibuku di dalam sana, pastilah gelap dan menyeramkan di sana.”
“Tidak. Mereka sudah di surga sekarang, mereka di tempat yang nyaman mengawasimu dan ingin kau berhenti bersedih.”
“Jangan bohong padaku!”
“Aku tak bohong, karena mereka ingin memberikan ini padamu.”kata anak laki-laki itu seraya menyodorkan setangkai bunga gerbera ungu pastel.
“Kau bertemu ayah ibuku?”tanya Kaira seraya meraih gerbera itu. Anak laki-laki itu mengangguk. “Bagaimana bisa? Apakah kau..dari surga?”tanya Kaira lagi. Anak laki-laki itu kembali mengangguk lalu bergegas berlari pergi meninggalkan Kaira kecil yang masih tercengang.
@@@
“Hei, kau melamun lagi? Jika sudah tak fokus bagaimana kalau kita pergi saja? Kau belum makan siang, kan?” tegur Shima membuat Kaira melepas pandangannya dari jendela.
“Ah..aku berharap malaikat itu datang lagi membantuku..”desah Kaira sambil membereskan barangnya.
“Aish..kau mulai mengkhayal lagi? Aku benar heran padamu, kau rajin menulis novel sampai ratusan halaman, tapi bisa-bisanya pusing memikirkan kalimat untuk skripsi?!”
“Hei, itu dua hal yang berbeda!”tukas Kaira sambil meninggalkan bangkunya, diikuti oleh Shima.
Setelah meninggalkan gedung perpustakaan kampus, Kaira dan Shima pun meluncur ke sebuah mall yang tak jauh dari kampus. Tanpa tertarik untuk window shopping mereka hanya langsung menuju food court. Akan tetapi bukan berarti mereka tak terhenti oleh apa pun sama sekali.
“Hei, Kai, apakah itu Raina?”tunjuk Shima.
“Ah, ya, kau benar, itu Raina dan Dimas..”
“Mm..kenapa mereka bisa disini?”tanya Shima lagi membicarakan dua orang yang dikenalnya itu, yang saat itu melintas masuk ke Cinema XXI.
“Mm..memangnya kenapa?”sahut Kaira sambil melanjutkan melangkah. “Mungkin mereka cari hiburan karena jenuh sepertiku juga.”
“Tak mungkin, dari kemarin kulihat mereka bersantai saja, kudengar mereka juga baru dari taman bermain kemarin-kemarin.”
“Lalu apa salahnya?”sahut Kaira tak acuh, ia hanya fokus pada beberapa stand di area food court itu.
“Oh..sepertinya dunia memang tak adil. Jika seperti ini keadaannya seharusnya Askari tak membantunya.  Seharusnya Askari membantumu yang saat ini benar-benar sekarat.”
“Aku.. tak sesekarat itu juga kok.. Lagi pula.. apa salahnya, jika ia membantu mantan kekasihnya..”kilah Kaira, yang bagaimana pun akhirnya tak bisa bersembunyi lagi, nadanya tergetar tak nyaman. Pada kenyataannya, ia juga terganggu oleh kenyataan yang mengelilinginya.
@@@
Askari Sivan Q., begitulah pemuda itu biasa menuliskan namanya di tiap lembar pekerjaannya. Seorang pemuda yang berasal dari kota yang berbeda dengan Kaira,  yang dipertemukan dalam satu lingkungan bernama kampus. Dalam dunia pergaulannya, mungkin keduanya adalah golongan yang berbeda. Kelompok sepermainan Kaira lebih sering di sebut sebagai golongan orang aneh, sedangkan Askari berada dalam golongan VVIP yang memiliki banyak penggemar. Namun entah bagaimana prosesnya, Askari justru menjadi sahabat yang baik bagi Kaira.
“Ah, itu dia pahlawan yang terlalu baik, yang membantu semua orang, akhirnya dia menampakan diri juga.”kata Hernita saat melihat kedatangan Askari yang melintasi pintu lobby, kemudian berkumpul dengan golongan VVIP-nya. Kaira pun hanya melihat sekilas, sebelum golongan VVIP itu kemudian pergi meninggalkan gedung.
“Hm.. Kenapa kalian berkata begitu? Apa dia memang sungguhan baru menghilang?”tanya Kaira kemudian.
“Semacam itu,,  sama sepertimu. Kau sendiri kenapa jarang ke kampus?”sahut Leola.
“Aku sering ke kampus, tapi ke perpustakaan.”Jawab Kaira.
“Ah, kau rajin sekali..”komentar Hernita terputus, ia buru-buru berlari pergi bersama Leola. “Oh, itu bu Nuri! Kai, kami pergi asistensi dulu ya..sampai nanti!”
“Sampai nanti!”balas Kaira yang akhirnya harus sendirian menunggu dosen pembimbingnya datang.
Hingga tak lama kemudian muncullah beberapa gadis turut duduk di dekatnya. Mereka dari golongan VVIP yang sama sekali tak menghiraukan keberadaan Kaira. Namun gadis itu tak peduli, ia hanya fokus pada sketchbook-nya memikirkan konsep alternatif desain rumah sakit yang menjadi bahasan skripsinya. Mendadak sebuah pesan masuk mengusik konsentrasi Kaira.
“Aish..sial!”desis Kaira saat mendapat pemberitahuan dosennya akan terlambat sejam lagi. Sesaat Kaira melihat ke arah golongan VVIP yang begitu heboh itu. Beberapa melihat aneh ke arahnya seperti biasa, membuat Kaira jengah dan memutuskan untuk pergi.
Berlabuh pada bangku kosong di kafetaria kampus. Ia duduk di pojok tempat makan itu. bersandingkan dengan railing kayu bercat hijau. Kembali mencoret-coret bukunya, kembali menyerah lelah. Membiarkan tangannya kosong, termenung. Berkutat pada pikirannya sendiri di tengah keramaian kafetaria yang memadat. Lantas kembali meraih penanya yang tergeletak, mencoreti lembar bukunya dengan sesuatu yang lain.

Siang itu pena terdiam. Tergeletak di atas sebuah meja kosong. Membuat satu meja besar itu benar kosong, sedang di sisi lain penuh sesak. Ia sendirian. Kepalanya berat. Topinya yang kebesaran itu kekecilan.

Tak ada yang menengok. Tak ada yang menjamahnya. Tak ada yang memanggilnya. Yang ada mereka meninggalkannya. Satu detik. Dua detik. Satu menit. Dua menit. Satu jam. Membisu.

Tak dapat bergerak. Tertekan udara demam. Sinar matahari menyilaukannya. Matanya berkunang. Ia terperangkap kekosongan. Telinganya tak dapat lagi memilah. Terlalu rancu terlalu riuh dan ricuh. Hanya satu yang ia rindukan. Hanya satu yang bisa mengisi.

Kaira meraih ponselnya, menatap nomor Askari. Ingin memanggil pemuda itu. Namun semua hanya terhenti di sana. Tak ada yang dilakukannya. Hanya berharap ponsel itu berdering dengan sendirinya. Namun tetap. Tak ada yang terjadi. Kaira pun kembali membereskan barangnya, hendak bergerak kembali ke gedung kuliah untuk menemui dosennya. Akan tetapi ia harus berhenti.
“Hei, apa kau baik-baik saja? Kenapa menghilang dari kampus?”tanya Askari melalui layanan pesan singkat.
I’m fine. Kau saja yang tak melihatku.”
Yakin baik-baik saja?
Hm..sebenarnya tidak. Aku sangat jenuh sekarang.
Butuh hiburan?
Hibur aku!
“Sepertinya kau tak pernah buka email.. Aku kirim sesuatu beberapa hari yang lalu.
Kaira tak dapat langsung mengeceknya, ia hanya bergegas menemui dosennya. Berusaha tak memikirkan lainnya.
@@@
Hari sudah gelap saat gadis itu sampai di depan rumahnya. Langit sangat jernih detik itu. Seulas senyum putih pun tampak menghiasi malam. Tak tahu kenapa ia kembali teringat Askari. Gadis itu tersenyum, seakan baru mendapat berita bahwa ia akan kembali bertemu Askari esok.
Seusai makan malam bersama, Kaira masuk ke kamarnya. Membuka lagi laporannya. Namun jeda muncul, saat ia teringat pesan Askari. Email. Dibukalah kiriman sahabatnya itu, seketika ia pun tersenyum. Menyaksikan gambar itu. Langit bertabur bintang, lautan yang berkilau, terpapar sinar purnama yang begitu besar dan terang. Terbingkai oleh sosok seorang gadis yang duduk di atas pohon ditemani seorang pemuda berdiri di sampingnya. Sebuah pemandangan yang sangat indah. Senyum lebar pun terukir diwajahnya.
Kaira meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja kaca. Memanggil nomor Askari untuk berterimakasih.
Halo, ada apa Rai?”sapa Askari jelas di telinga Kaira, menghapus senyum gadis itu secara perlahan.
“Ini, aku Kai.”jawab Kaira lirih. Ini bukan pertama kalinya terjadi, tapi masih saja berhasil membuat moodnya kembali buruk.
“Ah, iya, ada apa, Kai?”sahut Askari jelas baru tersadar ia telah salah berucap. “Mm..maaf, baru saja Raina menelepon..jadi..”
“Ah, tak masalah,”potong Kaira, “..aku hanya ingin bilang terimakasih, gambarmu sangat bagus..itu benar-benar gambar yang keren! Jadi terimakasih banyak!”seru Kaira berusaha menampilkan nada gembira.
“Hm..baguslah kalau kau suka.”
“Mm..ya sudah, hanya itu saja. Kalau begitu aku tutup dulu teleponnya. Selamat lanjutkan aktivitasmu lagi!”kata Kaira.
Tunggu, Kai!”sahut Askari cepat.
“Mm..ada apa?”



^-^ The event, characters, and firms depicted in this picture are fictitious. Any similarity to actual persons, living or dead, or actual firms is coincidental   ^-^




No comments:

Post a Comment